Diskusi Prosiding Seminar Nasional program studi pendidikan sejarah se-Indonesia.
disebut dengan Local Genius yang sudah menjadi semacam kemampuan dari bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, sehingga tidak mengherankan jika
sekarang Indonesia kaya akan unsur-unsur kebudayaan. Namun walaupun demikian, konsep dari pendidikan multikultural dari barat ini bisa dijadikan
sebagai acuan untuk membentuk suatu kerangka baru atau desain dari pendidikan Indonesia pada saat ini dimana kita sangat membutuhkan
sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai multikulturalisme sebagai dasar pendidikan di Indonesia dengan tujuan supaya di masa depan tidak
terjadi lagi konlik-konlik sosial yang mengatasnamakan perbedaan.
a. Kearifan lokal Sebagai bentuk Multikulturalisme Indonesia Kearifan lokal yang berkaitan dengan Indiegenous knowledge yakni
pengetahuan atau kekayaan pengetahuan atau kekayaan pengetahuan dan budaya pada masyarakat tertentu yang selalu atau telah
dikembangkan dari waktu ke waktu dan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Empat indikator dapat dipergunakan untuk melacak apa
yang disebut dengan kearifan lokal akni khazanah pengetahuan yang didasarkan para pengetahuan lokal, mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, hidup dan dikenal dalam lingkungan masyarakat tertentu dan berubah serta dinamis sifatnya Amirrachman, 2007: 328. Menurut
Ridwan dalam Haryanto,2014:4 kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya kognisi untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusunn sebagai
etimologi, dimana Wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dala menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sabagai hasil penilalian terhadap sesuatau, sesuatu, obek, atau peristiwa yan terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
kearifan
Mengacu kepada Gidden 2003 dan Keraf 2002, kearifan lokal memiliki beberapa karakteristik yaitu kearifan lokal adalah milik kelompok,
komunitas, atau kolektiitas tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses pembentukannya, yakni bersumber pada pengetahuan
pengalaman dalam konteks ruang dimana mereka berada. Kearifan lokal merumuskan sesuatu yang diasumsikan benar, karena teruji lewat
pengalaman secara teratur. Karena itu tidak diperlukan kebenaran alternatif ataupun kekritisan pada saat melaksanakannya.Kearifan
lokal bersifat praksis, karena dia tidak saja merupakan pembendaharaan kognisi, tetapi terkait juga dengan aspek psikomotorik yaitu prakteknya
dalam kehidupan masyarakat lokal.
Label lokal yang melekat pada kearifan lokal, menandakan bahwa secara substansif, dia terkait dengan sebuah lokalitas. Hal ini bermakna pula
bahwa ketepatgunaan kearifan lokal tidak universal. Kearifan lokal tidak hanya mencakup aspek praksis, tetapi juga tata kelakukuan. Karena itu
pengaktualisasian kearifan lokal, pada dasarnya merupakan aktivitas moral. Kearifan lokal bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan
dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya dengan alam semesta. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya, yakni
orang bijak, pemimpin agama atau guru. Karena itulah kearifan lokal bisa bertahan lama dan mentradisi. penjaganya bukan orang ahli tidak
memiliki modal intelektual dan modal simbolik, tetapi mereka bisa menduduki posisi sebagai penjaga tradisi, karena mampu menafsirkan
makna tradisi, baik makna tekstual maupun kontekstual maupun makna implisit dan eksplisit sehinga warga komunitas bisa memprakteknya
dan memahaminya secara baik dan benar. Kearifan lokal sering terkait atau menyatu dengan ajaran maupun praktek-praktek keagamaan,
misalnya ritual sehingga akan menambah daya kebertahanya.
Berdasarkan ciri-ciri ataupun karateristik diatas maka wajar jika kearifan lokal dapat bisa bertahan lama sehingga menjadi kearifan tradisional.
Simbol-simbol kearifan lokal ini lah yang bisa diambil nilai-nilainya sebagai acuan untuk pembentukan identitas peserta didik, terkadang
peserta didik sendiri tidak tahu dengan sejarah dan budaya lokal yang berada ditempatnya padahal seharusnya itu merupakan identitas
dari mereka sendiri. Hal ini tentu saja akan menjadi sangat baik bagi mereka, apabila mereka menyadari betapa kayanya budaya bangsa
Indonesia, maka akan tumbuh rasa saling menghormati satu sama lain. Hal ini disebabkan dari tingkat kesadaran akan arti sebenarnya
dari multikulturalisme di Indonesia, bahwa mereka tidaklah hidup dengan satu suku, ras dan agama saja. Bahkan dengan meningkatnya
pengetahuan mereka tentang kearifan lokal maka secara tidak langsung mereka turut ambil bagian dalam pelestarian budaya mereka dan
meningkatkan rasa cinta terhadap budaya lokal mereka sendiri sehingga akan tetap lestari dan tidak hilang pada tergerus oleh globalisasi.
b. Solidaritas Sosial Sebagai Identitas bangsa Pemikiran tentang solidaritas sosial ini pertama kali dikemukakan
oleh seorang pemikir sosiologi Emile Durkheim, tesisnya yang berjudul he Division of Labor in Society yang juga dikenal sebagai karya klasik
pertamanya yang merupakan sumber dari teori pemikiran solidaritas sosial Ritzer Goodman, 2004: 91. Solidaritas Sosial menunjuk pada
suatu keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Pada tesisnya tersebut ia mengungkapkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan
antara orang-orang yang melakukan perkerjaan yang sama, akan tetapi
pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Emile Durkheim membagi
solidaritas sosial menjadi dua bagian, yaitu Solidaritas Mekanis dan Organis, perubahan dalam pembagian kerja memilki implikasi yang
sangat besar dalam struktur masyarakat, dari konsep inilah Durkheim membagi dua solidaritas sosial tersebut untuk melihat realitas sosial
dalam masyarakat. Dalam tesisnya ini untuk menganalisis pengaruh fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur
sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk- bentuk solidaritas sosial Johnson, 1986:181.
3.2 Solidaritas Mekanik Pada solidaritas mekanis sendiri ditandai masyarakat yang menjadi
padu satu sama lain dan padu kepada seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat yang seperti ini terjadi karena mereka terlibat
dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama Ritzer Goodman, 2004: 91. Pada realitasnya solidaritas mekanis pada contoh
dalam kerukukan umat beragama pada masyarakat primitif tentang ikatan apa yang terjalin diantara umat beragama. Ikatan utamanya adalah
kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral. Orang yang sama- sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mestinya
mereka bersama-sama karena mereka berpikiran serupa. Sekalipun ada perbedaan-perbedaan dalam tingkatannya sekurang-kurangnya menganut
satu orientasi agama yang sama, meskipun dasar pokok integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalam kelompok ini.
3.3 Solidaritas Organik Solidaritas Organis ditandai dengan masyarakat yang bertahan justru
dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki perkerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan
pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif, kesadaran kolektif sendiri kurang signikan dalam masyarakat yang ditopang oleh
solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang dengan masyarakat modern oleh solidaritas mekanis. Saling ketergantungan yang penting
antara para anggota yang berpartisipasi dengan masing-masing sumbangan pribadinya yang tergantung pada sumbangan beberapa orang lainnya,
dengan demikian makan kegiatan spesialis dari orang-orang ini yang saling berhubungan dan saling ketergantungan sedemikian rupa sehingga sistem
ini membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi yang didasarkan pada saling ketergantungan Johnson,1986:182.
Pada dasarnya Durkheim menggunakan isitlah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisis masyarakat keseluruhannya, bukan
organisasi-organisasi dalam masyarakat. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama collective consciousness yang
merujuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu”. Hal
ini merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola
normatif yang sama pula. Karena itu individualitas tidak berkembang, indivualitas itu terus- menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar
sekali untuk konformitas. Individu itu tidak harus mengalami sebagai satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan yang lain dari itu
mungkin juga tidak berkembang.
Durkheim membuat indikator yang jelas tentang solidaritas mekanik, diantaranya adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat
menekan itu repressive. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas
yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Hal yang berbeda ditunjukan oeh solidaritas organik, solidaritas organik muncul karena
pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Durkheim mempertahankan bahwa
kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan restitutive daripada yang bersifat refresif, tujuan
dari kedua hal ini sangatlah berbeda, hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan hukum restitutif
berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antar individu yang berspesialisasi atau kelompok
Johnson,1986:184.
