Bh4eSo6P1Az8J3Ui Prosiding 2012

(1)

INOVASI FRUGAL:

TANTANGAN DAN PELUANG PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN SERTA BISNIS DI INDONESIA

PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

PROSIDING FORUM TAHUNAN PENGEMBANGAN ILMU


(2)

PROSIDING FORUM TAHUNAN

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN INOVASI

NASIONAL

INOVASI FRUGAL: TANTANGAN DAN

PELUANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

SERTA BISNIS DI INDONESIA

Semua makalah yang terdapat dalam prosiding ini telah melalui proses seleksi oleh tim seleksi, perbaikan berdasarkan hasil diskusi, dan editing oleh tim editor.

Editor

1. Drs. Budi Triyono, M.Si. (Pappiptek LIPI) 2. Dra. Wati Hermawati, MBA. (Pappiptek LIPI) 3. Karlina Sari, SE., MA. (Pappiptek LIPI) 4. Kusnandar, STP., MT. (Pappiptek LIPI) 5. Lutfah Ariana, STP., MPP. (Pappiptek LIPI)

6. Setiowiji Handoyo, SE. (Pappiptek LIPI) Tim Seleksi Makalah

1. Prof. Dr Erman Aminullah (Pappiptek LIPI) 2. Dr. Trina Fizzanty (Pappiptek LIPI)

3. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. (Pappiptek LIPI) 4. Dra. Wati Hermawati, MBA. (Pappiptek LIPI)

5. Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, M.A.Dev. (Fakultas Teknologi Pertanian – IPB) 6. Prof. Dr. Martani Huseini (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – UI)

7. Dr. Meuthia Ganie-Rochman (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – UI) 8. Dr. Ir. Dian Vidyatmoko, M.Sc. (BPPT)

9. Marcelino Pandin, Ph.D. (Sekolah Bisnis Manajemen–ITB)

10. Prof. Togar M. Simatupang, M.Tech., Ph.D. (Sekolah Bisnis Manajemen–ITB) 11. Mohammed Ali Berawi, M.Eng. Sc., Ph.D. (Fakultas Teknik – UI)

12. Avanti Fontana, Ph.D. (Fakultas Ekonomi – UI)

13. Dr. Ir. Sony Yuliar (Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan–ITB) Desain sampul:

Purnama Alamsyah

PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Widya Graha LIPI Lt.8, Jakarta 12710 Telepon 021-5201602, 5225206, 5251542 ext. 704 Faximile 021-5201602 Email pappiptek@pappiptek.lipi.go.id Website http://www.pappiptek.lipi.go.id


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (Iptekin) Nasional yang diadakan oleh Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PAPPIPTEK) LIPI pada tanggal 10 Oktober 2012 di Gedung Widya Graha LIPI ini akhirnya dapat diselesaikan. Forum tahunan ini merupakan kegiatan yang menghimpun para pelaku serta pemerhati iptek dari berbagai lembaga litbang, akademisi dan industri untuk membahas isu-isu kebijakan dan manajemen perkembangan iptekin baik dalam lingkup nasional maupun global.

Ini merupakan seminar kedua yang kami laksanakan dengan mengambil tema “Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia”. Seminar ini diawali dengan pengarahan oleh Bapak Prof. Dr. Ir. H. Gusti Muhammad Hatta, MS (Menteri Riset dan Teknologi) dan dibuka secara resmi oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc. Pada kesempatan ini, kami mengundang Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy &

Policy, Indian Institute of Management, dari Bangalore, India sebagai pembicara kunci dan

Dr. Warsito P. Taruno, penemu tomografi volumetric 4D, sebagai panelis utama.

Dalam prosiding ini dimuat makalah dari pembicara kunci dan dua makalah dari persidangan utama yang dimoderatori oleh Dr. Ninok Leksono. Makalah dalam persidangan utama ditulis oleh Dr. Warsito P. Taruno dan peneliti-peneliti PAPPIPTEK-LIPI, yakni Dr. Trina Fizzanty, Dra. Nani Grace Simamora, M.Hum., dan Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Prosiding ini juga menampilkan 24 makalah yang telah dipresentasikan secara oral dan dua makalah yang dipresentasikan dalam bentuk poster. Adapun makalah presentasi oral dibagi menjadi empat sesi dengan tema berbeda, yaitu Kebijakan dan Kondisi Makro, Pengembangan Inovasi Teknologi, Pemanfaatan Inovasi Teknologi, serta Litbang dan Inovasi. Semua makalah ini telah melalui proses seleksi oleh tim seleksi dan telah dikoreksi berdasarkan hasil diskusi, yang kemudian dilakukan proses editing oleh tim editor. Pada bagian lampiran, ditampilkan

pula jadwal acara, daftar pemakalah, dan daftar panitia.

Penyusunan prosiding ini melibatkan banyak pihak, mulai dari tim penyeleksi makalah, tim persidangan yang mengumpulkan seluruh bahan untuk persiapan prosiding, dan tim editor. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan prosiding ini kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 14 Januari 2012 Ketua Panitia


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... I Daftar Isi ... II Sambutan Kepala Pappiptek-LIPI ... IV Sambutan Kepala LIPI ... VI Sambutan Menteri Negara Riset dan Teknologi ... VIII

Persidangan Utama ... 1 Management of Frugal Innovation: Lessons from Indian Experiences ... 2 Strategi Memacu Inovasi Frugal di Indonesia: Kajian Permintaan Efektif, Kemampuan Teknologi dan Kewirausahaan Inovatif ... 12 Kebijakan dan Kondisi Makro ... 32

Proses Pengembangan Inovasi Frugal Dilihat dari Perspektif Ekonomi Institusional

Berparadigma Realisme Kritis ... 33 Pengembangan Kelembagaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(Puspiptek) Ke Arah Indonesian Science And Technology Park (Istp) dalam Mendukung

Sistem Inovasi Nasional (Sinas) Untuk Menghasilkan Inovasi Frugal ... 55 Strategi Lembaga Litbang Daerah dalam Mengembangkan Inovasi Frugal di Kabupaten Pati ... 69 Peran Lembaga Riset dalam Sistem Inovasi Frugal Sektor Pertanian: Analisis Berpikir Sistem ... 77 Faktor-Faktor yang Mendorong Inovasi Frugal: Kondisi di India dan Prospek di Indonesia ... 89 Implementasi Program Krenova Pemerintah Kota Magelang Tahun 2012 (Studi Pada Tiga Produk Unggulan Kota Magelang Kategori Kreatif-Inovatif-Aplikatif Dengan Biaya Kompetitif) ... 104 Pengembangan Mobil Komodo di Tengah Ketidakpastian Kebijakan ... 115

Pengembangan Inovasi Teknologi ... 125 Teknologi Frugal Mengunakan Enkas yang Dimodifikasi: Untuk Pengembangan Kentang Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium ... 126 Application of Pulp Modification for Automotive Brake Lining ... 133 Budaya Kreatif Desainer Graphic Fashion dalam Inovasi Frugal Patchwork Bandung .. 142

Pengembangan Prototipe Pegas Ulir (Coil Spring) Kereta Api Sebagai Upaya


(5)

Alih Teknologi Litbang LPPM UPNVY Pada Petani Bunga Krisan Di Kawasan Terdampak Bencana Gunung Merapi: Mendukung Inovasi Frugal Menggunakan Amelioran Dan PGPR untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat ... 159

Pemanfaatan Inovasi Teknologi ... 167 Pupuk Organomineral dan Anorganik untuk Meningkatkan Produksi Jagung Manis dan Kualitas Jerami di Tanah Masam ... 168 Studi Pemanfaatan Energi Air untuk Menunjang Program Peningkatan Rasio Elektrifikasi Daerah Terpencil ... 175 Pengembangan Sistem Konversi Energi Angin untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Kabupaten Indramayu ... 182 Penghematan Biaya (Cost Reduction) Melalui Teknik Baru Finishing Bangunan dalam

Mendukung Pengembangan Budaya Kreatif dalam Mendukung Inovasi Frugal ... 190 Pemanfaatan Membran (Webs)Gelatin/Polivinil Alkohol Berskala Mikro Hingga Nano

Sebagai Pembalut Luka Primer ... 196 Rehabilitasi Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis

Microcontroller ... 207

Litbang Dan Inovasi ... 219 Senjang Adopsi Teknologi Pada Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Organik dan Pandan Wangi di Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur ... 220

Open Source Sebagai Driver Inovasi Frugal ... 231

Kajian Kasus Eko-Inovasi Pertanian Organik Melalui Lensa Teori Strukturasi dan

Pendekatan Praktik ... 240 Model Agribisnis Pedesaan Lahan Kering Yang Ramah Lingkungan (Kasus Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (Sitt) Di Kabupaten Blora) ... 250 Aplikasi Teknologi Berbasis Sistem Informasi Manajemen untuk Mengefisienkan Kualitas Layanan Logistik di PT DMK Surabaya ... 258 Strategi Inovasi Frugal Pada Usaha Batik Keluarga di Sentra Sentra Industri Kreatif Batik Jawa Timur ... 268

Makalah Poster ... 283 Kajian Awal Pemanfaatan Energi Terbarukan Untuk Meningkatkan Nilai Ekonomi

Kawasan Hutan Lindung: Studi Kasus Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar ... 284 Rancang Bangun Alat Uji Seal Dinamik untuk Aplikasi Pengujian Seal Mekanis, Seal Oli,

Dan Paking Tambang ... 292


(6)

SAMBUTAN KEPALA PAPPIPTEK-LIPI

Bismillaahirrohmaanirohiim

Yang kami hormati :

 Bapak Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS, Menteri Riset dan Teknologi

 Bapak Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc., Kepala LIPI

 Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian

Institute of Management, Bangalore

 Dr. Ninok Leksono, Rektor Universitas Multimedia Nusantara

 Dr. Warsito P. Taruno, Pembicara

Ibu dan Bapak Pemakalah, Peserta, dan Undangan yang kami hormati. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi dan salam sejahtera.

Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT di pagi ini kita dapat berkumpul pada acara Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi Nasional kedua.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan diyakini menjadi faktor penentu daya saing suatu bangsa. Hanya bangsa yang menguasai yang iptek dapat bersaing di dunia global. Sementara itu di Indonesia berdasarkan laporan IndikatorIptek Indonesia 2009, hampir dalam tiga puluh tahun terakhir Indonesia hanya berhasil mengekspor industri manufaktur dengan intensitas teknologi yang rendah. Sejak dekade 1990 sampai sekarang, pembiayaan iptek dan litbang oleh pemerintah cenderung terus menurun menuju keadaan terabaikan. Sudahkan kebijakan dan manajemen iptek di berbagai sektor di negara ini tepat? Pemikiran dan pertanyaan semacam ini telah mendorong PAPPIPTEK-LIPI untuk memfasilitasi dan menghimpun para pelaku serta pemerhati iptek dari berbagai lembaga litbang, akademisi dan industri untuk melakukan urun rembuk melalui suatu forum pengembangan iptek nasional. Diharapkan pertemuan semacam ini dapat membahas secara komprehensif isu-isu kebijakan, manajemen dan pengukuran pengembangan iptek nasional dan internasional yang pada gilirannya dapat melahirkan saran serta rekomendasi kebijakan iptek yang tepat.

Sejak awal tahun ini, kami menyampaikan call for papers guna mengundang para pemakalah

dari berbagai institusi baik pemerintah maupun organisasi swadaya masyarakat, perguruan tinggi negeri dan swasta, litbang pemerintah dan di industri yang mungkin tertarik dengan penelitian, pengkajian, serta analisis yang terkait dengan kebijakan publik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Masuk sebanyak 53 makalah setelah diseleksi yang memenuhi persyaratan dari segi lingkup substansi dan pemenuhan kriteria publikasi makalah, tersaring sebanyak 26 makalah: 2 dipresentasikan melalui poster dan 24 dipresentasikan secara oral. Yang dipresentasikan secara oral dilakukan pada sesi siang secara paralel. Secara garis besar, substansi yang dimuat dalam makalah-makalah tersebut terbagi pada empat ruang lingkup. Untuk lingkup “Kebijakan dan Kondisi Makro” terdapat 7 makalah, “Pengembangan Inovasi Teknologi” terdiri dari 5 makalah, “Pemanfaatan Inovasi Teknologi” terdapat6 makalah, serta “Litbang dan Inovasi” terdiri dari 6 makalah.

Sesi di pagi hari ini setelah nanti dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. Lukman Hakim dan mendapatkan pengarahan dari Prof. Gusti Muhammad Hatta, kemudian kita sama-sama mendengarkan ”Keynote Address” yang akan disampaikan oleh Prof. Rishikesha T.


(7)

Warsito mengenai perangkat pengobatan kanker dan paparan dari Dr. Trina Fizzanti, Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum., serta Ir. Dudi Hidayat yang akan berbicara mengenai inovasi frugal di Indonesia.

Ketiga paparan dari para panelis tersebut akan dipandu oleh seorang wartawan senior yang sudah tidak asing lagi bagi kita yaitu Dr. Ninok Leksono.

Kami mohon dengan hormat kepada Prof. Lukman Hakim, M.Sc., Kepala lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, untuk berkenan membuka secara resmi kegiatan “Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi Nasional Ke-2” ini.

Kami penyelenggara mengucapkan terima kasih yang sebesar-besanya kepada Bapak Prof. Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi atas kesediaannya untuk hadir dan menyampaikan sambutan, serta Prof. Rishikesha T. Krishnan atas kesediaannya dalam memberikan “keynote address”.

Kepada seluruh hadirin, pemakalah, peserta, dan para undangan, kami tidak lupa menyampaikan permohonan maaf sekiranya terdapat kekurangan serta terdapat hal-hal yang membuat ibu dan bapak kurang nyaman selama penyelenggaraan seminar ini.

Billahi Taufik Wal Hidayah,

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 10 Oktober 2012

Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


(8)

SAMBUTAN KEPALA LIPI

Bismillaahirrohmaanirohiim

Yang kami hormati :

 Bapak Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS, Menteri Riset dan Teknologi

 Prof. Rishikesha T. Krishnan, Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian

Institute of Management, Bangalore

 Dr. Ninok Leksono, Rektor Universitas Multimedia Nusantara

 Dr. Warsito P. Taruno, Pembicara

Ibu dan Bapak Pemakalah, Peserta, dan Undangan yang kami hormati. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi dan salam sejahtera.

