Pentingnya Multikulturalisme dan Nasionalisme

Di STOVIA inilah perlahan-lahan paham mengenai kesatuan mulai tumbuh. Para pemuda pelajar STOVIA bertemu dengan pemuda-pemuda dari berbagai wilayah lain di nusantara dan mulai menyadari berbagai kesamaan budaya dan mempertanyakan hal yang sama menngenai kekuasaan kolonial Peter Kasenda, 2013: 3. Pada awalnya memang baru paham kedaerahan yang muncul. Mereka masih memiliki kecenderungan untuk lebih menonjolkan sifat kedaerahan mereka masing-masing. Teteapi dalam perkembangannya seiring dengan intensitas interaksi anatar pemuda dari berbagai latar belakang, mulai timbul gairah-gairah baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Disinilah mulai muncul pertanyaan tentang jati diri mereka. Kemudian muncul kesadaran akan hak-hak mereka yang terampas. Muncul perasaan senasib antar sesama pemuda dari berbagai daerah di nusantara. Meskipun pada awalnya kecintaan terhadap daerahnya masing—masing lebih menonjol, tetapi perlahan-lahan mulai terbentuk nasionalisme diantara mereka. Ditambah lagi dengan terbukanya wawasan para pelajar ini mengenai dunia luar. penguasaan bahasa Belanda membuka wawasan siswa-siswa STOVIA ini tentang dunia luar. Mereka dapat mengakses berbagai informasi dari surat kabar, buku-buku dan sebagainya. Berbagai peristiwa dan paham- paham yang berkembang di berbagai belahan dunia dapat diakses oleh para pelajar ini. Hal ini kemudian perlahan-lahan mampu memberikan kesadaran bagi para pemuda STOVIA akan kesamaan nasib antar sesama pribumi yang berada dibawah kekuasaan kolonial. Paham-paham kedaerahan perlahan-lahan mulai digantikan dengan kesatuan. Dari uraian di atas dapat diambil nilai-nilai multikultiralisme dan nasionalisme. Proses terbentuknya rasa kesatuan dan persatuan di kalangan siswa-siswa STOVIA dapat dijadikan sebagai pembelajaran dapat ditekankan untuk meningkatkan nilai-nilai nasionalisme dan multkulturalisme pada peserta didik. Dengan terciptanya generasi-generasi muda yang mencintai tanah airnnya, maka akan tercipta pula kemajuan bagi bangsa Indonesia. maka dengan demikian diharapkan cita-cita untuk menciptakan Indonesia sebagai negara yang aman, damai dan sentosa akan dapat terwujud. Kerterbukaan terhadap hal-hal baru juga akan dapat mencegah terjadinya konlik karena dengan pemikiran yang lebih terbuka dan membuang kecurigaan akan membuat seseorang dapat memilah apakan pembaruan tersebut baik atau tidak. Seperti misalnya yang terjadi pada siswa-siswa STOVIA yang mau menerima perbedaan dan menerima pembaruan-pembaruan sehingga akhirnya muncul semangat untuk bersatu. Hal ini menunjukan bahwa toleransi dan pemikiran yang terbuka akan membuat kehidupan dalam masyarakat multikultur lebih harmonis. Karena dengan demikian kita dapat memilah mana yang terbaik sehingga dapat mengembangkan potensi yang ada dengan maksimal. Daftar Pustaka Ita Mutiara Dewi, “Nasionalisme Dan Kebangkitan Dalam Teropong”. Dalam Mozaik Vol. 3 No. 3, Juli 2008Said Hamid Hasan. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu dalam ide dan pembelajaran. Bandung: Rizky Press. M. Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Kultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia: zaman Kebangkitan Nasional dan masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka Peter Kasenda. 2013. Dokter Soetomo. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Siti Maziyah. 2003. “Perjalanan Menuju Terbitnya Matahari: Boigrai Goenawan Mangoenkoesoemo”. tesis, Yogyakarta: Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya. UGM. Tunomo Raharjo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunokasi antar Etnis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Walter S.Jones. 1993. Terj. Logika Hubungan Internasional 2: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan Dunia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . Perspektif Pendidikan Multikultural: Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Sikap Solidaritas Sosial pada Pendidikan Sejarah Yudi Pratama Universitas Sebelas Maret Program Pendidikan Pascasarjana Sejarah pratamayudi993gmail.com Abstrak Artikel ini membahas tentang kebutuhan akan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal pada pembelajaran sejarah dalam hal pembentukan karakter peserta didik pada konsep pendidikan multikulturalisme untuk meningkatkan sikap solidaritas sosial yang merupakan ciri dari masyarakat Indonesia. Masih rendahnya sikap solidaritas sosial di Indonesia tercermin dari tingginya konlik-konlik sosial yang mengatasnamakan perbedaan suku,ras dan agama. Salah satu solusi untuk mencegah konlik sosial ini terjadi lagi maka haruslah ditanamkan sejak dini sebuah pandangan tentang pentingnya sikap solidaritas sosial pada masyarakat dengan menggunakan media pendidikan. Melihat dari realita ini dibutuhkan sebuah perspektif baru untuk mencegah konlik sosial ini terjadi lagi dengan cara menanamkan nilai-nilai kearifan lokal pada materi pelajaran khususnya pada mata pelajaran sejarah dalam konsep pendidikan multikulturalisme. Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Kearifan Lokal, Solidaritas Sosial A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang majemuk atau plural society yang bearti terdiri dari banyak suku, ras dan agama yang hidup berdampingan didalamnya. Hal ini sudah menjadi identitas dari bangsa Indonesia, tetapi akhir-akhir ini isu tentang perbedaan ini seakan-akan menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan. Konlik-konlik sosial yang mengatasnamakan perbedaan masih sering terjadi. Hal ini dikarenakan masih rendahnya sikap solidaritas sosial pada masyarakat Indonesia. Padahal keanekaragaman bangsa Indonesia mempunyai potensi sebagai pendorong terbentuknya jati diri bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai potensi sosial budaya yang unik, potensi sosial budaya yang unik tersebut mempunyai nilai-nilai yang tinggi untuk dikembangkan sebagai unit kebudayaan yang bersifat nasional. Jati diri masyarakat Indonesia adalah manusia yang bisa menerima perbedaan, saling menghormati satu sama lain dan juga memiliki sikap religius yang tinggi terhadap agama dan kepercayaannya masing-masing, indikator-indikator ini adalah bagian-bagian dari sikap solidaritas sosial yang harus ditanamkan pada setiap masyarakat Indonesia. kekayaan budaya Indonesia juga berpotensi untuk meningkatkan perbendaharaan kearifan lokal, dalam hal ini unsur-unsur dari kearifan lokal ini banyak sekali mengandung hal-hal yang mengajarkan tentang kabaikan, sehingga dibutuhkan wadah khusus untuk merevitalisasikannya dalam usaha untuk menyadarkan bahwa bangsa yang majemuk adalah identitas bangsa Indonesia dan dari perbedaan tersebut kita bisa belajar untuk saling menghormati satu sama lain. Fenomena tentang konsep plural society di Indonesia menempatkan pendidikan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suasana kesetaraan dalam ruang lingkup solidaritas sosial, sehingga dibutuhkan sebuah paradigma baru untuk menghadapi hal tersebut yaitu salah satunya adalah pendidikan multikultural khususnya pada mata pelajaran sejarah. Hal ini dirasa penting untuk mengarahkan peserta didik untuk menyikapi realitas dalam masyarakat yang penuh dengan keberagaman dan untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya sikap solidaritas sosial dalam masyarakat.

