Sejarah Sebagai Penanam Nilai-nilai Lokalkepahlawanan

Permasalahan kedua adalah tentang metode pembelajaran sejarah. Pada umumnya, guru menggunakan teacher centered approach dan metode ceramah atau chalk and talk karena dipandang paling eisien, baik ditinjau dari aspek persiapan maupun pelaksanaan. Guru tidak perlu menyiapkan banyak hal untuk menerapkan metode ceramah, yaitu hanya menghapalkan bahan ajar yang terdapat di buku teks dan akan dibahas di kelas. Bagi yang telah bertahun mengajar, secara kognitif guru telah menguasainya dengan mendalam, sehingga hampir tidak perlu menyiapkan diri. Pada saat pelaksanaan, metode ceramah juga sangat eisien, karena guru menjadi satu-satunya pemeran utama. Guru dengan kokoh mengendalikan situasi kelas, sehingga dapat menentukan kapan akan berbicara, kapan mengadakan tanya-jawab dan kapan pelajaran akan diakhiri. Sebaliknya, kegiatan siswa terbatas pada duduk, diam dan mencatat. Dengan demikian, guru dengan mudah melakukan pengelolaan kelas dalam rangka menjaga suasana tenang selama proses pembelajaran. Seperti telah disinggung di depan, bahwa eisiensi yang sangat tinggi pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru tidak dapat diikuti dengan efektiitas yang sama tinggi. Rendahnya efektiitas, selain disebabkan oleh metode pembelajaran juga dikarenakan guru kurang menguasai keterampilan presentasi, penggunaan alat bantu mengajar dan media pembelajaran. Akibatnya kegiatan siswa yang notabene masih remaja menjadi sangat terbatas, yaitu hanya untuk duduk, diam dan mencatat, sehingga mereka cepat bosan. Pada tingkat selanjutnya, hilangnya fokus perhatian siswa akan menjadikan daya serap terhadap materi pembelajaran merosot. Dari sudut pandang ini, merupakan fenomena yang wajar apabila prestasi akademik siswa pada mata pelajaran sejarah relatif rendah. Apalagi tidak ada stimulus yang cukup kuat untuk membangkitkan motivasi siswa dalam belajar sejarah.

