Retroduksi Sub Model Sistem Usahatani

Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 50 Kondisi India pada saat gagasan pengembangan Tata Nano pada tahun 2003 memiliki tiga karakteristik di atas. Seperti diuraikan terdahulu, India memiliki banyak entrepreneur yang mendirikan perusahaan manufaktur dan jasa dengan kemampuan teknologi cukup tinggi yang diperoleh melalui pengalaman produksi yang cukup panjang dan interaksi dengan teknologi dari luar. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat cukup tajam sejak tahun 1991, terjadi peningkatan pendapatan masyarakat lapis bawah. Jumlah masyarakat lapis bawah dengan pendapatan yang meningkat telah menimbulkan permintaan efektif bagi produk-produk inovasi frugal.

6.4. Retroduksi

Apabila struktur ini diproyeksikan ke dalam kerangka kerja yang dikembangkan oleh Arvinitidis, maka diperoleh struktur sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Faktor-faktor yang berperan penting pada domain riil adalah entrepreneur Schumpetarian, budaya Ghandianjugaad dan budaya tanggung jawab sosial yang kuat pada eksekutif perusahaan di India. Pada domain struktural, faktor yang sangat penting adalah keterbukaan ekonomi dan integrasi ekonomi India dengan ekonomi global; pada gilirannya hal ini mengakibatkan arus masuk dan keluar teknologi yang meningkatkan kemampuan teknologi perusahaan domestik. Bahkan perusahaan domestik di India sudah banyak yang menjadi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara di berbagai benua. Yang tidak kalah penting pada domain ini adalah kemunculan permintaan efektif akan inovasi frugal yang didorong oleh peningkatan pendapatan sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang positif selama beberapa tahun. Sumber: Konstruksi penulis dengan kerangka dari Arvinitidis 2006 Gambar 5. Struktur yang Memunculkan Inovasi Frugal Tata Nano Pada domain empiris yang kita lihat, keberadaan perusahaan berkemampuan tinggi dan mengglobal seperti Tata Motors menjadi modal utama bagi kemunculan inovasi frugal Tata Nano. Namun Tata Motors tidak dapat melakukan sendiri; ia harus menggunakan jaringan bisnisnya untuk memasok komponen yang diperlukan. Jaringan luas yang dimiliki Tata Motors telah memungkinkan ia untuk mendapatkan pemasok komponen dengan kemampuan teknologi yang diperlukan, untuk memastikan bahwa setiap komponen sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Dalam hal ini, modularitas menjadi prasyarat utama untuk keberhasilan produksi Tata Nano. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 51

6.5. Analisis Mekanisme dan Validasi

Meskipun belum dapat diuraikan secara detail, analisis dalam kajian ini telah mengidentifikasi beberapa mekanisme yang diperlukan agar inovasi frugal seperti Tata Nano dapat dikembangkan. Pada dasarnya mekanisme yang diperlukan adalah mekanisme yang dapat meningkatkan kemampuan teknologi, entrepreneurship, dan permintaan efektif. Dalam kasus Tata Motors sebagai produsen Tata Nano, peningkatan kemampuan teknologi diperoleh melalui mekanisme pembelajaran teknologi dengan memanfaatkan arus teknologi yang masuk ke India melalui investasi asing langsung. Tentunya hal ini tidak dapat terjadi tanpa keterbukaan ekonomi India dan kebijakan untuk mengintegrasikan ekonomi India ke dalam ekonomi global. Termasuk dalam integrasi ekonomi adalah upaya India memposisikan secara strategis peran India dalam rantai nilai global. Proses ini juga didukung oleh mekanisme difusi kemampuan teknologi secara global dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, yang didorong oleh kebutuhan negara-negara maju untuk menurunkan biaya produksi dan memasuki pasar di negara berkembang. Tampaknya, mekanisme pembelajaran teknologi untuk meningkatkan kemampuan teknologi dan difusi kemampuan teknologi global menjadi mekanisme utama yang mendorong pengembangan inovasi frugal, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 6. Sumber: Konstruksi penulis Gambar 6. Mekanisme Pengembangan Inovasi Frugal Sementara itu, mekanisme yang mendorong pembentukan entrepreneur Schumpeterian perlu dikaji lebih jauh. Hal ini tentu menyangkut proses budaya dan sosial yang membutuhkan penelitian sosial lebih lanjut. Model mekanisme seperti disebutkan di atas yang dikembangkan berdasarkan kasus Tata Nano, tentu membutuhkan validasi lebih lanjut untuk menunjukkan keberlakuannya bagi kasus inovasi frugal lainnya.

7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PERAN PEMERINTAH DALAM MENDORONG INOVASI FRUGAL

Inovasi frugal di negara seperti India dan Cina sudah menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. Inovasi masa depan akan banyak diwarnai dengan inovasi frugal. Namun inovasi frugal menuntut struktur dan kondisi ekonomi sosial tertentu. Tiga komponen utama dari struktur yang mendorong inovasi frugal adalah peningkatan kemampuan teknologi, entrepreneurship dan peningkatan permintaan efektif. Semuanya berawal dari keterbukaan ekonomi nasional dan upaya integrasinya ke dalam ekonomi global. Keterbukaan ekonomi secara strategis memungkinkan peningkatan kemampuan teknologi dengan memanfaatkan arus masuk investasi langsung dalam proses pembelajaran teknologi. Kemampuan teknologi yang meningkat dikombinasikan dengan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 52 entrepreneurship Schumpeterian dan permintaan efektif dari masyarakat lapisan bawah, mendorong pengembangan produk-produk inovasi frugal oleh para entrepreneur di perusahaan-perusahaan domestik. Jika melihat proses yang demikian, lantas apa peran pemerintah? Salah satu peran utama pemerintah adalah mendorong dan mendukung proses pembelajaran teknologi di perusahaan domestik. Hal ini berkenaan dengan kebijakan industri nasional yang terkandung di dalam kebijakan iptek. Bagaimana pemerintah mendorong peningkatan kemampuan teknologi melalui proses pembelajaran teknologi? Makalah ini tentunya tidak dimaksudkan untuk membahas hal ini. Cukup bagi makalah ini untuk menunjukkan betapa pentingnya pembelajaran teknologi di perusahaan domestik bagi pengembangan inovasi frugal. Mengenai bagaimana pemerintah melalui kebijakan industri mengembangkan kemampuan teknologi perusahaan domestik telah banyak dikaji dalam berbagai literatur. Salah satu pesan utama dari literatur ini adalah bahwasanya bagi negara berkembang, strategi pengembangan kemampuan teknologi di industri domestik adalah: Linkage, Leverage dan Learning Mathews, 2006. Linkage maksudnya terhubung dengan rantai nilai global; leverage adalah memanfaatkan linkage bagi pertumbuhan ekonomi termasuk untuk learning; learning ialah belajar untuk meningkatkan kemampuan teknologi atau yang sering disebut pembelajaran teknologi. Dalam kaitan ini, perlu ditekankan bahwa kebijakan pengembangan iptek perlu diarahkan pada membantu perusahaan untuk mengembangkan kemampuan teknologi, di samping tentu saja pengembangan iptek itu sendiri. Peran utama kedua yang pemerintah perlu ambil adalah menumbuhkembangkan entrepreneurship dan terus menerus mendorong jumlah entrepreneur yang bersifat Schumpeterian, yakni entrepreneur yang mampu menggunakan pengetahuan secara sistematis dalam proses produksi dan bisnisnya. Hal ini dapat ditempuh melalui berbagai kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Melihat kondisi Indonesia sekarang, tampaknya pemerintah masih perlu terus bekerja keras mengembangkan kebijakan industri yang terintegrasi dengan kebijakan inovasi dan iptek, serta perguruan tinggi. Harmonisasi dan integrasi antara arena kebijakan ini mutlak diperlukan jika Indonesia ingin melihat tumbuh kembangnya inovasi frugal. PUSTAKA Archer, M. S., 1995. Realist social theory: the morphogenentic approach. Cambridge, Cambridge University Press Arvanitidis, P. A., 2006. A framework of socioeconomic organisation: redefining original institutional economics along critical realist philosiphical lines. 46th Congress of the European Regional Science Association ERSA, Volos, 30 August - 3 September. Bhaskar, R., 2008. A Realist Theory of Science. London, Verso. Bhatti, Y. A. and Ventresca, M., 2012. The Emerging Market for Frugal Innovation: Fad, Fashion, or Fit? 15 Januari 2012. Dapat diakses di SSRN: http:ssrn.comabstract=2005983 Bhatti, Y.A., 2012. What is Frugal, What is Innovation? Towards a Theory of Frugal Innovation 1 Februari 2012. Dapat diakses di SSRN: http:ssrn.comabstract=2005910 Bygstad, B. dan B. E. Munkvold, 2011. In Search Of Mechanism: Conducting a Critical Realist Data Analysis. Thirty Second International Conference on Information Systems, Shanghai. Cappelli, P., H. Singh, et al., 2010. The India way: how Indias top business leaders are revolutionizing management. Boston, Massachusetts, Harvard Business Press. Castellacci, F., 2006. A critical realist interpretation of evolutionary growth theorising. Cambridge Journal of Economics 30: 861-880. Cheng, C.-P., 2005. Critical Realism and Institutionalism: Integrating the Scientific Method of John R. Commons and Douglass C. North. Soochow Journal of Economics and Business 51: 297-318. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 53 Courvisanos, J. and S. Mackenzie, 2011. Addressing Schumpeters Plea: Critical Realism in Entrepreneurial History. AGSE International Entrepreneurship Research Exchange 2011, Melbourne, australia, Swinsburne University of Technology. Danermark, B., M. Ekström, et al., 2002. Explaining Society: Critical realism in the social sciences. London and New York, Routledge. Elder-Vass, D., 2010. The Causal Power of Social Structure: Emergence, Structure and Agency. New York, Cambridge University Press. Fleetwood, S., Ed., 1999. Critical realism in Economics: Development and Debate. Economics as Social Theory. London, Routledge. Fleetwood, S. and S. Ackroyd, Eds., 2004. Critical Realist Applications in Organisation and Management Studies. Critical Realism: Intervention. London and New York, Routledge. Fu, X., L. Soete and L. Sonne, 2010. Conclussion: Science, Technology and Development - Emerging Concepts and Vision. The Rise of Technological Power in the South. X. Fu and L. Soete. Chippenham and Eastbourne, UK, Palgrave macmillan. Gorsky, P., 2009. Social Mechanism and Comparative-Historical Sociology: A Critical Realist Proposal. Frontiers of Sociology. P. Hedstrom and B. Wittrock. Leiden - Boston, BRILL. Johnson, P. and J. Duberley, 2000. Understanding Management Research: An Introduction to Epistemology. London, Sage Publication Ltd. Joseph, J. and C. Wight, Eds., 2010. Scientific Realism and International Relation. Hampshire, Palgrave MacMillan. Kaplinsky, R., 2011. Schumacher meets Schumpeter: Appropriate Technology below the radar. Research Policy 40 2011: 193-303. Kattel, R., 2009. The Economics of Failed, Failing and Fragile States: Productive Structure as the Missing Link, Working papers in Technology Governance and Economic Development no. 18. Tallin University of Technology, Talllin, Estonia: 38. Lawson, T., 2003. Reorienting Economics. London, Routledge. Lewis, P. A., 2002. Agency, Structure and Causality in Political Science: a Comment on Sibeon. Politics 221: 17-23. Lipsey, R. G., K. I. Carlaw and C. T. Bekar, 2006. Economic Transformations General Purpose Technologies and Long-Term Economic Growth. New York, Oxford University Press Inc. Little, D., 2010. Philosophy of Sociology. Philosophies of the Sciences: A Guide. F. Allhoff. West sussex, Wiley-Blackwell. MacDuffie, J. P., 2011. Whartons’s John Paul MacDuffie on the Nano and Tata Motors’ ‘Real Test’. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2012, dari http:knowledge.waharton.upenn.eduindiaarticle.cfm?articleid=4561. Manicas, P. T., 2006. A Realist Philosophy of Social Science: Explanation and Understanding. New York, Cambridge University Press. Mathews, J. A., 2006. Catch-up Strategies and the Latecomer Effect in Industrial Development. New Political Economy 113: 313-335. Mingers, J., 2006. Realising Systems Thinking: Knowledge and Action in Management Science. New York, Springer Science+Business Media, Inc. NIC, 2010. Toward a more inclusive and innovative India, National Innovation Council India Ostrom, E., 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton and Oxford, Princeton University Press. Ostrom, E., 2011. Background on Institutional Analysis and Development Framework. Policy Studies Journal 391: 7-27. Owens, J., 2011. An Introduction to Critical Realism as a Meta-Theoretical Research Perspective, Center for Public Policy Research, Kings College London. Pawson, R., 2006. Evidence-based Policy: a Realist Perspective. London, Sage Publication. Popov, V., 2011. Development Theories and Development Experience: Half a Century Journey. HISTÓRIA E ECONOMIA - revista interdisciplinar 81: 40-57. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 54 Prahalad, C. K. and R. A. Mashelkar, 2010. Innovations Holy Grail. Harvard Business Review, July-August 2010. Ray, S. and P. K. Ray, 2011. Product Innovation for the peoples car in an emerging economy. Technovation 31 2011: 216-227. Saleh, V., 2009. Philosophical Pitfalls: The Methods Debate in American Plotiical Science. Journal on Integrated Social Sciences 11: 141-176. Sayer, A., 1992. Method in Social Science: A realist approach. New York, Routledge. Sayer, A., 2000. Realism and Social Science. London, Sage Publication Ltd. Singh, A., 2008. The Past, Present and Future of Industrial Policy in India: Adapting to the Changing Domestic and International Environment, Working paper No. 376, Center for Business Research, University of Cambridge. Smith, C., 2010. What is a Person?: Rethinking Humanity, Social Life, and the Moral Good from the Person Up. Chicago and London, The University of Schicago Press. Tang, S., 2011. A General Theory of Institutional Change. New York, Routledge. Tiwari, R. and C. Herstatt, 2012. Frugal Innovations for the Unserved Customer: An Assessment of Indias Atractiveness as a Lead Market for Cost-effective Products, Hamburg University of Technology. Yeung, H. W.-c., 1997. Critical realism and realist research in human geography: a method or a philosophy in search of a method? Progress in Human Geoigraphy 211: 51- 74. Zeschky, M., B. Widenmayer and O. Gassmann, 2011. Frugal Innovation in Emerging Markets. Research Technology Management July-August 2011: 38-45. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 55 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PUSAT PENELITIAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PUSPIPTEK KE ARAH INDONESIAN SCIENCE AND TECHNOLOGY PARK ISTP DALAM MENDUKUNG SISTEM INOVASI NASIONAL SINAS UNTUK MENGHASILKAN INOVASI FRUGAL Fajar Suprapto 1 , Sadono Sriharjo 2 1 Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta 2 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta E-mail: ad1-dep1ristek.go.id ABSTRAK Kebijakan pengembangan Puspiptek menjadi lembaga Indonesian Science and Technology Park ISTP sebagai lembaga publik dengan tugas pokok dan fungsi tupoksi yang spesifik, diharapkan mampu mendukung terwujudnya implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan Puspiptek. Hal ini terkait dengan pengembangan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi iptek dan pembentukan jejaring kerja iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan Iptek, baik dalam tataran kebijakan makro maupun teknis operasional di masa mendatang. Tupoksi ISTP diarahkan untuk mendorong sinergi antara pengelolaan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan difusi teknologi dalam mendukung terwujudnya iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan Sistem Inovasi Nasional SINas, baik pemerintah, perguruan tinggi, industri, maupun masyarakat. Di samping itu, lembaga ISTP juga diharapkan dapat berperan dalam memberikan kontribusi nyata pada pengelolaan sumber daya iptek nasional yang mencakup keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek sehingga mampu mendorong berjalannya proses inovasi kearah inovasi frugal. Pengembangan lembaga ISTP dimulai dengan menghimpun fungsi dan peran yang diharapkan dalam mendukung SINas dan membuat prioritas fungsi dan peran dalam pengembangan lembaga ISTP roadmap pengembangan kelembagaan ISTP. Selanjutnya diturunkan proses pelaksanaan urusan internal bussines process dalam lembaga ISTP dan dirumuskan organisasi yang mampu menjalankan urusan tersebut pada level makro, meso dan mikro. Pengembangan kelembagaan ISTP tersebut diharapkan mampu mengatasi berbagai isu fundamental dalam penguatan SINas, baik permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penghasil teknologi maupun pengguna teknologi swasta, pemerintah, masyarakat. Kata Kunci: Pengembangan Kelembagaan, Puspitek, ISTP, SINas, Inovasi Frugal

1. PENDAHULUAN

Penguatan SINas dimaksudkan agar proses inovasi teknologi dapat berlangsung pada kegiatan sosial-ekonomi yang berujung pada kemakmuran masyarakat. Berlangsungnya proses inovasi teknologi dalam SINas dengan sistem kelembagaan yang dikenal dengan tripple helix memerlukan kontribusi dari segenap sumber daya Iptek sehingga inovasi proses dan produk pada dunia industri dapat berjalan secara optimal. Pendayagunaan sumber daya iptek tersebut sangat bergantung pada kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas dengan fokus kegiatan pada penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek dalam kegiatan ekonomi. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam penguatan SINas adalah distorsi kompetensi SDM, baik lembaga penghasil teknologi yang berkiprah dalam penelitian, pengembangan, rekayasa, dan operasional RDEO--Research, Design, Engineering, Operation selaku penyedia jasa dan informasi teknologi, lembaga pengguna teknologi selaku pemanfaat yang mentransformasikan teknologi menjadi produk barang dan jasa, lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM dan teknologi, maupun lembaga pendanaan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga yang dapat berperan untuk mengurangi distorsi kompetensi SDM yang terjadi dengan memperkuat kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 56 Permasalahan lain yang dihadapi dalam penguatan SINas adalah kecenderungan industri nasional untuk melakukan inovasi proses dan produk dalam proses produksi dengan mengandalkan lisensi impor sehingga kemampuan litbang industri menjadi kurang berkembang karena ketergantungan yang sangat besar pada pemberi lisensi. Hal ini menyebabkan partisipasi swasta dalam pengembangan, penguasaan, serta pemanfaatan Iptek menjadi relatif kecil, sehingga pembiayaan untuk tujuan tersebut menjadi beban dari dana publik. Pembiayaan yang bersumber dari dana publik untuk mendukung kegiatan pengalihan teknologi technology transfer, adaptasi teknologi technology adaption, integrasi teknologi technology integration, inovasi teknologi technology innovation, perekaan teknologi technology invention maupun penemuan teknologi technology discovery masih menempati porsi yang relatif besar dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara tetangga di ASEAN. Untuk meningkatkan kontribusi swasta dalam penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek maka perlu ditingkatkan kemitraan berbasis sinergi program dengan melakukan penjajaran antara kebutuhan industri dengan kegiatan litbang yang dilakukan oleh lembaga penghasil teknologi. Berbagai permasalahan penguatan SINas, baik yang terkait dengan SDM, jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas, maupun permasalahan yang terjadi karena dinamika perubahan lingkungan internal maupun eksternal SINas, merupakan masukan bagi pengembangan kelembagaan Puspiptek kearah lembaga ISTP. Pengembangan lembaga ini dilakukan dengan melihat posisi kelembagaan terhadap penyelesaian permasalahan penguatan SINas secara komprehensif sehingga positioning dari masing-masing lembaga dapat diidentifikasi dan dipetakan. Pengembangan lembaga ISTP memainkan peran yang strategis untuk mendukung penguatan SINas sehingga mampu memberikan sinergi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional serta tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Berbagai kendala yang dihadapi dalam penguatan SINas perlu dicarikan solusinya dengan implementasi kebijakan yang konsisten dan simultan sehingga pendekatan- pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan kelembagaan iptek dapat mencapai target yang ditetapkan. Berkaitan dengan kendala yang terjadi dalam penguatan SINas, maka pengembangan lembaga ISTP dimaksudkan untuk menjalankan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk menyelesaikan isu publik yang belum terakomodasi secara optimal oleh berbagai lembaga publik yang telah ada.

2. PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL

Kontribusi pemangku kepentingan dalam mendukung tercapainya tujuan SINas hingga saat ini masih belum optimal karena berbagai kendala yang terjadi. Hal ini merupakan kondisi faktual yang terjadi hingga saat ini, sehingga diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan untuk mendorong penguatan SINas. Kebijakan penguatan SINas merupakan langkah strategis untuk mengakselerasi terwujudnya daya saing industri nasional maupun kemandirian bangsa di berbagai bidang kehidupan. Penguatan SINas difokuskan pada tiga permasalahan mendasar, yakni: 1 pengembangan kelembagaan Iptek; 2 pengembangan sumber daya iptek; serta 3 pembentukan jejaring kerja iptek yang kondusif antar unsur-unsur kelembagaan Iptek. Pengembangan kelembagaan iptek yang terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang dimaksudkan untuk mengatasi kendala yang terkait dengan belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Pengembangan kelembagaan iptek diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun industri. Sedangkan pengembangan sumber daya Iptek yang terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana iptek perlu dilakukan sebagai faktor krusial untuk mendukung berjalannya proses inovasi dalam SINas. Kunci keberhasilan dalam jejaring kerja yang kondusif adalah terwujudnya sinergi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 57 yang lebih besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendiri-sendiri. Pembangunan kemampuan iptek nasional diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dalam penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek yang dibutuhkan bagi peningkatan daya saing industri nasional dan kesejahteraan bangsa. Pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung industrialisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah added value dari sumber daya nasional perlu diselaraskan dengan strategi pembangunan pemerintah saat ini, yakni pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment, yang telah dicanangkan pencapaiannya dalam 12 fokus pembangunan nasional. Keberhasilan industrialisasi mutlak memerlukan dukungan teknologi terutama berkaitan dengan kegiatan inovasi proses dan inovasi produk yang dilakukan oleh dunia industri nasional. Keberhasilan inovasi proses dan inovasi produk akan secara langsung memicu peningkatan daya saing industri nasional dalam kompetisi global. Keberhasilan produk industri nasional dalam berkompetisi pada pasar global akan memicu pertumbuhan industri lainnya, baik industri pemasok, industri terkait, maupun industri jasa sehingga prospektif sebagai sumber pertumbuhan perekonomian nasional. Kemampuan produk industri nasional berkompetisi di pasar global secara langsung akan meningkatkan penerimaan devisa dan kesempatan kerja dengan jumlah yang signifikan, sehingga memberikan solusi terhadap salah satu permasalahan nasional, yakni tingginya angka pengangguran yang terjadi. Di samping itu, keberhasilan inovasi produk atau proses dari dunia industri yang menghasilkan barang yang lebih murah dari barang yang ada dan memiliki fitur yang dipandang memadai oleh pengguna golongan bawah, akan memicu tumbuhnya industri penghasil inovasi frugal. Produk inovasi frugal dari industri berbasis teknologi, dicirikan terutama oleh harga konsumsi yang murah dan kualitas produk yang memenuhi atau bahkan melebihi standard minimal tertentu, diproduksi dengan proses yang mengefisienkan penggunaan material dan dana yang seringkali menuntut perubahan model bisnis dan tidak jarang menuntut kemampuan manufakturing yang tinggi. Murahnya produk inovasi frugal mutlak diperlukan di tengah-tengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki masyarakat lapis bawah. Salah satu faktor penentu terwujudnya peningkatan daya saing industri nasional adalah tingkat adopsi teknologi yang tinggi dari dunia industri sebagai pengguna teknologi. Salah satu penentu daya saing produk industri nasional adalah kemampuan teknologi, yang dalam arti luas tidak hanya menyangkut rekayasa teknologi, tetapi juga sistem dan manajemennya. Hal ini dapat dipahami karena teknologi sendiri merupakan kesatuan embodied dengan barang modal capital goods, sistem produksi yang diterapkan dalam proses-proses industri, serta barang jadi consumer goods. Pengembangan kelembagaan iptek yang diselaraskan dengan pengembangan industri nasional merupakan kegiatan yang strategis karena akan mendorong pengembangan industri yang berbasis pada peningkatan kemampuan adopsi teknologi. Kemampuan adopsi teknologi dari dunia industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal karena komunikasi antara lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna teknologi masih belum kondusif karena berbagai hambatan yang terjadi. Lembaga penghasil teknologi masih terkungkung di dalam entitasnya masing-masing, baik di lingkungan lembaga pemerintah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, perguruan tinggi maupun lembaga intermediasinya, sehingga belum mampu mendorong barang modal yang dihasilkannya dalam peningkatan nilai tambah melalui proses produksi di dunia industri. Pada sisi lain, pelaku industri melakukan inovasi proses dan inovasi produk secara mandiri karena tuntutan pasar yang dinamis dengan siklus hidup produk consumer’s goods yang semakin pendek karena tuntutan perkembangan teknologi informasi yang semakin menguat. Perkembangan teknologi informasi mempunyai kontribusi yang signifikan pada dinamika pasar dengan menipisnya ukuran-ukuran batas negara yang dapat dilihat secara transparan. Pengembangan kelembagaan yang dilakukan pemerintah perlu melihat kedua kutub permasalahan tersebut, sehingga dapat dilakukan sinergi agar memberikan kontribusi yang optimal pada pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 58 Berangkat dari kondisi kelembagaan Iptek yang telah ada serta permasalahan faktual yang dihadapi dalam mendukung interaksi yang lebih intensif antara lembaga penghasil teknologi dengan lembaga pengguna, maka perlu dikembangkan kebijakan untuk menumbuhkan lembaga yang mampu menjadi katalisator agar sinergi kelembagaan dalam SINas dapat diwujudkan di masa mendatang. Pengembangan kelembagaan Puspiptek kearah ISTP merupakan alternatif solusi untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam mewujudkan sinergi antara lembaga penghasil teknologi dan pengguna teknologi guna mendongkrak peningkatan daya saing produk industri nasional maupun kemandirian bangsa di bidang iptek. Disamping itu, pembentukan lembaga ISTP juga akan memainkan peran strategis bagi terwujudnya pengembangan kebijakan yang mampu mewujudkan iklim kondusif bagi interaksi kelembagaan yang intensif pada jejaring kerja sehingga mampu mendukung tercapainya tujuan SINas yang telah ditetapkan. Terwujudnya iklim kondusif selanjutnya akan memicu terwujudnya komunikasi antar pemangku kepentingan SINas yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan sinergi kelembagaan iptek dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek. Sinergi antar kelembagaan iptek ini sangat penting agar penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan iptek tersebut mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa secara berkelanjutan. Namun demikian, sinergi antar kelembagaan iptek tersebut dirasakan belum optimal karena berbagai kendala yang dihadapi oleh masing-masing lembaga, baik lembaga litbang, lembaga penunjang, serta perguruan tinggi yang relasinya dikenal dengan model ‘tripple helix’ dalam SINas. Pengembangan lembaga ISTP dimaksudkan menjadi lembaga intermediasi yang mampu memberikan alternatif solusi terhadap kendala dalam penguatan SINas, terutama menjembatani bridging kebutuhan antara penghasil teknologi dengan pengguna teknologi agar dapat bekerjasama dan bersinergi. Dengan demikian, lembaga penghasil teknologi dapat mendukung dunia industri baik dalam inovasi produk, pengembangan pasar, pengembangan teknologi dan pengembangan SDM. Interaksi antar pemangku kepentingan pada SINas yang belum intensif pada jejaring kerja yang telah terbentuk memerlukan peningkatan peran lembaga intermediasi yang mampu mendorong berjalannya proses inovasi dalam SINas. Peningkatan peran lembaga ISTP sebagai lembaga intermediasi merupakan salah satu strategi untuk mengoptimalkan tata kelola sistem kelembagaan Iptek yang telah terbentuk dalam SINas. Pengembangan jejaring kerja yang kondusif antar pemangku kepentingan SINas perlu dilakukan secara sistematik dan berkelanjutan sehingga interaksinya dalam Sistem Triple Helix ABG pada SINas dapat semakin intensif. Salah satu strategi untuk mewujudkan iklim kondusif dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan tersebut adalah mendukung pengembangan lembaga intermediasi yang difokuskan untuk mendukung utilisasi sumber daya iptek yang telah ada, terutama yang berada di Kawasan Puspiptek Serpong. Lembaga intermediasi iptek menjalankan peran intermediasi yang terkait dengan pelaksanaan proses inovasi pada SINas, terutama untuk mewujudkan interaksi yang intensif dan komunikatif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan.

3. PERAN DAN KONSTELASI LEMBAGA ISTP DALAM PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL

Salah satu kendala yang umum dihadapi untuk mewujudkan jejaring kerja kondusif antar pemangku kepentingan sebagaimana juga dihadapi oleh berbagai negara adalah relevansi antara prioritas kegiatan litbang dengan kebijakan pemerintah lintas sektor serta kebutuhan industri. Kondisi tersebut terjadi karena pengaturan lembaga penelitian dan pengembangan lemlitbang publik yang dilakukan hingga saat ini masih dalam bentuk tupoksi yang diatur dalam regulasi nasional berupa peraturan perundangan terkait tanpa ada rincian lebih lanjut dalam sistem organisasi. Kegiatan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang sebagai wujud pelaksanaan tupoksi yang diberikan oleh regulasi terkait dilakukan berdasarkan persepsi masing-masing pengelola lemlitbang, bahkan seringkali tidak berorientasi pada kebutuhan pasarpublik, terutama kebutuhan pelaku industri nasional. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 59 Interpretasi terhadap tupoksi dalam pelaksanaan kegiatan litbang yang dilakukan masih bersifat sektoral sesuai dengan regulasi nasional yang memayunginya, dengan fokus kegiatan yang berbeda-beda. Pengaturan nasional yang demikian terbukti telah memberikan peluang terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap bagaimana seharusnya pelaksanaan litbang dilakukan oleh masing-masing lemlitbang publik. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan lembaga penghasil teknologi adalah lemlitbang pemerintah dan swasta mencakup lemlitbang LPK lembaga pemerintah kementerian dan LPNK lembaga pemerintah non kementerian, perguruan tinggi, serta industri. Sedangkan lembaga pengguna teknologi mencakup instansi pemerintah di pusat dan daerah, pelaku pada dunia usahaindustri, dan masyarakat. Namun demikian, dalam kebijakan pengembangan kelembagaan ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik, pembahasan lebih lanjut difokuskan pada lemlitbang publik serta lembaga pengguna teknologinya adalah pelaku dunia industri nasional. Hal ini perlu disampaikan karena pengembangan lembaga ISTP Puspiptek diharapkan mampu berperan sebagai katalisator untuk peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi dalam rangka proses transformasi menjadi negara industri maju yang berbasis pada kemandirian teknologi secara berkesinambungan. Lemlitbang publik lemlitbang pemerintah yang ada saat ini dapat berupa lemlitbang yang berada di lingkungan perguruan tinggi, LPK dan LPNK dengan acuan regulasi nasional yang berbeda-beda sebagai dasar pelaksanaan litbang yang dilakukan. Kondisi tersebut telah menyebabkan lemahnya jejaring kerja nasional antar lemlitbang karena tidak ada target bersama sebagai tujuan yang akan dicapai. Bagi lemlitbang publik dan perguruan tinggi, pelaksanaan litbang yang dilakukan tidak lebih pada pelaksanaan tupoksi secara sektoral, belum berorientasi pada bagaimana sinergi pelaksanaan tupoksi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi teknologi produk dan teknologi proses dilakukan. Dengan kondisi lemlitbang nasional yang demikian, maka intervensi pemerintah berupa kebijakan publik untuk meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antar lemlitbang dalam sebuah jejaring kerja nasional yang kondusif perlu dilakukan. Jejaring kerja nasional yang kondusif akan memberikan sinergi terwujudnya produk yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi mempunyai relevansi yang optimal sesuai dengan kebutuhan lembaga pengguna, khususnya pelaku dunia industri nasional. Peran lembaga ISTP secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yakni: a Tingkatan makro, dimana peran lembaga lebih difokuskan untuk menetapkan regulasikebijakan nasional terkait dengan pengembangan sistem pendukung supporting system sehingga proses inovasi dan difusi teknologi dapat berlangsung dalan SINas. b Tingkatan meso, dimana peran lembaga difokuskan untuk menetapkan kebijakan level korporasi terkait dengan peran ISTP sesuai dengan visi, misi, tujuan yang telah ditetapkan. c Tingkatan mikro, dimana peran lembaga difokuskan untuk merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, serta mengevaluasi, program kegiatan terkait dengan peran ISTP sesuai dengan kebijakan pada level korporasi. Advokasi kebijakan tersebut dapat berhasil bilamana proses inovasi yang berupa pemanfaatan iptek yang dihasilkan lembaga penghasil teknologi oleh lembaga pengguna teknologi dapat dilakukan secara berkesinambungan. Output dari kebijakan yang dilakukan berupa jumlah produk litbang yang dimanfaatkan terus bertambah dari waktu ke waktu sehingga secara langsung akan meningkatkan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi. Peningkatan relevansi tersebut dapat dilihat pada pemanfaatan produk lemlitbang ke dalam proses inovasi pada dunia industri. Pemanfaatan produk lemlitbang sebagai barang modal capital goods dapat secara langsung digunakan untuk mendukung industrialisasi industri penghasil barang modal atau dalam proses produksi secara langsung ke dalam proses bisnis dunia industri. Pengembangan industri penghasil barang modal nasional ini menjadi salah satu kata kunci bagi berhasilnya tujuan pengembangan iptek nasional yakni kemandirian teknologi industri nasional. Produk lemlitbang berupa blueprint paket teknologi dapat didorong lebih lanjut dalam skala komersial untuk menghasilkan barang modal bagi dunia industri yang Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 60 sebagian besar hingga saat ini masih impor. Pemanfaatan produk lemlitbang secara langsung ke dalam proses bisnis pelaku industri dapat dilakukan untuk beberapa tujuan, antara lain pengembangan proses produksi peningkatan efisiensiyield pada proses produksi, peningkatan daya saing produk peningkatan nilai produk sehingga menambah siklus hidup produk, optimalisasi pada proses distribusi produk lebih efektif dan efisien, serta produk baru dengan nilai tambah produk yang tinggi serta siklus hidup produk yang lebih baik. Kendala peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi tersebut menghadapi tantangan yang berat karena acuan regulasi yang berbeda dalam pelaksanaan litbang dari masing-masing lemlitbang publik, baik yang berada di lingkungan LPK maupun LPNK, termasuk perguruan tinggi di dalamnya. Sebagai ilustrasi, dalam persepsi perguruan tinggi konsep litbang relatif masih dimaknai sebagai suatu kegiatan yang lebih berorientasi kepada ‘pengetahuan untuk pengetahuan’ knowledge for the sake of knowledge serta dilakukan dalam kerangka Tridarma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat berdasarkan adanya kebutuhan pengembangan ilmu sesuai dengan agenda otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik academic freedom untuk kepentingan akademisi dosen dan mahasiswa dalam peningkatan jabatan fungsionalnya bagi para dosen atau pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar akademis bagi para mahasiswa di perguruan tinggi. Sedangkan dalam persepsi lemlitbang LPK dan LPNK, secara konseptual riset lebih ditujukan untuk pembangunan dan pengembangan iptek, kemajuan ekonomi, memberikan kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat dan kehidupan umat manusia, dan menjadi referensi dan menghasilkan Hak Kekayaan Intelektual HKI. Pengembangan kebijakan dalam tataran operasional perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi karena payung regulasi yang berbeda tersebut. Fokus kebijakan diarahkan pada pengembangan kebijakan pada tingkat operasional yang mampu mengakomodasikan kepentingan bersama dari pemangku kepentingan untuk mendukung berlangsungnya proses inovasi yang berkesinambungan. Hal ini perlu dilakukan karena pada tingkatan operasional pelaksanaan litbang akan dihasilkan produk litbang yang secara langsung berpengaruh pada tingkat relevansi lemlitbang publik sebagai lembaga penghasil teknologi. Dalam mendukung peningkatan relevansi antara lembaga penghasil teknologi lemlitbang dengan lembaga pengguna teknologi industri nasional, maka konstelasi peran lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada peningkatan relevansi produk barang modal yang secara langsung dibutuhkan oleh pelaku dunia industri. Peran lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada intermediasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan sehingga mempunyai kepentingan yang sama terhadap pelaksanaan litbang barang modal yang dilakukan. Adanya kepentingan bersama ini merupakan langkah awal yang diperlukan untuk pembentukan jejaring kerja yang intensif, misalkan dalam bentuk konsorsium. Pelaksanaan kegiatan litbang sebagai kebijakan pada tataran operasional dilakukan dengan memberikan tugas khusus kepada lemlitbang yang terlibat dalam konsorsium untuk melakukan “imitation” atau “reverse engineering” untuk substitusi teknologi impor yang telah ditetapkan dalam konsorsium sebagai kebijakan yang bersifat meso. Kebijakan pada tingkatan meso ini sangat strategis karena target-target bersama sebagai tujuan dari pembentukan konsorsium ditetapkan dengan mengakomodasikan kepentingan pemangku kepentingan. Bila tahapan penguasaan teknologi inti melalui “imitation” atau “reverse engineering” telah berhasil yang dibuktikan dengan pengembangan industri penghasil barang modal tertentu, maka kegiatan litbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek difokuskan pada tahapan selanjutnya yakni pengembangan teknologi inti untuk menghasilkan produk baru atau inovasi produk dalam rangka peningkatan daya saing produk untuk penguasaan pasar. Untuk mendukung tahapan tersebut perlu dukungan berbagai lemlitbang yang berada di Kawasan Puspiptek untuk melakukan litbang dasar dalam rangka mendukung pengembangan teknologi inti tertentu yang dilakukan di lembaga ISTP Puspiptek. Dukungan litbang dasar bagi pengembangan teknologi inti merupakan kata kunci untuk mewujudkan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 61 kemandirian teknologi secara berkesinambungan sehingga pengembangan industri yang berorientasi pada penguasaan pasar atau pengembangan pasar baru secara mandiri dapat direalisasikan .13 . Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi untuk mendukung penguatan peran dari berbagai lembaga terkait sehingga mampu mendukung berlangsungnya proses inovasi secara berkesinambungan perlu dilakukan secara konsisten mengingat kendala-kendala pada kondisi eksisting yang mengindikasikan kontribusi lembaga penghasil teknologi serta lembaga penunjang pada proses inovasi masih relatif rendah. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kualitas lemlitbang, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang masih belum optimal dalam mendukung berlangsungnya proses inovasi pada SINas. Sebagai gambaran, peningkatan kinerja lembaga pengguna teknologi selain ditentukan oleh kapasitas adopsinya, juga akan secara langsung ditentukan oleh relevansi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi. Peningkatan produksi barangjasa yang dibutuhkan konsumen secara faktual akan ditentukan pula oleh prospek keuntungan yang menjadi insentif bagi industri atau masyarakat yang melakukan proses produksi dan daya beli konsumen. Kebijakan baik pada tingkatan operasional maupun meso yang dilakukan untuk mendukung peran lembaga ISTP Puspiptek dalam meningkatkan relevansi lembaga penghasil dengan lembaga pengguna teknologi perlu dukungan kebijakan pada tingkatan yang lebih makro, berupa peraturan-perundangan yang mendukung keseluruhan proses bisnis lembaga ISTP Puspiptek atau dukungan dari sistem politik. Kebijakan pemerintah pada tingkatan makro ini sangat penting sebagai acuan dalam perumusan kebijakan pada tataran meso di tingkat konsorsium maupun operasional untuk mengatasi berbagai kendala yang selama ini menghadang laju peningkatan relevansi. Trickling down mechanism implementasi kebijakan mulai dari kebijakan yang bersifat makro, meso, kemudian operasional merupakan langkah awal untuk mencapai peningkatan relevansi secara optimal. Kebijakan tingkatan operasional akan menghasilkan output berupa barang modal yang sesuai dengan kebutuhan pelaku industri nasional. Pemanfaatan output berupa pengembangan industri penghasil barang modal untuk mendukung industri tertentu daya saing produk atau industrialisasi komoditas tertentu hilirisasi industriindustry deepening maupun pemanfaatan langsung dalam proses bisnis industri merupakan ukuran kinerja implementasi kebijakan pada tingkatan meso tersebut. Pengembangan industri penghasil barang modal nasional tersebut akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi tercapainya kemandirian bangsa self reliance di bidang teknologi bagi pengembangan industri dalam negeri. Namun demikian, meskipun berbagai kebijakan pengembangan iptek telah dilakukan dengan tujuan mencapai kemandirian bangsa di bidang teknologi tetapi advokasi kebijakan yang terjadi seringkali dilaksanakan secara tidak konsisten. Inkonsistensi advokasi kebijakan pengembangan iptek ini dapat diamati secara transparan, terutama terjadinya ketergantungan yang tinggi pada kebijakan pemerintah yang lebih bersifat politis dibandingkan dengan pencapaian dari target-target yang telah ditetapkan pada tujuan pengembangan iptek secara sistemik. Inkonsistensi dalam advokasi kebijakan pengembangan iptek telah menimbulkan berbagai kendala bagi peningkatan relevansi antara lembaga pengembang dengan lembaga pengguna teknologi pelaku industri karena sinergi fungsional antar lembaga tidak dapat terlaksana secara optimal. Lemahnya sinergi fungsional tersebut kurang mendukung terwujudnya ‘link and match’ dengan mempertemukan kepentingan bersama dari pemangku kepentingan. Hal ini merupakan kata kunci yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan advokasi kebijakan yang dilakukan untuk mendukung sinergi litbang sehingga menghasilkan produk yang dapat didorong lebih lanjut ke dalam proses inovasi. Kebijakan penguatan sinergi litbang yang berorientasi pada program kegiatan litbang yang menghasilkan berbagai 13 B. J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa: Beberapa Pemikiran Tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Sedang Berkembang, Pidato pada Sidang Deutche Gesellschaft Fur Luft- und Raumfahrt Bonn Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 62 produk yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga pengguna teknologi perlu dilakukan secara sistematik berdasarkan payung regulasi yang jelas sesuai dengan kapasitas kapasitas litbang, outsourcing, dan diseminasi dari masing-masing lembaga. Pengembangan lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik mempunyai peran strategis dalam memberikan kontribusi peningkatan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi. Agar peran lembaga ISTP Puspiptek dapat dilakukan secara optimal maka perlu diidentifikasi berbagai kendala terkait sehingga lemlitbang nasional belum mampu berkontribusi atas isu publik yang terjadi yakni tingginya impor barang modal serta terjadinya stagnansi pertumbuhan industri penghasil barang modal yang pada gilirannya akan menyebabkan keterpurukan dunia industri nasional. Pengembangan lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik terdapat kunci sukses yang terletak pada perumusan kebijakan pada tingkatan meso di konsorsium yakni penetapan target-target yang akan dicapai dari pembentukan konsorsium itu sendiri. Bila target yang ingin dicapai berupa pendirian industri penghasil barang modal baru, maka perlu dipastikan pemilihan barang modal berangkat dari kebutuhan barang modal serta sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi pengguna teknologi. Hal ini dapat dicapai dengan komunikasi kondusif dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan konsorsium dimana lembaga pengguna teknologi merupakan salah satu anggota dalam konsorsium tersebut. Bila mengacu pada peran strategis lembaga ISTP Puspiptek. sebagaimana telah disampaikan, maka fungsi utama konsorsium yang dibentuk dengan fasilitasi lembaga ISTP Puspiptek adalah menentukan teknologi inti asing barang modal impor yang strategis untuk dikuasai demi keberlangsungan pengembangan industri nasional. Inilah target yang menjadi tujuan dari kebijakan di tingkat meso yang perlu didukung dengan komitmen pemanfaatan sumber daya dari masing-masing anggota konsorsium dalam implementasi program kegiatan yang bersinergi. Implementasi benchmarking terhadap transformasi industri sebagaimana yang telah dilakukan Korea untuk semua tahapan transformasi menuju negara industri maju, maka lembaga ISTP Puspiptek memfasilitasi pelaksanaan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang publik yang merupakan lembaga penghasil teknologi untuk melaksanakan kebijakan meso tersebut pada tingkatan operasional dengan melakukan: 1 “imitation” atau “reverse engineering ” untuk substitusi teknologi inti impor yang telah ditetapkan; dan 2 pengembangan teknologi inti untuk menghasilkan produk baru atau inovasi produk. Di samping itu, pelaksanaan litbang dasar dalam rangka mendukung pengembangan terhadap teknologi inti tertentu yang diperlukan untuk mendukung kegiatan litbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek dapat dikoordinasikan dengan berbagai lemlitbang publik terkait, terutama lemlitbang yang berada di Kawasan Puspiptek. Berbagai produk yang dihasilkan dari pelaksanaan litbang oleh lemlitbang dalam konsorsium yang dibentuk di lembaga ISTP Puspiptek perlu didorong lebih lanjut, sehingga dapat mendukung tujuan pembentukan konsorsium berupa pengembangan industri penghasil barang modal untuk mendukung kebutuhan industri nasional tertentu yang diprioritaskan. Beberapa tahapan yang perlu difasilitasi antara lain pelaksanaan inkubasi teknis dan bisnis serta dukungan operasional proses bisnis sebagai industri penghasil barang modal baru. Dalam rangka mendukung keberhasilan peran lembaga ISTP Puspiptek sebagai lembaga publik dalam memberikan solusi terhadap isu publik yang berkembang, terutama terkait dengan ketergantungan secara sistemik industri nasional terhadap barang modal impor serta ketidakmampuan industri penghasil barang modal nasional dalam memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, maka perlu diidentifikasi isu strategis bagi peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi. Dalam konteks Indonesia, setidaknya terdapat tiga isu strategis yang memicu terjadinya berbagai kendala dalam peningkatan relevansi lembaga penghasil teknologi, yakni: 1 kendala regulasikebijakan, berupa inkonsistensi advokasi kebijakan serta perumusan regulasi yang seringkali bersifat sektoral; 2 kendala kualitas tatakelola lemlitbang publik, sehingga kontribusi terhadap penyelesaian berbagai isu publik masih relatif rendah; dan 3 kendala terlaksananya sinergi fungsional program kegiatan litbang karena pengembangan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 63 iptek belum didasarkan pada sebuah sistem yang bercirikan: a adanya tujuan bersama yang ingin dicapai yang ditransformasikan dalam bentuk roadmap program kegiatan sehingga terjadi sinkronisasi dan integrasi program kegiatan dalam sebuah jejaring kerja yang kondusif, serta b adanya awareness dari segenap pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sehingga alokasi sumber daya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Pengembangan konsorsium untuk mewujudkan kemandirian teknologi industri nasional melalui pengembangan industri penghasil barang modal yang difasilitasi oleh lembaga ISTP Puspiptek merupakan jawaban atas berbagai isu stategis tersebut. Perumusan roadmap program kegiatan sebagai elaborasi dari tujuan bersama dari pemangku kepentingan konsorsium merupakan acuan pelaksanaan litbang yang dilakukan oleh lemlitbang di lingkungan lembaga ISTP Puspiptek dengan berbagai produk litbang yang sesuai dengan kebutuhan industri tertentu sehingga kontribusi terhadap peningkatan relevansi lemlitbang sebagai lembaga penghasil teknologi dapat dilakukan secara optimal. Pemangku kepentingan konsorsium yang terdiri dari berbagai unsur seperti perguruan tinggi, lemlitbang LPK dan LPNK, badan usaha, LPNK dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala faktual seperti belum optimalnya pengelolaan dan penyelenggaraan terhadap pembentukan SDM, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi, standar nasional, dll. Pengembangan konsorsium dengan tujuan bersama yang telah ditetapkan dalam roadmap program kegiatan diharapkan mampu mewujudkan iklim kondusif pada jejaring kerja antar pemangku kepentingan dengan sinkronisasi dan integrasi pelaksanaan pengembangan iptek dengan pemanfaatan sumber daya iptek yang dilakukan secara optimal.

