biasanya juga penuh dengan simbol-simbol yang mengandung kearifan. Sebagai contoh misalnya, bagunan Kraton Yogyakarta.
Sebagaimana diungkapkan oleh Daliman 2001:17 bahwa setiap bagian dari bangunan Kraton Yogyakarta adalah merupakan simbolisasi. Bentuk
bangunan Kutuk Ngambang misalnya, seperti tampak pada bangunan Gedhong Prabayaksa yang berbentuk Limasan Sinom Lambang Gantung
Rangka Kutuk Ngambang, yang mengandung makna simbolik supaya tidak mengambang dan tidak ragu-ragu dalam mengabdi kepada raja.
Begitu juga dengan bangunan-bangunan lainnya seperti pintu gerbang yang berbentuk dua ekor naga yang ekornya saling melilit, semuanya
mempunyai makna.
Bangunan Kraton Yogyakarta hanyalah salah satu contoh. Bangunan yang lain seperti rumah Gadang pada masyarakat Minangkabau, rumah
Limas pada masyarakat Sumatera Selatan, rumah Panggung, Joglo, dan lain sebagainya tentu juga syarat akan makna seperti yang dijelaskan di
atas.
2. Tahapan Pengembangan Folklor Sebagai Materi Pengayaan Sejarah Secara umum ada dua tahap penting yang dilakukan dalam
pengembangan folklor sebagai materi pengayaan sejarah. Pertama, tahap identiikasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut: a analisis kebutuhan. Pada tahap ini, langkah pertama yang harus dilakukan ialah analisis dikurikulum, SK-KD atau KI-KD, indikator, materi
pokok, pengalaman belajar, dll. Karena setiap pembelajaran merupakan bagian dari system pendidikan, yang dalam hal ini adalah kurikulum, maka
yang harus dilakukan pertama-tama ialah memperhatikan kompetensi yang ingin dicapai. Jangan sampai kemudian materi yang diajarkan
menyimpang dari kompetensi tersebut, b identiikasi folklor yang terdapat di lingkungan peserta didik.
Setelah identiikasi kompetensi selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya ialah identiikasi folklor. Karena setiap daerah memiliki banyak
folklor, maka penting untuk melakukan identiikasi terlebih dahulu. Berbagai folklor yang ada kemudian diseleksi atau pemilahan, mana
folklor yang paling relevan untuk dijadikan materi pembelajaran. Dalam proses seleksi ini, salah satu faktor yang harus juga dipertimbangkan ialah
muatan nilai-nilai yang terkandung di dalam folklor. Folklor yang memiliki kandungan nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai tentu
lebih diutamakan.
Tahapan selanjutnya ialah desain dan pengembangan. Tahap ini sifatnya sangat lentur, tergantung pada pengembang yang bersangkutan,
apakah akan dikembangkan dalam bentuk modul, handout, bahan ajar, atau
bentuk lainnya. Namun, selain dua langkah umum di atas, pada dasarnya pengembangan juga dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa model
yang telah dikembangkan oleh para pakar, apakah Model ADDIE, atau model-model yang lainnya.
D. Kesimpulan
Dalam rangka mengembangkan materi pembelajaran sejarah yang bermakna, folklor merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan.
Berbagai jenis folklor yang ada, baik lisan, sebagian lisan ataupun bukan lisan, semuanya sangat mungkin untuk dijadikan sebagai bahan pengayaan materi
pembelajaran sejarah, atau bahkan juga untuk kepentingan studi sejarah. Tiga contoh folklor yang penulis kemukakan di atas hanyalah sebagai contoh dan
bukan berarti ketiga jenis folklor tersebut lebih baik dibangingkan dengan jenis lainnya. Folklor-folklor lain seperti tradisi, nyanyian rakyat, pakaian seperti
batik, songket, tenun, dll juga banyak mengandung kearifan. Semuanya adalah ladang subur yang dapat dimanfaatkan, khsusnya untuk pembelajaran sejarah.
Selain itu, pengangkatan folklor sebagai tema dalam artikel ini juga bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa folklor sebagai satu-satunya bahan yang
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan materi pembelajaran sejarah yang bermakna. Tentu ada banyak bahan lain yang juga dapat dimanfaatkan, seperti
misalnya biograi tokoh sejarah, peristiwa-peristiwa sejarah, dokumen sejarah, naskah-nskah lama, dll.
