C. Folklor untuk Materi Pengayaan Sejarah
1. Contoh-Contoh Folklor untuk Materi Pengayaan Sejarah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa folklor terbagi
menjadi beberapa kelompok. Pada dasarnya, masing-masing jenis folklor tersebut bisa dijadikan sebagai materi pengayaan sejarah. Hanya saja,
tentu ada folklor-folklor tertentu yang memiliki relevansi yang lebih dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya, tergantung dengan ketersediaan
folklor yang ada disetiap daerah. Sebagai contoh berikut akan dikemukakan beberapa jenis folklor tersebut:
a. Legenda Legenda sangat banyak julmlahnya di Indonesia. Setiap daerah hampir
bisa dipastikan mempunyai legenda. Legenda, meskipun tidak termasuk dalam kategori kajian sejarah ilmiah, namun untuk kepentingan
penanaman nilai-nilai legenda dapat dimanfaatkan sebab pada setiap legenda biasanya selalu mengandung kearifan dan pesan-pesan moral.
Sebagai contoh misalnya, ada legenda “Putri Mandalika” pada masyarakat suku Sasak. Sebagaimana dituliskan oleh Alaini 2013:111, legenda ini
mengkisahkan seorang putri yang arif dan bijaksana bernama Putri Mandalika. Disebutkan bahwa Putri Mandalika sangatlah elok wajah
dan perangainya. Dengan segala kelebihannya itu, kemudian banyak pangeran yang bermaksud untuk memperistrinya. Setiap pangeran yang
melamarnya tidak ada yang ditolaknya. Namun, para pengeran tersebut tidak menerima jika sang putrid diperistri oleh banyak pangeran. Hal ini
kemudian menyebabkan terjadinya pertikaian diantara para pangeran. Hal tersebut membuat sang putrid gelisah. Sang putri berpikir bagiamana
caranya supaya pertumpahan darah tidak terjadi. Untuk menghindari pertumpahan darah tersebut, Putri Mandalika akhirnya menceburkan
diri ke laut dan menjelma menjadi cacing Nyale yang bermanfaatn bagi banyak orang.
Jika direnungkan, legenda tersebut tentu tidak masuk akal. Namun, dibalik semua itu, terdapat pesan moral yang sangat dalam yang ingin
disampaikan. Sebagaimana diungkapkan Alaini, bahwa tindakan Putri Mandalika untuk tidak membiarkan pilihan kepada satu atau dua
orang untuk menikahinya merupakan gambaran sikap untuk selalu mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi
dan golongan. Dalam legenda ini terkandung nilai-nilai kearifan berupa tanggung jawab serta pentingnya menjaga hubungan antar sesame,
Alaini. 2013:111.
b. Ungkapan Tradisional Sama halnya dengan legenda, ungkapan tradisional juga sangat banyak
jmlahnya. Setiap daerah juga mempunyai ungkapan tradisional masing- masing, apakah dalam bentuk pribahasa, pituah, atau yang lainnya.
Sebagai bagian dari folklor, ungkapan tradisional juga kaya akan muatan nilai. Karena itu, ungkapan tradisional juga potensial untuk materi
pengayaan sejarah.
Sebagai contoh, pada masyarakat suku Pasemah di Bengkulu terdapat sejumlah ungkapan tradisional yang dikenal dengan nama Selimbur
Caye. Dalam Selimbur Caye, terdapat sejumlah ungkapan tradisional yang bersifat metapor. Ungkapan tersebut dapat berupa anjuran,
pengibaratan, atau juga larangan. Adapun beberapa contohnya adalah sebagai berikut ini:
“Jangan Nube Ulu Mandian, Jangan Nutuh Dahan Peninggighan, Jangan Maraska Batu Keluagh, Jangan Menghebe Pelaluan, Jangan Maraska Batu
ke Luagh, Jangan Nyeghuti Jalan Kayik, Jangan Nyeguti Ayam Makan Jemugh, Janji Nunggu Kate Betaruh, Seganti Setungguan, Sanak Bujang
Sanak Gadis, dll” Een Rozi. 2016:89
Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Antara apa yang terucap atau teks dengan pesan yang dimaksud
tidaklah sama. Sebagai contoh, ungkapan Jangan Nube Ulu Mandian Jangan Menuba di Hulu Pemandian, maknanya bukanlah larangan
untuk tidak menebar tuba di hulu tempat orang mandi. Kata-kata pada ungkapan tersebut adalah sebuah simbolisasi. Kata Tube, seperti
halnya racun adalah symbol dari sesuatu pekerjaankegiatan yang merusak, mengganggu, dan merugikan. Kata Ulu adalah simbol dari
sumber atau mata pencaharian. Sedangkan Mandian adalah symbol dari orang banyak atau masyarakat. Jadi, makna yang terkandung
dalam ungkapan tersebut ialah sebuah larangan keras terhadap setiap anggota masyarakat supaya tidak melakukan sesuatu pekerjaan atau
kegiatan yang akan merusak, mengganggu, atau merugikan orang lain. Jika dihubungkan dengan konteks kehidupan masyarakat dewasa ini,
hal tersebut tentu sangat relevan.
