Hasil pengujian performance 1. Pembuatan prototipe pegas ulir Penentuan Lokasi Pengukuran Head

156 Dengan data beban yang diterima oleh pegas ulir luar W1= 3435,92 kg kemudian dilakukan pemilihan materila yaitu Baja SUP 9 dan dilakukan perhitungan dengan bantuan software dengan hasil seperti Gambar 8 dan 9 sebagai berikut: Gambar 8. Perhitungan Pegas Gambar 9. Simulasi Pembebanan Pegas Dengan S oftware ScanSolve™ Dari perhitungan diatas bahwa material pegas SUP 9 mampu menahan beban W max = 3520 kg, sedangkan beban yang diterima pegas W1 = 3435,92 kg, sehingga secara hitungan material SUP 9 mampu digunakan sebagai bahan pegas ulir luar pada kereta api. 4.4. Hasil pengujian performance 4.4.1. Pembuatan prototipe pegas ulir Setelah didapatkan rancangan desain dan material untuk pegas ulir luar kereta api, selanjutnya dilakukan pembuatan prototipe pegas dengan mengkombinasikan proses finishing dengan penyempurnaan proses heat treatment. Sehingga dari temua tentang kegagalan pegas ulir luar yang cenderung pada bentuk kegagalan patah getas dapat ditingkatkan atau diperbaiki. Adapun proses pembuatan prototipe dilakukan di Balai Yasa Manggarai Gambar 10. 157 Gambar 10. Proses Pembuatan Prototipe Pegas Ulir Luar

4.5. Hasil pengujian prototipe pegas ulir kereta api

Pengujian kekerasan material setelah mengalami proses perlakuan panas melalui cara pemanasan material hingga temperatur 850 C kemudian diquenching dengan media oli Sabana dan ditempering pada suhu konstan 450 C dengan variasi waktu penahanan 15, 30, 45, 60, 90 dan 180 menit. pada Tabel 8 berikut ini: Tabel 8. Hasil Uji Kekerasan Material Pegas Setelah Perlakuan Panas Tahap Tempering HRC Kelompok spesimen Kekerasan setelah tempering HRC 15 mnt 30 mnt 45mnt 60 mnt 90mnt 180mnt 1. 46,0 44,5 45,0 43,0 42,7 41,8 2. 46,5 45,0 45,9 44,5 43,6 41,8 3. 47,7 45,0 46,2 43,5 44,0 42,0 Hasil pengujian foto struktur mikro terhadap pegas hasil perlakuan panas adalah sebagai berikut Gambar 11. Gambar 11. Struktur Mikro Pegas JIS G 4801 SUP 9 Setelah Dilakukan Temper pada Suhu 450 C dan Waktu Tahan 15 Menit dengan Pembesaran 200X Untuk menguji kekuatan pegas dilakukan uji tekan. Pada tekan ini pegas ditest sesuai petunjuk dan toleransi maksimum 18 mm, langkah pengujian 1. Po: Tinggi pegas tanpa beban yaitu 286 mm. 2. P1: Tinggi pegas setelah dibebani dengan beban uji sebesar 10 ton, yaitu 183,75 cm, dan 3. P2: Tinggi pegas ketika dibebani dengan beban percobaan, yaitu sebesar 5,25 ton, benda mengalami perubahan yaitu dari 286 mm menjadi 183,75 mm. Pegas yang memenuhi syarat kelulusan pada saat pemberian beban adalah pegas yang 158 mampu kembali kebentuk seperti semula dan tidak melewati batas maksimum toleransi yaitu 18 mm. Dari pengujian prototipe pegas ulir tidak ada yang melampaui batas toleransi 18 mm.