Pada konteks kesadaran kolektif peranan hukum-hukum represif yang terus-menerus menjadi penting, dalam suatu masyarakat oraganik
kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, dalam hal ini memperkuat ikatan yang muncul dari saling ketergantungan fungsional
yang semakin bertambah. Pada kerangka awalnya pertumbuhan pembagian kerja dalam tidak menghancurkan kesadaran kolektif, dalam hal ini konsep
ini hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari, hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk
otonomi individu dan heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang didasarkan
oleh konsensus moral Johnson,1986:185. Realitas inilah yang seharusnya ada pada masa modern saat ini dimana kita tidak harus selalu menggangap
bahwa individu yang berbeda dengan kita adalah salah, tujuan dari solidaritas organik adalah menciptakan masyarakat yang heterogen yang
saling bergantungan satu sama lain, dan hal ini tercermin di dalam konsep Bhineka tunggal eka dimana Indonesia yang merupakan negara yang plural
dapat menerima perbedaan sebagai sesama makhluk sosial.
Perspektif yang berbeda seharusnya bisa ditanamkan pada pola pikir masyarakat Indonesia, kesadaran akan ketergantungan satu sama lain
tanpa harus membedakan satu individu dengan individu lainnya. Sikap ini tentunya bisa membangkitkan rasa solidaritas sosial dalam masyarakat.
Pola solidaritas sosial dalam pemikiran Emile Durkheim sudah terpetakan dengan sangat jelas dalam pembagiannya, pertama tentang solidaritas
mekanik sudah tentu bahwa sebuah solidaritas sosial akan terbentuk dalam sebuah ikatan generalisasi atas dasar persamaan pandangan, agama, suku
dan ras.
Namun pada dasarnya konsep solidaritas sosial jika dikaji dengan latar belakang bangsa Indonesia lebih mengarah pada solidaritas organik, sekali
lagi dengan konsep masyarakat Indonesia yang plural yang terdiri dari banyak suku dan ras tentu solidaritas sosial akan sulit dibangun jika harus
mengatasnamakan persamaan, akan tetapi solidaritas sosial akan muncul dari sikap Individual yang tinggi atau bisa dikatakan masih terbentuknya
pola-pola kelompok namun pada pada konteks ini mereka saling memiliki rasa ketergantungan satu sama lain.
Kunci untuk terbentuknya solidaritas sosial pada masyarakat Indonesia adalah rasa saling memiliki satu sama lain dan juga adanya
rasa saling menghormati untuk membentuk sebuah harmoni, namun yang terpenting adalah cara atau proses penanaman nilai-nilai tersebut,
salah satunya adalah dengan menggunakan pendidikan sebagai medianya. Sistem pendidikan di Indonesia yang hingga pada saat ini terkesan hanya
melihat hasil dari proses pembelajaran , namun sering mengabaikan proses atau penaman nilai-nilai pembentukan karakter hendaknya bisa merubah
paradigma tersebut dengan mencanangkan konsep pendidikan yang berbasis multikultural sebagai dasar dari konsep pendidikan di Indonesia.
3.4
Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan lokal pada Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Sikap Solidaritas Sosial
Pendidikan nasional dikehendaki haruslah bersifat fungsional, yaitu berfungsi untuk kepentingan kelembagaan masyarakat menuju
perkembangan kehidupan bangsa yang menyangkut pengembangan pribadi dan watak bangsa. Sebab keduanya ini merupakan kriteria dasar dalam upaya
mewujudkan suatu sistem pendidikan nasional. Pembangunan manusia seutuhnya perlu diwujudkan dengan sebaik-baiknya sehingga diperlukan
pendekatan-pendekatan yang baik, untuk itu pendekatan yang dipakai di dalam pendidikan nasional guna untuk pengembangan kebudayaan yaitu
pendekatan kultural. Menurut Hasbullah 2009:148 pendekatan kultural
dengan tujuan untuk untuk mengusahakan adanya perubahan menuju keadaan yang lebih baik dengan tetap menjaga keseimbangan baik dalam
hidup manusia sebaai pribadi manusia dengan masyarakat sekitarnya. pendidikan kultural ini harus memperhatikan perkembangan sejarah dan
kemajuan bangsa, dengan memperhatikan ruang lingkup secara nasional, kawasan, maupun internasional.