Sember Rujukan
A. Daliman. “Makna Simbolis Nilai-Nilai Kultural Educatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan Etimologis”dalam Jurnal
Humaniora. Vol VIII No. 1 Tahun 2001. hlm. 10-21.
Een Syaputra Muhammad Rozi. 2016. he Dwindled Existence of Pituah in Pasemah Ethnic Bengkulu: an Analysis from the Perspective of Systemic
Functional Linguistics. Proceding International Conference of IIFAS. hlm 87-93.
Hermanu Joebagio. 2015. Eksplorasi Networking Collective Memories dengan Model Pembelajaran Sejarah. Kata Pengantar dalam Brian Garvey Mary Krug.
Model-Model Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah. Diterjemahkan oleh Dian Faradillah.Yogyakarta: Ombak.
James Danandjaja. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Graiti.
I Gde Widja. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Mengajar Sejarah. Jakarta: Depdikbud
_____, 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Jakarta: Lapera Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Nining Nur Alaini. 2013. Cerita Rakyat “Putri Mandalika” Sebagai Sarana
Pewarisan Budaya dan Lokal Genius Suku Sasak. dalam Suwardi Endaswara, dkk Ed. Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta:
Ombak
Nyoman Kuta Ratna. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Robert Sibrani. 2013. Folklor Sebagai Media Dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum Dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai
Budaya Batak Toba. dalam Suwardi Endaswara. Folklor Nusantara. Yogyakarta: Ombak.
Said Hamid Hasan. “Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter”. dalam Jurnal Paramita Vol. 22. No.1-Januari 2012. hlm. 81-95.
Sartono Kartodirdjo. 2014. Pendekatan Ilm Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
_______, 1999. “Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah”. dalam Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Jakarta: MSI Arsip Nasional Republik
Indonesia. hlm 23-34.
Proil Singkat:
Een Syaputra lahir di Kedurang Bengkulu Selatan pada tanggal 14 September 1992. Menyelesaikan S-1 di Universitas Negeri Padang pada bidang
Pendidikan Sejarah pada tahun 2014. Saat ini, penulis sedang menempuh studi pada Program Studi Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret.
Penulis adalah AWARDEE LPDP.
Kesenian Wayang Gantung Tionghoa di Singkawang dalam Pembelajaran Sejarah
Eka Jaya PU Dikki Afriyanda
IKIP Potianak jaya_240183yahoo.co.id
Abstrak
Kajian ini membahas mengenai pembelajaran sejarah di sekolah dan mengenalkan kesenian wayang gantung Tionghoa di Singkawang sebagai
suplemen untuk menumbuhkan sebuah nilai-nilai lokal. Pembahasan ini merupakan hasil penelitian di SMA Negeri 3 Singkawang.
Penelitian menggunakan metode deskriptif analitis dan bentuk studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
proses pembelajaran sejarah dilakukan guru dengan ceramah bervariasi dan menggunakan media visual sebagai bentuk agar materi yang diajarkan
lebih mudah dipahami. Dalam memperkenalkan kesenian wayang gantung Tionghoa, guru menjadikannya sebagai suplemen sejarah lokal yang sangat
produktif dalam membangun nilai-nilai budaya dan karakteristik daerah. Dengan demikian peserta didik akan lebih mudah memahami dan senang
untuk belajar sejarah. Kesenian wayang gantung Tionghoa meliputi memberikan pemahaman mengenai wujud, cerita, perkembangan, dan
manfaat mempelajarinya. Pembelajaran sejarah yang berlangsung, peserta didik terlibat aktif dalam untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
Suplemen yang dikembangkan oleh guru sejarah maka tidak ada lagi dan alas an bahwa pelajaran sejarah membosankan dan justru sangat beguna
untuk membangun jati diri peserta didik.
Kata Kunci : Kesenian Wayang Gantung Tionghoa, Pembelajaran Sejarah. A. Pendahuluan
Sejarah pada dasarnya memang bukan hanya sekedar kumpulan peristiwa pada masa lampau, tetapi sejarah juga merupakan instrumen yang membuka
dialog antara keadaan yang tengah berlangsung dengan masa lampau yang membentuknya, yang kemudian hasilnya akan berguna dalam pengambilan
kesimpulan untuk nasib-nasib kita di masa-masa yang akan datang Neni Puji Nur Rahmawati dan Wilis Maryanto, 2004: 1.
Kehidupan manusia yang sekarang ini merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang sebelumnya. Rangkaian
masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang merupakan suatu hal