Pertama-tama, kami mengucapkan selamat datang di Gedung LIPI dan terima kasih kami ucapkan atas kesediaan waktu Bapak dan Ibu sekalian untuk berpartisipasi dalam acara yang penting ini.

Seminar Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional dengan tema “Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia” digagas oleh PAPPIPTEK-LIPI dengan maksud untuk memberikan kontribusi kepada seluruh pemangku kepentingan iptek terutama pihak pemerintah, universitas, industri, media, dan masyarakat pemerhati iptek dalam mempercepat perkembangan dan implementasi inovasi iptek di Indonesia. Hal ini dilakukan terutama untuk menjawab tantangan kemajuan iptek dan inovasi dunia.

“Inovasi Frugal” merupakan kata kunci dalam seminar tahun ini. Inovasi frugal merupakan serangkaian kegiatan desain rekayasa kreatif yang menghasilkan produk teknologi inovasi yang sangat murah (ultra-low-cost), kuat, dan mudah digunakan yang memenuhi kebutuhan

pasar dengan kemampuan ekonomi rendah. Tidak hanya itu, inovasi frugal hadir dengan memahami persoalan dan kondisi lingkungan di negara berkembang dengan mengaitkan antara sumber daya yang dimiliki, teknologi kreatif, dan keahlian kewirausahaan.

Kesuksesan India dan Cina memprakarsai inovasi frugal ini kembali membuka mata kita bersama bahwa ada potensi yang sama dengan yang kita miliki, seperti memiliki pangsa pasar yang luas namun sangat peka terhadap harga produk; adanya peluang ketidakmampuan negara-negara Barat untuk beradaptasi dengan perubahan pasar, kesulitan dalam mengembangkan produk berteknologi tinggi dengan biaya sangat rendah serta; kebutuhan pasar yang lebih mengutamakan fungsi dari suatu produk atau alat untuk menyelesaikan pekerjaan, dan banyaknya pembeli yang tergolong dalam price leadership

market. Bahkan melalui inovasi frugal, tiga dimensi pembangunan yang berkelanjutan yaitu

environmental protection, economic development, dan social equity dapat diwujudkan.

Hadirin yang saya hormati,

Hari ini kita akan mendengarkan bersama paparan Prof. Rishi dari India, yang telah berhasil dengan berbagai teknologi inovasi frugalnya dalam menjawab berbagai permasalahan masyarakat di India. Dari semua pengalaman tersebut, salah satu hal yang penting untuk dapat mendorong inovasi dan kinerja ekonomi khususnya dalam meningkatkan daya saing bangsa di berbagai bidang adalah melalui peningkatan peran iptek. Pada inovasi frugal, wajib disadari bersama bahwa inovasi ini memerlukan keahlian bidang desain teknologi, aplikasi teknologi, manajemen dan pemasaran, dan kesemuanya itu memerlukan keterlibatan iptek. Peran iptek tidak hanya terbatas pada penciptaan hasil inovasi saja, tetapi


(9)

juga peningkatan kualitas sumber daya penelitian untuk lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat dan pemecahan masalah bangsa, terlebih jika merujuk pada pendekatan inovasi frugal. Selain itu, interaksi antar aktor sistem iptek dan sistem produksi menjadi kunci kesuksesan dalam aktivitas inovasi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan interaksi tersebut antara lain melalui forum komunikasi dan kerjasama antara ilmuwan, perekayasa, praktisi di industri, serta masyarakat, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam merumuskan kebijakan iptek.

Beberapa produk pilot atau skala lab telah dihasilkan oleh LIPI. Produk hasil penemuan ini mengarah kepada efisensi biaya dan efektifitas penggunaannya, seperti LIPIPRISM@ dan Pupuk Organik Hayati.

Keberhasilan skala laboratorium ini masih memerlukan waktu panjang untuk sampai pada konsumen. LIPI tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu, LIPI melalui berbagai pusat penelitian yang ada, termasuk PAPPIPTEK-LIPI, berperan penting dalam intermediasi melalui aktivitas penelitian dan pengembangan iptek. LIPI dapat memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring, dan kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka kemajuan litbang iptek dan advokasi ilmiah dalam kebijakan terkait.

Perkembangan atau kemajuan iptek, inovasi, dan difusinya dalam masyarakat memerlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Interaksi yang saling mendukung

antara banyak pihak sangat diperlukan. LIPI sebagai lembaga yang memiliki fungsi tanggung jawab terhadap masyarakat turut berperan dalam menstimulasi terciptanya hubungan antara Akademisi, Pengusaha dan Pemerintah sehingga menghasilkan sinergi yang dapat mendukung Sistem Inovasi Nasional.