Salah satu upaya untuk melakukan implementasi nilai-nilai kearifan lokal ini pada pembelajaran sejarah walaupun memang sebenarnya masih
sangat terbatas ruang lingkupnya, melihat dari kurikulum nasional sekarang baik dari kurikulum KTSP dan juga Kurikulum 2013 masih ada kesulitan
untuk penempatan materi tentang kearifan lokal didalamnya. Terkesan bahwa dalam silabus pembelajaran masih terbatas pada sejarah dunia
dan juga sejarah nasional, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat belajar peserta didik, dengan komposisi penempatan
materi pembelajaran sekarang tidak heran jika proses pembelajaran menjadi membosankan dan juga tidak inovatif karena tidak wadah guru
untuk mengembangkan materi tentang kelokalan. Pada hakikatnya hal ini tergantung dari bagaimana guru bisa berinovasi dengan materi yang ada,
namun sekali lagi keterbatasan sumber yang menjadi kendala. Oleh karena itu dibutuhkan strategi khusus untuk mengimplementasikan unsur materi
kelokalan dalam proses pembelajaran.
Prinsip leksibilitas pendidikan multikultural juga disarankan oleh Gay sebagaimana menurut Zamroni dalam Suryana and Rusdiana,2015:257
dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik.
Sebaliknya, dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan untuk memajukan pendidikan secara utuh dan
menyeluruh. Pendidikan multikultural juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki toleran, bersifat
inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih
baik, manakala siapa saja warga masyarakat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki bagi masyarakat sebagai
keutuhan. Peran mata palajaran sejarah sangatlah penting dalam usaha penanaman nilai-nilai karakter pada konsep pendidikan multikulutural,
melihat dari realitas bahwa pada mata pelajaran sejarah sendiri terdapat materi yang menyangkut tentang bagaiamana sejarah kebudayaan di
Indonesia, namun masih bersifat umum. Sehingga diharapkan dengan konsep pendidikan multikultural, pengembangan materi lokal memiliki
tempat khsusus.
Pada dasarnya solusi dari permasalahan ini sudah ada pada draf desain dari pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural memiliki
tiga sasaran dalam usaha untuk mengembangkan sikap atau kepribadian peserta didik, di antaranya:
a. Pengembangan Identitas Kultural, yaitu kompetensi untuk mengidentiikasi dirinya dengan etnis tertentu.
b. Hubungan Interpersonal, yaitu kompetensi untuk melakukuan hubungan dengan etnis lain, dengan senantiasa mendasarkan pada
persamaan dan kesetaraan serta menjauhi sifat syakwasanka dan stereotip.
c. Memberdayakan diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengembangkan secara terus –menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan
multikultural. Suryana and Rusdiana,2015:259.
Pada implementasi penanaman nilai-nilai kearifan lokal pada mata pelajaran sejarah sendiri, sebagai langkah nyata dapat dilakukan dengan
memakai model pembelajaran yang inovatif, seperti misalnya memakai model pembelajaran bertipe kooperatif atau scientiik yang dikolaborasikan
dengan pendekatan nilai seperti menggunakan VCT Value Clariication Technique,yang bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai dari
kearifan lokal membutuhkan tolak ukur penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik.
Penerapan nilai-nilai kearifan lokal ini bisa dilakukan pada saat diskusi kelompok, karena dalam diskusi kelompok sendiri banyak kita temui bahwa
ada nilai-nilai yang harus dicapai, nilai-nilai tersebut dapat kita ambil dari esensi atau norma-norma yang ada pada kearifan lokal. Misalnya saja dalam
hal bisa menerima pendapat, saling menghormati, bersikap religius dan saling berkerjasama atau mempunyai jiwa gotong royong yang merupakan
ciri-ciri dari sikap solidaritas sosial yang nantinya akan berpengaruh untuk mengembangkan sikap atau kepribadian peserta didik.oleh karena
it guru perlu memberiakn penekakan bahwa prestasi bukanlah segalanya namun perkembangan sikap dan karakter lah yang penting untuk dicapai.
Hal-hal ini secara tidak langsung terdapat pada proses berjalannya diskusi pelajaran sejarah, Oleh karena itu dibutuhkan guru yang inovatif dan juga
berwawasan tinggi untuk menjalankan prosedur ini. Beberapa Indikator dari sikap solidaritas sosial yang berupa menerima pendapat, saling
menghormati, bersikap religius dan saling berkerjasama merupakan tujuan dari proses pendidikan multikultural, sehingga sebisa mungkin nilai-nilai
yang telah disadari oleh peserta didik tadi dapat diaplikasi pada kehidupan nyata atau dalam kehidupan bermasyarakat. Melihat dari kultur bangsa
Indonesia yang plural maka meningkatkan sikap solidaritas sosial akan membantu menghilangkan perbedaan, sehingga dimasa depan diharapkan
dimasa depan konlik-konlik sosial tidak akan terjadi lagi dan tercipta masyarakat yang harmoni.