5. KESIMPULAN

Hasil studi pembuatan prototipe pegas ulir luar kereta api dapat disimpulkan beberapa hal seperti: a. Ditemukan bentuk patahan yang kecenderungan masuk dalam kategori bentuk patahan tipe getas. Setelah dilakukan analisis, diperoleh beberapa sampel yaitu pegas ulir luar yang memiliki kekerasan diatas standar 35 – 45 HRC. b. Dari simulasi desain dan pembebanan menunjukkan bahwa material yang biasa digunakan untuk pegas ulir luar kereta api memenuhi standar dan material requirement, yaitu beban pegas 3435,92 kg dan kemampuan material SUP 9 adalah 3520 kg. c. Dengan modifikasi perlakuan panas yaitu pemanasan material hingga temperatur 850 C kemudian diquenching dengan media oli Sabana dan ditempering pada suhu konstan 450 C dengan variasi waktu penahanan 15, 30, 45, 60, 90 dan 180 menit, diperoleh tingkat kekerasan material yang cenderung sesuai dengan standar material pegas yaitu 35 – 45 HRC. Hasil ini diperkuat dengan hasil pengamatan struktur mikro yang menunjukkan bahwa dengan perlakuan panas tersebut menyebabkan berdifusinya atom karbon C menjadi fasa sementit, sehingga menyebabkan fasa martensit berkurang. Berkurangnya fasa martensit menjadikan baja pegas JIS G 4801 SUP 9 menjadi ulet dan tangguh. d. Dari pengujian prototipe pegas ulir tidak ada yang melampaui batas toleransi 18 mm, sehingga dapat disimpulkan perlakuan panas yang dilakukan mampu memperbaiki keuletan pegas ulir luar. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Danar Susilo Wijayanto, M.Eng, Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret yang telah memberi kritik dan saran perbaikan makalah ini. Trimakasih kepada Pimpinan Balai Yasa Maggarai Jakarta atas ijin penelitian yang diberikan dan terimakasih kepada Pimpinan Kopertis VI Jawa Tengah atas Hibah penelitian yang diberikan kepada peneliti. PUSTAKA Frédéric, R., et. al., 2010. Multi-Objective Optimization of a Composite Material Spring Design Using an Evolutionary Algorithm. Canada. Froehlke, et. al., 2003. Innovative Induction Heating Process Line For Hardening and Tempering Spring Steel Wire. http:www.ate.itpdfATE07_new.pdf , diakses tanggal 12 April 2011. Gopinath K. dan.Mayuram M. 2006. Mechanical Springs. Indian Institute of Technology Madras. Komite Nasional Keselamatan Transportasi, 2003. Laporan Kecelakaan Kereta Api Anjlok Ka 1365 di Km 344 + 418 Emplasemen Karanggandul, Purwokerto, Jawa Tengah. Jakarta. Min, S., H.T.U.N, et. al. 2008-2009. Effect of Heat Treatment on Microstructures and Mechanical Properties of Spring Steel. Journal of Metals, Materials and Minerals, 182:191-197. Nasrul, 1998. Sifat-Sifat Mekanik Baja Pegas Akibat Proses Tempering. Prawoto, Y., et. al., 2008, Failure Analysis of Automotive Suspension Coil Springs. NHK Spring Co. Ltd., Yokohama, Japan. Sugimoto. et. al, 2002. Journal De Physique Colloque C5, supplgment au n 10, Tome 42. Shinichi, N. and Tadashi, S., 2009. Reverse Engineering Based Coil Spring Design Method. 159 Shinichi, N. dan Tadashi, S. 2003. Reverse Engineering Based Coil Spring Design Method NHK International Corp., 50706 Varsity Court, Wixom, MI 48393, USA. Slingsby,R.G., 2003. A new heat-treatment process overcomes temperature relaxation problems for spring users. Surdia, T Saito, S.,1992. Pengetahuan Bahan Teknik. edisi kedua. Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang RI No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Yamada, Y., 2007. Materials of Springs. Translated from the Japanese original edition published by JSSE. Springer, Berlin Heidelberg New York. Wahl, A.W. , 2009. Mechanical Springs. 2nd Edition. SMI Webster’s Dictionary Online, 2012. http:www.websters-dictionary- online.comdefinitionsbogie Diakses 19 Mei 2011. Zain, Nasrul, ..... Sifat-Sifat Mekanik Baja Pegas Akibat Pengaruh Tempering. Tesis. Universitas Indonesia. http:www.lontar.ui.ac.idopacthemeslibri2detail.jsp?id=81457lokasi=lokal Diakses, 1 Mei 2011 . 160 ALIH TEKNOLOGI LITBANG LPPM UPNVY PADA PETANI BUNGA KRISAN DI KAWASAN TERDAMPAK BENCANA GUNUNG MERAPI: MENDUKUNG INOVASI FRUGAL MENGGUNAKAN AMELIORAN DAN PGPR UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT Ari Wijayani 1 , Mofit Eko poerwanto 2 , Siwi Hardiastuti 3 1,2,3 Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta Jl SWK 104 Ringroad utara Condongcatur, Yogyakarta E-mail: 1 ariewijayaniyahoo.com ABSTRAK Bunga krisan dari Hargobinangun menjadi andalan perekonomian masyarakat sekitar, selain itu produksi bunga potong disini menjadi pemasok utama di DIY pada saat sebelum erupsi. Akan tetapi saat ini kebutuhan bunga potong di DIY harus mengambil dari daerah lain seperti Cipanas, Pasuruan dan Malang karena produksi di Hargobinangun tidak mencukupi. Salah satu penyebab menurunnya produksi bunga adalah rusaknya lingkungan, tanah di lokasi pertanaman tertutup pasir dan abu vulkanik cukup tebal akibat erupsi gunung Merapi. Kegiatan alih teknologi yang sekaligus penelitian telah dilakukan tim peneliti Litbang LPPM UPNVY di Hargobinangun Sleman Yogyakarta. Kawasan yang menjadi sentra bunga krisan sejak tahun 2005 ini berjarak 5-10 km dari puncak gunung Merapi, sehingga pada tahun 2010 daerah tersebut hancur akibat erupsi Merapi. Teknologi pemberian amelioran pada tanah di daerah terdampak bencana menggunakan teknik yang sederhana dan menggunakan bahan-bahan yang murah dan ada disekitar lokasi petani, yaitu berupa pupuk kandang, kascing, seresah daun bambu dan kompos kebun. Bahan-bahan tersebut terlebih dahulu difermentasi menggunakan PGPR hasil penelitian litbang LPPM UPNVY. Petani dilatih cara pembuatan PGPR dari bahan-bahan alami yang diambil dari daerah sekitarnya dan bagaimana cara fermentasi dan penerapannya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesuburan tanah meningkat setelah diberi amelioran, pertumbuhan tanaman yang berupa tinggi tanaman, diameter batang, luas daun juga signifikan dibanding kontrol. Produksi bunga potong yang berupa diameter bunga, jumlah bunga pita dan warna bunga juga lebih bagus dibandingkan kontrol. Kata Kunci: Krisan, amelioran, PGPR ABSTRACT Chrysanthemum flowers are the main income sources of people surrounding Hargobinangun village. Hargobinangun became the main cut flowers supplier to the province of Yogyakarta before the Merapi’s eruption. However, due to the shortage of cut flower production, those flowers have to be imported from other areas such as Cipanas, Pasuruan and Malang. One of the production’s obstacles is the environmental damage. Soil in planting area was covered by thick sand and volcanic ash from Mount Merapi eruption. Research and transfer of technology has been carried out by R D team of LPPM UPNVY Yogyakarta. This team aims to carry out a research activity and technology transfer in Hargobinangun, Sleman. This area is a center of chrysanthemum flower since 2005. It is located only 5-10 km from Mount Merapi, however, by 2010 the area was devastated by the eruption of Merapi. The technologies of ameliorans addition to the soil in the disaster areas was using simple techniques, inexpensive and available materials from surrounding farmers site, such as manure, kasc ing, bamboo leaf litter and garden’s compost. The materials were initially fermented by using PGPR that were produced by R D LPPM UPNVY. Farmers were trained to produce PGPR from natural ingredients taken from the surrounding area and its application in the field. The results showed the increase of soil fertility and plant growth significantly which is expressed by the increase of plant height, stem diameter, and leaf area after application of amelioran. The quality of cut flowers was also increase, in the form of the increase of flower diameter, numbers of ribbon flower and brightness of flower color. Keywords : Crysanthemum, ameliorant, PGPR, technology transfer 161