Ibu, Bapak serta undangan yang saya muliakan,

Melalui Seminar Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional: Inovasi Frugal: Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) serta Bisnis di Indonesia, LIPI mengajak semua pemangku kepentingan bidang iptek untuk mempercepat dan memperkuat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan kemajuan iptek di Indonesia. Kami berharap forum ini menjadi ajang dalam memfasilitasi dan menghimpun hasil penelitian, pengalaman atau praktek yang dilakukan para bapak/ibu para peneliti, praktisi/pelaku serta pemerhati iptekin dari berbagai lembaga litbang, akademisi, LSM, industri, media, dan para pemerhati iptek untuk bersama-sama urun rembuk serta membahas isu-isu tentang tantangan dan peluang membangun inovasi frugal sebagai salah satu opsi dalam mengembangkan kegiatan litbang dan bisnis di Indonesia serta merumuskan alternatif kebijakan iptek yang mendukung berkembangnya inovasi frugal. Di samping itu, saya secara pribadi berharap forum ini dapat meningkatkan komunikasi dan kerjasama antara ilmuwan, perekayasa, dan praktisi di industri serta masyarakat, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam merumuskan kebijakan iptek.

Akhirnya, kami mengucapkan selamat berseminar, semoga menghasilkan rumusan dan usulan yang akan mempercepat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan daya saing bangsa Indonesia.

Wabillahitaufik Wal hidayah. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 10 Oktober 2012

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc.


(10)

SAMBUTAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI

Yang saya hormati,

 Kepala LIPI – Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc., beserta seluruh pejabat dan LIPI lainnya;

 Keynote Speaker – Prof. Rishikesha T. Krishnan (Indian Institute of Management,

Bangalore)

 Seluruh pembicara, peserta, dan undangan yang berbahagia. Assalamualaikum wr. wb., salam sejahtera bagi kita semua,

Dalam suasana yang penuh kebahagiaan ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, Alhamdulillah kita masih diberikan waktu dan kesempatan untuk menghadiri acara yang penting bagi kita semua yaitu Forum Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (Iptekin) Nasional Kedua pada hari ini. Saya berkeyakinan bahwa forum ini akan menjadi ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan dan pemanfaatan produk dan/atau proses inovasi, terutama untuk inovasi frugal. Bagi sebagian peserta, forum ini dapat pula bermanfaat sebagai sumber pembelajaran atau pencerahan tentang apa yang yagn dikategorikan sebagai inovasi frugal.

Hadirin yang saya muliakan

Program utama Kementerian Riset dan Teknologi 2010-2014 adalah memperkuat Sistem Inovasi Nasional (SINas), yang secara operasional diarahkan melalui pengembangan teknologi yang berorientasi pada kebutuhan (demand-driven) dan/atau persoalan nyata yang

dihadapi Indonesia dengan alternatif solusi yang lebih berbasis pada sumberdaya domestik. Ada dua isu strategis yang terkandung di dalamnya, yakni: [1] memperbesar peluang agar teknologi nasional dapat dimanfaatkan oleh para pengguna teknologi di dalam negeri, karena teknologi yang dikembangkan telah sesuai/relevan dengan kebutuhan; dan [2] meningkatkan kemandirian bangsa, karena teknologi yang dikembangkan relevan untuk pengelolaan sumber daya domestik, serta dapat diadopsi dan mampu diterapkan oleh pengguna teknologi di dalam negeri.

Inovasi frugal yang lebih berorientasi pada upaya menyediakan teknologi yang secara ekonomi lebih terjangkau (affordable) bagi para pengguna teknologi dengan kapasitas

finansial terbatas, dapat menjadi pilihan yang realistis bagi Indonesia pada saat ini; terutama untuk sektor perekonomian yang terkait dengan pengelolaan hasil bumi, seperti pertanian, perikanan, dan peternakan. Sektor pertanian saat ini merupakan sektor perekonomian yang penting bagi Indonesia dan kemungkinan akan menjadi sektor yang semakin penting di masa yang akan datang, terutama jika dikaitkan dengan kecenderungan peningkatan harga pangan dunia dan harga komoditas pertanian lainnya.

Keinginan untuk mendorong inovasi frugal tak harus berbenturan dengan semangat untuk mengembangkan teknologi maju. Teknologi maju dan super canggih perlu juga dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya untuk mendukung kemajuan di sektor informasi dan telekomunikasi atau pertahanan dan keamanan.

Potensi sumber daya manusia Indonesia yang besar, yakni 237.641.326 juta jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2010 dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2010 mencapai 120,4 juta orang (BPS, 2012), dapat menjadi tenaga penggerak pembangunan yang kuat atau sebaliknya dapat menjadi beban pembangunan yang berat, tergantung pada kebijakan, strategi, dan upaya pemberdayaannya. Langkah strategis untuk pemberdayaan


(11)

sumber daya manusia adalah dengan memberikan kesempatan yang luas bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam pembangunan, sebagaimana makna hakiki dari pembangunan yang inklusif.

