Secara subtansial tujuan pendidikan sejarah pada kenyataannya bukan hanya sekedar pendidikan yang berhenti pada batas transfer of knowledge yang
identik dengan pengetahuan kognitif, melainkan lebih dari itu pendidikan sejarah sarat dengan muatan pengembangan kemampuan afektif siswa yang
mengarah kepada upaya menggali dan merenungkan nilai-nilai kearifan pada setiap peristiwa masa lalu. Oleh sebab itu guru sejarah selain harus memiliki
kemampuan mendidik berupa kreativitas dalam menggunakan metode pembelajaran, guru sejarah juga harus memiliki kemampuan berikir sejarah
“historical mindedness” sehingga guru bisa membawa siswa untuk menjangkau nilai-nilai kearifan dari masa lalu.
C. Kurikulum, Guru dan Pendidikan Sejarah di Sekolah
Membicarakan mengenai pembelajaran sejarah di sekolah tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan. Salah satu
komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut adalah kurikulum yang digunakan oleh Negara dalam proses pendidikan.
Artinya kurikulum menjadi acuan strategi pembelajaran agar supaya cita- cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan oleh Undang
Undang Dasar 1945 dapat tercapai dengan maksimal.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan
potensi siswa menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses
yang menggambarkan posisi siswa dalam belajar dan asesmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat
pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program. Jika kurikulum dalam bentuk rencana tertulis dilaksanakan
maka kurikulum dalam bentuk proses adalah realisasi atau implementasi dari kurikulum sebagai rencana tertulis. Artinya, apa yang terjadi dalam kurikulum
sebagai proses adalah apa yang diinginkan dan diharapkan oleh pengembang kurikulum. Kualitas yang dimiliki seorang siswa dari hasil proses tersebut
adalah kualitas yang direncanakan kurikulum Hamid Hasan, 2012 : 105-106.
Dalam realisasinya ketercapaian tingkat kualitas yang direncanakan oleh kurikulum pada akhirnya berada pada guru sebagai yang menjalankan
kurikulum itu sendiri. Pada dasarnya tugas guru paling utama adalah mengajar dan mendidik. Sebagai pengajar ia sebagai medium atau perantara aktif antara
siswa dan ilmu pengetahuan, sedangkan sebagai pendidik ia merupakan medium aktif antara siswa dan haluanilsafat Negara dan kehidupan
masyarakat dengan segala seginya, dan dalam mengembangkan pribadi siswa serta mendekatkan mereka dengan pengaruh-pengaruh luar yang baik
dan menjauhkan mereka dari pengaruh-pengaruh luar yang buruk. Dengan demikian seorang guru wajib memiliki segala sesuatu yang erat hubungannya
dengan bidang tugasnya Maksum, 2014 : 67-68. Pada titik inilah guru dikatakan sebagai tenaga profesional, ia memiliki kemampuan merencanakan
pembelajaran, menjadikan proses pembelajaran sebagai suatu yang bermakna bagi siswa hingga mengevaluasi pembelajaran dan melakukan tindak lanjut.
Guru yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan intelektual siswa harus menentukan tujuan pembelajaran dengan jelas, tidak hanya menekankan pada
penguasaan fakta, tetapi juga melibatkan proses berpikir dan keterampilan belajar.
Berkaitan dengan proses realisasi kurikulum di atas dalam bentuk pembelajaran beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan
memberikan pendapat tentang pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan “pembelajaran sejarah saat sekarang didominasi oleh kenyataan bahwa
siswa diharuskan menghafal fakta sejarah, nama-nama konsep seperti yang digunakan dalam sebuah cerita sejarah kerajaan, negara, pemerintahan,
pemberontakan, pahlawan, peristiwa, menghafal jalan suatu peristiwa, faktor penyebab, akibat suatu peristiwa, dan sebagainya”. Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa “pemaknaan dan pewariasan nilai dari peristiwa sejarah yang terjadi di suatu wilayah Indonesia harus juga menjadi warisan siswa sebagai anggota
bangsa. Pemaknaan dan pewarisan nilai itu menjadi bagian dari kognitif dirinya untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai suatu nilai-nilai yang diapresiasi dan
dimasukkan menjadi warisan” Hasan, 2012 : 66. Pendapat diatas senada dengan pendapat Tauik Abdullah bahwa sejak semula sejarah bukanlah ingatan
kolektif yang terlepas dari hari kini, tidak pula hanya bahan bagi pemikiran yang melampaui kesaharian, tetapi bagian dari kehidupan masyarakat yang
memilikinya Abdullah 1995 : 18.