B. Metode

Pada artikel ini menggunakan teknik penelitian kualitatif yang merupakan artikel konseptual dengan teknik studi pustaka, Pada penelitian ini penulis menggunakan pemikiran Solidaritas Sosial Emile Durkheim sebagai landasan teori peneliti mengumpulkan data atau mencari sumber-sumber berdasarkan tujuan penelitian seperti sumber tertulis baik berupa buku, majalah, surat kabar, jurnal-jurnal internasional. atau dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan penelitian. peneliti berusaha untuk mencari sumber-sumber yang sesuai dengan tema yang dikaji.

C. Diskusi

3.1 Paradigma Pendidikan Multikultural di Indonesia Pendidikan multikultural seakan-akan menjadi salah satu solusi untuk penanaman salah nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia, melihat realita bahwa masyarakat Indonesia tidaklah terdiri dari satu suku bangsa saja. Sehingga diperlukan sebuah inovasi baru untuk menghadapi hal tersebut. Walaupun pada kenyataanya konsep pendidikan multikultural di Indonesia masih sebatas wacana saja namun setidaknya ini merupakan rancangan pendidikan terbaik yang dimiliki Indonesia untuk masa depan. Melihat esensi dari konsep multikultural sebenarnya masih mengadopsi dari perspektif pemikiran barat dimana tempat pendidikan ini dilahirkan, Amerika dan juga negera-negara Eropa sendiri yang juga memilliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi secara hariah memiliki konsep yang sama dengan konsep kemajemukan di Indonesia. Hanya saja terdapat perbedaan karena di Amerika terjadinya mulitikulturalisme diakibatkan oleh banyaknya para imigran-imigran yang datang pasca perang dunia, mereka datang ke Amerika dan juga eropa dengan harapan mempunyai prospek kehidupan yang lebih baik, bahkan pada awalnya terjadi deskriminasi pada kaum kulit berwarna yang terkenal dengan istilah Apertheid. Melihat dari situasi ini maka lahirlah konsep multikulturalime sebagai jalan untuk mengatasi perbedaan tersebut dan hingga saat ini hal itu berhasil diterapkan. Menurut James A Banks mengatakan bahwa “Multicultural education is a reform designed to make some major changes in the education of students. Multicultural education theorists and researchers believe that many school, college, and university practices related to race and ethnicity are harmful to students and reinforce many of the ethnic stereotype and discriminatory practices in U.S. society Banks, 2002:1. Banks melihat kasus multikultural di Amerika yang memiliki penduduk yang berasal dari multi etnis, keberagaman etnis di Amerika dan Eropa diakibatkan oleh perang dunia yang mengakibatkan banyaknya imiran yang datang kesana. Oleh karena itu, isu pendidikan multikultural di Amerika menjadi wacana yang sangat penting karena berawal dari gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” . Banks juga menyatakan bahwa “multicultural education ia an approach to school reform design to actualize educational equality for students from diverse racial, etthnic, cultural , social- class and linguistic group Banks, 2009:13. Menurut Mahfud 2014:79 Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme yang dimaksud, dalam tataran ideal pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai “juru bicara” bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Hal ini bisa terwujud jika ada perubahan paradigma dalam pendidikan dengan dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kearah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan. Menurut Andersen and Cusher dalam Suryana and Rusdiana, 2015;196 pendidikan multikultural dapat diartikan secara luas adalah pendididkan mengenai keragaman kebudayaan, namun meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama, yaitu mencakup keberagaman kebudayaan yang menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek studi .Pada prinsipnya pendidikan multikultural berpegang teguh pada pola menghargai perbedaan yang senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Pola ini saling berhubungan jika melihat dari realitas pendidikan di Indonesia. Paradigma multikulturalisme di Indonesia tidaklah sama dengan apa yang terjadi di Amerika dan juga Eropa, keanekaragaman suku, ras dan budaya di Indonesia terjadi karena perkembangan dari kebudayaan itu sendiri seiring dengan masuknya budaya dari luar yang berakulturasi dengan budaya lokal tanpa menghilangkan kebudayaan yang aslinya. Kecakapan ini disebut dengan Local Genius yang sudah menjadi semacam kemampuan dari bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, sehingga tidak mengherankan jika sekarang Indonesia kaya akan unsur-unsur kebudayaan. Namun walaupun demikian, konsep dari pendidikan multikultural dari barat ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk membentuk suatu kerangka baru atau desain dari pendidikan Indonesia pada saat ini dimana kita sangat membutuhkan sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai multikulturalisme sebagai dasar pendidikan di Indonesia dengan tujuan supaya di masa depan tidak terjadi lagi konlik-konlik sosial yang mengatasnamakan perbedaan. a. Kearifan lokal Sebagai bentuk Multikulturalisme Indonesia Kearifan lokal yang berkaitan dengan Indiegenous knowledge yakni pengetahuan atau kekayaan pengetahuan atau kekayaan pengetahuan dan budaya pada masyarakat tertentu yang selalu atau telah dikembangkan dari waktu ke waktu dan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Empat indikator dapat dipergunakan untuk melacak apa yang disebut dengan kearifan lokal akni khazanah pengetahuan yang didasarkan para pengetahuan lokal, mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hidup dan dikenal dalam lingkungan masyarakat tertentu dan berubah serta dinamis sifatnya Amirrachman, 2007: 328. Menurut Ridwan dalam Haryanto,2014:4 kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya kognisi untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusunn sebagai etimologi, dimana Wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dala menggunakan akal dan pikirannya dalam bertindak atau bersikap sabagai hasil penilalian terhadap sesuatau, sesuatu, obek, atau peristiwa yan terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan Mengacu kepada Gidden 2003 dan Keraf 2002, kearifan lokal memiliki beberapa karakteristik yaitu kearifan lokal adalah milik kelompok, komunitas, atau kolektiitas tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses pembentukannya, yakni bersumber pada pengetahuan pengalaman dalam konteks ruang dimana mereka berada. Kearifan lokal merumuskan sesuatu yang diasumsikan benar, karena teruji lewat pengalaman secara teratur. Karena itu tidak diperlukan kebenaran alternatif ataupun kekritisan pada saat melaksanakannya.Kearifan lokal bersifat praksis, karena dia tidak saja merupakan pembendaharaan kognisi, tetapi terkait juga dengan aspek psikomotorik yaitu prakteknya dalam kehidupan masyarakat lokal. Label lokal yang melekat pada kearifan lokal, menandakan bahwa secara substansif, dia terkait dengan sebuah lokalitas. Hal ini bermakna pula