1. PENDAHULUAN

Bencana erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak yang sangat luar biasa dalam bidang kerusakan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat,dan pertanian. Salah satu kawasan yang terkena dampaknya adalah kecamatan Pakem karena terkena siraman abu dan pasir secara langsung. Desa yang berada di lereng Merapi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra tanaman hias adalah Hargobinangun kecamatan Pakem dan sejak tahun 2005 kawasan ini telah ditunjuk menjadi sentra budidaya bunga krisan Provinsi DIY mengingat ketinggian tempat daerah tersebut 500-800 m dpl memenuhi syarat untuk pertumbuhan bunga krisan. Selama ini kegiatan budidaya bunga krisan telah dilakukan oleh lebih dari 100 petani setempat yang tergabung dalam 13 kelompok tani dengan mengelola lahan seluas 10.000 m2 dengan kapasitas produksi 15.000 bunga potong per minggu Bappeda DIY, 2003. Pasca erupsi Merapi pada pada tanggal 5 November 2010 kegiatan budidaya bunga potong krisan di desa Hargobinangun menjadi stagnan. Sebagian besar petani tidak tahu harus berbuat apa karena kondisi pertanaman bunga krisan hancur. Hal itu dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang sangat dekat dengan gunung Merapi, dusun Kaliurang barat yang merupakan lokasi pembibitan hanya berjarak 4 km dari puncak Merapi, sedangkan dusun Wonokerso berjarak 10 km dari puncak Merapi. Akibatnya pasca bencana kondisi pertanaman sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, lahan tertutup debu abu vulkanik dan pasir, kubung bunga roboh, tanaman mati akibat tidak dirawat. Krisan dalam bentuk bunga potong yang dihasilkan petani di Wonokerso sangat menurun kualitasnya, sehingga konsumen banyak beralih pada krisan yang didatangkan dari daerah lain, seperti Jawa barat dan Jawa timur. Di lapangan menunjukkan rendahnya kualitas bunga disebabkan akar tanaman krisan tidak berkembang dengan baik, berwarna coklat dan ukurannya pendek-pendek. Material vulkanik yang menutupi lahan di wilayah Wonokerso dengan ketebalan 5-15 cm berukuran halus, bersifat mampat compact, keras, kedap air, akan tetapi potensi kimia bagus. Untuk mengembalikan kondisi lahan sehingga strukturnya lebih remah adalah dengan penambahan amelioran. Wijayani, et al. 2011 melaporkan bahwa material vulkanik yang diberi amelioran kascing dan pupuk kandang sapi sangat bagus untuk pertumbuhan tanaman dahlia di kawasan Kinahrejo. Pada dasarnya dahlia dan krisan hampir sama, sehingga untuk perbaikan lahan di areal pertanaman krisan dapat dicoba dengan amelioran yang sama. Menurut Levitt 1980 kepekaan pertumbuhan krisan terhadap panjang hari tidak tetap. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong tanaman hari pendek fakultatif. Pada kondisi hari panjang dengan suhu siang sekitar 22 o C dan suhu malam 16 o C, penambahan tinggi tanaman dan pembentukan daun berjalan optimal. Induksi ke fase generatif akan terjadi bila suhu pada siang hari turun kurang dari 18 o C dan suhu malam naik hingga lebih dari 25 o C Masswinkel, Sulyo, 2004. Namun kondisi ini sangat jarang ditemukan pada dataran medium hingga tinggi di Indonesia. Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi urgensi keutamaan melakukan penelitian ini adalah kajian lengkap berbagai aspek tentang teknik budidaya tanaman krisan yang mampu memperbaiki kondisi pertumbuhan, khususnya kondisi perakaran yang disebabkan ketidakmampuan akar berkembang karena struktur tanah yang tidak mendukung. Material volkanik halus menutupi lahan dengan ketebalan 5-15 cm, bersifat mampat compact, keras, kedap air. Selanjutnya juga diperlukan penambahan PGPR agar pertumbuhan tanaman merata di seluruh area pertanaman krisan. Dalam kajian ini, apabila teknik budidaya dengan penambahan amelioran dan pemberian PGPR cukup efektif dalam meningkatkan kualitas bunga krisan maka dapat dipertimbangkan untuk dijadikan acuan bagi area pertanaman krisan yang lain.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di dusun Wonokerso, Pakem, Sleman Yogyakarta dengan dengan rancangan acak kelompok lengkap RAKL terdiri atas dua faktor, yaitu macam amelioran dan PGPR. Faktor pertama adalah macam bahan amelioran yang terdiri empat 162 aras, yaitu: kascing, kompos pakis, pupuk kandang sapi, dan seresah tanaman bambu. Faktor kedua adalah PGPR yang terdiri tiga aras, yaitu: 50, 100, dan 150. Sebagai kontrol ditanam krisan pada media tanpa amelioran dan tanpa PGPR. Dari kedua faktor tersebut masing-masing diulang tiga kali dan masing-masing petak berisi 50 tanaman dengan lima tanaman sampel, sehingga jumlah tanaman keseluruhan adalah 1800 tanaman plus tanaman kontrol 150. Penelitian didalam rumah naungan beratap plastik UV dan net disekelilingnya, menghadap ke timur dengan bentuk atap kubah setengah lingkaran. Pengolahan lahan dilakukan sedalam 30 cm dan dilakukan pencampuran dengan bahan amelioran sesuai perlakuan, kemudian dibuat bedengan setinggi 10-20 cm. Bibit krisan diambil dari Balithi Cipanas, Jawa barat ditanam pada bedengan yang telah diberi jarring. Jarring tanaman berfungsi untuk membantu agar tanaman tumbuh tegak. Tanaman dirawat selama tiga bulan yang meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama serta penyakit. Penyiraman tanaman dilakukan dua kali sehari dengan jumlah air secukupnya. Pemupukan dilakukan di awal penelitian menggunakan pupuk N 75 gram, P 75 gram dan K 25 gram per tanaman dan pupuk daun seminggu sekali. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida insektisida dan fungisida dua minggu sekali. Penerapan alih teknologi juga dilakukan pada petani setempat dengan FGD dan praktek langsung menggunakan bahan-bahan ameliorant dan PGPR hasil riset LPPM UPN Veteran Yogyakarta.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data pengamatan menunjukkan bahwa PGPR berpengaruh terhadap diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang. PGPR 100 paling baik dalam memperlebar diameter bunga krisan Gambar 1.A., diameter batang tanaman Gambar 2.B. dan luas daun Gambar 5.A.. Diameter bunga pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 4,524, 7,683, dan 5,758 cm, dengan diameter batang berturut-turut 6,33, 7,00, dan 6,50 mm serta luas daun berturut-turut 590,21, 758,78 dan 758,78 mm2. Sedangkan jumlah bunga pita Gambar 1.B. dan tinggi tanaman Gambar 2.A. pada PGPR 100 dan 150 lebih tinggi dibandingkan PGPR 50. Jumlah bunga pita pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 21,50, 41,00, dan 38,58, dengan tinggi tanaman berturut-turut 84,17, 92,50, dan 90,50 cm. Macam bahan ameliorant tidak berpengaruh terhadap parameter diameter bunga Gambar 1.A., jumlah bunga pita Gambar 1.B., tinggi tanaman Gambar 2.A., dan diameter batang Gambar 2.B. serta tidak ada interaksi antara jenis ameliorant dengan PGPR, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kascing paling baik dalam memperlebar luas daun dibandingkan bahan ameliorant lainnya Gambar 5.B.. Diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman diameter batang dan luas daun pada perlakuan ameliorant berturut-turut berkisar: 5,76-6,18 cm, 30,33-36,67, 87,55-90,44 cm, 6,33-7,00 mm dan 550,60-808,90 mm2. Sedangkan pada kontrol diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang berturut-turut hanya sebesar: 4,17 mm, 23,00, 84,67 cm, dan 5,15 mm. Batas kritis panjang hari Critical Daylenght-CDL krisan sekitar 13,5-16 jam tergantung genotip Martini et al., 2007. Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif inisiasi bunga bilamana panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritisnya. Penambahan cahaya dengan lampu tidak efektif apabila jumlahnya kurang, seperti yang terlihat di lapangan. Krisan tumbuh tidak maksimal, banyak kenop bunga yang muncul meskipun tanaman baru berumur 3 minggu dan tinggi tanaman baru 30 cm. Pengaruh panjang hari terhadap fisiologi pembungaan krisan seringkali berinteraksi dengan suhu harian. Akibat suhu tinggi akan berpengaruh terhadap ukuran daun yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pengaruh yang terlihat secara mikroskopis adalah anatomi daun terlihat sel-sel yang ukurannya kecil Salisbury Ross, 1992. 163 a Jaringan anatomi daun pada monocotil tersusun atas sekumpulan sel yang memiliki bentuk hampir sama. Jaringan tersebut tersusun atas jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan mesofil daging daun yang tersusun atas jaringan pallisade dan jaringan bunga karang spons. Epidermis menutupi permukaan atas dan bawah daun dilanjutkan ke epidermis batang Salisbury Ross, 1992. Sedangkan lapisan mesofil merupakan daerah paling utama untuk proses fotosintesis. Lapisan palisade merupakan bagian daun yang paling banyak mengandung kloroplas, dan merupakan bagian yang paling banyak mempengaruhi produk fotosintesis. Kerusakan yang terjadi pada mesofil daun terutama pada jaringan palisade oleh suhu tinggi akan memberi dampak paling besar terhadap kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Perubahan histologis yang paling umum dalam kerusakan daun oleh suhu tinggi adalah plasmolisis, granulasi atau disorganisasi penyusun sel, rusaknya sel atau disintegrasi dan pigmentasi jaringan Wijayani, 1999. Marschner 1986 menyebutkan bahwa bahan pencemar dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisiologis didalam tanaman jauh sebelum terjadinya kerusakan fisik. Para ahli lain mengatakan hal itu sebagai kerusakan tersembunyi. Kerusakan tersembunyi dapat berupa penurunan kemampuan tanaman dalam menyerap air, pertumbuhan sel yang lambat atau pembukaan stomata yang tidak sempurna. Menurut Salisbury and Ross 1992 mekanisme membuka dan menutupnya stomata sangat tergantung perubahan turgor dari sel-sel penutup. Sel penutup yang mengandung amilum berkonsentrasi tinggi akan menutup, terutama pada malam hari. Seiring berjalannya waktu hingga sinar matahari mampu membangkitkan klorofil untuk mengadakan fotosintesis maka kadar CO 2 akan menurun, mengalami reduksi menjadi CH 2 O. Peristiwa ini diikuti kenaikan pH yang akan meningkatkan kerja enzim posporilase guna mengubah amilum menjadi glukosa. Pembentukan glukosa ini akan meningkatkan nilai osmosis sel penutup, sehingga menyebabkan masuknya air dari sel tetangga. Kondisi ini menyebabkan turgor dan stomata akan membuka. Kawasan yang dijadikan sebagai sentra budidaya krisan ini akan dijadikan sebagai “pilot project ” atau sebagai percontohan bagi daerah lain yang ingin membudidayakan bunga krisan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penutupan material vulkanik dengan ketebalan 5-15 cm di permukaan tanah dapat menyebabkan terhambatnya masuknya udara ke dalam tanah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah sebagai ekosistem bagi flora dan fauna yang dapat mendukung dalam penumbuhan tanaman yang diusahakan para petani sebagai sumber penghidupan. Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 1. Diameter Bunga A dan Jumlah Bunga Pita B pada Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 b b b a a A B 164 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 2. Tinggi Tanaman A dan Diameter Batang B Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 3. Diameter Bunga A dan Jumlah Bunga Pita B pada Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 b a a b b a a a a a b A B A B a a b a a 165 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 4. Tinggi Tanaman A dan Diameter Batang B Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 5. Luas Daun Krisan Pada Berbagai PGPR A Dan Pada Berbagai Jenis Ameliorant B Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5