Upaya mendorong inovasi frugal, program penguatan SINas, dan kebijakan nasional untuk mewujudkan pembangunan yang bersifat inklusif diyakini akan saling berkesesuaian satu sama lain (compatible). Simpul pengaitnya adalah semua konsepsi di atas diniatkan untuk:

[1] memperbesar peluang adopsi teknologi; [2] melibatkan semaksimal mungkin semua pihak yang terkait; dan [3] meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor yang terlibat.

Konsepsi inovasi frugal bukan merupakan sesuatu yang asing dan baru. Konsepsi pembangunan teknologi tepat guna (TTG) yang telah diintroduksikan di Indonesia sejak lama, sesungguhnya juga mengandung prinsip dasar yang sama dengan inovasi frugal, yakni untuk mengembangkan teknologi yang lebih berpeluang untuk diadopsi oleh pengguna dengan kemampuan teknis dan finansial yang terbatas.

Pengguna teknologi dengan kemampuan finansial yang terbatas (baik berdasarkan kemampuan finansial langsung maupun akses ke sumber pembiayaan), umumnya juga membutuhkan teknologi yang secara teknis sederhana untuk mendukung kegiatan ekonomi skala mikro, kecil, atau menengah. Kegiatan ekonomi dengan karakteristik seperti ini antara lain adalah kegiatan usaha tani tanaman, ternak dan ikan; energi pedesaan; industri pangan dan obat tradisional; industri furniture berbahan baku alam dan kerajinan tradisional; serta beberapa jenis industri kreatif.

Walaupun unit kegiatan ekonomi ini berskala kecil, namun kontribusinya secara kumulatif terhadap perekonomian nasional sangat signifikan dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Oleh sebab itu, perlu didukung dengan penyediaan teknologi yang relevan, yakni relevan dengan kebutuhan usaha dan kemampuan teknis, serta sepadan dengan kapasitas adopsi kelompok pengguna teknologi ini.

Hadirin dan undangan yang saya muliakan,

Tantangan terbesar dalam mendorong inovasi frugal diyakini bukan terkait dengan kemampuan/kapasitas teknis para pengembang teknologi nasional, baik akademisi di perguruan tinggi maupun para peneliti dan perekayasa di lembaga riset non-perguruan tinggi; tetapi sangat mungkin berkaitan dengan tantangan dalam mengintensifkan komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi, sehingga terbangun sinergi yang produktif dalam menyediakan teknologi yang relevan untuk mendorong pertumbuhan dan perluasan ekonomi nasional.

Tantangan yang sesungguhnya sangat berat dalam membangun sinergi pengembang-pengguna teknologi ini sering tidak disikapi secara serius atau mungkin juga tidak sepenuhnya dipahami, sehingga banyak upaya dalam membangun sinergi ini walaupun memang telah menyentuh kedua sisi (pengembang dan pengguna teknologi) tetapi umumnya hanya menyentuh masing-masing sisi dengan berbasis pada konsepsi yang tak-padu.

Kekeliruan yang umum terjadi adalah: pertama, di satu sisi para pengembang teknologi didorong untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi yang semaju-majunya, dengan indikator ukuran kemajuan yang mengabaikan relevansi teknologi yang didorong untuk dikuasai tersebut dengan realita kebutuhan pengguna potensial atau problema yang dihadapi masyarakat dan bangsa sehingga akibatnya hanya akan memperlebar kesenjangan


(12)

antara penguasaan teknologi para pengembang dengan kebutuhan teknologi para pengguna.

Kedua, di sisi lainnya, para pengguna teknologi sering dihimbau (dengan insentif yang sering tidak terlalu menarik bagi pengguna), digiring, atau setengah dipaksa (melalui regulasi dan/atau kebijakan publik) agar memanfaatkan teknologi atau produk teknologi dalam negeri. Upaya yang kedua ini sayangnya sering tidak dibarengi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk terlebih dahulu memahami kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi tersebut.

Upaya mendorong inovasi frugal di Indonesia akan berhasil jika prasyaratnya dipenuhi terlebih dahulu, yakni perubahan mindset para pengembang teknologi dan pembuat

kebijakan terkait dapat diwujudkan terlebih dahulu. Pengembang teknologi perlu bergeser prioritasnya dari melaksanakan riset dan pengembangan (kegiatan litbang) yang menyenangkan hasrat akademiknya semata, menjadi lebih fokus pada upaya menyediakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan para pengguna dan sepadan dengan kapasitas adopsi dari para pengguna potensial tersebut.

Jika pengembangan teknologi telah secara konsisten diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dan menjadi solusi persoalan masyarakat dan bangsa, apalagi jika teknologi yang dihasilkan telah secara nyata berkontribusi terhadap berbagai sektor pembangunan, terutama sektor-sektor perekonmian; maka jargon bahwa teknologi mutlak dibutuhkan untuk kemajuan bangsa akan menjelma menjadi sebuah pernyataan yang lebih rasional dan mudah dipahami publik.

Jika kontribusi teknologi terhadap pembangunan ini mampu secara nyata diwujudkan, maka menjadi aneh jika masih ada pihak-pihak pembuat kebijakan publik yang tidak secara utuh mendukung upaya kolektif ini. Kebijakan yang terlalu bersifat ego-sektoral diharapkan akan semakin tergerus dan kebijakan-kebijakan publik yang diinisiasi oleh berbagai sektor (sesuai ruang lingkup tugas dan fungsinya masing-masing) akan semakin mudah untuk diintegrasikan.

Undangan dan hadirin yang saya hormati,

Konstitusi UUD 1945 telah sejak lama mengamanahkan bahwa pembangunan iptek harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan memajukan peradaban bangsa. Iptek hanya akan secara nyata memenuhi amanah ini jika dan hanya jika ia dimanfaatkan terlebih dahulu dalam berbagai sektor pembangunan. Untuk dimanfaatkan maka iptek tersebut harus relevan dengan kebutuhan dan/atau persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsa. Berbagai konsepsi yang telah disinggung sebelumnya, yakni SINas, inovasi frugal, pembangunan yang inklusif, dan TTG; serta dapat pula ditambahkan lagi konsep kerjasama A-B-G atau triple helix dengan berbagai variannya; pada dasarnya semua konsepsi tersebut

sangat sejalan dengan amanah konstitusi Indonesia. Lalu persoalannya apa?

Persoalannya adalah kita terlalu sibuk berkelana menjelajah belantara konsepsi tersebut, tetapi belum secara sungguh-sungguh menjadikannya ruh dalam setiap tahap riset dan pengembangan teknologi yang kita lakukan. Namun demikian, banyak di antara kita yang berani bermimpi bahwa suatu saat iptek menjadi mainstream pembangunan nasional.

Hadirin yang saya hormati,

Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan dalam Forum Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (Iptekin) Nasional Kedua ini. Saya berharap forum ini dapat berjalan dengan lancar, terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang intensif dan produktif; serta mampu mengidentifikasi hal-hal yang bermanfaat untuk


(13)

diimplementasikan dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Semoga upaya kita bersama mendapat ridho dari Tuhan YME. Amin ya robbal alamin.

Wassalamualaikum wr. wb. Palembang, 10 Oktober 2012

Menteri Negara Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta


(14)

PERSIDANGAN

UTAMA


(15)

MANAGEMENT OF FRUGAL INNOVATION:

LESSONS FROM INDIAN EXPERIENCES

Rishikesha T. Krishnan

Professor of Corporate Strategy & Policy, Indian Institute of Management Bangalore, India

Email: rishi@iimb.ernet.in

In recent years, India has gained a reputation as a hub of frugal innovation (Bound & Thornton, 2012). India offers some of the lowest priced mobile phone services in the world, yet, until recently, Indian mobile services companies made healthy profits. Carlos Ghosn, CEO of Renault/Nissan coined the term “frugal engineering” after he found that an engineering team in India was able to develop an engineering solution for a problem at one-fifth the cost at which a French team was able to do it (Radjou, Prabhu and Ahuja, 2012). But, perhaps the defining moment for frugal innovation in India was the announcement of the launch of the Tata Nano, a car with a price tag of Rs. 100,000 (at that time, approximately USD 2,200) in January 2008.

This phenomenon raises several important questions that are relevant to India and other emerging economies. (1) How significant is frugal innovation in the overall innovation paradigm in India? (2) What are the factors supporting frugal innovation in India? (3) Are there any lessons we can learn from the Indian experience as to how frugal innovation can be managed effectively? (4) In particular, are there any lessons we can learn from India as to how an innovation system can be shaped to support frugal innovation? These questions are the subject of investigation of this paper.

To answer these questions, we need to place the recent attention to frugal innovation in the broader context of the evolution of innovation in India. We therefore start with a brief history of innovation in India.

1. INNOVATION IN INDIA: A HISTORICAL PERSPECTIVE

1.1. Strong Heritage but Missed the Industrial Revolution

As an ancient civilization with a rich intellectual and cultural heritage, India was known for seminal contributions to the development of algebra, geometry, and mechanics. This rich heritage was built upon over the centuries with India being a major contributor to the global economy. Some estimates suggest that India accounted for as much as 24% of the world’s GDP in 1700 (Maddison, 2007).