c. Arsitektur Rakyat Tidak jauh berbeda dengan dua bentuk folklor sebelumnya, arsitektur
rakyat juga meruapakan folklor yang kaya akan muatan nilai atau pesan-pesan moral. Berdasarkan pengelompokkan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka arsitektur rakyat tergolong pada folklor bukan lisan. Di Indonesia, arsitektur rakyat ini sangatlah banyak pula
jumlahnya. Setiap arsitektur, seperti rumah adat atau yang lainnya
biasanya juga penuh dengan simbol-simbol yang mengandung kearifan. Sebagai contoh misalnya, bagunan Kraton Yogyakarta.
Sebagaimana diungkapkan oleh Daliman 2001:17 bahwa setiap bagian dari bangunan Kraton Yogyakarta adalah merupakan simbolisasi. Bentuk
bangunan Kutuk Ngambang misalnya, seperti tampak pada bangunan Gedhong Prabayaksa yang berbentuk Limasan Sinom Lambang Gantung
Rangka Kutuk Ngambang, yang mengandung makna simbolik supaya tidak mengambang dan tidak ragu-ragu dalam mengabdi kepada raja.
Begitu juga dengan bangunan-bangunan lainnya seperti pintu gerbang yang berbentuk dua ekor naga yang ekornya saling melilit, semuanya
mempunyai makna.
Bangunan Kraton Yogyakarta hanyalah salah satu contoh. Bangunan yang lain seperti rumah Gadang pada masyarakat Minangkabau, rumah
Limas pada masyarakat Sumatera Selatan, rumah Panggung, Joglo, dan lain sebagainya tentu juga syarat akan makna seperti yang dijelaskan di
atas.
2. Tahapan Pengembangan Folklor Sebagai Materi Pengayaan Sejarah Secara umum ada dua tahap penting yang dilakukan dalam
pengembangan folklor sebagai materi pengayaan sejarah. Pertama, tahap identiikasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut: a analisis kebutuhan. Pada tahap ini, langkah pertama yang harus dilakukan ialah analisis dikurikulum, SK-KD atau KI-KD, indikator, materi
pokok, pengalaman belajar, dll. Karena setiap pembelajaran merupakan bagian dari system pendidikan, yang dalam hal ini adalah kurikulum, maka
yang harus dilakukan pertama-tama ialah memperhatikan kompetensi yang ingin dicapai. Jangan sampai kemudian materi yang diajarkan
menyimpang dari kompetensi tersebut, b identiikasi folklor yang terdapat di lingkungan peserta didik.
Setelah identiikasi kompetensi selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya ialah identiikasi folklor. Karena setiap daerah memiliki banyak
folklor, maka penting untuk melakukan identiikasi terlebih dahulu. Berbagai folklor yang ada kemudian diseleksi atau pemilahan, mana
folklor yang paling relevan untuk dijadikan materi pembelajaran. Dalam proses seleksi ini, salah satu faktor yang harus juga dipertimbangkan ialah
muatan nilai-nilai yang terkandung di dalam folklor. Folklor yang memiliki kandungan nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai tentu
lebih diutamakan.
Tahapan selanjutnya ialah desain dan pengembangan. Tahap ini sifatnya sangat lentur, tergantung pada pengembang yang bersangkutan,
apakah akan dikembangkan dalam bentuk modul, handout, bahan ajar, atau