INOVASI FRUGAL USAHA BATIK

276 satu kelompok atau fungsi tertentu dalam organisasi yang memonopoli inovasi. Namun begitu, Gaynor mengutip Drucker bahwa tidak semua anggota organisasi harus menjadi inovator karena inovator tanpa cukup dukungan staf akan menyebabkan kekacauan. Gaynor 2002 kemudian memberikan standar inovasi yang menurutnya adalah: i incremental meliputi modifikasi, penyederhanaan, perbaikan, konsolidasi dan peningkatan produk, proses, dan kualitas produksi dan distribusi; ii inovasi yang diskontinu seperti kereta kuda menjadi otomobil; iii inovasi arsitektural bila terjadi rekonfigurasi sistem komponen yang digunakan produk, proses, atau jasa; iv inovasi sistem, mencakup kegiatan yang butuh sinergi sumberdaya penting dari berbagai disiplin dan melibatkan pebisnis, akademisi, dan pemerintah,serta butuh waktu; v inovasi radikal, melibatkan pengenalan produk barang dan jasa baru yang berkembang menjadi bisnis besar yang baru atau menghasilkan industri baru, atau perubahan signifikan dalam keseluruhan industri dan cenderung menghasilkan nilai baru; dan vi inovasi yang mengacaukan disruptive, yakni inovasi yang menunjuk pada teknologi yang mengacaukan kondisi pasar. Seakan ingin menyimpulkan, Weir 1984 menyatakan inovasi dapat dilihat dari outputnya atau prosesnya. Berdasarkan outputnya, inovasi merupakan aplikasi dari gagasan baru apakah melekat pada produk, proses, jasa, sistem, pemasaran dalam mana organisasi itu beroperasi. Berdasarkan prosesnya, inovasi dilihat sebagai proses kreatif di mana nilai tambah ekonomi diperoleh dari pengetahuan; nilai tambah ekonomi diperoleh melalui transformasi pengetahuan ke dalam produk-produk baru, proses-proses, dan jasa-jasa baru sebagaimana disebutkan oleh OECD.

3. INOVASI FRUGAL USAHA BATIK

Batik, usaha batik, dan industri batik merupakan produk dari usaha kreatif serta inovatif para pelakunya. Menurut Wahono 2006, batik dan usaha batik termasuk satu dari 15 kategori industri kreatif di Indonesia. Kreativitas dan inovasi batik sudah dikenal luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sudah diakui di tingkat internasional. Badan dunia PBB untuk masalah pendidikan dan budaya serta kemasyarakatan UNESCO sejak tahun 2009 secara resmi mengakui batik sebagai warisan non-benda Bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kreativitas dan inovasi tinggi. Dari selembar kain batik terangkum berbagai dimensi baik pendidikan, budaya, sosial, dan sekaligus ekonomi serta kesejahteraan. Dimensi pendidikan, di mana satu keluarga mengajarkan kepada anggota keluarga lainnya atau anggota usaha lainnya untuk mulai turut serta membuat batik dari tingkatan paling rendah yakni membuat patron dengan menyalin ngeblat dari gambar yang telah ada ke dalam kain yang masih kosong, kemudian meningkat kepada menggoreskan canting yang berisi lilin malam di atas kain, pewarnaan, dan proses berikutnya sampai menjadi sebuah produk. Selain itu, batik merupakan produk pengetahuan knowledge sekaligus teknologi dalam mengatasi masalah pakaian dan tekstil yang dimiliki dan dikembangkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Unsur sosial juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa selembar kain batik pada umumnya jarang sekali dibuat sendiri oleh seorang pembatik, akan tetapi merupakan hasil kerjasama dari sejumlah orang mulai dari proses paling awal yakni membuat patron sampai pada pewarnaan. Sedikitnya tiga orang terlibat dalam proses pengerjaan selembar produk batik tersebut mulai awal sampai akhir menjadi sebuah produk. Batik sangat cocok dengan budaya leluhur