4. KESIMPULAN

Tingkat kesuburan tanah meningkat dengan adanya penambahan amelioran. Pertumbuhan tanaman yang berupa tinggi tanaman, diameter batang, dan luas daun lebih tinggi dibanding kontrol. Produksi bunga potong yang berupa diameter bunga, jumlah bunga pita dan warna bunga juga lebih bagus dibandingkan kontrol. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditlitabmas Ditjen Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui skim Hibah Bersaing dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor: 560.10K5PL2012 tanggal 10 Februari 2012. Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dr. Ani Andayani, M.Agr., Direktur Tanaman Hias Ditjen a a a a b a a a a b A B a b b b c b b a A B 166 Hortikultura yang banyak memberikan masukan, juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Azis Purwantoro dari Universitas Gadjah Mada atas masukannya. PUSTAKA BAPPEDA D.I. Yogyakarta, 2003. Rencana Strategis Daerah RENSTRADA Provinsi DIY Tahun 2004-2008. Perda Provinsi DIY Nomor 6 Tahun 2003. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 71 pp. Levitt, J., 1980. Responses of plants to environmental stresses. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. London Orlando San Diego New York Austin Boston Sydney Tokyo Toronto. 434-488 Marschner, H., 1986 Mineral nutrition in higher plants. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. London Orlando San Diego New York Austin Boston Sydney Tokyo Toronto. 391-477 Martini T, Masyhudi, MF, Hanafi, H., dan Hendrata, R., 2007. Teknologi Perbenihan Krisan di DIY. Makalah Bahan Rekomendasi Teknologi Pertanian. Komisi Teknologi Pertanian Provinsi DIY. 16 pp. Masswinkel, R dan Sulyo, Y., 2004. Chrysanthemum physiologie in training on Chrysanthemum cultivation I. Balai Penelitian Tanaman Hias. 24 Oktober 2004. tidak diterbitkan Salisbury, F.B and Ross, CW., 1992. Fisiologi tumbuhan. Penerbit ITB Bandung Wijayani, A.,1999. Pengaruh konsentrasi nitrogen terhadap perubahan ultrastruktur jaringan akar paprika. Agrivet 3: 17-25 Wijayani, A., Effendi, I., Nusanto, G., Gusaptono, H., Susilastuti, Amiadji, E., 2011. Restructuring of Kinahrejo area based on Agro-tourism after the eruption of Merapi using ornamental plants. Proc. Int. sem. on Agro-tourism development 2011, Yogyakarta, Indonesia. 167 PEMANFAATAN INOVASI TEKNOLOGI 168 PUPUK ORGANOMINERAL DAN ANORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI JAGUNG MANIS DAN KUALITAS JERAMI DI TANAH MASAM Dwi Retno Lukiwati Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Kampus UNDIP, Tembalang – Semarang Telp. 024 7474750, Fax. 024 7474750 E-mail: drlukiwati_07yahoo.com ABSTRAK Sistem integrasi tanaman dan ternak SITT telah lama diterapkan di Indonesia dan hal ini dicirikan oleh hasil utama untuk pangan, jerami untuk pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk kandang pukan. Tanah masam pada umumnyamengalami defisiensi unsur hara fosfor, dan dapat diatasi dengan pemupukan SP. Namun, kelangkaan dan mahalnya harga SP mendorong petani menggunakan batuan fosfat BP dengan harga yang lebih murah. Batuan fosfat lebih sesuai diterapkan pada tanah masam, dengan kombinasi amonium sulfat AS atau ditambahkan bersamaan dengan proses pembuatan pupuk kandang organomineral. Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh pupuk organomineral pukan+BP kombinasi dengan pupuk anorganik dari sumber pupuk berbeda terhadap produksi jagung manis dan kualitas jerami. Percobaan lapangan dilakukan pada tanah masam dengan rancangan acak kelompok dan 3 ulangan sebagai kelompok. Dosis pupuk P SP, BP dan N amonium sulfat, urea masing-masing 66 kg Pha dan 200 kg Nha. Pupuk organik pukan, organomineral, pupuk super petro organik SPO masing-masing 5 tonha. Semua petak mendapat pemupukan KCl 125 kg Kha. Perlakuan yang diberikan antara lain: T0 kontrol, T1 pukan, T2 SPO, T3 BP+AS, T4 SP+urea, T5 organomineral+AS, T6 pukan+SP+urea, T7 SPO+BP+AS, T8 SPO+SP+urea. Jagung manis dipanen pada umur 70 hari sesudah tanam, jerami dipotong dan ditimbang untuk selanjutnya dianalisis nutrisinya. Data produksi jagung dan kualitas jerami dianalisis ragam dan dilanjutkan uji DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi jagung dan kualitas jerami dengan perlakuan pupuk organomineral T5 nyata lebih tinggi dibanding T0 dan T2, serta tidak berbeda dibanding dengan perlakuan lainnya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa harga pupuk organomineral lebih murah untuk menghasilkan produksi jagung dan kualitas jerami tidak berbeda dibanding dengan pemupukan anorganik di tanah masam. Kata kunci: Zea mays saccharata, organik, anorganik, jerami