4. PERUMUSAN PENGEMBANGAN LEMBAGA ISTP

Perumusan sistem manajemen dan sistem organisasi dari lembaga ISTP yang akan dibentuk perlu dilakukan berdasarkan pada kebutuhan nyata terhadap peran yang akan dijalankan oleh lembaga dalam konteks penguatan SINas. Secara lengkap perumusan sistem manajemen dan sistem organisasi dari lembaga ISTP dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah. Gambar 1. Desain Pengembangan Sistem Manajemen dan Sistem Organisasi Lembaga ISTP Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 64 Selanjutnya penetapan visi, misi dan tujuan lembaga menjadi strategis untuk memformulasikan sistem manajemen dan sistem organisasi yang tepat. Lembaga ISTP adalah sebuah organisasi yang dikelola oleh profesional khusus, visi, misi dan tujuan utamanya adalah: Visi lembaga: adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menguatkan peran iptek dalam pembangunan ekonomi dengan mempromosikan budaya inovasi dan daya saing usaha terkait serta lembaga-lembaga berbasis pengetahuan Misi lembaga untuk mewujudkan visi tersebut adalah: 1. merangsang dan mengatur arus pengetahuan dan teknologi antar universitas, lembaga RD, dan industri; 2. memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan perusahaan berbasis inovasi melalui inkubasi dan proses spin-off; 3. menyediakan layanan nilai tambah lainnya melalui layanan data informasi Keahlian SDM, Infrastruktur Iptek, Status Teknologi pada S-curve, Status Produk pada S-curve, dll.; 4. menyediakan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi untuk mendukung inkubasi bisnis teknologi; 5. memfasilitasi pelaksanaan adopsi teknologi ke industri nasional. Sedangkan tujuan pembentukan lembaga ISTP adalah: 1. mendukung perumusan kebijakan yang terkait dengan penguatan SINas dengan memberikan masukan-masukan kepada pembuat kebijakan Pemerintah berupa permasalahan aktual yang dihadapi oleh pemangku kepentingan ISTP dalam pelaksanaan proses inovasi dalam SINas. 2. mendukung upaya penguatan sistem technology clearing house sangat strategis bagi kepentingan nasional. Pengembangan sistem dilakukan dengan penetapan sebagai salah satu peran lembaga sehingga dapat menjadi katalis bagi terwujudnya peningkatan koordinasi antar LPNK di lingkungan Puspiptek dengan lembaga-lembaga yang secara parsial juga melakukan clearing house seperti BSN Proses Standarisasi Produk, Balai POM – Kementerian Kesehatan pengujian obat dan makanan, Puskim PU pembangunan gedung, KLH Balai Kliring Keamanan Hayati - untuk sumber daya hayati. 3. mendukung upaya penguatan sistem audit teknologi bagi peningkatan daya saing industri nasional serta kepentingan nasional, terutama terkait dengan keamanan nasional, keselamatan, keamanan, serta kelestarian lingkungan. 4. mendukung penguatan sistem HKI untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia dalam sistem perdagangan bebas WTO yang terkait dengan TRIPs. 5. mendukung terwujudnya kemitraan antara lembaga penghasil teknologi, lembaga intermediasi, lembaga pengguna teknologi, serta lembaga pendanaan yang berbasis pada sinergi program dengan mekanisme supply-demand sehingga mampu meningkatkan kontribusi swasta dalam pelaksanaan penguasaan, pengembangan, serta pemanfaatan Iptek untuk mendukung daya saing industri nasional. 6. mengurangi distorsi kompetensi SDM yang terjadi antara lembaga penghasil teknologi dan lembaga pengguna teknologi dengan memperkuat kinerja dan sinergi yang terjadi dalam jejaring kerja antar pemangku kepentingan SINas terutama dalam pemanfatan kompetensi SDM. 7. memfasilitasi diseminasi produk teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penghasil teknologi sehingga secara optimal dapat dimanfaatkan oleh lembaga pengguna teknologi untuk menghasilkan produk yang berdaya saing sebagai sumber bagi pertumbuhan perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. 8. mendukung tersedianya datainformasi Iptek secara meluas serta kemudahan akses dari segenap pemangku kepentingan terhadap terhadap datainformasi tersebut. Berdasarkan visi, misi, serta tujuan lembaga ISTP tersebut, maka perlu dilakukan pengembangan program kegiatan sesuai dengan peran lembaga yang telah disampaikan di depan. Berdasarkan analisa Metode AHP terhadap pendapat pakar dengan memperhatikan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 65 faktor-faktor: 1 Kesiapan SDM Pelaksana; 2 Kesiapan Biaya Operasional; 3 Kesiapan Infrastruktur Pendukung; 4 Kesesuaian dengan Kebutuhan Customer I-STP; serta 5 Dukungan pada Program Prioritas Pemerintah, maka prioritas program kegiatan ISTP adalah sebagai berikut:

1. Milestone I: Periode 2012 – 2014: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan

Peran ISTP dalam: 1 Inkubasi Bisnis Teknologi ; 2 Inovasi Produk Industri ; serta 3 Koordinator Pemangku kepentingan ISTP;

2. Milestone II: Periode 2014 – 2017: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan

Peran ISTP dalam: 1 Sumber DataInformasi Iptek; 2 Pemasaran Bersama; serta 3 Intermediator Teknologi dan Pendanaan; dan

3. Milestone III: Periode 2017 – 20120: Program kegiatan yang mendukung pelaksanaan

Peran ISTP dalam: 1 Penguatan Sistem Standardisasi Nasional; 2 Komersialisasi HKI; serta 3 Technology Clearing House. Dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan dari lembaga ISTP yang telah ditetapkan maka disusun organisasi lembaga seperti pada Gambar 2 sebagai berikut: Gambar 2. Struktur Organisasi ISTP Berdasarkan identifikasi isu strategis yang menjadi kendala dalam pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek serta peran lembaga ISTP yang perlu dilakukan untuk memberikan kontribusi terhadap penyelesaian kendala yang ada, maka perlu dirumuskan strategi implementasi kebijakan pengembangan lembaga ISTP tersebut. SISTEM ORGANISASI I-STP DEWAN PENGARAH NASIONAL DIREKTUR DEWAN KONSORSIUM MANAJER INTERMEDIASI PENDANAAN TEKNOLOGI DEWAN PENGAWAS MANAJER KERJASAMA PERTUKARAN INFORMASI MANAJER ADMINISTRASI UMUM ASET MANAJER DISEMINASI HAKI MANAJER PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM IPTEK STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF MANAJER PERENCANAAN PENGEMBANGAN SISTEM ORGANISASI I-STP DEWAN PENGARAH NASIONAL DIREKTUR DEWAN KONSORSIUM MANAJER INTERMEDIASI PENDANAAN TEKNOLOGI DEWAN PENGAWAS MANAJER KERJASAMA PERTUKARAN INFORMASI MANAJER ADMINISTRASI UMUM ASET MANAJER DISEMINASI HAKI MANAJER PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM IPTEK STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF STAF MANAJER PERENCANAAN PENGEMBANGAN Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 66 Strategi implementasi kebijakan pengembangan lembaga ISTP tersebut dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan yang ditunjukkan pada Gambar 3 sebagai berikut: Gambar 3. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Lembaga ISTP Strategi implementasi pengembangan lembaga ISTP dimulai dengan penyusunan Naskah Akademik Lembaga ISTP yang umum dilakukan dalam pembentukan sebuah lembaga publik. Berdasarkan SK Organisasi ISTP yang dikeluarkan oleh Kementerian PAN RB selanjutnya dilakukan penyusunan SK Struktur Organisasi dan Tatakerja lembaga ISTP yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Selanjutnya dilakukan penyusunan SK Menristek untuk menetapkan personil yang duduk dalam Dewan Pengarah Nasional dengan melakukan koordinasi lintas sektoral pada kementerian terkait. Dewan Pengarah Nasional yang telah terbentuk menetapkan personil-personil yang duduk dalam Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dewan Pengawas yang telah terbentuk akan melakukan seleksi personil, baik dari kalangan pemerintah, pelaku bisnis, maupun profesional, untuk diusulkan sebagai Direktur Lembaga ISTP kepada Dewan Pengarah Nasional. Dewan Pengarah Nasional memilih dan menetapkan Direktur Lembaga ISTP berdasarkan usulan personil yang diajukan oleh Dewan Pengawas. Selanjutnya Direktur terpilih akan melengkapi personil-personil yang duduk dalam jajaran Dewan Direksi para Manajer Bidang sesuai dengan SK Organisasi dan Tatakerja Lembaga ISTP. Dewan Direksi akan menyusun dan menetapkan roadmap program kegiatan yang akan dilaksanakan oleh lembaga ISTP sesuai dengan daya dukung sumberdaya pada kondisi eksisting yang tersedia. Pelaksanaan program kegiatan lembaga ISTP dan diseminasi output yang dihasilkan diukur kinerjanya berdasarkan kontribusi yang diberikan dalam mendukung perkuatan SINas dalam siklus PDCA plan-do-check-action untuk mendukung terwujudnya perbaikan berkelanjutan serta pelayanan prima pada customer lembaga ISTP. Pelaksanaan proses dalam Siklus PDCA ini memperhatikan beberapa hal, antara lain: 1 pelaksanaan program kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ISTP; 2 proses diseminasi hasil-hasil kegiatan barangjasa lembaga ISTP; 3 umpan balik customer dan pemangku kepentingan dalam Sistem Inovasi Nasional. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 67 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan:  Pembentukan lembaga ISTP berpotensi untuk memberikan kontribusi secara signifikan pada upaya-upaya penyelesaian secara sistemik terhadap berbagai kendala yang terjadi dalam pelaksanaan penguatan SINas.  Komitmen sumber daya pendukung bagi pembentukan lembaga ISTP berupa dukungan SDM dan infrastruktur fisik yang berada di Kawasan Puspiptek sangat mendukung lembaga untuk menjalankan perannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diberikan sebagai lembaga publik.  Lembaga ISTP akan dibentuk sebagai satker non struktural dengan menerapkan sistem pengelolaan keuangan BLU untuk mendukung terwujudnya layanan prima kepada pelanggannya. Layanan yang diberikan lembaga tidak berorientasi pada profit tetapi lebih difokuskan pada peningkatan produktifitas, efektifitas, dan efisiensi dalam menunjang terwujudnya pelayanan prima.  Peran yang akan dilakukan oleh lembaga ISTP sebagai pelaksanaan tupoksi dan positioning lembaga terhadap lembaga-lembaga yang telah eksis dalam kelembagaan Iptek pada SINas, terutama yang berada di Kawasan Puspiptek, bersifat komplementer dan bersinergi dengan peran yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga yang ada sehingga mampu secara signifikan berkontribusi terhadap berbagai kendala faktual dalam pelaksanaan penguatan SINas yang dilakukan.  Proses bisnis yang dijalankan lembaga terbagi atas level makro, meso, dan mikro. Proses bisnis pada level makro difokuskan pada penetapan sistem pendukung supporting system bagi keberhasilan pelaksanaan peran ISTP berupa regulasikebijakan, infrastruktur, SDM dengan lingkup nasional. Untuk proses bisnis pada level meso difokuskan pada penetapan kebijakan level korporasi terkait dengan peran ISTP sesuai dengan visi, misi, tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan proses bisnis pada level mikro merupakan proses bisnis yang terkait dengan kegiatan untuk merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi, program kegiatan terkait dengan peran ISTP sesuai dengan kebijakan pada level korporasi.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

 Perlu dikembangkan sistem pendukung internal ISTP agar mampu memberikan kepercayaan bagi pelaku bisnis untuk menjalin kerjasama dalam pengembangan bisnisnya, dimana ada jaminan terhadap kerahasiaan terhadap kepentingan bisnis yang akan dikembangkan. Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah implementasi Hukum Tata Niaga dalam setiap perselisihan yang terkait dengan kerjasama pengembangan bisnis yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan ISTP. Perlindungan ide-ide bisnis dari kemungkinan pemanfaatan oleh pihak ketiga selama pelaksanaan kerjasama berlangsung perlu menjadi perhatian bagi manajemen ISTP.  Personil yang duduk dalam lembaga ISTP berorientasi pada profesionalisme dengan keterwakilan dari unsur-unsur ABG akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah, sehingga permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan lembaga dapat dilihat secara komprehensif dari berbagai sudut kepentingan pemangku kepentingan SINas.  Pengembangan program kegiatan ISTP perlu dilakukan berdasarkan roadmap program yang jelas guna mencapai tujuan dari pendirian lembaga yang telah ditetapkan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dudi Hidayat dari Pappiptek-LIPI yang telah memberikan saran perbaikan makalah ini. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 68 PUSTAKA Bell, M and K. Pavitt, 1993. Technological Accumulation And Industrial Growth: Contrast Between Developed And Developtment Countries” Industrial And Corporate Change, Vol. 2, No 2, pp 157-211. Habibie, B.J., 1984. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Indonesia. Hackett, E.J., Olga A., Michael L., and Judy W., 2007. The Handbook of Science and Technology Studies, Third Edition, The MIT Press, USA. Lakitan, M., 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistim Inovasi Nasional. Keynote Speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Pasca Sarjana Universitas Sahid, Jakarta. Lakitan, M., 2009. Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistim Inovasi Nasional: Pendidikan, Riset, Industri dan Konsumen, Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. VIII, No. 1, Juli 2009. OECD, 1977. National Innovation System, Organization for Economic Co-operation and Development OECD. Smits, R.E., Stefan K and Philip S., 2010. The Theory and Practice of Innovation Policy, Edward Elgard Publishing Limited, The Malcolm Baldrige National Quality Award Program, Criteria for Performance Excellence. Baldrige National Quality Program National Institute of Standards and Technology Technology Administration United States Department of Commerce Administration Building, Room A600 100 Bureau Drive, Stop 1020 Gaithersburg, MD 20899. Wessner, C.W., 2009. Understanding Research, Science and Technology Parks: Global Best Practice: Report of a Symposium ; Comparative Innovation Policy: Best Practice for the 21st Century;. National Research Council-USA, Washington DC. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 69 STRATEGI LEMBAGA LITBANG DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN INOVASI FRUGAL DI KABUPATEN PATI Jatmiko Wahyudi Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati Jl. Panglima Sudirman No. 26 Pati Jawa Tengah E-mail: jatmiko_tkunsyahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang memeengaruhi penurunan jumlah produk inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat Kabupaten Pati yang ditinjau dalam lomba “Pati Innovation Award” serta merumuskan strategi yang harus dijalankan oleh lembaga litbang daerah di Kabupaten Pati dalam meningkatkan munculnya produk-produk inovasi. Selama ini kesuk sesan “Pati Innovation Award” merupakan faktor kunci keberhasilan lembaga litbang daerah di Pati dalam mengembangkan inovasi frugal sebab event ini mampu memetakan permasalahan di lapangan dan merupakan sarana efektif dalam menjaring inovator serta produk inovasi yang ada di masyarakat. Secara umum, produk yang dihasilkan para inovator di Kabupaten Pati memiliki karakteristik antara lain: 1 produk dengan biaya rendah low cost; 2 tepat guna sebab ide berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat; 3 menggunakan sumber daya lokal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dari evaluasi faktor internal EFI dan eksternal EFE serta rumusan strategi-strategi yang dihasilkan melalui analisis SWOT, diperoleh strategi yang paling diprioritaskan melalui analisis QSPM. Strategi yang paling diprioritaskan yaitu dengan meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk dengan efektifitas penggunaan anggaran, pemilihan personel yang kompeten, dan pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program kerja. Kata Kunci: Pati innovation award, SWOT, QSPM