bangsa Indonesia di masa lampau dengan adanya dimensi gotong royong atau dimensi sosial dan kebersamaan yang menjadi dasar filsafar hidup nenek moyang bangsa Indonesia dan bukan dimensi induvidual yang merupakan warisan filosofi bangsa Barat yang kemudian berkembang luas ke berbagai negara termasuk negara-negara berkembang belakangan ini. Dimensi selanjutnya adalah budaya, di mana batik merupakan warisan budaya luhur bangsa Indonesia. Dari selembar kain kosong kemudian digoreskan berbagai motif, gambar, dan desain penuh makna yang kemudian memenuhi lembaran kosong kain yang menjadi media batik tersebut. Pada awalnya, batik memiliki pakem-pakem semacam ketentuan dengan maknanya tertentu dan untuk memakai lembaran kain tersebut sebagai busana juga 277 terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Misalnya batik yang bermakna kewibawaan, kekayaan, peperangan, dan lain-lain. Selembar kain batik juga dapat membedakan strata sosial pemakainya. Batik tidak hanya sekadar busana yang berfungsi menutup tubuh, tetapi juga menjadi cerminan strata, kondisi dan emosi pemakainya. Di sinilah cerminan dimensi sosial batik melekat erat. Dimensi sosial yang lebih luas juga dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam pembuatan batik tersebut yang senantiasa dikerjakan secara gotong royong dan menjadi cermin dari interaksi masyarakat dan lingkungannya. Motif-motif batik terus berkembang mulai dari pakem-pakem yang ketat dan berasal dari lingkungan keraton terus sampai ke masyarakat dan lingkungan strata sosial biasa atau masyarakat umum. Motif-motif batik di masyarakat lebih dinamis lagi berkembang sesuai dengan kondisi, keadaan lingkungan, emosi, harapan, dan juga angan-angan yang ada di benak para pembuatnya. Motif-motif batik di masyarakat terus berkembang dengan mengambil tema-tema lingkugan sekitar, seperti buah pace di Pacitan, ikan, nelayan di Tuban, gajah dan oling sejenis belut besar yang ada maupun mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu batik merupakan produk kreatif, inovatif, dan dinamis yang akan terus berkembang dari waktu dan berwawasan lingkungan. Batik menjadi produk yang berwawasan lingkungan karena dimulai dari motif-motifnya senantiasa bertutur dan bercerita tentang kondisi lingkungan sekitarnya. Pembuatan batik menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar masyarakat pembatik tersebut. Masyarakat pembatik, terutama dengan pewarna alami ini, sangat menghormati dan menghargai kelestarian lingkungan karena pohon-pohon menjadi sumber kehidupan dalam artian ekonomi. Kerusakan alam yang akan mengakibatkan hilangnya pepohonan sebagai bahan pewarna alam, merupakan hal yang tidak diinginkan oleh para pelaku usaha batik. Dari sisi ekonomi dan kesejahteraan serta keadilan sosial, batik sudah sangat jelas karena diteknuni dan digeluti sebagai kegiatan usaha oleh masyarakat lapisan bawah, menengah, sampai di keraton elite. Kalangan atas biasanya bertindak sebagai pemilik modal, kemudian kalangan masyarakat lapisan menengah bertindak sebagai pengusaha atau juga pedagang, dan kalangan masyarakat lapisan bawah umumnya memberikan tenaganya untuk menjadi pekerja dalam pembuatan batik. Pembuatan batik dengan demikian merupakan kerjasama sinergis dari pemerintah, atau keraton ketika itu, pedagang, dan pembatik atau masyarakat. Dimensi sinergi dan pemerataan ekonomi tercermin dari pembuatan selembar kain batik tersebut secara proporsional. Meski harus diakui bahwa pada praktiknya terdapat berbagai penyimpangan termasuk yang berdimensi pada ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Namun