Pembahasan Prosiding Seminar Nasional program studi pendidikan sejarah se-Indonesia.

Teks dalam bilah ke-7 “Wangi. Lan karinget nira lunglungan kasturi. Lan abecik sewara nira angucab nura-ti-ti-bing tanduk angandika manis. Lan pangnguluning weng sagala islam. Lan amimati agamaislam. Lan anutuh aken weng kasasar ing dadalam kang abener, Lan asih ing tamuwan ajaken ing kardi islam agama sariyat. Lan angaduhaken saking kapir” Teks Tujuh dalam bilah ke 7 “harum. Dan keringat beliau lunglungan kasturi. Dan suara beliau mengucap kata-kata dengan manis. Dan pemimpin umat Islam. Dan menunjukkan orang-orang menuju jalan yang benar. Dan mengasihi mereka yang menjadikan Islam sebagai agama syariat, dan menjauhkan dari kair” Bilah ini menceritakan bagaimana Kesultanan menggunakan naskah ini sebagai media Islamisasi, namun juga menjadikan naskah ini sarana untuk melakukan hegemoni terhadap wilayah huluan. Kalimat menujukkan orang- orang menuju jalan benar, dan mengasihi antar sesama. Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang membawa pada kebaikan. Di sisi lain, ada wacana kategorisasi diri antara Islam yang merupakan representasi Kesultanan Palembang dan kair sebagai bagian dari mereka. Islam sebagai integrative revolution antara iliran dan uluan. Naskah Gelumpai telah memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur masyarakat huluan, perubahan tersebut dapat dilihat dari Kehadiran teks Gelumpai yang membawa nilai-nilai Islam dan hegemoni kepada masyarakat huluan Palembang telah membawa perubahan struktural. Perubahan pertama, tampak pada keberhasilan Islamisasi di wilayah huluan Palembang, Perubahan kedua, adanya hegemoni terhadap huluan yang dibuktikan dengan adanya ritual “milir sebah” dilaksanakan setiap satu tahun sekali, biasanya pada menjelang lebaran. Masyarakat huluan biasanya membawa cinderamata atau “gegawaan” yang diserahkan untuk dipersembahkan kepada penguasa di pusat tadi. Sebagai imbalannya, pusat nanti akan memberi perlindungan ke pada daerah-daerah uluan yang mengadakan milir sebah. Jejaring Palembang-Jawa-Islam Melayu dalam Gelumpai Naskah Gelumpai merupakan produksi kuasa Kesultanan Palembang, naskah ini ditulis dengan huruf ka-ga-nga merupakan transfromasi dari huruf Pallawa yang berkembang masa kerajaan Sriwijaya dan menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil. Jejaring relasi Jawa-Palembang terjadi pada saat periode perkembangan Islam di Nusantara. Berdirinya kesultanan Palembang pada abad ke-17 memberikan dinamika tersendiri, khususnya pengaruh Kesultanan Demak dalam struktur birokrasi di Kesultanan Palembang. Pengaruh Kesultanan Demak di Palembang dilihat dari pimpinannya yaitu kyai ing Suro yang merupakan putra priyayi dari Kerajaan Demak bernama Pangeran Sedo ing Lautan. Selain itu relasi Demak dan Palembang dapat juga terlihat dari bantuan penyerangan yang dilakukan Demak melawan Portugis di Malaka. Sehingga dapat dilihat bahwa Palembang dan Jawa memiliki jalinan yang kuat, khususnya setelah berdirinya Kesultanan Palembang yang lebih bercorak Jawa, serta penggunaan bahasa Jawa Kromo Inggil oleh aristokrat dan raja di lingkungan istanaPoesponegoro, Marwati Djoened , 2011: 45. Selain itu Gelumpai juga memiliki Jejaring Palembang-Islam Melayu yang berawal dari migrasi Arab terutama Hadhramwt yang datang dan menetap ke Palembang dalam jumlah besar sejak abad ke-17 Sedyawati dan Sugono, 2004: 96. Orang-orang Arab memainkan peranan penting dalam pertumbuhan tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam di Palembang. Ulama-ulama ini memusatkan perhatian di istana sebagai pusat produksi pengetahuan. Mereka menghasilkan teks-teks tafsir hadits, tasawuf, ikih, dan tauhid Azra, Azumardi, 2013: 317. Berdasarkan di atas dapat disimpukan bahwa Gelumpai memiliki jejaring memori kolektif antara masyarakat palembang dengan masyarakat Jawa, Melayu Islam serta masyarakat nusantara yang lain.

D. Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas bahwa proses islamisasi di Palembang beriringan dengan tumbuh kembangnya Kesultanan Palembang. Ulama memiliki peranan dalam pertumbuhan tradisi pengetahuan dan keilmuan di Palembang. Naskah Gelumpai yang diproduksi oleh Kesultanan Palembang sebagai media islamisasi di wilayah huluan Palembang. Gelumpai yang ditulis menggunakan aksara ka- ga-nga berbahasa Jawa kromo inggil memiliki kesamaan dengan naskah-naskah di Jawa. Melalui Gelumpai, dapat disimpulkan bahwa adanya jejaring antara masyarakat Palembang-Jawa-Islam Melayu. Naskah Gelumpai ini menjadi salah satu enrichment dan reinforcement nilai-nilai lokal dalam pembelajaran sejarah di Palembang. Daftar Pustaka Agus Aris Munandar, dkk.2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid II. Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Ahmad Rapanie Igama dkk. 2005. Gelumpai Tentang Nabi Muhammad Koleksi Museum Balaputradewa. Palembang : Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan. Azra, Azumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVI XVII. Jakarta : Kencana. Dedi Irwanto dkk. 2010. Iliran dan Uluan : Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. Yogjakarta : Eja Publisher. Fathurahman, Oman. 2011. Hidayat al-Habib sebagai Kitab Hadis Melayu Pertama Karya al-Raniri : Sebuah Telaah Awal, hal : 17-18. Ismail, Arlan. 2002. Periodisasi Sejarah Sriwijaya. Palembang: Unanti Press Mastuti, Yeni. 2014. Proil Nabi Muhammad SAW dalam Gelumpai dan Barzanji. Palembang : Balai Bahasa Provinsi Sumatra Selatan. Syamsuddin, Helius. 2007. Metodelogi Sejarah. Yogjakarta: Ombak. Poesponegro, Marwati Djoened. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II dan III. Jakarta: Balai Pustaka. Fraksi Nasional: Multikulturalisme untuk Indonesia Merdeka yang Terpinggirkan dalam Pembelajaran Sejarah Nazirwan Rohmadi Mahasiswa Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Abstrak Sejarah pergerakan nasional Indonesia terbagi ke dalam tiga buah fase yang jarang diketahui oleh masyarakat. Fase pertama terjadi pada tahun 1900-1920 merupakan periode pembentukan organisasi-organisasi politik kebangsaan. Fase kedua yang disebut sebagai fase radikal terjadi pada tahun 1920-1927. Fase terakhir terjadi pada tahun 1927-1942. Fase terakhir yang juga disebut sebagai fase melunak atau fase pergerakan kooperatif seringkali terpinggirkan dalam pembelajaran sejarah di sekolah maupun di perguruan tinggi. Fase ini merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang harus tersampaikan. Melalui fase ini, historiograi Indonesia dapat memiliki gambaran yang lebih menarik. Selama ini, historiograi Indonesia didominasi oleh catatan perjuangan kaum nonkooperatif sehingga historiograi Indonesia terkesan melupakan perjuangan kaum kooperatif. Salah satu wadah pergerakan kaum kooperatif yang juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di tengah kondisi politik yang adalah Fraksi Nasional yang merupakan bagian dari Volksraad. Fraksi Nasional memiliki 11 orang anggota yang mampu mewakili bangsa Indonesia. Anggota- anggota Fraksi Nasional dipersatukan dengan bahasa Indonesia dan kepentingan politik yang sama meskipun kesebelas orang tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, peserta didik diharapkan mampu mempelajari perbedaan antar fase sejarah pergerakan nasional Indonesia, sehingga diharapkan dapat mengetahui efektivitas dan efesiensi strategi politik tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Kata Kunci: Fraksi Nasional, Multikulturalisme, Pembelajaran Sejarah. A. Pendahuluan Pembelajaran sejarah kaum kooperatif yang disampaikan kepada siswa dan mahasiswa dapat dikatakan hanya memiliki sedikit kesempatan. Kaum pergerakan nasional yang memilih jalan kooperatif hanya disampaikan dalam dua buah halaman dalam buku sejarah wajib SMA, yaitu halaman 194-195. Hal tersebut juga terjadi di kalangan mahasiswa pendidikan sejarah. Merujuk kepada pernyataan Mohammad Hatta nonkooperatif bermaksud tidak mau