1. PENDAHULUAN

Pelaksanaan otonomi daerah memberikan implikasi yang besar terhadap pembangunan di daerah, termasuk juga pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek, telah diterbitkan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pasal 21 UU Nomor 18 Tahun 2002 menyatakan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung pertumbuhan dan sinergi semua unsur sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Instrumen kebijakan yang dimaksud antara lain dapat berupa dukungan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran, penghargaan bagi para inventor dan penyelenggaraan program iptek Mulatsih dan Putera, 2009. Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati sebagai lembaga litbang daerah memiliki tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2002. Salah satu bentuk pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang dilakukan oleh Kantor Litbang Kabupaten Pati adalah melalui pelaksanaan kegiatan lomba Pati Innovation Award. Sejak digulirkan pada tahun 2005, Pati Innovation Award telah berhasil menjaring produk- produk inovasi yang berasal dari masyarakat Kabupaten Pati. Dari empat kali penyelenggaraan Pati Innovation Award, secara umum produk yang dihasilkan para inovator di Kabupaten Pati memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: 1 produk dengan biaya rendah low cost; 2 tepat guna sebab ide berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masyarakat; dan 3 menggunakan sumber daya lokal. Dilihat dari karakteristiknya, produk inovasi yang muncul dapat dikategorikan sebagai produk inovasi frugal. Menurut Bound dan Thornthon 2012, pada awalnya inovasi frugal disamakan dengan inovasi untuk Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 70 menciptakan produk yang murah dengan teknologi rendah. Namun selanjutnya inovasi frugal dimaknai tidak hanya menghasilkan produk yang murah namun mampu membuat produk yang lebih baik dari sebelumnya dan bisa dikembangkan dalam produksi skala besar. Inovasi frugal merupakan suatu respon terhadap adanya keterbatasan seperti pembiayaan, material maupun dukungan lembaga. Inovasi frugal mampu mengubah keterbatasan- keterbatasan ini menjadi sebesar-besarnya manfaat. Walaupun memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat serta ditambah adanya dukungan pemerintah yang cukup memadai, empat kali penyelenggaraan Pati Innovation Award mengalami penurunan jumlah peserta dan produk yang dilombakan secara signifikan. Tren penurunan tersebut bisa dilihat pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Jumlah Peserta Pati Innovation Award I-IV Gambar 2. Jumlah Produk yang Dilombakan di Pati Innovation Award I-IV Berdasarkan Gambar 1, terlihat jumlah peserta yang berasal dari masyarakat umum maupun dari institusi pendidikan mengalami penurunan. Sementara berdasarkan gambar 2, jumlah produk yang dilombakan dalam Pati Innovation Award juga mengalami penurunan. Kondisi ini sangat disayangkan sebab kesuksesan Pati Innovation Award merupakan faktor kunci keberhasilan lembaga litbang daerah di Pati dalam mengembangkan inovasi frugal. Selama ini event Pati Innovation Award telah mampu memetakan permasalahan di lapangan dan merupakan sarana efektif dalam menjaring serta mengembangkan inovator serta produk inovasi yang ada di masyarakat. Tindak lanjut kegiatan Pati Innovation Award antara lain: 1 terbentuknya komunitas inventor yang awalnya merupakan para peserta lomba yang Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 71 memiliki kepedulian dalam pengembangan iptek; 2 pengiriman pemenang lomba serta produk-produk unggulan ke kompetisi inovasi teknologi di tingkat propinsi dan nasional; dan 3 pendaftaran produk inventor untuk memiliki hak atas kekayaan intelektual HKI. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan prioritas strategi yang harus dilakukan oleh lembaga litbang daerah dalam mengembangkan inovasi frugal khususnya strategi dalam mengatasi semakin menurunnya minat masyarakat dalam mengikuti lomba Pati Innovation Award. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait dalam mengembangkan inovasi frugal di Kabupaten Pati.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012 di Kabupaten Pati. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam. Narasumber yang dipilih yaitu dari para peserta lomba Pati Innovation Award sejak penyelenggaraan yang pertama yaitu pada tahun 2005 sampai penyelenggaraan yang keempat tahun 2012. Wawancara juga dilakukan dengan pimpinan dan karyawan Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati yang selama ini terlibat dalam penyelenggaraan Pati Innovation Award. Data sekunder diperoleh melalui sumber pustaka dan data dari instansi terkait. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki Nasir, 2003. Hasil wawancara dianalisa secara kualitatif. Perhitungan pengaruh faktor eksternal dan internal dilakukan secara kuantitatif. Penetapan faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pati Innovation Award disajikan dengan matriks evaluasi strategi Internal IFE dan evaluasi strategi eksternal EFE. Analisis SWOT Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats digunakan untuk menghasilkan alternatif-alternatif strategi yang harus dilakukan oleh para stakeholder. Untuk menentukan prioritas strategi yang direkomendasikan, penelitian ini menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix QSPM David, 2009. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal Hasil penilaian terhadap faktor internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan serta hasilnya disajikan pada Tabel 1. Nilai pembobotan diatas 0,1 menunjukkan faktor tersebut memiliki peranan yang dominan. Nilai rating faktor kekuatan yang semakin besar menunjukkan pihak yang terkait telah mampu memanfaatkan kekuatan yang ada. Nilai rating kecil pada faktor kelemahan menunjukkan pihak terkait belum mampu mengatasi kelemahan yang muncul. Tabel 1. Matriks Evaluasi Faktor Internal No Faktor Penentu Internal Bobot Rating Skor Kekuatan 1 2 3 4 5 Ketersediaan anggaran dari pemerintah Keberadaan komunitas inventor Pengalaman penyelenggaraan Ketersediaan sumber daya manusia Penggunaan media untuk penyebaran informasi 0,20 0,10 0,10 0,15 0,05 3 4 4 4 3 0,60 0,40 0,40 0,60 0,15 Kelemahan 1 2 3 4 5 Pendeknya waktu penyebaran informasi lomba Kurang optimalnya kinerja komunitas inventor Lemahnya dukungan dan pembinaan yang berkelanjutan Penghargaan pemenang yang rendah Permasalahan birokrasi yang menghambat 0,05 0,15 0,05 0,05 0,10 1 1 2 2 2 0,05 0,15 0,10 0,10 0,20 Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 72 Total 1,00 2,75 Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan eksternal meliputi faktor peluang dan ancaman disajikan pada Tabel 2. Rating yang semakin besar menunjukkan pihak terkait mampu mengantisipasi ancaman dengan memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan nilai rating kecil menunjukkan pihak terkait belum mampu mengatasi ancaman yang muncul. Tabel 2. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal No Faktor Penentu Internal Bobot Rating Skor Peluang 1 2 3 4 5 Berkembangnya sekolah kejuruan teknik Keberadaan lomba inovasi di tingkat propinsinasional Pelibatan mahasiswa sebagai inovator Peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek Peningkatan penghargaan bagi inventor 0,10 0,05 0,10 0,15 0,10 4 3 3 4 4 0,40 0,15 0,30 0,60 0,40 Ancaman 1 2 3 4 5 Ketidakpercayaan peserta terhadap sistem penilaian Ketidakpedulian stakeholder Pengaruh situasi sosial politik Perubahan kebijakan sekolah kejuruan teknik Adanya lomba inovasi setingkat yang lebih menarik 0,05 0,20 0,10 0,10 0,05 1 2 1 2 2 0,05 0,40 0,10 0,20 0,10 Total 1,00 2,70 Dari Tabel 1 dapat dilihat faktor – faktor lingkungan internal yang menjadi kekuatan utama adalah ketersediaan anggaran dari pemerintah dengan bobot 0,2. Kegiatan Pati Innovation Award merupakan kegiatan tetap dua tahunan dan menjadi salah satu program unggulan dari Kantor Litbang Pati. Pelaksanaan Pati Innovation Award dalam 3 periode selalu tepat waktu dan mendapat dukungan anggaran yang memadai. Hanya pada tahun 2011, pelaksanaan Pati Innovation Award terpaksa diundur satu tahun karena Kabupaten Pati mengalami permasalahan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah Pilkada. Kurang lebih selama satu tahun Kabupaten Pati tidak memiliki kepala daerah definitif akibat adanya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengulang pelaksanaan pilkada. Pada tahun 2011, perhatian pemerintah Kabupaten Pati terfokus pada penyelesaian permasalahan pilkada. Kekuatan lain yang dominan yaitu ketersediaan sumber daya manusia dengan bobot 0,15. Sumber daya manusia SDM yang ada di Kantor litbang Pati meliputi fungsional peneliti dan struktural sangat memadai dalam hal kuantitas maupun kualitas. Tugas pokok dan fungsi lembaga yang memang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan SDM kantor litbang dalam memahami dinamika permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan lomba Pati Innovation Award. Kelemahan utama adalah kurang optimalnya kinerja komunitas inventor dengan bobot 0,15. Komunitas inventor telah dibentuk sejak tahun 2009, dengan anggota komunitas berasal dari masyarakat umum dan staf pengajar pada sekolah kejuruan. Anggota komunitas dipilih dari beberapa peserta lomba Pati Innovation Award I – III dan memiliki komitmen dalam hal inovasi teknologi. Komunitas inventor mendapat fasilitas dari Kantor Litbang Pati dalam bentuk anggaran, sarana dan prasarana serta dukungan sumber daya manusia. Diharapkan anggota komunitas ini mampu menjadi duta Kantor Litbang dalam memantau potensi masyarakat dalam bidang iptek serta menyebarluaskan informasi mengenai kebijakan di Kantor Litbang khususnya dalam bidang pengembangan dan pemanfaatan iptek. Namun keberadaan komunitas ini dinilai kurang efektif kinerjanya. Kinerja komunitas ini masih sangat tergantung pada instansi pemerintah termasuk dalam hal koordinasi. Kondisi ini masih ditambah dengan kurang aktifnya beberapa anggota komunitas. Kurang Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 73 efektifnya komunitas khususnya dalam mendukung kegiatan Pati Innovation Award tampak dari ketidakmampuan dalam menyerap potensi masyarakat. Dari Tabel 2 dapat dilihat faktor lingkungan eksternal yang menjadi peluang utama adalah peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek dengan bobot 0,15. Anggaran pemerintah dibedakan menjadi dua yaitu yang dikelola oleh Kantor Litbang dan anggaran yang dikelola oleh instansi di luar kantor litbang misalnya instansi teknis dan institusi pendidikan. Peningkatan anggaran pemerintah disebabkan oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya produk inovatif yang murah serta tepat guna untuk mengatasi permasalahan di masyarakat. Bisa dirasakan besarnya perhatian pemerintah pada sektor pendidikan kejuruan. Hal ini turut mendukung proses pemanfaatan dan pengembangan iptek. Ancaman utama adalah ketidakpedulian stakeholder dengan bobot 0,20. Proses pengembangan teknologi yang tepat guna, murah serta mengandalkan sumberdaya lokal merupakan sebuah rangkaian panjang. Stakeholder yang terkait antara lain pemerintahan desa, institusi pendidikan, instansi teknis, litbang dan masyarakat. Pelaksanaan Pati Innovation Award hanyalah suatu ajang sebagai bentuk pemacu dan penghargaan kepada para inovator. Hal yang lebih penting yaitu kemampuan para stakeholder dalam memantau keberadaan dan potensi para inovator lokal. Dari wawancara yang dilakukan pada para peserta lomba, terutama yang berasal dari masyarakat umum, tidak ditemukan peran pemerintah desa dan kecamatan dalam hal pemantauan dan pembinaan bagi para inovator. 3.2 Analisa SWOT Analisa SWOT merupakan suatu metode analisa berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal untuk menghasilkan strategi –strategi yang layak untuk dipertimbangkan David, 2009. Pada tabel 3 disajikan hasil analisa dalam bentuk matriks SWOT. Tabel 3. Matriks SWOT Pati Innovation Award FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KEKUATAN STRENGTH 1. Ketersediaan anggaran dari pemerintah 2. Keberadaan komunitas inventor. 3. Pengalaman penyelenggaraan. 4. Ketersediaan Sumber Daya Manusia 5. Penggunaan media untuk penyebaran informasi KELEMAHAN WEAKNESS 1. Pendeknya waktu penyebaran informasi lomba 2. Kurang optimalnya kinerja komunitas inventor 3. Lemahnya dukungan dan pembinaan yang berkelanjutan 4. Penghargaan pemenang yang rendah. 5. Permasalahan birokrasi yang menghambat PELUANG OPPORTUNITY 1. Bertambahnya sekolah kejuruan 2. Keberadaan lomba inovasi di tingkat propinsinasional 3. Pelibatan mahasiswa sebagai inovator 4. Peningkatan anggaran pemerintah untuk pengembangan iptek 5. Peningkatan penghargaan bagi inventor STRATEGI S-O  Meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk STRATEGI W-O  Meningkatkan penghargaan kepada para inovator utamanya pemenang lomba dengan cara 1 penambahan nilai hadiah; 2 ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional.  Memberikan rekomendasi mengenai pengembangan dan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait. ANCAMAN THREAT 1. Ketidakpercayaan peserta terhadap sistem penilaian 2. Ketidakpedulian STRATEGI S-T  Intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan. STRATEGI W-T  Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 74 stakeholder 3. Pengaruh situasi sosial politik. 4. Perubahan kebijakan sekolah kejuruan. 5. Adanya lomba inovasi setingkat yang lebih menarik Dari hasil analisa SWOT, diperoleh strategi S-O Strength-Opportunity yaitu meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk. Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: 1 mengefektifkan anggaran; 2 pemilihan personel yang kompeten; dan 3 pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program kerja komunitas inventor. Keberadaan para inventor yang tergabung dalam komunitas inventor merupakan aset yang berharga dalam upaya mengembangkan semangat berinovasi di masyarakat Kabupaten Pati. Kurang berkembangnya komunitas inventor perlu segera dievaluasi dan mendapatkan solusi. Strategi W-O 1 Weakness – Opportunity yaitu meningkatkan penghargaan kepada para inovator utamanya pemenang lomba dengan cara penambahan nilai hadiah dan ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional. Beberapa peserta yang diwawancarai mengungkapkan bahwa nilai hadiah masih terlalu kecil. Biaya yang dikeluarkan para inovator dalam menciptakan produk termasuk proses uji coba trial and error cukup tinggi sehingga hadiah yang diterima tidak terlalu dirasakan manfaatnya. Tidak jarang para inovator yang produknya tidak memenangkan lomba harus merugi. Strategi ekspos ke media massa dimaksudkan agar ide kreatif para inovator dapat ditangkap oleh masyarakat sehingga produk yang dihasilkan dapat diproduksi secara masal dan memberikan keuntungan bagi inovator. Pengupayaan produk inovatif untuk mendapatkan hak atas kekayaan intelektual harus terus dilakukan sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada inventor. Sampai saat ini upaya tersebut baru sampai pada proses pendaftaran namun pada akhirnya produk masyarakat Pati mengalami kegagalan dalam mendapatkan HKI. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menangani HKI, misalnya perguruan tinggi maupun lembaga litbang lain yang menjadi sentra HKI. Strategi W-O 2 Weakness – Opportunity yaitu memberikan rekomendasi mengenai pengembangan dan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait. Sebagai contoh, inovator yang tertarik di bidang teknologi perikanan akan lebih berkembang tatkala mendapatkan bimbingan dari instansi pemerintah yang menangani masalah perikanan. Dalam tugas kesehariannya, seringkali instansi terkait mendapatkan keluhan masyarakat mengenai permasalahan yang membutuhkan solusi di bidang rekayasa teknologi yang murah dan tepat guna. Strategi S-T Strength – Threat yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan. Intensifikasi yang dimaksud adalah mengoptimalkan kegiatan promosi yang sebelumnya telah dilakukan seperti lewat media massa, poster, komunitas inventor, dan lainnya. Sedangkan ekstensifikasi yaitu melakukan promosi kegiatan melalui cara dan media yang baru seperti penggunaan jejaring sosial dan promosi ke perguruan tinggi. Mahasiswa asal Kabupaten Pati yang belajar di perguruan tinggi berpotensi untuk berpartisipasi sebagai peserta lomba. Penggunaan jejaring sosial efektif untuk mengatasi kendala jarak dan biaya promosi. Strategi W-T Weakness – Threat yaitu pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba. Pelibatan swasta dapat berupa sponsorship kegiatan sehingga alokasi anggaran untuk operasional dapat dialihkan untuk meningkatkan hadiah bagi pemenang. Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dapat berupa konsultan kegiatan maupun sebagai dewan juri lomba. Strategi ini merupakan respon terhadap keluhan para peserta mengenai objektivitas penilaian dewan juri yang berasal dari lokal Kabupaten Pati yang dikhawatirkan memiliki kedekatan dengan peserta lomba. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 75 3.3 Analisa QSPM QSPM memberikan pendekatan sistematik untuk mengevaluasi alternatif-alternatif strategi yang ada dan menentukan strategi terbaik untuk diimplementasikan. Tujuan QSPM adalah untuk menetapkan kemenarikan relatif relatif attractiveness. Strategi dengan nilai TAS Total Attractiveness Score tertinggi merupakan strategi yang paling diprioritaskan. Amini, 2009. Hasil analisa QSPM disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. QSPM Pati Innovation Award Uraian Strategi Nilai TAS Prioritas Meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk. 5,45 1 Meningkatkan penghargaan kepada para inovator, utamanya pemenang lomba dengan cara 1 penambahan nilai hadiah; 2 ekspos profil inovator dan produknya pada media lokal dan nasional. 5,00 2 Pelibatan swasta dan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan lomba. 4,65 3 Memberikan rekomendasi mengenai pengembangan dan pemanfaatan produk inovator kepada instansi terkait. 4,60 4 Intensifikasi dan ekstensifikasi promosi kegiatan. 3,55 5 Berdasarkan analisa QSPM, strategi “meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor yang telah dibentuk” merupakan strategi dengan prioritas tertinggi. Komunitas inventor harus tetap diberdayakan sebagai komunitas yang mandiri dan tidak tergantung sepenuhnya pada instansi pemerintah. Fungsi pemerintah lebih ditekankan sebagai fasilitator dan katalisator sehingga keberadaan komunitas lebih berkembang. Permasalahan birokrasi yang kadang membatasi gerak instansi pemerintah dalam mengembangkan iptek diharapkan dapat dijembatani oleh keberadaan komunitas inventor. Pelibatan pemerintah misalnya dalam hal pemberian anggaran dan pengawasan lebih bertujuan agar komunitas inventor bisa bersinergi dengan tujuan-tujuan pemerintah.