kalau itu terjadi tentu bukan menjadi tujuan dari pembuatan batik dan usaha batik, akan tetapi lebih merupakan efek negatif yang timbul dan dapat terjadi sebagaimana yang terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Melihat luasnya dimensi keterlibatan pelaku dalam industri batik ini dan juga terjadinya globalisasi belakangan ini, batik juga terus mengalami perkembangan yang pesat. Pada pertengahan tahun 2000-an, kondisi batik dan usaha serta industri batik sangat memprihatinkan. Di daerah-daerah yang secara tradisional dikenal sebagai pusat-pusat batik terutama Yogyakarta dan Solo, kondisi industri batik sangat memprihatinkan karena tidak mudah menemukan para pengrajin batik. Sebagaimana hasil temuan Wahono 2006, pelaku pekerja yang menekuni pembuatan batik umumnya sudah tergolong usia lanjut. Sedangkan para pekerja muda lebih memilih bekerja di kota-kota dan di sektor-sektor modern seperti pertokoan dan mal-mal yang terus berkembang pesat. Usaha batik yang masih bertahan juga terus mengalami penurunan dari segi omset dan bahkan di kedua pusat industri batik di Jawa ini banyak usaha batik yang gulung tikar alias tutup. Sejalan dengan terus berkembangnya ekonomi pasar dan globalisasi serta serbuan produk-produk asing ke pasar Indonesia, batik ternyata telah menggugah kesadaran bangsa Indonesia untuk melihat kembali warisan produk budaya yang sangat tidak mudah ditiru dan memiliki kekhasan ini, menjadi produk yang harus dikembangkan sebagai kebanggaan nasional. Karakteristik batik sangat cocok sebagai produk yang memiliki keunggulan 278 kompetitif sebagaimana dikatakan oleh Barney 1985. Sejak itu, pemerintah dan masyarakat bahu-membahu menggiatkan kembali dan mengangkat harkat batik ke pentas nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan juga sebagai produk yang dapat diekspor ke manca negara. Kegigihan dalam menghadapi tantangan global tersebut menghasilkan penhargaan UNESCO pada tahun 2009 dan batik terus berkembang secara kreatif dan inovatif di berbagai daerah di Indonesia. Inovasi di usaha batik ini juga berbeda dengan inovasi pada industri besar yang umumnya padat modal dan teknologi tinggi. Inovasi di usaha batik lebih bersifat hemat frugal sesuai dengan kondisi usaha batik yang pada umumnya dimiliki oleh keluarga dan berskala kecil. Usaha batik juga lebih banyak bersifat manual atau dikerjakan dengan tangan dan tidak sarat dengan teknologi tinggi. Inilah mengapa inovasi yang berkembang di industri batik merupakan inovasi hemat, berdimensi lingkungan, serta memperhatikan pemerataan kesejahteraan dan sosial. Inovasi hemat di industri batik ini dilakukan dalam rangka merespon permintaan pasar yang masih terbuka luas, terutama dalam negeri. Selain itu, inovasi di industri batik juga lebih banyak ditujukan untuk memenuhi segmen pasar yang berada di lapisan bawah meskipun tetap tidak melupakan segmen pasar menengah dan atas yang juga membutuhkan sentuhan-sentuhan baru dalam produk dan usaha batik. Perkembangan usaha batik dan sentra-sentra usaha batik yang semakin pesat di berbagai daerah tersebut telah memungkinkan berbagai inovasi hemat dikembangkan dan terjadi sesuai dengan tingkatan dan lingkungan yang ada pada industri batik tersebut. Di kawasan industri batik di Jawa Timur misalnya, inovasi hemat yang dapat dicatat antara lain adalah sebagai berikut: Tabel 1. Beberapa Inovasi Hemat Frugal yang Dilakukan Usaha Batik NO JENIS CARA LAMA CARA BARU 1 Jenis Motif  Tradisional dan tertutup karena dengan pakem yang tertentu yang sudah ada  Modern terbuka dan banyak diantaranya