1. PENDAHULUAN

Produksi dan kualitas pakan merupakan salah satu faktor pembatas produksi ternak ruminansia di daerah tropika. Namun, karena keterbatasan lahan, kekurangan hijauan pakan terutama di musim kemarau diatasi dengan pemberian limbah pertanian jerami untuk ternak Lukiwati Muryani, 2006. Sehubungan dengan hal tersebut, sistem integrasi tanaman – ternak SITT telah lama dilaksanakan oleh sebagian besar petani di Jawa Tengah. Ciri khas SITT adalah adanya keterkaitan antara tanaman dan ternak dengan hasil utama berupa tanaman sebagai pangan, jerami untuk pakan dan limbah ternak feses bercampur urin dan sisa pakan yang dimanfaatkan sebagai pupuk kandang pukan. Penggunaan pukan dapat dimaksimalkan setelah dilakukan pengomposan dekomposisi agar ratio CN dibawah 20. Pukan selain mengandung unsur-unsur hara, juga mengandung asam-asam humat dan fulfat, yang berperan dalam meningkatkan kelarutan pupuk yang larut dalam asam misalnya pupuk batuan fosfat BP. Pupuk BP berasal dari fosfat alam yang digiling halus, mengandung trikalsium fosfat atau Ca 3 PO 4 2 Young et al. 1985. Pupuk BP 12-27 P 2 O 5 tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam Dierolf et al. 2001; Nassir 2001; Lukiwati et al. 2001. Oleh karena pupuk BP mengandung mineral Ca dan P, hasil penambahan BP dalam proses dekomposisi dapat meningkatkan kualitas pukan dan disebut sebagai pupuk organomineral dan merupakan inovasi teknologi pembuatan pukan. Kandungan unsur hara N, P, dan K dalam pupuk kandang pupuk organik termasuk rendah dan bersifat ‘slow release’. Oleh karena itu, pemupukan di lapang, selain menggunakan 169 pupuk kandang pukan, masih memerlukan penambahan pupuk anorganik, misalnya pupuk P superfosfat, nitrogen urea, amonium sulfat dan K KCl. Jagung manis Zea mays saccharata sebagai salah satu varietas jagung, jeraminya beserta klobot dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia. Jerami jagung manis masih hijau segar, karena umur panen lebih awal yaitu 70 hari dibanding jenis jagung lainnya. Defisiensi unsur hara P dan N pada media tanam jagung, selama ini masing-masing diatasi dengan pemupukan SP-36 dan urea atau amonium sulfat Lukiwati, 2002; Kasno et al., 2006. Pupuk SP-36 mudah larut dalam air dan cepat tersedia bagi akar tanaman. Namun ketika harga pupuk SP sangat mahal, bahkan langka ketika dibutuhkan, diperlukan solusi penggantinya yaitu dengan pemanfaatan pupuk fosfat alam atau batuan fosfat BP hasil tambang dan harga lebih murah. Pupuk BP lebih sesuai diterapkan pada tanah masam pH 5,5 dengan dosis 1-1,5 ton BPha atau 300-450 kg P 2 O 5 ha Dierolf et al. 2001. Pemupukan amonium sulfat AS atau ZA dapat berpengaruh pada kemasaman tanah. Oleh karena itu, BP dapat menggantikan pupuk SP sebagai salah satu sumber unsur hara P apabila dalam aplikasinya dikombinasikan dengan amonium sulfat Lukiwati et al., 2001. Dosis pupuk BP yang digunakan oleh Sharma et al. 2001 dengan sekali pemberian sebanyak 500 kg P 2 O 5 ha untuk masa tanam 5 tahun, dan menghasilkan produksi jagung rata-rata meningkat 50 lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan P. Nassir 2001 juga melaporkan bahwa satu kali pemberian pupuk BP dengan dosis 80-360 kg P 2 O 5 ha, dapat meningkatkan produksi jagung setara dengan pemupukan SP. Efisiensi pemupukan P untuk produksi biji tertinggi dicapai pada dosis 66 kg Pha atau 150 kg P 2 O 5 ha Lukiwati, 2002. Tambang batuan fosfat di Jawa Tengah antara lain terdapat di Kabupaten Magelang dan Pati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pupuk organomineral dan pupuk anorganik serta kombinasinya terhadap produksi jagung manis dan kualitas jerami.

2. RUANG LINGKUP DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental di Dusun Soko, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat - Kabupaten Semarang. Analisis kimia dan fisik tanah awal dilakukan sebelum penelitian dimulai, dengan mengambil sampel tanah secara komposit masing-masing kelompok ulangan. Percobaan lapang pada tanah masam telah dilaksanakan selama 70 hari, dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan 3 kali ulangan sebagai kelompok. Dosis pupuk P SP, BP dan N urea, amonium sulfat, masing- masing 66 kg Pha dan 200 kg ha. Pupuk organik yang digunakan adalah pukan organomineral dan super petro organik SPO, masing-masing dengan dosis 5 tonha. Semua petak mendapat pemupukan KCl. Perlakuan pemupukan yang diberikan adalah T0 kontrol, T1 organomineral,T2 SPO, T3 BP+amonium sulfat, T4 SP+urea, T5 organomineral+amonium sulfat, T6 pukan + SP+urea, T7 SPO+ BP+amonium sulfat,T8 SPO+SP+urea. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 9 perlakuan dan 3 kali ulangan sebagai kelompok, sehingga terdapat 27 petak percobaan. Pembuatan pukan pupuk kandang dilakukan dengan pengomposan dekomposisi campuran feses dan urin ternak serta sisa pakan, sedangkan penambahan BP pada bahan yang sama untuk pembuatan pupuk organomineral. Mikroba dekomposer ditambahkan untuk mempercepat proses dekomposisi selama 1 bulan, kemudian hasilnya di analisis di laboratorium. Pengolahan tanah dan pemetakan sebanyak 27 petak masing-masing ukuran 2,5 m x 3 m, terbagi dalam 3 kelompok sebagai ulangan. Pupuk organik pukan, organomineral, dan SPO diberikan secara sebar dan aduk rata sehari sebelum tanam. Pupuk KCl 150 kg K 2 Oha, BP 150 kg P 2 O 5 ha diberikan bersamaan waktu tanam, dan 200 kg Nha amonium sulfat, urea diberikan 23 dosis, kemudian 13 dosis pada umur 1 bulan. Jarak tanam jagung manis 70 x 40 cm 2 biji per lubang, dan diberi insektisida granul kedalam lubang tanam dosis 6 kgha. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 minggu, dan diulang bersamaan waktu pembumbunan umur 1 bulan. Produksi jagung berklobot dan tanpa klobot diperoleh pada saat panen umur 70 hari, ditimbang tiap petak sampel dan dikonversikan menjadi produksi per hektar. Produksi 170 klobot dan jerami jagung tiap petak sampel ditimbang berat segarnya, dan masing-masing diambil sub sampel dan dianalisis di laboratorium dengan pengeringan oven pada suhu 70 C selama 48 jam hingga berat konstan.untuk mendapatkan kadar bahan kering. Produksi BK jerami dan klobot masing-masing dihitung dari hasil perkalian produksi segar dengan kadar BK. Kualitas jerami dapat diketahui dari kadar protein kasar dan dan serat kasar masing- masing menurut metoda Islam et al. 1992. Semua data hasil pengamatan dianalisis ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan, kemudian dilanjutkan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan terhadap parameter yang diamati. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Produksi Jagung Manis Produksi jagung manis nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan P 0,05. Tabel 1 menunjukkan data produksi jagung berklobot jagung dengan klobot dan produksi jagung tanpa klobot dengan berbagai perlakuan yang diberikan. Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa pemberian pupuk organomineral dikombinasikan dengan pupuk amonium sulfat T5 menghasilkan produksi jagung dengan klobot maupun produksi jagung tanpa klobot berbeda tidak nyata dibanding T6, T7 dan T8. Namun menghasilkan produksi jagung klobot maupun produksi jagung tanpa klobot cenderung lebih tinggi dibanding T1, T3 dan T4, serta nyata lebih tinggi dibanding T2 produksi jagung berklobot dan T0 Tabel 1. Tabel 1. Produksi Jagung Manis dengan Berbagai Perlakuan Pemupukan Perlakuan Produksi jagung dengan klobot tonha Produksi jagung tanpa klobot tonha T0 kontrol 12.557 c 8.537 c T1 pukan 15.667 bc 10.387 abc T2 SPO 14.200 c 9.887 bc T3 BP+AS 16.813 abc 11.683 abc T4 SP+urea 15.850 bc 10.427 abc T5 Organomineral+AS 19.947 ab 12.297 ab T6Pukan+SP+urea 20.830 a 13.627 a T7 SPO + BP+AS 20.257 ab 13.463 a T8 SPO+SP+urea 19.407 ab 12.220 ab Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05 Secara umum pemberian pupuk organik pukan, organomineral, SPO dengan berbagai kombinasi perlakuan P SP, BP dan N amonium sulfat, urea, mampu meningkatkan produksi jagung. Menurut Noor 2003, ketersediaan unsur hara P meningkat dengan penambahan bahan organik kedalam tanah dan mampu menghasilkan humus yang berperan dalam menekan jerapan P. Pupuk kandang termasuk pupuk organik yang berperan terutama dalam memperbaiki sifat fisik atau kesuburan fisik tanah, dan bersifat lambat tersedia. Mayadewi 2007 menyatakan bahwa unsur-unsur hara yang terkandung dalam pupuk kandang tersedia sedikit demi sedikit, dan dalam jangka waktu lama. Pengaruh pemberian pupuk kandang umumnya terlihat terutama pada musim tanam kedua. Smithson dan Giller 2002 menyatakan bahwa kombinasi pupuk organik – anorganik diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan di daerah tropis. Kombinasi pemupukan SP+urea tidak berbeda nyata dibanding kombinasi BP+amonium sulfat dalam menghasilkan produksi jagung. Pupuk SP-36 merupakan hasil reaksi antara batuan fosfat dengan asam sulfat sehingga mudah larut dalam air dan cepat tersedia bagi akar tanaman. Sedangkan pupuk BP lebih sesuai untuk tanah masam pH 5,5 Dierolf et 171 al. 2001. Dilain pihak, pupuk amonium sulfat AS bereaksi masam, sehingga dapat meningkatkan kelarutan P dari pupuk BP. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Lukiwati et al. 2001 bahwa kombinasi pemupukan BP+amonium sulfat menghasilkan produksi dan kualitas rumput setaria setara dengan perlakuan kombinasi pemupukan SP+urea. Efektivitas pupuk BP meningkat pada kondisi asam Hasanudin et al., 2007; Bationo Kumar, 2002. Pupuk organik dapat meningkatkan produksi jagung dan jerami apabila dikombinasikan dengan pupuk anorganik Lukiwati et al., 2010. Kombinasi pupuk organik dan anorganik dengan berbagai jenis sumber pupuk menghasilkan produksi jagung cenderung tidak berbeda. Namun, khususnya ‘biaya’ perlakuan T5 lebih murah dibanding kombinasi lainnya karena menggunakan bahan baku lokal dan terjangkau oleh petani.

3.2. Produksi Bahan Kering Jerami dan Klobot Jagung

Produksi jerami jagung manis dan klobot nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan P 0,05. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, diketahui terdapat perbedaan yang nyata P 0,05 antar perlakuan yang diberikan terhadap produksi bahan kering jerami jagung manis dan klobot. Tabel 2 menunjukkan data produksi jerami dan klobot jagung manis. dengan berbagai kombinasi perlakuan pemupukan yang diberikan. Kombinasi antara pupuk organik dan anorganik, masing-masing menghasilkan produksi jerami dan klobot berbeda tidak nyata. Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam- asam organik, menurunkan pH dan potensi reduksi oksidasi ditingkatkan sehingga meningkatkan ketersediaan unsur hara yang kelarutannya tinggi pada kondisi asam Sumida Yamamoto, 1997. Jerami dipotong setelah panen jagung manis pada umur 70 hari setelah tanam. Disamping itu, dosis pupuk N, P maupun pupuk kandang yang diberikan masing- masing tidak berbeda. Oleh karena itu, antar perlakuan pupuk organik T1 dan T2 dan anorganik T3 dan T4 yang diberikan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam menghasilkan produksi jerami dan klobot jagung manis, namun cenderung lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan. Lukiwati 2002 menegaskan bahwa produksi jerami jagung lebih tinggi dengan pemupukan 150 kg P 2 O 5 ha 66 kg Pha dibanding tanpa pemupukan. Tabel 2. Produksi Bahan Kering Jerami dan Klobot Jagung Manis Perlakuan Produksi BK Jerami tonha Produksi BK Klobot tonha T0 kontrol 4,213 b 1,087 b T1 pukan 5,613 ab 1,717 ab T2 SPO 4,790 ab 1,167 b T3 BP+AS 4,680 b 1,427 ab T4 SP+urea 4,630 b 1,407 ab T5 Organomineral+AS 5,527 ab 1,847 ab T6 Pukan+SP+urea 5,893 ab 2,137 a T7 SPO + BP+AS 6,600 a 1,837 ab T8 SPO+SP+urea 5,357 ab 2,010 a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05 3.3. Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Jerami Jagung Manis Kadar protein kasar PK dan serat kasar SK jerami jagung manis dan klobot nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan P 0,05. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, diketahui terdapat perbedaan yang nyata P 0,05 antar perlakuan yang diberikan terhadap produksi bahan kering jerami jagung manis dan klobot. Tabel 3 menunjukkan data kadar PK dan SK jerami jagung manis dengan berbagai kombinasi perlakuan pemupukan yang diberikan. 172 Kadar PK jerami jagung pada perlakuan T4 SP+urea dan T8 SPO+SP+urea nyata lebih tinggi dibanding T0 dan T2, tetapi tidak berbeda terhadap perlakuan lainnya. Konsentrasi nitrogen pada umumnya lebih tinggi pada bagian daun dibanding batang Noggle Fritz 1976. Diduga rasio daun pada T4 kombinasi NP dan T8 kombinasi SPO dan NP lebih tinggi dibanding pada perlakuan lainnya, karena pupuk SP larut dalam air dan lebih mudah diabsorbsi oleh akar tanaman. Kombinasi pupuk organomineral, pukan maupun pupuk SPO masing-masing dengan pupuk N dan P dari jenis pupuk berbeda, menghasilkan kadar PK tidak berbeda. Demikian juga pupuk organik dan anorganik yang berbeda, masing- masing menghasilkan kadar PK tidak berbeda. Dalam penelitian ini, dosis pupuk N dan P maupun pupuk kandang yang diberikan masing-masing tidak berbeda. Oleh karena itu, antara kombinasi perlakuan pupuk organik dan anorganik maupun tanpa kombinasi, masing- masing tidak menunjukkan perbedaan dalam menghasilkan kadar PK jerami jagung manis. Biaya pupuk pada perlakuan T5 lebih murah dengan hasil produksi jagung maupun kualitas jerami tidak berbeda dibanding perlakuan kombinasi pupuk organik dan anorganikT6, T7, T8 maupun pupuk anorganik NP T3, T4. Jerami dipotong setelah panen jagung manis pada umur 70 hari. Dengan demikian kondisi ini sudah masuk pada fase generatif, sehingga sebagian besar hasil fotosintesis telah digunakan untuk pengisian dan pemasakan biji jagung. Kadar serat kasar jerami pada perlakuan T4 SP+urea nyata paling rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini konsisten dengan teori yang menyatakan bahwa kadar protein kasar hijauan pakan berbanding terbalik dengan kadar serat kasar Whiteman, 1980. Tabel 3. Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Jerami Jagung Manis Perlakuan Kadar Protein Kasar Kadar Serat Kasar T0 kontrol 8,477 b 72,637 bcd T1 pukan 9,787 ab 73,263 ab T2 SPO 8,790 b 70,957 d T3 BP+AS 9,560 ab 71,660 bcd T4 SP+urea 12,063 a 67,703 e T5 Organomineral+AS 9,770 ab 71,443 cd T6Pukan+SP+urea 10,643 ab 74,437 a T7 SPO + BP+AS 10,387 ab 72,900 abc T8 SPO+SP+urea 11,913 a 73,140 abc Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05 4. KESIMPULAN Pupuk organik pukan, organomineral, SPO apabila dikombinasikan dengan pupuk P SP, BP maupun N urea, ZA menghasilkan produksi jagung manis dan kualitas jerami yang sama dan lebih tinggi dibanding pupuk organik atau anorganik saja. Selain itu, biaya produksi perlakuan kombinasi organomineral + amonium sulfat lebih murah dalam menghasilkan produksi jagung dan kualitas jerami dibanding pemupukan kombinasi lainnya, maupun pemupukan anorganik saja. Kombinasi pemupukan BP+amonium sulfat menghasilkan produksi jagung dan jerami serta kualitasnya setara dengan pemupukan SP+urea, maupun dengan pemupukan SPO+BP+amonium sulfat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Dirjen DP2M Dikti atas dukungan dana Hibah Penelitian Strategis Nasional, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan diselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Kepala Dusun dan Kelompok Tani Ternak Dusun Soko, Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat-Kabupaten Semarang, yang telah mendukung terlaksananya 173 penelitian ini. Terima kasih kepada Ir. Maulana Nasution, MS atas bantuannya dalam pengolahan data penelitian. Terima kasih kepada Sdr. Muchammad Muzayyin, SP yang telah membantu dalam analisis kimia tanah dan jaringan tanaman di laboratorium. Terima kasih kepada Sdr. Gunawan Sodiq, Amd yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. PUSTAKA Bationo, A. and Kumar, A.K., 2002. Phosphorus use efficiency as related to sources of P fertilizers, rainfall, soil, crop management, and genotypes in the West African semiarid tropics. Proc.of Food Security in Nutrient –Stressed Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics ICRISAT Patancheru, India. Dierolf, T., Fairhurst, T. and Mutert, E., 2001. Soil Fertility Kit. A toolkit for acid, upland soil fertility management in Southeast Asia. First edition. Printed by Oxford Graphic Printers. 