4. KESIMPULAN

Keberadaan lembaga litbang daerah dalam mendorong inovasi frugal di Kabupaten Pati dirasakan sangat strategis. Pelaksanaan kegiatan Pati Innovation Award terbukti efektif dalam menjaring inovator dan menggairahkan masyarakat dalam menghasilkan produk inovatif. Penurunan minat masyarakat dalam mengikuti Pati Innovation Award perlu segera mendapatkan solusi yang efektif. Strategi untuk meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan komunitas inventor dapat diartikan sebagai bentuk sinergi masyarakat dengan pemerintah. Dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk anggaran, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia terbukti menjadi kurang efektif tanpa keterlibatan masyarakat. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. Sutrisno, MM, peneliti madya pada Kantor Litbang Pati yang telah memberikan masukan dalam kegiatan penelitian ini. PUSTAKA Amini, M. T., 2009. Strategy Compiling Case Study : ZTE A Chinesse Telecommuniccation Co.. International Journal Humanities. 161: 15 – 29. Bound, K and Thornthon, I., 2012. Our Frugal Future: Lessons From India’s Innovation System. Nesta Operating Company. London. United Kingdom Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 76 David, M. E., David, F. R. and David, Fred. R., 2009. The Quantitative Strategic Planning Matrix QSPM Applied To A Retail Computer Store. The Coastal Business Journal. 81. Nasir, M. 2003., Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Mulatsih, S dan Putera, P. B., 2009. Analisis Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek. PAPPIPTEK-LIPI. Jakarta. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 77 PERAN LEMBAGA RISET DALAM SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN: ANALISIS BERPIKIR SISTEM Mahra Arari Heryanto 1 , Dika Supyandi 2 1,2 Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Gd. Sosek Lt.2 Faperta Unpad Jatinangor TelpFax. 022-7796318 E-mail: 1 mahra.arariunpad.ac.id; 2 dika_supyandiyahoo.com ABSTRAK Sebagai suatu sistem, sektor pertanian merupakan mesin pertumbuhan yang berperan dalam peningkatan pendapatan petani. Sampai saat ini, inovasi yang dilakukan dalam sistem usahatani sebagian besar masih bersifat konvensional yang didasarkan pada pengalaman petani. Pengalaman yang berasal dari kegagalan usahatani merupakan pembelajaran yang berakumulasi menjadi pengetahuan bagi petani. Namun perlu dicermati bahwa kegagalan usahatani merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani dan dalam waktu lama, kegagalan yang berulang-ulang menghabiskan biaya yang besar biaya pembelajaran. Pola tersebut mengakibatkan produk pertanian yang dihasilkan tidak kompetitif dari aspek biaya maupun kualitas. Lembaga riset yang terkait dengan sektor pertanian sampai saat ini masih belum dapat menghasilkan inovasi yang signifikan bagi petani. Kegagalan idealnya berada di lembaga riset, sehingga biaya pembelajaran petani berada di lembaga riset. Kompleksitas dalam sistem inovasi tersebut dijelaskan dengan menggunakan analisis berpikir sistem system thinking. Model konsepsi dan adopsi iptek pertanian menjadi struktur utama dalam sistem inovasi frugal guna menghasilkan produk pertanian yang kompetitif dan berkualitas. Hasil analisis menunjukan bahwa lembaga riset dalam sistem inovasi frugal sektor pertanian memiliki peran sebagai akselerator konsepsi dan adopsi iptek pertanian yang efisien dan inovatif. Pada tataran praktis, diperlukan sarana komunikasi antar pelaku usahatani dengan lembaga riset untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan membahas pengembangan inovasi iptek pertanian. Kata Kunci: sistem inovasi, berpikir sistem system thinking, iptek pertanian, riset pertanian, sistem usahatani 1. PENDAHULUAN Sektor pertanian di Indonesia merupakan mesin pertumbuhan yang berperan cukup signifikan bagi pembangunan desa karena berkontribusi sebagai pencipta nilai tambah bagi masyarakat di perdesaan dalam bentuk pendapatan usahatani. Siklus kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat desa tidak terlepas dari sektor pertanian yang menjadi andalan. Sebagai negara agraris, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah petani yang banyak. Bahkan untuk sektor tanaman pangan, komoditas padi atau beras telah menjadi sektor pertanian andalan yang banyak diusahakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Ironisnya sebagian besar dari petani yang mengusahakan padi palawija 53 dari 17,8 juta rumah tangga petani tersebut adalah para petani kecil. Lebih miris lagi dari 30 juta 12,5 persen masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan dengan segala keterbatasan, terutama dalam hal penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi atau dikenal dengan iptek di pertanian. Pada kasus ini, kenaikan harga gabah yang tinggi dan pemanfaatan teknologi dalam skala besar menguntungkan petani berlahan luas secara signifikan bila dibandingkan dengan petani kecil. Petani berlahan luas dapat meningkatkan kesejahteraannya berlipat-lipat, sementara petani kecil walau terjadi peningkatan kesejahteraan tetapi masih jauh di bawah petani berlahan luas Heryanto, 2010; Arifin, 2012. Bagi petani yang memiliki keterbatasan dalam mengakses iptek pertanian, pengalaman tentunya menjadi satu-satunya sarana pembelajaran yang ada. Mau tidak mau dan suka atau tidak pengalaman merupakan guru yang digunakan sebagai pedoman. Pengalaman kegagalan usahatani sering kali menjadi pembelajaran yang lebih efektif dibandingkan Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 78 dengan pengalaman berhasil. Efek dari kegagalan usahatani lebih berbekas dari pada keberhasilan usahatani karena pengalaman yang kurang menyenangkan akan lebih mudah disimpan dalam ingatan. Terlebih lagi secara ekonomi pengalaman gagal berusahatani menghabiskan banyak materi dan kerugian yang tidak sedikit, berbeda dengan keberhasilan usahatani yang secara ekonomi justru mendatangkan banyak uang. Kondisi psikologis memiliki peran dalam merekam peristiwa yang terjadi dalam pengalaman usahatani. Apabila kondisi seperti itu dibiarkan dalam waktu yang lama, maka secara ekonomi banyak biaya yang dihabiskan untuk proses pembelajaran tersebut. Suatu proses belajar konvensional yang dilakukan tanpa desain yang baik maka hasilnya pun akan tidak terarah. Hasil belajar dari pengalaman otodidak seperti ini memerlukan waktu yang sangat lama untuk menghasilkan inovasi konsepsi iptek. Alih-alih menghasilkan hal baru yang bermanfaat, untuk menciptakan kreasi yang baru sektor pertanian saja sudah menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Pola tersebut mengakibatkan produk pertanian yang dihasilkan tidak kompetitif dari aspek biaya maupun kualitas. Sistem inovasi frugal dalam menciptakan produk pertanian menjadi suatu kajian yang penting. Produk yang kompetitif akan memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku usaha di dalamnya, termasuk petani sebagai pelaku di hulu yang melakukan aktivitas mengolah sumberdaya hayati. Lembaga riset idealnya mengambil peran sebagai sumber konsepsi iptek pertanian guna mereduksi biaya pembelajaran yang ditanggung oleh petani sehingga produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan. Konsepsi iptek pertanian dihasilkan dengan cara yang direncanakan by desain dan dapat dijelaskan secara ilmiah, bukan dengan cara untung-untungan berdasarkan pengalaman semata.

2. ANALISIS BERPIKIR SISTEM SYSTEM THINKING

Sistem inovasi sebagai suatu sistem dibentuk oleh banyak unsur yang saling terkait satu sama lain sehingga terbentuk struktur sistem inovasi. Beberapa sub model sub sistem utama yang saling terkait di antaranya adalah sub model sistem usahatani, sub model konsepsi dan riset pertanian, serta sub model adopsi iptek pertanian. Ketiga sub model tersebut membentuk kompleksitas yang tinggi dari unsur-unsur yang membentuknya. Diperlukan suatu cara yang mampu menjelaskan kompleksitas dari sistem inovasi pertanian. Bagaimana iptek sangat dipengaruhi oleh interaksi antara petani sebagai pelaku sekaligus pencipta inovasi dengan lembaga riset yang selama ini ada perguruan tinggi, lembaga pemerintah. Untuk memahami dan mempengaruhi sistem yang kompleks tersebut diperlukan cara berpikir sistem system thinking di mana realitas menjadi dasar utama dalam analisis berpikir sistem. Selain itu, cara berpikir sistem analisis lebih fokus kepada keseluruhan bagian dari struktur yang terbentuk, tidak hanya bagian tertentu dari sistem. Pendekatan Systems Thinking merupakan pendekatan yang mengenali hubungan saling bergantung interdependent dan berkaitan interrelated dari unsur-unsur dalam suatu sistem. Pada awalnya, pendekatan ini digunakan dalam ilmu biologi 1950 –1960, yang kemudian diadaptasi oleh ilmu sosial sebagai metode dalam memahami fenomena di dunia nyata. Dalam pendekatan berpikir sistem dikenal adanya paradigma yang menyatakan bahwa suatu perubahan perilaku atau dinamika dimunculkan oleh suatu struktur unsur- unsur pembentuk yang saling bergantunginterdependen. Selanjutnya, hubungan unsur- unsur yang saling bergantung itu merupakan hubungan sebab akibat umpan balik, bukan hubungan sebab akibat searah dan merupakan proses yang berlanjut on going process, bukan potret-potret sesaat. Senge, 1990 dalam Tasrif, 2004. Dalam paradigma berpikir sistem, hubungan sebab akibat yang mempunyai polarisasi digambarkan dengan menggunakan anak panah yang di bagian sebelah kiri atau kanan ujung runcingnya diberi tanda positif + atau negatif -. Anak panah bertanda positif dapat berarti sebab akan menambah akibat atau sebab akan mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang sama pengaruh variabel yang lain terhadap akibat, jika ada, dianggap tidak ada. Arah perubahan yang sama berarti bahwa jika sebab meningkat atau menurun, pengaruhnya terhadap akibat akan menyebabkan akibat yang meningkat atau menurun pula. Sedangkan anak panah bertanda negatif dapat berarti sebab akan mengurangi akibat Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 79 Sub Model Sistem Usahatani Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian Sub Model Pembiayaan Riset Iptek Pertanian Sub Model Adopsi Iptek Pertanian Sub Model Permintaan Produk Pertanian atau sebab mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang berlawanan pengaruh variabel yang lain, jika ada, dianggap tidak ada. Arah perubahan yang berawanan berarti bahwa jika sebab meningkat atau menurun, pengaruhnya terhadap akibat akan sebaliknya yaitu menyebabkan akibat yang menurun atau meningkat. Pendekatan berpikir sistem memiliki alat tools yang dikenal dengan nama sistem archetype yang berguna untuk mengenali pola tingkah laku sistem. Tiap archetype menggambarkan garis cerita dengan tema tersendiri, pola tingkah laku secara khusus dapat digambarkan dan struktur sistem yang unik dapat dilukiskan dengan diagram sebab akibat causal loop diagramCLD. Dalam paradigma berpikir sistem, struktur sekumpulan lingkar sebab-akibat ini menentukan perilaku behaviour atau dinamika suatu fenomena. Lingkar sebab-akibat positif akan menghasilkan suatu perilaku pertumbuhan growth atau penurunan peluruhan. Lingkar sebab-akibat positif dikenal juga sebagai tipe loop reinforcing atau digunakan notasi “R”. Sedangkan lingkar sebab-akibat negatif akan menghasilkan suatu perilaku pencapaian tujuan goal seeking walaupun terkadang goal atau tujuan dalam lingkar itu tidak tampak secara eksplisit. Lingkar sebab-akibat negatif merupakan pula suatu proses penyeimbangan balancing process dengan menggunakan notasi ”B”.

3. MODEL SISTEM INOVASI FRUGAL SEKTOR PERTANIAN

Model sistem inovasi, sesuai dengan kondisi nyata pada saat ini di sektor pertanian, dibangun oleh beberapa sub model utama yang telah disebutkan di atas, yaitu sub model sistem usahatani, sub model konsepsi dan riset pertanian, dan sub model adopsi iptek pertanian. Selain sub model utama, terdapat sub model pendukung yang tidak kalah pentingnya berperan dalam jejaring sistem inovasi yakni sub model permintaan produk pertanian dan sub model pembiayaan riset untuk menghasilkan iptek sektor pertanian Gambar 1. Sumber: Hasil olahan penulis 2012 Gambar 1. Model Sistem Inovasi Sektor Pertanian Saat Ini Untuk kondisi sekarang, ketiga sub model utama saat ini memiliki keterkaitan timbal balik, sementara itu dua sub model lainnya yang bersifat pendukung hanya bersifat satu arah saja. Unsur-unsur yang dibangun dalam struktur merupakan indikator-indikator yang ada dalam sistem inovasi pertanian. Indikator-indikator yang terkait dengan petani sebagai pelaku utama sektor pertanian berada di ketiga sub model utama sistem usahatani, konsepsi Iptek pertanian dan adopsi Iptek pertanian. Sementara itu, indikator yang terkait dengan lembaga riset perguruan tinggi dan pemerintah banyak terdapat pada sub model riset iptek pertanian dan adopsi iptek pertanian. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 80

3.1. Sub Model Sistem Usahatani

Sistem usahatani adalah suatu kegiatan yang secara rutin dijalankan oleh petani yang dalam konteks waktu dijalankan secara berulang-ulang. Lingkar R1 pada Gambar 2 merupakan pusat pertumbuhan utama sektor pertanian, di mana produksi hasil pertanian menjadi indikator sistem yang memberikan dampak besar dalam sub model ini. Peningkatan produksi pertanian yang dihasilkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang kemudian dari pendapatan tersebut akan kembail digunakan sebagai modal usahatani untuk musim tanam berikutnya. Kegagalan usahatani yang terjadi pada tingkat petani memberikan efek yang kurang baik kepada petani karena menimbulkan kerugian yang akan mengurangi tingkat pendapatan yang diterima oleh petani lingkar B1. Apabila ini terjadi dengan frekuensi yang tinggi, maka pendapatan petani tidak akan pernah meningkat dan lebih jauh dampaknya adalah menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Selain lingkar R1, lingkar positif positif feeback juga terdapat pada lingkar R2 di mana aspek psikologis petani mempunyai peranan penting dalam penggunaan teknologi pertanian. Keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani akan memberikan dampak kepada menurunnya resistensi penggunaan teknologi di kalangan masyarakat petani. Hal tersebut didukung oleh pengalaman petani dalam menggunakan teknologi. Keberhasilan dalam meningkatkan produksinya memberikan efek psikologis yang positif untuk terus menggunakan teknologi. Berkebalikan dengan lingkar R1, kegagalan usahatani lingkar B2 selain merugikan petani secara psikologis akan meningkatkan resistensi terhadap penggunaan teknologi di kalangan petani. Akibatnya, tingkat penggunaan teknologi oleh petani akan menurun karena produksi hasil pertanian tidak mampu ditingkatkan sebagaimana yang diharapkan oleh semua petani. Namun demikian, perlu dicermati bahwa pada kenyatannya rendahnya tingkat penggunaan teknologi tidak hanya disebabkan oleh resistensi atau keengganan petani untuk menggunakan teknologi., tetapi bisa juga dipengaruhi oleh proses adopsi atau difusi inovasi iptek yang rendah. Tidak semua petani mendapatkan penyuluhan dan mampu mengakses teknologi, terutama petani gurem dengan penguasaan luas lahan yang sempit. Petani berlahan luas petani besar lebih mampu mengakses teknologi daripada petani kecil Heryanto, 2010. Risiko dan kegagalan berusahatani bertambah kompleks setelah revolusi hijau dan perubahan iklim. Munculnya hama penyakit baru akibat kerusakan lingkungan sangat nyata terlihat akibat dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan Setiawan, 2012. Resiko tersebut memperparah beban petani yang sudah dibuat repot dengan perubahan iklim Boer, 2008 dalam Setiawan 2012 yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Sistem usahatani merupakan sub model utama yang memegang peranan penting dalam sistem inovasi frugal. Berhasil atau tidaknya kolaborasi antar aktor dalam sistem inovasi pertanian dapat dilihat dari indikator biaya usahatani yang dibandingkan dengan jumlah produksi pertanian yang dihasilkan. Semakin rendah biaya pokok produksi per satuan produk, maka sistem inovasi yang frugal di sektor pertanian dapat dikatakan berjalan dengan baik. Dampaknya adalah pendapatan petani akan semakin meningkat karena biaya input produksi yang dikeluarkan sebagai pengurang penerimaan petani akan semakin rendah sebagai dampak efisiensi yang dilakukan dalam kegiatan usahatani. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Iptekin Nasional 2012 81 Produksi Pertanian Penerimaan Petani Pendapatan Petani Kecukupan Biaya Usahatani Penggunaan Input Produksi + + + + - Usahatani yg Gagal Kerugian Petani + Penggunaan Teknologi + Usahatani yg Berhasil Resistensi - + Produktivitas Hasil + + Kebutuhan Biaya Usahatani + - - Penjualan Produk Pertanian + + R1 B1 B2 B3 Sub Model Adopsi Iptek Pertanian - + R2 Sub Model Permintaan Produk Pertanian Sub Model Konsepsi dan Riset Iptek Pertanian Sumber: Hasil olahan penulis 2012 Gambar 2. Sub Model Sistem Usahatani Sub model sistem usahatani memiliki keterkaitan dengan permintaan produk pertanian dan konsepsi iptek pertanian. Selain itu, sub model ini memiliki keterkaitan dengan sub model adopsi iptek pertanian. Ketiga sub model lainnya memiliki peran terhadap keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagai suatu sistem yang saling terhubung dalam satu struktur, perubahan yang terjadi pada suatu unsur baik secara struktur maupun perilaku, berakibat pada perubahan perilaku atau perubahan struktur pada bagian lain dalam struktur.

3.2. Sub Model Konsepsi, Riset dan Pembiayaan Iptek Pertanian