dikaitkan dengan alam sekitar dan ciri khas daerah masing-masing  Majalah  Televisi  Internet 2 Pembuatan Motif  PatronNgeblat  Gambar langsung dengan canting  Sketsa  Menggunakan bantuan komputer  Menggunakan rumus fraktal 3 Warna  Cenderung gelapsogan  Kurang selera muda  Warna-warni tidak mengingat ciri khas daerah tertentu  Warna-warna trendy 4 Pewarnaan  Diblokditembok dengan lilin malam dan kemudian dicelup ke warna  Menggunakan berbagai metode baru seperti pewarnaan dengan kuas colet diantara motif-motif yang sudah ada warnanya  Pewarnaan dengan cara pencelupan kemudian medua bahan ditenun kembali, dan kemudian diwarnai lagi. 5 Media dasar batik  Kain mori  Kain tenun Berbagai media seperti  Sutera  Lycra 279 NO JENIS CARA LAMA CARA BARU  Serat nanas  Kaos  Kayu 6 Teknologi Pembatikan  Manual tangan dengan canting  Canting  Bisa menggunakan mesin pembatik  Cap 7 Pemasaran Secara konvensional :  Ke pasar  Pedagang Melalui berbagai media:  Pameran  Internet  Pemasaran komunitas  Pameran 8 Transfer knowledge  Tertutup  Turun-temurun  Keluarga  Informal  Terbuka  Kepada semua orang yang mau belajar  Umum  Formal menjadi bagian dari kurikulum sekolah 9 Pembiayaan  Hutang kepada teman, rentenir, tetangga.  Kreditperbankan  Bantuan pemerintah 10 Peran pemerintah  Tidak banyak berperan  Pelatihan  Penyediaan kawasan dan pengembangan kawasan industri dan usaha batik  Penyediaan bantuan modal  Bantuan pelatihan  Penyediaan lokasi usaha dagangtempat pemasaran Sumber: Wahono dkk. 2011-2012 Inovasi frugal di usaha batik di Jawa Timur menyiratkan inovasi, sebagaimana dikatakan oleh Zuhal 2010, berawal dari lahirnya gagasan baru yang dibangkitkan oleh kreativitas dari para pembatik dan juga para pengelola batik. Kreativitas di usaha batik ini terjadi melalui proses dan tahapan yang tentu saja tidak berurutan tapi saling melengkapi. Proses kreativitas itulah yang kemudian melahirkan inovasi batik yang dimulai dari pencarian ide-ide dan gagasan dari berbagai media kemudian dicoba untuk kemudian diterapkan dalam produk batik. Inovasi batik dengan demikian butuh kegigihan, eksperimentasi, serta uji coba dan juga trial and error yang siap dites oleh pasar. Inovasi di usaha batik Jawa Timur ini dilakukan dalam rangka perubahan dan peningkatan kualitas produk, layanan, proses, dan juga model bisnis mereka guna memberikan nilai baru bagi para pelanggan. Inovasi di usaha batik tidak hanya sebatas atau menjadi dominasi pemilik atau pembatik saja, tetapi juga seluruh sumberdaya manuasia dalam industri batik tersebut. Inovasi di industri batik Jawa Timur dengan demikian harus dikelola sehingga inovasi menjadi bagian dari budaya belajar organisasi learning organization bagi keseluruhan usaha batik yang ada di sentra industri batik Jawa Timur. Inovasi juga diintegrasikan ke dalam strategi usaha dan pekerjaan sehari-hari mereka yang didukung oleh sistem kinerja yang memadai. Inovasi di usaha batik Jawa Timur juga mencakup inovasi produk yang memerlukan pengenalan produk baru atau pelayanan yang baru. Inovasi proses yang terdiri dari penerapan metode baru atau produksi secara signifikan dapat meningkatkan kinerja organisasi mereka. Kemudian inovasi dalam distribusi dilakukan dengan mengubah sumber 280 input produk dan juga pasar mereka melalui pengiriman produk ke pelanggan melalui berbagai media pemasaran. Inovasi pemasaran dilakukan terkait dengan model-model pemasaran baru berupa pameran dan juga pemasaran secara online. Sebagaimana dikatakan oleh Schilling 2005, inovasi batik Jawa Timur dapat digolongkan sebagai inovasi incremental. Ini