sesuai dengan kemampuan guru dan siswa untuk dapat melaksanakannya. Beranjak dari wacana di atas, semua keinginan tersebut akan sulit dapat
terlaksana apabila guru sejarah tidak memiliki pemahaman, wawasan, serta kemauan untuk lebih dekat dengan sejarah lokal mereka. Oleh sebab itu,
kemampuan guru sejarah dalam memahami sejarah lokal, atau bahkan yang lebih penting lagi adanya kemempuan para guru untuk meneliti dan menulis
sejarah lokal mereka dalam hal ini merupakan sesuatu yang urgen.
Akhirnya diperlukan kesepahaman bersama antara semua elemen yang ingin mengembangkan pemahaman sejarah yang lebih konperhensif, lebih
membumi baik sejara sosiologis dan psikologis, bahwa sejarah dinia dan sejarah nasional dapat dipahami dengan baik oleh siswa apabila guru sejarah mampu
untuk mengaitkannya dengan sejarah lokal.
D. Penutup
Mengapa pada umumnya siswa tidak begitu tetarik untuk mempelajari sejarah? Banyak alasan yang menjadi kemudi siswa merasakan hal yang demikian,
mulai dari metode, pendekatan dan model pembelajaran yang konvensional dan monoton, sampai pada ketidakmampuan guru untuk mengemas materi sejarah
menjadi menarik dan dekat dengan lingkungan siswa.
Kaitannya dengan permasalahan tersebut, untuk memahami sejarah, siswa perlu diberikan benang merah yang mendasar dari sejarah daerah mereka
sendiri sebagai gambaran dari sejarah yang lebih luas yaitu sejarah nasional. Logikanya bahwa pemahaman mendasar perlu diberikan untuk memahami
sesuatu yang jauh dari jangkauan peserta didik.
Terlepas dari maksud pengintegrasian tersebut, lebih penting lagi berkaitan dengan substansi sejarah sebagai pendidikan karakter atau pendidikan moral
akan dapat mempermudah pemahaman siswa apabila dikaitkan juga dengan karakter lokal yang terbentuk juga dari sejarah masyarakat dimana siswa
tersebut berada.
12
Pada akhirnya sekaligus akan dapat diidentikkan bahwa sejarah menjadi bagian dari pendidikan penalaran yang dapat membuat siswa
menjadi kiritis.
Daftar Pustaka
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Kesuma Murdi. 2015. Napas Budaya dari Timur Nusantara: Sejarah dan Sosial
Budaya Masyarakat di Sulawesi dan Lombok-NTB. Mataram: Arga Puji Press.
12 Kaitannya dengan sejarah sebagai pendidikan moral dan sejarah sebagai pendidikan penalaran dapat dibaca dalam bukunya Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah Yogyakarta; Bentang, 2005,
Hlm. 26-27
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Lalu Murdi. 2015. Sejarah Lokal dan Pendidikan Karakter. Dalam Jurnal Magistra
STKIP Hamzanwadi Selong. Edisi 1 Volume 1 tahun 2015. Nasikun. 2011. Sistem Sosal Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Swasono Sri, E. 2014. Krisis Kepemimpinan Rezim Merampok Negara. Yogyakarta: UTS-Press
Widja, I, G. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Angkasa.
Kurikulum dan Religious Skill
Saefur Rochmat, MIR., Ph.D.
Jurusan Pendidikan Sejarah FIS, UNY Saefur_Rochmatuny.ac.id
Abstrak:
Kurikulum 2013 mencatumkan berbagai ketrampilan yang harus dimiliki oleh guru, yang salah satunya adalah religious skill, namun dalam Revisi
Kurikulum 2013 dihapuskan. Saya tidak sependapat dengan penghapusan religious skill karena hal ini hendaknya menjadi suatu metodologi bagi
pelaksanaan Pancasila, yang menjadi landasan ideologis bidang pendidikan. Dalam artikel ini saya ingin membahas keterkaitan kurikulum dengan
religious skill, yang dikaitkan dengan adanya krisis identitas dalam dunia pendidikan.
Pendidikan identitas yang sentralistik dan menekankan nasionalisme saja masih terasa sangat abstrak bagi siswa dari SD sampai SMA. Terlebih
nasionalisme yang diadopsi dari peradaban Barat sekuler tidak pernah dimaksudkan sebagai sumber nilai. Oleh karena itu, nasionalisme perlu
dikawinkan dengan pendidikan agama agar dapat mengemban misi pendidikan identitas, mengingat agama memang sebagai sumber nilai.
Atau, nasionalisme diperkenalkan melalui budaya lokal, yang juga berperan sebagai sumber nilai.
Otonomi daerah dan juga KTSP memberikan peluang kepada daerah dan sekolah untuk menyusun kurikulum dan materi pendidikan yang didasarkan
pada budaya lokal yang religious, lalu ditransformasikan agar mencakup juga nasionalisme. Pendidikan agama juga diberikan dalam kaitannya
dengan permasalahan aktual di daerahnya, sehingga pendekatan normatif perlu digabungkan dengan pendekatan empiris agar bisa melatih daya
pikir, daya imaginasi, dan kreasi siswa.
Kata kunci: kurikulum, religious skill, Pancasila, identitas, budaya nasional
A. Pendahuluan
Kita baru menyaksikan terjadinya revisi terhadap Kurikulum 2013 yang menghilangkan religious skill dalam mata pelajaran Sejarah di Sekolah
Menengah. Penghapusan religious skill dalam proses belajar mengajar mata pelajaran sejarah wajar saja bila dalam prakteknya guru hanya mengajak peserta
didik berdoa ketika memulai dan mengakhiri pelajaran. Jelas bentuk penerapan religious skill yang seperti ini tidak memiliki implikasi yang fundamental