C. Menemukan masalah untuk memulai hal yang baru

3.1 Materi Dari dua permasalahan yang telah dibahas, terlihat bahwa sungguh sangat sulit bagi mata pelajaran sejarah untuk melaksanakan tanggungjawabnya sebagai penggali kebenaran dan penanam nilai-nilai lokal. Dari sudut pandang materi, penempatan masyarakat Indonesia sebagai objek dari kekuatan asing lebih merupakan wacana penulis buku teks pelajaran sejarah dari pada realitas objektif. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa mereka mengkodratkan masyarakat Indonesia sebagai objek? Meminjam pandangan White, pengkodratan itu dapat dikategorikan sebagai usaha menggunakan sejarah menjadi senjata ideologis untuk melipatgandakan penindasan terhadap kelompok yang sudah dikalahkan dengan jalan merampas masa lalu mereka dan akibat lainnya adalah hilangnya identitas mereka Henk Schulte Nordholt.,2004. Kondisi materi sejarah seperti itu menerbangkan ingatan kepada Presiden Soekarno yang pada masa akhir pemerintahannya sering meneriakkan neo kolonialisme dan imperialisme nekolim. Penjajahan model baru yang tidak hanya menggunakan perangkat moneter dan keuangan internasional, tetapi juga dengan menginfuskan kebenaran-kebenaran kaum penjajah di dalam pikiran masyarakat terjajah. Permasalahan lain yang tidak kalah pelik adalah adanya kekuatan kelompok kepentingan di tingkat nasional yang menggunakan materi pelajaran sejarah sebagai alat untuk mendominasi. Kelompok kepentingan itu adalah militer, terutama Angkatan Darat. Salah satu tonggak utama penggunaan sejarah untuk kepentingan mereka adalah Seminar Angkatan Darat 1972 yang hasilnya antara lain menginstruksikan kepada militer untuk mengedarkan sejarah versi militer kepada masyarakat Indonesia pada umumnya. Penyebaran dilakukan melalui memoar, ilm, museum, monumen, dan buku teks pelajaran sejarah. Sasaran penyebaran terutama adalah generasi muda, agar mereka menghargai apa yang telah dilakukan oleh Generasi 1945 Katharine E. McGregor: 2008., hlm 249. Adanya unsur neo kolonialisme dan militerisme dalam materi sejarah Indonesia yang terdapat pada buku teks menjadikannya tidak mungkin untuk digunakan dalam pembelajaran sejarah yang bertujuan menanamkan dan nilai- nilai nasionalisme. Dari sudut pandang ini, guru sejarah harus menjadi tokoh yang mampu memilah dan memilih materi. Meminjam pandangan Habermas, guru harus mampu melakukan pengujian kebenaran materi pembelajaran sejarah melalui diskusi kritis, sehingga materi pelajaran sejarah dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral. 3.2 Pembelajaran Secara teknis, pendekatan dan metode pembelajaran sejarah telah banyak dikaji dan ditulis. Apabila selama ini pelajaran sejarah masih membosankan bagi siswa, tentu akar permasalahannya terletak pada jiwa dari sang guru. Dalam konteks pembelajaran untuk menanamkan dan mengembangkan nilai- nilai kebangsaan, pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah apakah sang guru berjiwa nasionalis? Apabila guru tidak menghidupi nilai-nilai kebangsaan dalam kesehariannya, mustahil untuk dapat menanamkan nilai-nilai itu pada diri para siswanya. Apabila sang guru egois atau sektarianis, maka para siswanya akan tumbuh menjadi manusia egois atau sektarianis pula. Dengan menggunakan analogi warna, Bung Karno pada pidatonya untuk Tamansiswa mengatakan “Guru yang sifat hakikatnya hijau akan ‘beranak’ hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan ‘beranak’ hitam, guru merah akan ‘beranak’ merah”, Soekarno: 1964. Poin penting ke dua adalah bahwa tujuan utama pembelajaran sejarah tidak diletakkan pada penguasaan kompetensi akademik, tetapi pada kompetensi afektif, yaitu menghayati dan menerapkan nilai-nilai kelokalan kepahlawanan. Peran guru adalah sebagai konektor bagi generasi muda masa kini agar terhubung dengan para pelaku sejarah. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah harus mampu menghubungkan peserta didik dengan pelaku sejarah, sehingga antar keduanya terjadi dialog relektif. Hasil dialog itu adalah bahwa peserta didik mampu menangkap pesan-pesan tentang tata nilai yang dihidupi dan perjuangan yang dilakukan oleh para pelaku sejarah untuk mewujudkannya, sehingga generasi muda sekarang menjadi memahami siapa diri mereka dan kemana hidup harus diarahkan. Meminjam pandangan Michelet, pelajaran harus sejarah mampu berperan menjadi media linguistik bagi generasi masa lampau untuk menyuarakan berbagai hal yang sesungguhnya mereka maksudkan dan inginkan Benedict Anderson: 1991., hlm.198. Daftar Pustaka Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi. Sejarah Indonesia. Untuk SMAMA Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Anderson, Benedict. Imagined Communities: Relection on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso. 1991. Hasan, S. Hamid. “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah Historia edisi I No. 1. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, 1999. Lestariningsih, Amurwani Dwi, Restu Gunawan, Sardiman AM, Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, dan Agus Mulyana, Sejarah Indonesia Untuk SMA MASMKMAK Kelas X Semester 1. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2008. Nordholt, Henk Schulte. De-colonising Indonesian Historiography. Paper delivered at the Centre for East and South-East Asian Studies public lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at Lund University, Sweden. Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih. Sejarah Indonesia. Untuk SMA MASMKMAK Kelas XI Semester 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih. Sejarah Indonesia. Untuk SMA MASMKMAK Kelas XI Semester 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014. Smith, Linda Tuhiwai. Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples. London: Zed Books Ltd, 2008.