ditandai dengan adanya improvisasi secara perlahan atau bertahap dari perubahan-perubahan yang tidak terlalu signifikan dan lebih banyak merupakan penyesuaian dari praktik yang sedang berlangsung. Motif ini terus dilakukan perubahan dan disesuaikan dengan lingkungan dan permintaan pasar. Selain itu, alat-alat produksi berupa canting atau kain juga berubah secara bertahap mulai kain tenun, primis yang sederhana, sampai dengan kain sutera. Hal yang sama terjadi pada hal-hal lainnya sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 1. Inovasi batik di Jawa Timur secara keseluruhan dapat dikategorikan pula sebagai inovasi yang affordable, yakni kegiatan penciptaan inovasi yang sifatnya masih incremental dan juga sangat sederhana serta dapat dijangkau bagi semua kalangan, termasuk komunitas masyarakat kurang mampu. Meski demikian, produk batik juga telah berkembang menjadi produk yang eksklusif dan bahkan dipakai oleh sebagian kepala pemerintahan dari berbagai negara, kalangan artis dunia, serta digunakan dalam peragaan busana pada tingkat internasional. Secara keseluruhan, inovasi yang berlangsung di industri batik Jawa Timur sangat sejalan dengan karakteristik inovasi frugal sebagaimana telah dijelaskan dalam teori inovasi frugal pada bagian awal makalah ini. 4. KESIMPULAN Hasil temuan menunjukkan bahwa inovasi hemat frugal yang terjadi pada industri batik di Jawa Timur terus berlangsung dari waktu ke waktu, terutama dari aspek motif atau desain, proses atau cara pembuatan, dan juga aspek pendukungnya yakni aspek manajemen dan pemasarannya. Inovasi hemat yang terjadi di industri batik Jawa Timur merupakan inovasi yang sifatnya incremental dan bukan bersifat radikal. Ini berarti bahwa cara-cara dan juga teknologi serta proses lama masih dimungkinkan untuk digunakan dalam industri batik di Jawa Timur ini meskipun cara-cara dan teknologi baru sudah ditemukan dan dikenalkan, karena alasan yang sangat khas dari kondisi dan perkembangan masing-masing usaha batik tersebut. Inovasi hemat di industri batik Jawa Timur ini berdampak positif terhadap perkembangan industri batik di Jawa Timur karena dapat meningkatkan keragaman dari segi motif, desain, warna, dan juga bahan baku, serta dari sisi kualitas yakni dengan semakin baiknya proses dan juga manajemen usaha batik sehingga dapat diproduksi lebih banyak, lebih cepat, dan juga lebih murah serta dapat dikirimkan ke pasar dalam waktu yang relatif cepat dengan bantuan sarana pemasaran yang modern dan distribusi yang baru. Inovasi hemat di industri batik Jawa Timur mulai dari motif, desain, proses, dan manajemen serta pemasarannya masih dapat dikembangkan lagi secara lebih optimal agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas lebih tinggi dalam rangka memenuhi tuntutan pasar yang terus berkembang dan sekaligus dalam rangka menghadapi persaingan usaha di industri batik yang kian kompetitif. Penelitian ini perlu dilanjutkan lagi baik kedalaman maupun cakupannya sehingga dapat memotret lebih lengkap dan lebih komprehensif berbagai kondisi dan permasalahan yang dihadapi serta dapat memberikan solusi yang lebih tepat dalam rangka peningkatan dan penguatan industri batik sebagai industri yang kreatif dan inovatif, khususnya di Jawa Timur. PUSTAKA Appleby, A dan Marvin, S., 2000. “Innovation not Immitation: Human Resource Strategy and the Impact on World- Class Status”. Total Quality Management Vol. 11.4-6. tahun 2000 halaman 554-560. 281 Baldrige, 2012. Creativity and Innovation http:bethesdablog.wordpress.com20120723 creativity-and-innovation-in-human-services-some-things-to-think-about Diunduh pada 12 Agustus 2012. Barney, J.B., and Tyson B. Mackey, 2005. Testing Resource-Based Theory, Emerald Group Publishing Limited. Bhatti.Y.A., 2011.The Emerging Market for Frugal Innovation: Fad, Fashion, or Fit?.Yasser Ahmad Bhatti University of Oxford - Said Business School - Oxford Centre. Clarke, T and Steward Clegg,1995. Changing Paradigms: The Transformation of Management Knowledge for the 21st Century. Harper Collins Publishers. London. Douglass, K. Warner OFM., 2011. What is frugal innovation? Overview for ENGR 338, Center for Science, Technology Society, SCU.,25 Maret 2011. Drucker, P.F., 2005. On Creativity, Innovation, and Renewal tentang Kreativitas, Inovasi, dan Pembaruan. Elekmedia Komputindo. Jakarta. _______, 2006. Innovation and Entrepreneurship, Paper back Butterworth-Heinemann; Revised edition 30 September 2006. Fonseca, J., 2002. Complexity and Innovation in Organization. Routledge.London and New York. Gaynor, G.H., 2002. Innovation by Design: What It Takes to Keep Your Company on the Cuting Edge, New York, USA: Gaynor and Associate. Inilah.com, 2012. Nokia berencana menutup pabriknya di Salo-Finlandia. Dalam Inilah.com: 20 Juli 2012 , diunduh pada Mei 2012. Janszen, F., 2000. The Age of Innovation: Making Business Creativity a Competence, Not A Coincidence,London: Pearson Education Ltd. Kim, W.C dan Renee Mauborgnee, 2005. Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make Competition Irrelevant, Harvard Business School Publihsing Corporation, USA. Naiman, L ., 2010, “Creativity at work” dalam http:www.creativityatwork.comauthoradmin Diunduh pada 15 Agustus 2012. Nonaka, I dan Horotaka Takeuchi, 1995. Organizational Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Invovation, Oxford University Press. OECD, 1996. “Knowledge Based Economy”. Working Paper. Paris. _____, 1998. diambil dari http:www.ecom. unimelb. edu.auiaesrwww wp wp98n10.pdf.halaman, 1.OECD 1997 dalam Rogers, Ibid.Rogers, M. 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052 Australia. Pappiptek-LIPI, 2012. http:nstdforum.pappiptek.lipi.go.idindex.php?option=com_content view=articleid=18:topikcatid=29:the-cmsItemid=86_ftnref1. Diunduh pada Agustus 2012. Porter, M., 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press, 1990. Rogers, M., 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052 Australia. Schilling, M.A., 2005.Strategic Management of Technological Innovation, IrwinMcGraw-Hill ISE Educations. Schumpeter, J. A. , 1943. “Capitalism, Socialism, and Democracy” 6 ed.. Routledge. pp. 81– 84. ISBN 0-415-10762-8. Dalam Wikipedia diunduh pada 12 Agustus 2012. Senge, P. 1998. ‘The Practice of Innovation’, Leader to Leader 9 http:pfdf.orgleaderbooksl2l summer98senge.html. Diunduh pada 12 Agustus 2012. Zimmerer, W.T, Norman M.S., 1995.Entrepreneurahip and New Venture Formation, New Jersey: Prentice Hall International Inc. Zuhal, 2010. Knowledge and Innovation: Platform Kekuatan Daya Saing, Gramedia Pustaka Utama dan Kompas, Jakarta, 2010. 282 Wahono, P., 2006. “Penciptaan Pengetahuan pada Industri Batik di Daerah-daerah Industri Batik Utama di Jawa: Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Disertasi, Universitas Indonesia. Jakarta. _______ dkk., 2010. Tahun I. Kreasi Pengetahuan di Industri Batik Jawa Timur, Studi di Banyuwangi, Tuban, dan Bangkalan. Laporan Penelitian Fundamental, DP2M-Dikti- Universitas Jember. ________.,dkk., 2011. Tahun II. Kreasi Pengetahuan di Industri Batik Jawa Timur, Studi di Bangkalan, Tuban, dan Banywangi. Laporan Penelitian Fundamental, DP2M-Dikti- Universitas Jember. _______,.dkk., 2012. Tahun I. Model Transfer Pengetahuan Batik dalam Rangka Alih Generasi pada Usaha Batik Keluarga di Industri Kreatif Batik Jawa Timur. Weir T., 2012.dalam http:ngsm.anu.edu.auresearchtony weir. pdf 283 MAKALAH POSTER 284 KAJIAN AWAL PEMANFAATAN ENERGI TERBARUKAN UNTUK MENINGKATKAN NILAI EKONOMI KAWASAN HUTAN LINDUNG: STUDI KASUS KUTA MALAKA, KABUPATEN ACEH BESAR Ridwan Arief Subekti 1 , Pudji Irasari 2 1,2 Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komp. LIPI Bandung, Jl. Sangkuriang, Gd. 20. Lt. 2 Bandung 40135 Telp.: 022-2503055, Fax: 022-2504773 E-mail: 1 ridwanarief_raisyahoo.com ABSTRAK Kajian awal pemanfaatan energi terbarukan sebagai suplai energi listrik di kawasan hutan lindung Kuta Malaka dimaksudkan untuk menjadikan kawasan hutan lebih bernilai ekonomi tanpa mengganggu kelestarian lingkungan. Daya listrik yang dibangkitkan rencananya akan disalurkan ke beberapa bangunan antara lain beberapa tempat makan semacam kedai kopi, kantor administrasi, dan penginapan pengunjung. Sumber energi terbarukan yang dikaji adalah angin dan air. Potensi energi angin diperoleh melalui pengukuran kecepatan angin menggunakan cup anemometer yang dilengkapi dengan data logger. Pengukuran dilakukan selama dua hari pada dua titik lokasi yang berbeda. Untuk potensi energi air, pengukuran dilakukan pada tiga titik yang dinilai potensial serta mempertimbangkan aksesibilitas agar mudah dalam pengerjaan pembangunannya. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa kecepatan angin rata-rata per jam sangat kecil yaitu berkisar antara 0,5 – 2,08 ms yang berarti masih di bawah kecepatan start-up wind speed turbin angin pada umumnya yaitu 2 – 3,8 ms. Sementara itu, potensi daya air terukur sebesar 7.063 W, 11.281 W, dan 17.265 W. Dari hasil kajian awal tersebut dapat direkomendasikan bahwa potensi energi air dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro, sedangkan untuk energi angin diperlukan studi yang lebih mendalam karena memerlukan data angin yang lebih lama setidaknya selama satu tahun. Kata Kunci : energi air, energi angin, energi terbarukan, kajian potensi ABSTRACT Preliminary study of renewable energy utilization as electrical energy supply in the conservation forest in Kuta Malaka is intended to make the forest more economically valuable without damaging the environment. Generated electric power is planned to be distributed to several buildings including a few of stalls sort of café, administration offices and lodgments. The observed renewable energy sources are wind and hydro. Wind energy potential is obtained by measuring wind speed using a cup anemometer equipped with a data logger. Two-day measurement is conducted at two different locations. For hydro energy potential, the measurements are carried out at three points, which are considered to be potential by considering accessibility factor in order to facilitate the construction process. The measurement results show that hourly average wind speed is very small ranging from 0.5 to 2.08 ms, which means that it is still below the start-up wind speed of wind turbines in general, i.e. from 2 to 3.8 ms. Meanwhile, the hydro potential is measured as 7,063 W, 11,281 W, and 17,265 W. From the earlier study results, it might be recommended that the hydro potential can be utilized as micro hydro scale power plant; while for wind energy, further study is needed because it would take a longer time to collect data for at least one year. Keywords: hydro energy, wind energy, renewable energy, potential study

1. PENDAHULUAN