142
BUDAYA KREATIF DESAINER GRAPHIC FASHION DALAM INOVASI FRUGAL PATCHWORK BANDUNG
Wanda Listiani
Sekolah Tinggi Seni Indonesia STSI Bandung Jl. Buahbatu No. 212 Bandung
HP. 0818221151 E-mail: wandalistianigmail.com
ABSTRAK Pemanfaatan kembali sisa kain perca menjadi produk fashion bernilai seni patchwork aesthetic
dengan teknik patchwork kembali marak di Kota Bandung dan berbagai kota kreatif lainnya di Indonesia. Teknik penggabungan perca bukan hal yang baru, namun tidak semua orang mampu
membuat motif produk perca bernilai seni patchwork aesthetic. Perlu budaya kreatif dalam menggabungkan potongan kain menjadi motif tertentu yang bernilai ekonomi. Selain mengurangi
limbah kain, produk fashion patchwork ini membuka lapangan kerja padat karya, sumber pendapatan dan ekspresi seni pembuatnya bahkan sebagian orang menggunakannya untuk terapi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara pada desainer graphic fashion yang memiliki bisnis patchwork di Bandung. Pembuatan produk secara eksklusif dengan satu motif dan satu
warna untuk satu barang dengan lama pengerjaan dari satu minggu hingga 3 bulan tergantung pada tingkat kesulitan motif dan ukuran. Kisaran harga dari Rp. 75.000,- s.d Rp. 3.000.000,- membuktikan
bahwa inovasi frugal bekerja pada limbah kain sehingga bernilai ekonomi kreatif. Kata Kunci: budaya kreatif, inovasi frugal, Kota Bandung, kriya tekstil
1. PENDAHULUAN
Pembuatan kain di Bandung bermula dari Majalaya. Saat itu, hasil produksi tekstil Majalaya masih terbatas pada konsumsi rumah tangga atau lokal. Usaha yang dilakukan
secara turun temurun ini Darmaprawira, 1974: 172 berupa pembuatan alat tenun tinun kentreung, sunda, penanaman kapas, pemintalan benang, pencelupan dengan celup alam
hingga menenun. Semua dilakukan sendiri sebagai pekerjaan biasa. Hasil tenunnya mulanya sangat kasar, menyerupai kain kafan boeh, sunda. Pada tahun 1920 oleh isteri bupati
Wiranatakusumah beberapa orang wanita dianjurkan untuk mengikuti kursus tenun di Textiel Inrichting Bandung Institut Tekstil Bandung yang diketuai pertama kali oleh Dalenoord.
Textiel Inrichting Bandung TIB berdiri pada tahun 1921 yang mendorong berkembangnya industri tekstil di Majalaya. TIB merupakan proyek percontohan Alat Tenun Bukan Mesin
ATBM sebagai awal modernisasi pertenunan di Majalaya. Para wanita peserta pendidikan kursus TIB menerapkan hasil pendidikan dalam lingkungan keluarganya dengan membuat
sarong kotak-kotak. Corak kotak-kotak ini telah disetel di TIB. Para pembeli benang tenun yang akan memproduksi kain sarong harus membeli alatnya batang lusi sehingga pembeli
hanya mengerjakan saja Darmaprawira, 1974: 175.
Sumber : Tropenmuseum Belanda
Gambar 1. Pembuatan Sarung di Bandung Tahun 1900 —1940
143
Pemasaran kain sarong meluas ke Yogyakarta, Solo dan Surabaya. Pengusaha Tionghoa muncul dengan menggunakan ATM sebanyak 100 buah. Munculnya pengusaha ini
menyebabkan pengusaha pribumi terdesak. Pengusaha pribumi menerapkan cara baru yaitu sistem memesan maakloon, pengusaha Tionghoa sebagai pemilik benang dan pengusaha
pribumi yang mengerjakan tenunan dengan upah pengerjaannya. Hasilnya disetorkan pada pemilik benang Darmaprawira, 1974: 176.
Pada tahun 1937 pemerintah Belanda memperluas penerapan Ordinance for Regulation of Enterprises Setiawati, 2005:35 agar menjangkau seluruh produk seperti pakaian yang
berbahan katun, rayon atau sebagian sarung rayon dan kain panjang. Menurut hasil studi Belanda, Bandung dan daerah lainnya merupakan pendorong terjadinya overproduction.
Tahun 1938 industri sarung berkembang pesat meninggalkan industri katun domestik lainnnya dan menguasai 47 keseluruhan suplai sarung, Daerah Jawa Barat khususnya
priangan termasuk Majalaya menjadi konsentrasi terbesar usaha pertenunan skala kecil dan daerah industri sarung.
Sumber : Tropenmuseum Belanda
Gambar 2. Industri Tekstil Majalaya, Tahun 1900 —1940
Pada masa pemerintahan Jepang, industri tenun berhenti karena tidak adanya bahan baku. Mesin-mesin sebagian diungsikan ke daerah pedalaman dan sisanya dijual ke kota
Bandung. Pengusaha Tionghoa mengungsikan mesin mereka ke Bandung yang kemudian menjadi awal mula industri tekstil di Bandung. Industri tekstil di Majalaya mulai hidup lagi
pada tahun 195960 dengan adanya sistem iden dan jatah dari pemerintah. Tahun 1965 jumlah mesin tenun di Majalaya mencapai 4.000
–5.000 buah dan ATBM puluhan ribu buah Darmaprawira, 1974: 177. Mesin yang sempat diungsikan oleh pengusaha Tionghoa
umumnya mesin tenun sehingga produksi terbatas pada kain tenun sarong, kain drill, bahan tirai, kain putih. Perusahaan kain cap yang berdiri sekitar tahun 1950 adalah Ling-ling PT.
Lonceng di Jl. Letjen Ahmad Yani Bandung dengan usaha pencapan tangan hand silk screen printing.
Perusahaan kain cap ini berkembang bersama industri rumahan hingga sekarang dan menyisakan limbah atau kain perca yang dijual dengan harga murah atau di buang begitu
saja. Limbah ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku kreatif di Bandung untuk menghasilkan produk baru dengan teknik patchwork dan quilting.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN