Peristiwa Revolusi Fisik di Yogyakarta yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Tokoh lokal:
Dalam hal ini Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sebagai tokoh lokal memiliki peran sangat penting dalam sejarah Indonesia, khususnya pada awal
kemedekaan. Tidak mungkin membicarakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia tanpa menyinggung peran kedua tokoh tersebut. Sejak tahun 1945
dan seterusnya tampak sekali bahwa perjuangan dan pengorbanan yang diberikan adalah untuk membantu kelangsungan hidup negara RI. HB IX dan
Paku Alam berasal dari etnik Jawa, akan tetapi berjuang untuk negara dan bangsa Indonesia. Sosok bangsawan yang sering dianggap feodal, akan tetapi
berjuang untuk rakyat dan sosok raja tetapi berjuang untuk republik. Wawasan kebangsaan pemimpin tradisional ini terlihat dari sikap tegasnya yang tetap
mendukung republik dengan sangat konsekuen. Yogyakarta menyediakan tempat ketika pemerintah RI harus meninggalkan Jakarta, karena terdesak
oleh kekuatan Belanda. Demikian pula HB IX dan Paku Alam VII secara pribadi memberikan bantuan keuangan ataupun tempat tinggal bagi mereka
yang membutuhkan. Apalagi setelah Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan para pejabat RI, kehidupan keluarga mereka di Yogyakarta
serba kasulitan. Sebagai salah satu contoh adalah yang diberikan kepada ibu Rahmi Muh. Hatta sebanyak 500 gulden, ketika suaminya sedang ditahan dan
AMANAT SRI PADUKA INGKANG SINUWUN KANDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menyatakan:
1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat yang bersifat Keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung
dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan
kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnja.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan
kami bertanggungdjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
HAMENGKU BUWONO IX
diasingkan ke Prapat dan Bangka Atmakusumah, 1982, hlm. 213. Sumbangan ini juga diberikan kepada ibu Fatmawati Soekarno, pegawai kepresidenan, serta
pegawai lainnya, di samping untuk membantu meringankan beban keluarga tersebut, juga mencegah Belanda menjalin hubungan kerjasama dengan mereka.
Peristiwa lainnya, keputusan untuk bergabung dengan RI merupakan kebesaran hati Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, dengan tidak mementingkan
diri sendiri, secara sukarela ‘menyerahkan’ wilayahnya kerajaan melalui Amanat 5 September 1945. Hal ini dapat dimaknai sebagai suatu proses
menuju kearah integrasi bangsa antara Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia yang baru saja merdekaberdiri. Adapun isi amanat tersebut adalah
sbb Poerwokoesoemo, 1984, hlm. 15:
Penduduk biasa:
Termasuk di sini adalah penduduk Yogyakarta maupun laskar-laskar pejuang yang berasal dari berbagai daerah bahu membahu melawan penjajah
dengan persenjataan yang terbatas. Laskar-laskar pejuang yang umumnya didominasi kaum muda menunjukkan sikap patriotisme, pantang menyerah
dan tidak takut terhadap Belanda yang memiliki persenjataan modern. Meskipun yang tergabung dalam laskar-laskar adalah pemuda, dengan latar
belakang suku, agama, budaya yang berbeda, akan tetapi menunjukkan sikap toleransi, kebersamaan, saling menghargai di antara mereka. Kewajiban dan
tanggung jawab terhadap bangsa dan negara telah menyatukan diri mereka untuk membela tanah air.
Tabel Pengorbanan Penduduk Yogyakarta dari 19 Desember 1948 - 30 Juni 1949
No Tempat
Kejadian Korban Manusia
Jumlah Kerugian RP
Meninggal Luka-Luka Hilang
1 Kota Yogya 519
119 90
728 72.443.552
2 Kab. Bantul 1.005
160 221
1.436 67.391.209
3 Kab. Sleman 923
399 224
1.546 181.868.414
4 Kab.Gn.Kidul 157
30 1
188 8.400.765
5 Kab. Adikarto 7
4 11
804.980 6
Kab.Kulon Progo
57 24
3 84
1.775.530 Jumlah
2.718 736
539 1.993
332.684.450
Sumber: Baskoro, H. dan Sunaryo, S. 2010. Catatan perjalanan keistimewaan Yogya, merunut sejarah, mencermati perubahan, menggagas masa depan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 39.
Termasuk juga sebagian rakyat yang berada di Yogyakarta tidak ragu- ragu memberi bantuan kepada tentara yang datang ke Yogyakarta dalam
rangka hijrah, maupun laskar pejung pada umumnya. Di bawah arahan kepala dukuh dan pamong kelurahan banyak desa-desa yang dijadikan markas gerilya.
Seperti Dukuh Bibis Kabupaten Bantul, terdapat sekitar 40 buah rumah yang ditempati tentara dan gerilyawan termasuk sebagai markas Komando Brigade
10 Suwarno, 1994, hlm. 249. Dukuh ini dianggap cocok untuk dijadikan markas gerilya, selain letaknya berada di tenah-tengah antara kota Yogyakarta
dan Bantul, juga daerahnya berbukit-bukit. Kecuali menyediakan rumah, mereka juga mengumpulkan bahan makanan untuk keperluan para pejuang
yang sedang bergerilya masuk kota mengadakan serangan ke pos-pos Belanda.
Beberapa contoh yang dilakukan oleh masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya, baik secara perorangan maupun atas nama dukuh dapat dicermati
di bawah ini Suwarno, 1994, hlm. 249-250:
1. Rumah keluarga Mandoyodipuro di Patehan Tengah No. 12, sejak hari kedua Belanda menduduki kota Yogyakarta dijadikan pos Palang Merah
Indonesia. Setelah itu kemudian digunakan oleh Komandan Keamanan Kota untuk markas gerilya.
2. Masyarakat Gamelan Kidul, Prawirodirdjan dan lainnya mendirikan dapur umum secara gotong royong.
3. Keraton sendiri juga membentuk dapur umum yang disebut Sekul Langgen, khusus menyediakan keperluan pada saat SU.
4. Dukuh Bibis di Kalurahan Bangunjiwo Bantul, berada di tengah-tengah antara kota Yogyakarta dan Bantul, daerahnya berbukit-bukit baik sekali
untuk makas gerilya, menyediakan rumah untuk asrama tentara dan pejuang lainnya dan membuka dapur umum.
5. Penduduk di Ngasem membantu para pejuang ketika diadakan pembersihan dan pengepungan di wilayahnya yang dicurigai menjadi
tempat persembunyian gerilya.
Peran dapur umum dalam menyediakan makanan bagi para pejuang yang melakukan penyerbuan ke kota dapat dimaknai sebagai dukungan tanpa
pamrih dan dilandasi keiklasan bagi perjuangan untuk RI. Dalam situasi seperti ini kehidupan masyarakat juga sulit, mereka harus bergotong royong
mengumpulkan uang dan bahan makanan. Setiap dapur umum tidak sama jumlahnya dalam memasak, namun rata-rata per hari dapat mencapai 20-40
kilogram. Selama tidak ada aksi melakukan penyerangan ke kota, para pejuang tinggal di desa yang menampungnya. Istirahat, keamanan dan makanan di
jamin, bila sewaktu-waktu ada patroli Belanda mereka disembunyikan penduduk dengan segala resikonya.
Masih banyak hal-hal kebajikan yang telah dilakukan mereka tokoh nasional, lokal dan penduduk biasa selama revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Bahkan
ketika rombongan Soekarno harus kembali ke Jakarta dengan posisinya sebagai Presiden RIS sempat menuliskan sepenggal guratan sebagai kata perpisahan di
lapangan terbang Maguwo pada tanggal 28 Desember 1949. Adapun ‘tulisan guratan seperti di bawah ini Sekretariat Negara RI, 1987, hlm. 253: