Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel Di Kabupaten Bandung untuk Meningkatkan Rasa
Nasionalisme
Fajar Desca Nugraha, S.Pd
Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, alamat email : fajardescayahoo.co.id
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan kepedulian siswa terhadap rasa nasionalisme melalui peninggalan sejarah yang
melimpah berkaitan dengan kebijakan preanger stelsel. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian literatur yang diaplikasikan ke dalam
action researce pada mata pelajaran sejarah Indonesia kelas XI materi Penjajahan dan Perlawanan Bangsa Barat di SMA Negeri 1 Soreang.
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1 Bagaimana Sejarah lokal dapat meningkatkan rasa nasionalisme?; 2 Bagaimana penerapan
model pembelajaran Kunjungan Sejarah Lokal pada Peninggalan Preanger Stelsel dapat meningkatkan rasa nasionalisme?; 3 Apa saja kendala dalam
menerapkan metode Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel pada mata pelajaran sejarah Indonesia untuk meningkatkan rasa
nasionalisme?; 4 Bagaimana solusi menerapkan metode Kunjungan Sejarah Lokal pada mata pelajaran sejarah Indonesia untuk meningkatkan
rasa nasionalisme secara efektif?
Kata Kunci: Kunjungan Sejarah, Sejarah Lokal, Preanger Stelsel
A. Pendahuluan
Sejarah lokal menurut Tauik Abdullah dan I Gde Widja dalam Mulyana dan Gunawan 2007 hlm 2 adalah sebagai berikut : Abdullah 1990 mendeinisikan
sejarah sejarah lokal sebagai “sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah”. Adapun
Widja 1991 mengemukakan bahwa “sejarah lokal adalah studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar
neighborhood tertentu dalam dinamika perkembangan aspek kehidupan manusia”. Karena dalam mempelajari sejarah kehidupan masyarakat selain
aspek waktu, kita harus melihat pula pada aspek keruangan di mana kehidupan manusia itu dikaji Mulyana Gunawan, 2007 hlm 1. Sedangkan penjelasan
mengenai keruangan yang lebih komperehensif dikemukakan oleh Alian dalam Madjid 2007, hlm 126 sebagai berikut, “sejarah lokal adalah sejarah unit-
unit yang lebih kecil dari suatu daerah administrasi ketatanegaraan tingkat propinsi, yang terdiri dari sejarah kabupaten, kota dan desa”. Berdasarkan
berbagai macam penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah lokal adalah sejarah yang menjelaskan mengenai dinamika kehidupan manusia di
suatu tempat dalam lingkungan sekitar yang sempit yang dibatasi oleh waktu dan tempat berdasarkan interpretasi sejarawan dalam lingkup yang lebih kecil
dari propinsi seperti kabupaten, kota atau desa.
Adapun selain sejarah lokal ada yang dinamakan dengan Sejarah Regional yang dapat kita tafsirkan berdasarkan bagan yang dikemukakan oleh James
A. Bank dalam Sjamsuddin 2007a, hlm 305 sebagai “sejarah dalam lingkup yang lebih luas dari sejarah lokal” Adapun secara rinci hubungan Sejarah
Lokal, Sejarah Regional dan Sejarah Nasional dilihat dari ruang lingkupnya secara berurutan dicontohkan oleh Tauik Abdullah sebagai berikut “Secara
konvensi dalam penulisan ‘sejarah lokal’ itu berada di tingkat terbawah --- di bawah ‘sejarah nasional’ umpamanya Indonesia dan sejarah ‘regional’ Asia
Tenggara dan “dunia”.
Lalu bagaimana kaitan sejarah lokal-nasional dan regional? Penulis mentranslasikan pendapat Tauik Abdullah sebagai berikut, misalnya dalam
“Sejarah Lokal Jawa Barat” tepatnya pada masa penjajahan Kerajaan Belanda pada saat diterapkannya kebijkan “Preanger Stelsel” yang memiliki komoditas
tanaman lebih variatif dibadingkan dengan tempat lain. Hal tersebut dikarenakan kondisi tanah di Priangan adalah yang paling subur, dan peritiwa
ini merupakan bagian dari sejarah nasional dalam priode Cultuur Stelsel. Seperti yang dikemukakan Abdullah 2007 hlm 24 jika “sejarah lokal” diperlakukan
sebagai “sejarah nasional” maka yang akan kita dapatkan adalah sejarah nasional versi lokal”.
Lain halnya dengan Susanto Zuhdi 2007 yang justru menjelaskan pendapatnya dengan empati dalam sebuah artikel berjudul “Peristiwa Sejarah
Lokal dan Simpul perekat Bangsa” yang menganggap dalam penulisan sejarah nasional dan kebijakan otonomi daerah akan cenderung memunculkan sikap
kedaerahan dan etno-sentrisme yang akan memunculkan disintegrasi. hal tersebut tersebut perlu diantisipasi melalui perspektif sejarah yang dapat
mengikat kembali simpul-simpul keindonesiaan. Yang dimaksud dengan simpul-simpul kebangsaan adalah “nilai dan semangat yang dijunjung tinggi
dengan penuh konsekuensi sangat berat”Zuhdi, 2007 hlm 112. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ada beberapa contoh peritiwa yang disebut sebagai
“benang-benang merah yang memperkuat simpul perekat bangsa”, diantaranya : 1 pengasingan tokoh-tokoh besar seperti Cut Nyak Dien dari Aceh yang
diasingkan ke Sumedang, Imam Bonjol dari Sumatera Utara diasingkan Ke manado dan meninggal di Cianjur atau Soekarno yang diasingkan ke Banda
naira; 2 peran tokoh-tokoh kecil seperti peristiwa pemberontakan petani banten keduanya membuktikan adanya hubungan antar daerah yang diikat
dalam nilai-nilai perjuangan bangsa.
Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa mengajarkan peristiwa Sejarah Lokal haruslah memperhatikan aspek-aspek Nasional diantaranya
bertujuan untuk membangkitkan memori kolektif sebagai sebuah bangsa yang memandang bahwa suatu sejarah lokal merupakan sejarah nasional dalam versi
lokal yang memeperkuat simpul Nasionalisme dan memberikan referensi dan pelajaran dalam menghadapi permasalahan masa kini dan memprediksi masalah
yang mungkin akan dialami di masa depan. Abdullah, 2007; Zed, 2007; Zuhdi, 2007
B. Model Pembelajaran Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel yang dapat meningkatkan Nasionalisme
Garvey Krug 1977 dalam Sjamsuddin 2007b, hlm 100 berpendapat bahwa dalam belajar sejarah harus : 1 Memperhatikan pengetahuan dan fakta-
fakta sejarah; 2 Memperoleh pemahaman atau aspresiasi peristiwa-peristiwa atau periode-periode atau orang-orang di masa lalu; 3 Mendapatkan kemampuan
mengevaluasi atau mengkritik karya-karya sejarah; 4 Belajar teknik-teknik penelitian sejarah; 5 Belajar bagaimana menulis sejarah. Dari pendapat
tersebut penulis berasumsi model pembelajaran yang paling tepat diterapkan untuk mempelajari sejarah lokal adalah model Kunjungan Kesejarahan
atau yang lebih dikenal dengan istilah Living History. Model pembelajaran ini dapat dipahami sebagai suatu model pembelajaran yang dapat menumbuhkan
aktivitas kreatif dan suasana belajar yang banyak melibatkan siswa Darmawan, 2007 hlm 241. Pendapat ini sejalan dengan Pendekatan pembelajaran yang
digunakan dalam Kurikulum 2013 yang dinamakan pendekatan Saintiik. Adapun deinisi pendekatan saintiik menurut Permendikbud tahun 2014 no
103 tentang “Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah” Pasal 2 ayat 1,2,3,7,8,9 dan 10 adalah sebagai berikut :
Pendekatan pembelajaran ini diharapkan dapat digunakan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran interaktif dan inspiratif; menyenangkan, menantang,
dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; kontekstual dan kolaboratif; memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian peserta didik; dan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan isik serta psikologis peserta didik yang memungkinkan
terjadinya proses pembelajaran dan tercapainya kompetensi yang ditentukan.
Permendikbud tahun 2014 no 103 Kunjungan sejarah sendiri masuk ke dalam pembelajaran discovery learning
yang dilaksanakan dalam kurikulum 2013. Adapun tahapan pembelajarannya menurut Direktorat Pembinaan SMA 2014 adalah sebagai berikut : 1
Pemberian Rangsangan Stimulation; 2 Pernyataan Identiikasi Masalah Problem Statement; 3 Pengumpulan Data Data Collection; 4 Pengolahan