149 p. Hasanudin, Mitriani dan Barchia, F., 2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. J. Akta Agrosia. Edisi Khusus. 1: 1-4 Islam, A.K.M.S., Kerven, G., and Oweczkin., 1992. Methods of Plant Analysis. ACIAR 8904 IBSRAM QC. Kasno, A., Setyorini, D., dan Tuberkih, E., 2006. Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktivitas tanah Inceptisol dan Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 82:91-98. Lukiwati, D.R., Agustini, T.W., Kristanto, B.A., and Surahmanto., 2010. Production and nutrient uptake improvem ent of sweet corn by manure ‘plus’ combined with inorganic fertilizers. Proc. of the 15th World Fertilizer Congress of the International Scientific Center for Fertilizers CIEC. Bucharest, Romania Lukiwati, D.R., Ekowati, R., dan Karno., 2001. Produksi bahan kering dan kadar protein kasar rumput setaria gajah dengan pemupukan N dan P. Abstr.hlm.167. Seminar Nasional ”Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Fakultas Peternakan IPB, Bogor 8-9 Agustus. tidak diterbitkan Lukiwati, D.R., 2002. Effect of rock phosphate and superphosphate fertilizer on the productivity of maize var. Bisma. Proc.of International Workshop Food Security in Nutrient- Stressed Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics ICRISAT Patancheru, India. Lukiwati, D.R., dan Muryani, R., 2006. Potensi jerami padi sebagai pakan sapi potong di Kabupaten Rembang. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 41: 7-12. Mayadewi, N.N.A., 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. J. Agritrop. 264: 153-159 Nassir, A., 2001. IMPHOS experience on direct application of phosphate rock in Asia. In: Proc.of an International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate Technology – Latest Developments and Practical Experiences. Kuala Lumpur. Noggle, G.R., and Fritz, G.J., 1976. Introductory Plant Physiology. Second Ed. Prentice- Hall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 627pp. Noor, A., 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada Ultisol. Bul. Agron. 313: 100-106. Sharma, P.K., Bhardwaj, S.K., and Sharma, H.L., 2001. Long-term a studies on agronomic effectiveness of African and Indian phosphate rocks in relaton to productivity of maize and wheat crops in mountaint acid soils of Western Himalayas India. Proc.of International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate 174 Technology-Latest Developments and Practical Experiences. IFDCMSSSESEAP. Kuala Lumpur, Malaysia. Smithson, P.C., and Giller, K.E., 2002. Appropriate farm management practices for alleviating N and P deficirnciesin low-nutrient soils of the tropics. Plant and Soil. 245:169-180. Sumida, H. and Yamamoto, K., 1997. Effect of decomposition of city refuse compost on the behaviour of organic compounds in the particle size fractions. Proc. of the XIII International Plant Nutrition Colloquium, Tokyo-Japan. Whiteman, P.C., 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press.392pp. Young, R.D., Weatfall, D.G., and Colliver, G.W., 1985. Production, Marketing, and Use of Phosphorus Fertilizers. In: O.P. Engestad Ed.. Fertilizer Technology and Use. Third Ed. Published by Soil Soc.of Am., Inc. Madison, Wisconsin. 323-376. 175 STUDI PEMANFAATAN ENERGI AIR UNTUK MENUNJANG PROGRAM PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH TERPENCIL Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Komp. LIPI Bandung, Jl. Sangkuriang, Gd. 20. Lt. 2 Bandung 40135 Telp.: 022-2503055, Fax: 022-2504773 E-mail: ridwanarief_raisyahoo.com ABSTRAK Program Pembangunan Listrik Perdesaan Kementerian ESDM telah meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia dari 67,2 pada tahun 2010 menjadi 72,95 pada tahun 2011. Namun demikian, di daerah terpencil terutama daerah pegunungan masih banyak yang belum teraliri listrik seperti di Kabupaten Aceh Besar Provinsi NAD. Sebenarnya daerah tersebut potensial untuk dikembangkan pembangkit listrik mandiri dengan memanfaatkan energi air. Perlu dilakukan studi potensi dan pemanfaatan energi air untuk mendapatkan data awal dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro PLTMH. Studi dilakukan melalui survei lapangan dengan mengukur beda ketinggian air menggunakan altimeter dan mengukur kecepatan air menggunakan current meters. Dari hasil studi terdapat 3 lokasi yang potensial untuk dikembangkan PLTMH dengan daya keluaran 3,7 sampai 9,1 kW. Saat ini, LIPI telah menguasai teknologi rancang bangun PLTMH seperti turbin Crossflow, turbin Propeller, turbin arus sungai head sangat rendah, generator putaran rendah dan singkronisasi. Bila dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini khususnya teknologi yang berasal dari luar negeri, teknologi yang kita kuasai tidaklah kalah. Bahkan dari segi harga, komponen PLTMH buatan LIPI dapat lebih murah dari komponen import. Selain itu, layanan perawatan tentu lebih mudah karena komponennya disuplai dari dalam negeri. Dengan bekal kemampuan tersebut, diharapkan LIPI dapat berperan lebih besar guna menunjang program pembangunan listrik perdesaan. Kata Kunci: daerah terpencil, energi air, rasio elektrifikasi ABSTRACT Rural Electricity Development Program of Ministry of ESDM has increase Indonesia electrification ratio from 67.2 in 2010 to 72.95 in 2011. Otherwise, in remote areas, especially in remote mountainous areas are still many who have not been powered, like in Aceh Besar, NAD. Actually that area is potential to be developed independent power plant using hydro energy. It required study of the potential and utilization of hydro energy to get beginning data as reference to develop PLTMH. The study was conducted through a survey of the field by measuring head using altimeter and water velocity using current meters. From the results of the study, there are 3 potential locations able to be developed as PLTMH with output power 3.7 until 9.1 kW. Currently LIPI has mastered PLTMH engineering technologies such as Cross flow turbine, Propeller turbine, very low head turbine, low rotation generator and synchronizer. When compared to existing technologies in particular technologies from abroad, technological which we mastered is not fail . Even in terms of price, LIPI’s PLTMH components can be cheaper than imported. In addition, maintenance would be easier because the component is supplied from domestic. By these capabilities, LIPI is expected to play a larger role to support the development of rural electricity program. Keywords: remote area, hydro energy, electrification ratio, the study

