Diskusi Prosiding Seminar Nasional program studi pendidikan sejarah se-Indonesia.

disebut dengan Local Genius yang sudah menjadi semacam kemampuan dari bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, sehingga tidak mengherankan jika sekarang Indonesia kaya akan unsur-unsur kebudayaan. Namun walaupun demikian, konsep dari pendidikan multikultural dari barat ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk membentuk suatu kerangka baru atau desain dari pendidikan Indonesia pada saat ini dimana kita sangat membutuhkan sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai multikulturalisme sebagai dasar pendidikan di Indonesia dengan tujuan supaya di masa depan tidak terjadi lagi konlik-konlik sosial yang mengatasnamakan perbedaan. a. Kearifan lokal Sebagai bentuk Multikulturalisme Indonesia Kearifan lokal yang berkaitan dengan Indiegenous knowledge yakni pengetahuan atau kekayaan pengetahuan atau kekayaan pengetahuan dan budaya pada masyarakat tertentu yang selalu atau telah dikembangkan dari waktu ke waktu dan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Empat indikator dapat dipergunakan untuk melacak apa yang disebut dengan kearifan lokal akni khazanah pengetahuan yang didasarkan para pengetahuan lokal, mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hidup dan dikenal dalam lingkungan masyarakat tertentu dan berubah serta dinamis sifatnya Amirrachman, 2007: 328. Menurut Ridwan dalam Haryanto,2014:4 kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya kognisi untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusunn sebagai etimologi, dimana Wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dala menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak atau bersikap sabagai hasil penilalian terhadap sesuatau, sesuatu, obek, atau peristiwa yan terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan Mengacu kepada Gidden 2003 dan Keraf 2002, kearifan lokal memiliki beberapa karakteristik yaitu kearifan lokal adalah milik kelompok, komunitas, atau kolektiitas tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses pembentukannya, yakni bersumber pada pengetahuan pengalaman dalam konteks ruang dimana mereka berada. Kearifan lokal merumuskan sesuatu yang diasumsikan benar, karena teruji lewat pengalaman secara teratur. Karena itu tidak diperlukan kebenaran alternatif ataupun kekritisan pada saat melaksanakannya.Kearifan lokal bersifat praksis, karena dia tidak saja merupakan pembendaharaan kognisi, tetapi terkait juga dengan aspek psikomotorik yaitu prakteknya dalam kehidupan masyarakat lokal. Label lokal yang melekat pada kearifan lokal, menandakan bahwa secara substansif, dia terkait dengan sebuah lokalitas. Hal ini bermakna pula bahwa ketepatgunaan kearifan lokal tidak universal. Kearifan lokal tidak hanya mencakup aspek praksis, tetapi juga tata kelakukuan. Karena itu pengaktualisasian kearifan lokal, pada dasarnya merupakan aktivitas moral. Kearifan lokal bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya dengan alam semesta. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya, yakni orang bijak, pemimpin agama atau guru. Karena itulah kearifan lokal bisa bertahan lama dan mentradisi. penjaganya bukan orang ahli tidak memiliki modal intelektual dan modal simbolik, tetapi mereka bisa menduduki posisi sebagai penjaga tradisi, karena mampu menafsirkan makna tradisi, baik makna tekstual maupun kontekstual maupun makna implisit dan eksplisit sehinga warga komunitas bisa memprakteknya dan memahaminya secara baik dan benar. Kearifan lokal sering terkait atau menyatu dengan ajaran maupun praktek-praktek keagamaan, misalnya ritual sehingga akan menambah daya kebertahanya. Berdasarkan ciri-ciri ataupun karateristik diatas maka wajar jika kearifan lokal dapat bisa bertahan lama sehingga menjadi kearifan tradisional. Simbol-simbol kearifan lokal ini lah yang bisa diambil nilai-nilainya sebagai acuan untuk pembentukan identitas peserta didik, terkadang peserta didik sendiri tidak tahu dengan sejarah dan budaya lokal yang berada ditempatnya padahal seharusnya itu merupakan identitas dari mereka sendiri. Hal ini tentu saja akan menjadi sangat baik bagi mereka, apabila mereka menyadari betapa kayanya budaya bangsa Indonesia, maka akan tumbuh rasa saling menghormati satu sama lain. Hal ini disebabkan