Akan tetapi pada kenyataannya pembelajaran sejarah di sekolah sampai saat ini seringkali diidentikkan dengan proses transfer of knowledge dari guru
ke siswa, seperti yang telah dibahas di atas dimana guru selalu memposisikan diri sebagai penyampai materi dan sumber belajar satu-satunya bagi siswa. Bagi
sebagian guru kurikulum dilaksanakan dalam proses pembelajaran apa adanya, oleh sebab itu siswa dipastikan hampir tidak akan dapat memahami nilai moral
yang terkandung dalam materi pelajaran sejarah. Mengutip apa yang dikatakan oleh Murdiyah Winarti dalam disertasinya bahwa dalam proses pembelajaran
materi sejarah tidak untuk dihafalkan oleh siswa, setiap peristiwa sejarah sarat dengan nilai dan makna karena berhubungan dengan kehidupan manusia, oleh
karena itu mengabaikan unsur nilai akan mempersulit proses identiikasi diri dan jati diri bangsa Winarti, 2016 : 11.
Selain permasalahan di atas, guru juga sering terjebak pada pemahaman keliru memandang kurikulum, dimana guru sering memaknai bahwa nilai-
nilai moral yang terkandung dalam materi ajar ditentukan oleh kurikulum, padahal tidak. Untuk memperoleh nilai-nilai moral yang terkandung dalam
materi pembelajaran sejarah guru dituntut untuk mampu menerjemahkan
kurikulum berupa mengembangkan dan menggali makna dari setiap materi sejarah, sehingga sejarah menjadi penting, hidup dan berguna, tidak sebatas
fakta tetapi kaya dengan nilai-nilai.
D. Pendidikan Nilai dalam Studi Sejarah
Kemampuan guru untuk menerjemahkan kurikulum dimaksudkan agar dalam setiap proses pembelajaran selalu sarat dengan nilai moral. Nilai moral
memiliki karakteristik a suatu realitas abstrak tidak dapat ditangkap dengan indra tetapi ada, b bersifat normatif yang ideal, sebaiknya, seharusnya dan
c berfungsi sebagai daya dorong manusia sebagai motivator. Adapun ruang lingkup nilai moral yang dimaksud meliputi : ketuhanan, kejujuran, budi
pekerti, akhlak mulia, kepedulian dan empati, kerjasama dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek,
tanggungjawab, teloransi, ketaatan, penuh perhatian dan tahu berterima kasih Pam Schiller dan Tamera Bryant dalam Sumantri, 2013 : 28
Agar penghayatan dan pengamatan nilai moral dapat nampak, dianjurkan agar ada upaya-upaya metodologik yang dilakukan oleh guru. Dalam
menerjemahkan nilai-nilai inilah guru dapat kreatif menyampaikan materi kepada siswanya secara metodologis di depan kelas. Kreativitas guru yang
dimaksud adalah keterampilan dalam menggunakan metode mengajar sehingga proses penanaman nilai dapat diterima oleh siswa, tanpa mengurangi atau
menyalahi konsep yang tertuang dalam kerikulum sebagai pedoman.
Alternatif yang dianggap tepat dalam proses belajar mengajar sejarah yang menekankan pada pendidikan nilai adalah melalui pendekatan moral dalam
metode pembelajarannya. Pendekatan moral merupakan proses penelaahan materi pelajaran yang dijelaskan melalui formulasi yang dapat membedakan
benar dan salah, baik dan tidak atau boleh dan tidak boleh dalam konsep yang dapat ditauladani dan tidak dapat ditauladani dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Anwar dan Imam, 2000 : 137.
Sebagai suatu ilustrasi sederhana tentang penggunaan pendekatan moral dalam pembelajaran sejarah yaitu mengambil salah satu materi sejarah
Pergerakan Kebangsaan Pra Kemerdekaan Indonesia. Jika dilihat dari fakta sejarah pada periode ini begitu banyak tokoh-tokoh pergerakan yang lahir seperti
Soekarno, Hatta, HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Syahrir, dan sederetan tokoh bangsa lainnya. Pada periode ini juga lahir berbagai organisasi-organsasi
yang mengusung semangat nasionalisme antara lain Indesche Partij, Budi Utomo dan lain sebagainya. Serta pada periode ini juga terjadi perlawanan di
berbagai daerah menentang kolonialisme. Fakta-fakta sejarah pada periode ini begitu sangat kompleks dan sangat berarti bagi sejarawan untuk melakukan
penyelidikan sejarah hingga pada tahapan historiograi. Akan tetapi dalam pendidikan sejarah di sekolah fakta-fakta tersebut tidak akan mengandung