1. PENDAHULUAN

Program pembangunan listrik perdesaan Kementerian ESDM telah meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia dari 67,2 pada tahun 2010 menjadi 72,95 pada tahun 2011 Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia, 2012. Namun demikian, daerah terpencil terutama di daerah pegunungan masih banyak yang belum terjangkau listrik padahal daerah tersebut sangat potensial untuk dikembangkan pembangkit listrik mandiri dengan memanfaatkan sumber energi air atau dikenal dengan nama pembangkit listrik tenaga air. Pembangkit listrik tenaga air adalah salah satu pembangkit listrik non fosil yang bersifat terbarukan yang cocok dikembangkan di Indonesia mengingat potensinya yang sangat besar 176 dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Seperti yang terdapat pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 – 2025 Kementrian ESDM Tabel 1, kapasitas terpasang sumber energi non fosil yang berasal dari tenaga air skala minimikro hidro baru sekitar 206 MW atau sekitar 45 dari potensi yang ada yang mencapai 450 MW. Hal ini tentu masih berpeluang untuk terus dikembangkannya pembangkit listrik skala minimikro hidro. Tabel 1. Potensi Energi Nasional 2005 Energi non fosil Sumber daya Kapasitas terpasang terpasang Tenaga air 75,67 GW 4,2 GW 5,55 Panas bumi 27,00 GW 0,8 GW 2,96 Minimikro hidro 0,45 GW 0,206 GW 45,78 Biomass 49,81 GW 0,3 GW 0,6 Tenaga surya 4,80 kWhm 2 hari 0,001 GW Tenaga angin 9,92 GW 0,0006 GW 0,0065 Uranium Nuklir 24.112 ton e.q. 3 GW untuk 11 tahun hanya di daerah Kalan – Kalbar Sumber: Kementerian ESDM 2006 Potensi pembangkit listrik tenaga air skala mikrohidro biasanya terdapat di daerah pegunungan. Namun demikian, masih banyak sumber energi air di daerah tersebut yang belum dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Salah satu wilayah pegunungan yang belum teraliri listrik namun memiliki sumber energi air adalah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk mencukupi kebutuhan listrik, masyarakat sekitar masih menggunakan genset sehingga hal ini menjadi tidak efisien dan boros padahal di daerah pegunungan tersebut terdapat aliran sungai yang cukup deras sehingga sangat potensial untuk dikembangkannya pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Dari latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan studi pemanfaatan energi air sehingga secara umum dapat meningkatkan rasio elektrifikasi dan secara khusus dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di wilayah tersebut. Studi ini dilakukan untuk mendapatkan data awal potensi energi air yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pembangkit listrik skala mikrohidro. Pembangkit listrik tenaga mikrohidro adalah suatu bentuk perubahan energi air dengan ketinggian dan debit tertentu menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin air dan generator dengan kapasitas sistem maksimal 120 kW Kusdiana, dkk., 2008; Arismunandar Kuwahara, 1974. Sebagian besar literatur tentang pembangkit listrik tenaga mikrohidro lebih fokus membahas masalah perancangan peralatan mekanik, peralatan listrik serta implementasinya Subagja, dkk., 2009; Warsito dkk., 2009; Susatyo Subekti, 2009. Tujuan paper ini adalah memberikan gambaran dan informasi awal mengenai potensi energi air yang terdapat di wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Besar, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Dalam paper ini akan dijelaskan mengenai tahapan survei, lokasi dan potensi daya, spesifikasi peralatan mekanikal elektrikal serta komponen sipilnya.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian potensi energi listrik skala mikrohidro ini dilaksanakan melalui survei lokasi di salah satu pegunungan yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Desember 2009 seperti yang terlihat pada Gambar 1. Survei lapangan yang ditujukan untuk mengetahui besarnya potensi energi air sebagai dasar dalam perencanaan dan pembangunan pembangkit listrik skala mikrohidro ini dilakukan melalui empat tahapan yaitu: 1 penentuan lokasi; 2 pengukuran head atau tinggi jatuh air; 3 perhitungan debit air; dan 4 perhitungan potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan. 177 Sumber: Peta Garmin 2006 Gambar 1. Lokasi Studi Pemanfaatan Potensi Energi Air

2.1. Penentuan Lokasi

Untuk mengetahui lokasi yang potensial untuk dikembangkannya pembangkit listrik skala mikrohidro, maka dilakukan dengan cara menyusuri aliran sungai yang berada di daerah pegunungan di Kabupaten Aceh Besar. Survei lapangan dilakukan guna mengetahui lokasi- lokasi mana yang berpotensi untuk dapat dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala mikrohidro. Setelah didapat lokasi yang memiliki potensi, dilakukan penandaan lokasi menggunakan global positioning system GPS. Tipe GPS yang digunakan adalah GPSMAP 76CSx merek Garmin. Fitur tracks yang terdapat pada GPS dapat digunakan untuk merekam jalur saluran pembawa dan jalur pipa pesat. Fitur tracks tersebut menciptakan catatan jejak elektronik yang berisi informasi tentang poin-poin sepanjang jalur Garmin, 2006.

2.2. Pengukuran Head

Altimeter yang terdapat pada GPS dapat digunakan untuk mengukur head atau tinggi jatuh air antara sumber air dengan lokasi turbin. Namun demikian, altimeter sangat mudah terpengaruh oleh perubahan suhu, tekanan atmosfir dan kelembaban sehingga altimeter sebaiknya digunakan untuk pengukuran beda ketinggian dalam jangka waktu yang cepat. Untuk pengukuran head yang tinggi, altimeter cukup dapat diandalkan. Sebagai pembanding, pengukuran beda ketinggian juga dilakukan dengan cara manual menggunakan meteran yang diukur secara vertikal.

2.3. Perhitungan Debit Air