dari tingkat kesadaran akan arti sebenarnya dari multikulturalisme di Indonesia, bahwa mereka tidaklah hidup dengan satu suku, ras dan agama saja. Bahkan dengan meningkatnya pengetahuan mereka tentang kearifan lokal maka secara tidak langsung mereka turut ambil bagian dalam pelestarian budaya mereka dan meningkatkan rasa cinta terhadap budaya lokal mereka sendiri sehingga akan tetap lestari dan tidak hilang pada tergerus oleh globalisasi. b. Solidaritas Sosial Sebagai Identitas bangsa Pemikiran tentang solidaritas sosial ini pertama kali dikemukakan oleh seorang pemikir sosiologi Emile Durkheim, tesisnya yang berjudul he Division of Labor in Society yang juga dikenal sebagai karya klasik pertamanya yang merupakan sumber dari teori pemikiran solidaritas sosial Ritzer Goodman, 2004: 91. Solidaritas Sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Pada tesisnya tersebut ia mengungkapkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan perkerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Emile Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua bagian, yaitu Solidaritas Mekanis dan Organis, perubahan dalam pembagian kerja memilki implikasi yang sangat besar dalam struktur masyarakat, dari konsep inilah Durkheim membagi dua solidaritas sosial tersebut untuk melihat realitas sosial dalam masyarakat. Dalam tesisnya ini untuk menganalisis pengaruh fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk- bentuk solidaritas sosial Johnson, 1986:181. 3.2 Solidaritas Mekanik Pada solidaritas mekanis sendiri ditandai masyarakat yang menjadi padu satu sama lain dan padu kepada seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat yang seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama Ritzer Goodman, 2004: 91. Pada realitasnya solidaritas mekanis pada contoh dalam kerukukan umat beragama pada masyarakat primitif tentang ikatan apa yang terjalin diantara umat beragama. Ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Orang yang sama- sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mestinya mereka bersama-sama karena mereka berpikiran serupa. Sekalipun ada perbedaan-perbedaan dalam tingkatannya sekurang-kurangnya menganut satu orientasi agama yang sama, meskipun dasar pokok integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalam kelompok ini. 3.3 Solidaritas Organik Solidaritas Organis ditandai dengan masyarakat yang bertahan justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki perkerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif, kesadaran kolektif sendiri kurang signikan dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang dengan masyarakat modern oleh solidaritas mekanis. Saling ketergantungan yang penting antara para anggota yang berpartisipasi dengan masing-masing sumbangan pribadinya yang tergantung pada sumbangan beberapa orang lainnya, dengan demikian makan kegiatan spesialis dari orang-orang ini yang saling berhubungan dan saling ketergantungan sedemikian rupa sehingga sistem ini membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi yang didasarkan pada saling ketergantungan Johnson,1986:182. Pada dasarnya Durkheim menggunakan isitlah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisis masyarakat keseluruhannya, bukan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama collective consciousness yang merujuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu”. Hal ini merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Karena itu individualitas tidak berkembang, indivualitas itu terus- menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu itu tidak harus mengalami sebagai satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan yang lain dari itu mungkin juga tidak berkembang. Durkheim membuat indikator yang jelas tentang solidaritas mekanik, diantaranya adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan itu repressive. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Hal yang berbeda ditunjukan oeh solidaritas organik, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan restitutive daripada yang bersifat refresif, tujuan dari kedua hal ini sangatlah berbeda, hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antar individu yang berspesialisasi atau kelompok Johnson,1986:184. Pada konteks kesadaran kolektif peranan hukum-hukum represif yang terus-menerus menjadi penting, dalam suatu masyarakat oraganik kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, dalam hal ini memperkuat ikatan yang muncul dari saling ketergantungan fungsional yang semakin bertambah. Pada kerangka awalnya pertumbuhan pembagian kerja dalam tidak menghancurkan kesadaran kolektif, dalam hal ini konsep ini hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari, hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang didasarkan oleh konsensus moral Johnson,1986:185. Realitas inilah yang seharusnya ada pada masa modern saat ini dimana kita tidak harus selalu menggangap bahwa individu yang berbeda dengan kita adalah salah, tujuan dari solidaritas organik adalah menciptakan masyarakat yang heterogen yang saling bergantungan satu sama lain, dan hal ini tercermin di dalam konsep Bhineka tunggal eka dimana Indonesia yang merupakan negara yang plural dapat menerima perbedaan sebagai sesama makhluk sosial. Perspektif yang berbeda seharusnya bisa ditanamkan pada pola pikir masyarakat Indonesia, kesadaran akan ketergantungan satu sama lain tanpa harus membedakan satu individu dengan individu lainnya. Sikap ini tentunya bisa membangkitkan rasa solidaritas sosial dalam masyarakat. Pola solidaritas sosial dalam pemikiran Emile Durkheim sudah terpetakan dengan sangat jelas dalam pembagiannya, pertama tentang solidaritas mekanik sudah tentu bahwa sebuah solidaritas sosial akan terbentuk dalam sebuah ikatan generalisasi atas dasar persamaan pandangan, agama, suku dan ras. Namun pada dasarnya konsep solidaritas sosial jika dikaji dengan latar belakang bangsa Indonesia lebih mengarah pada solidaritas organik, sekali lagi dengan konsep masyarakat Indonesia yang plural yang terdiri dari banyak suku dan ras tentu solidaritas sosial akan sulit dibangun jika harus mengatasnamakan persamaan, akan tetapi solidaritas sosial akan muncul dari sikap Individual yang tinggi atau bisa dikatakan masih terbentuknya pola-pola kelompok namun pada pada konteks ini mereka saling memiliki rasa ketergantungan satu sama lain. Kunci untuk terbentuknya solidaritas sosial pada masyarakat Indonesia adalah rasa saling memiliki satu sama lain dan juga adanya rasa saling menghormati untuk membentuk sebuah harmoni, namun yang terpenting adalah cara atau proses penanaman nilai-nilai tersebut, salah satunya adalah dengan menggunakan pendidikan sebagai medianya. Sistem pendidikan di Indonesia yang hingga pada saat ini terkesan hanya melihat hasil dari proses pembelajaran , namun sering mengabaikan proses atau penaman nilai-nilai pembentukan karakter hendaknya bisa merubah paradigma tersebut dengan mencanangkan konsep pendidikan yang berbasis multikultural sebagai dasar dari konsep pendidikan di Indonesia. 3.4 Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan lokal pada Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Sikap Solidaritas Sosial Pendidikan nasional dikehendaki haruslah bersifat fungsional, yaitu berfungsi untuk kepentingan kelembagaan masyarakat menuju perkembangan kehidupan bangsa yang menyangkut pengembangan pribadi dan watak bangsa. Sebab keduanya ini merupakan kriteria dasar dalam upaya mewujudkan suatu sistem pendidikan nasional. Pembangunan manusia seutuhnya perlu diwujudkan dengan sebaik-baiknya sehingga diperlukan pendekatan-pendekatan yang baik, untuk itu pendekatan yang dipakai di dalam pendidikan nasional guna untuk pengembangan kebudayaan yaitu pendekatan kultural. Menurut Hasbullah 2009:148 pendekatan kultural dengan tujuan untuk untuk mengusahakan adanya perubahan menuju keadaan yang lebih baik dengan tetap menjaga keseimbangan baik dalam hidup manusia sebaai pribadi manusia dengan masyarakat sekitarnya. pendidikan kultural ini harus memperhatikan perkembangan sejarah dan kemajuan bangsa, dengan memperhatikan ruang lingkup secara nasional, kawasan, maupun internasional. Salah satu upaya untuk melakukan implementasi nilai-nilai kearifan lokal ini pada pembelajaran sejarah walaupun memang sebenarnya masih sangat terbatas ruang lingkupnya, melihat dari kurikulum nasional sekarang baik dari kurikulum KTSP dan juga Kurikulum 2013 masih ada kesulitan untuk penempatan materi tentang kearifan lokal didalamnya. Terkesan bahwa dalam silabus pembelajaran masih terbatas pada sejarah dunia dan juga sejarah nasional, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat belajar peserta didik, dengan komposisi penempatan materi pembelajaran sekarang tidak heran jika proses pembelajaran menjadi membosankan dan juga tidak inovatif karena tidak wadah guru untuk mengembangkan materi tentang kelokalan. Pada hakikatnya hal ini tergantung dari bagaimana guru bisa berinovasi dengan materi yang ada, namun sekali lagi keterbatasan sumber yang menjadi kendala. Oleh karena itu dibutuhkan strategi khusus untuk mengimplementasikan unsur materi kelokalan dalam proses pembelajaran. Prinsip leksibilitas pendidikan multikultural juga disarankan oleh Gay sebagaimana menurut Zamroni dalam Suryana and Rusdiana,2015:257 dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Sebaliknya, dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan untuk memajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan multikultural juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki toleran, bersifat inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik, manakala siapa saja warga masyarakat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki bagi masyarakat sebagai keutuhan. Peran mata palajaran sejarah sangatlah penting dalam usaha penanaman nilai-nilai karakter pada konsep pendidikan multikulutural, melihat dari realitas bahwa pada mata pelajaran sejarah sendiri terdapat materi yang menyangkut tentang bagaiamana sejarah kebudayaan di Indonesia, namun masih bersifat umum. Sehingga diharapkan dengan konsep pendidikan multikultural, pengembangan materi lokal memiliki tempat khsusus. Pada dasarnya solusi dari permasalahan ini sudah ada pada draf desain dari pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural memiliki tiga sasaran dalam usaha untuk mengembangkan sikap atau kepribadian peserta didik, di antaranya: a. Pengembangan Identitas Kultural, yaitu kompetensi untuk mengidentiikasi dirinya dengan etnis tertentu. b. Hubungan Interpersonal, yaitu kompetensi untuk melakukuan hubungan dengan etnis lain, dengan senantiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan serta menjauhi sifat syakwasanka dan stereotip. c. Memberdayakan diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengembangkan secara terus –menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan multikultural. Suryana and Rusdiana,2015:259. Pada implementasi penanaman nilai-nilai kearifan lokal pada mata pelajaran sejarah sendiri, sebagai langkah nyata dapat dilakukan dengan memakai model pembelajaran yang inovatif, seperti misalnya memakai model pembelajaran bertipe kooperatif atau scientiik yang dikolaborasikan dengan pendekatan nilai seperti menggunakan VCT Value Clariication Technique,yang bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai dari kearifan lokal membutuhkan tolak ukur penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal ini bisa dilakukan pada saat diskusi kelompok, karena dalam diskusi kelompok sendiri banyak kita temui bahwa ada nilai-nilai yang harus dicapai, nilai-nilai tersebut dapat kita ambil dari esensi atau norma-norma yang ada pada kearifan lokal. Misalnya saja dalam hal bisa menerima pendapat, saling menghormati, bersikap religius dan saling berkerjasama atau mempunyai jiwa gotong royong yang merupakan ciri-ciri dari sikap solidaritas sosial yang nantinya akan berpengaruh untuk mengembangkan sikap atau kepribadian peserta didik.oleh karena it guru perlu memberiakn penekakan bahwa prestasi bukanlah segalanya namun perkembangan sikap dan karakter lah yang penting untuk dicapai. Hal-hal ini secara tidak langsung terdapat pada proses berjalannya diskusi pelajaran sejarah, Oleh karena itu dibutuhkan guru yang inovatif dan juga berwawasan tinggi untuk menjalankan prosedur ini. Beberapa Indikator dari sikap solidaritas sosial yang berupa menerima pendapat, saling menghormati, bersikap religius dan saling berkerjasama merupakan tujuan dari proses pendidikan multikultural, sehingga sebisa mungkin nilai-nilai yang telah disadari oleh peserta didik tadi dapat diaplikasi pada kehidupan nyata atau dalam kehidupan bermasyarakat. Melihat dari kultur bangsa Indonesia yang plural maka meningkatkan sikap solidaritas sosial akan membantu menghilangkan perbedaan, sehingga dimasa depan diharapkan dimasa depan konlik-konlik sosial tidak akan terjadi lagi dan tercipta masyarakat yang harmoni.

D. Kesimpulan

Pendidikan merupakan landasan utama dalam pembentukan karakter peserta didik, wacana Pendidikan multikulutural merupakan salah satu solusi dari konlik-konlik sosial yang ada di Indonesia akibat masih rendahnya sikap solidaritas sosial masyarakat. Sehingga perlu ditanamkan nilai-nilai kebaikan untuk mengembangkan sikap dan watak peserta didik. Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang bisa diinternalisasikan kedalam proses pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran sejarah. Untuk menginternalisaikan nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada proses pembelajaran seperti dalam jalannya diskusi. Pada jalannya diskusi terdapat esensi dari nilai-nilai solidaritas sosial seperti bisa merima perbedaan, saling menghormati, bersikap religius dan sikap saling saling berkerjasama atau gotong royong. Sikap-sikap ini bisa dimunculkan pada jalannya diskusi dan juga sebagai salah satu bentuk dari konsep pendidikan multikultural. Selain itu peserta didik dapat memahami kebudyaan mereka sendiri dan mengaplikasikan nilai-nilai solidaritas sosial pada kehidupan sehari- hari. Tujuan utuma dari konsep ini adalah untuk memberikan kesadaran kepada peserta didik tentang pentingnya toleransi dan juga menjaga sikap solidaritas sosial dalam masyarakat sehingga di masa depan konlik-konlik sosial tidak akan terjadi lagi dan membentuk masyarakat harmoni. Referensi Banks, James A. 2002. An Introduction To Multicultural Education. Boston: Allynand Bacon. Banks, James A. 2009. Multicultural Education Dimension and Paradigms. In Banks, James A Ed he Routledge International Companion to Multicultural Education. Taylor and Francis e-library. Johnson, Paul Doyle.1986. Teori Sosiologi klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia Giddens, A.2003. he Constitusion of society. Teori Strukturasi untuk analisis sosial.Pasuruan Pdati Hasbullah.2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakata:Rajawali Press Ritzer George and Goodman Douglas. 2014 . Teori Sosiologi: dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial postmodern. Yogyakarta: kreasi Kencana Rosy Rosyada, Dede.2014.Pendidikan Multikultural Di Indonesia Sebuah Pandangan Konsepsional. Sosio Didaktika:Vol .1, No.1 Mei 2014 Suryana, Yaya and Rusdiana. 2015.Pendidikan Multikultura: Suatu upaya penguatan Jati diri bangsa, konsep, prinsip dan implementasi.. Bandung: CV Pustaka Setia Mahfud, Choiril.2014.Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Proil Singkat Penulis: Yudi Pratama, Lahir di Baturaja 10 Juli 1993, Pendidikan S-1 Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya, Sekarang masih melanjutkan Pendidikan S-2 di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pemetaan Situs Cagar Budaya dan Revitalisasi Wisata Sejarah Banyumas sebagai Alternatif Belajar Sejarah Ariin Suryo Nugroho, M.Pd. Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh Po.Box 202, Purwokerto, Jawa Tengah Abstrak Sejarah adalah pengalaman kolektif masa lalu untuk menentukan identitas masyarakat pendukungnya. Namun permasalahannya kini adalah mau atau tidaknya manusia untuk belajar dari masa lalu atau sejarahnya yang sepatutnya dibanggakan itu. Gejala rendahnya kesadaran sejarah bangsa Indonesia hingga saat ini masih sering ditemui, pertandanya adalah kadar nasionalisme generasi muda yang memprihatinkan, juga sikap vandalisme yang sering dilakukan pada situs-situs sejarah adalah sebuah bukti. Memaknai sejarah dalam kehidupan akan membantu seseorang atau suatu komunitas untuk mengenal sejarah daerahnya, sejarah mentalitasnya, sejarah sosial, sejarah budaya dan sekaligus akan dapat dijadikan pertimbangan dalam rancang bangun peradabannya ke masa depan sebagai nilai luhur warisan pendahulunya. Agar nilai-nilai masa lalu itu dapat terinternalisasi dengan baik oleh generasi saat ini maka diperlukan inovasi baik dalam media maupun strateginya. Salah satu inovasi yang dapat dikembangkan yakni pemetaan situs cagar budaya dan revitalisasi wisata sejarah. Kata Kunci: situs cagar budaya Banyumas, pemetaan situs cagar budaya, wisata sejarah lokal

A. Pendahuluan

Sejarah mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan ilmu- ilmu sosial yang lain. Menurut Widja 1989: 20 masa lampau tidak dapat dihadirkan kembali dalam kehidupan kita sekarang, sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Kita mengetahui masa lampau dengan bantuan jejak- jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa sejarah yang baik berupa dokumen, arsip, situs dan cagar budaya sejarah. Sejarah adalah pengalaman kolektif masa lalu untuk menentukan identitas masyarakat pendukungnya. Pengalaman kolektif itu disosialisasikan dan ditransformasi dari generasi ke generasi dan membangun kebanggaan kolektif disamping asal usul atau trah. Dengan pandangan ini maka untuk melacak dan merekonstruksi bangunan budaya suatu masyarakat harus dilacak dengan sejarah dini bahkan sampai ke mitologinya.