However, after the entry of the British East India Company into India in the 17th century,

and the subsequent formal annexation of India as a part of the British Empire in the early 19th

century, India was effectively under colonial rule for a few hundred years till its independence in 1947. India became a part of the traditional colonial economic model – a supplier of raw materials and other resources, and a recipient of finished goods from the British. As a result, India largely missed out on the industrial revolution and instead became a supplier of inputs to the British industrial machine. The country became increasingly impoverished and its share of world GDP declined to 4% by 1950 (Maddison, 2007). At independence in 1947, India was one of the poorest countries in the world.

In addition to missing out on the industrial revolution, India also missed out on the major strides taken in science and technology in the late 19th and early 20th centuries, a very fertile

period for global science and technology (Krishnan, 2010). There were very few scientific or research institutions in India at the time of independence, and the university system was also restricted to a few pockets.

1.2. Post-independence Efforts to Create S&T Capabilities

India’s political leadership, particularly India’s first Prime Minister Jawaharlal Nehru who led India from 1947 to 1964, was keen to make up for lost time. Nehru, who had studied at


(16)

Cambridge, was aware of the advancements of science and technology in the west. He believed that science and technology could transform India, and was determined that India should join the ranks of the world scientific community. Therefore, in spite of India’s precarious financial position, India invested in creating science and technology institutions in the years after independence.

The formal innovation system in India grew around these national laboratories set up by the government in different networks – a civilian network around the Council of Scientific & Industrial Research; a defence network around the Defence R&D Organization; an agriculture research network around the Indian Council of Agricultural Research; the Indian Space Research Organization; and the Department of Atomic Energy. On the academic research front, prominent institutions including five Indian Institutes of Technology were set up in the 1950s and 1960s.Thanks to the establishment of these networks of institutions, India developed a sizeable science and technology workforce.

1.3. Role of Industrial Policy

For the fruits of science and technology to percolate into society, R&D has to be translated into improved processes, products or services. Firms play a prominent role in linking invention and discovery to economic outcomes. Some choices made by India in terms of industrial policy had an impact on the extent to which this translation of R&D into economic benefits happened.

While India adopted a mixed economy framework, the public sector was seen as the bulwark of the Indian economy. Under the Nehruvian development model, the emphasis was on setting up capital intensive, mother industries such as steel, machine tools and other capital goods, and these were set up under public ownership. As the technologies required to set up these industries were not available locally, the technologies had to be sourced from outside the country. Due to geopolitical reasons, the principal source was the Soviet Union and other east European countries (Tyabji, 2000). However, none of the local R&D institutions were involved in the technology transfer process. The public sector companies themselves enjoyed a high degree of protection, and were therefore under little pressure to improve productivity or expand their range of products. Hence they lacked an incentive to work with the R&D system (Krishnan, 2010).

Even in those industries in which the private sector was present, due to high levels of effective protection for the local economy, and an elaborate licensing system, firms were under little pressure to make improvements or add on new products (Krishnan & Prabhu, 1999). Symptomatic of this was the production of motor cars in India by two private players whose models remained largely the same for about twenty years after they licensed the designs from European companies.

While India developed good science and technology capabilities, particularly by developing country standards, the translation of these capabilities into benefits to the larger economy remained limited. Formal innovation in the industrial sector remained limited with most Indian firms remaining dependent on foreign sources of technology.

1.4. Innovation Outside the Formal Innovation System

Amidst this trajectory of the formal innovation system, however, local ingenuity did find expression. Traditional medicine systems that had been handed down through oral communication across generations continued to thrive. Farmers in different parts of the country improvised methods and tools to enhance their own productivity or make farming easier. Businessmen focused their ingenuity on finding ways to circumvent the complex controls that governed their existence.

Perhaps the most prominent arena in which local ingenuity got displayed with positive societal impact was in the social sector. Two examples stand out – the Jaipur Foot, and Aravind Eyecare.

The Jaipur Foot, a low-cost prosthetic limb that could be custom-fit for persons who had lost their limbs due to accidents or birth defects got diffused across the country thanks to the


(17)

Bhagwan Mahaveer Viklang Sahayata Samiti, a charitable organization that took upon itself the task of training technicians and sharing its know-how. The Jaipur Foot uses local materials, is easy to fit and replace, and costs only around USD35 (See, for example, Prahalad, 2009).

The Aravind Eye Hospital was set up by Dr. G. Venkataswamy (“Dr. V.), an ophthalmologist who had just retired from the government health service, in 1978. Dr. V. believed that many people had lost their vision due to untreated cataracts over their eyes, and that removal of this cataract at low cost could lead to the elimination of “needless blindness.” Over the next two decades, he and his team at the Aravind Eye Hospital in Madurai, worked on improving the efficiency of the cataract removal process by focusing on using expensive doctor time only for the most critical parts of the cataract surgery, and training para medical staff to take care of the other steps in the cataract removal process. Thanks to these changes, they were able to streamline cataract surgery into an “assembly -line” process which drastically-reduced the cost of surgery. This cost benefit was used to do thousands of free cataract surgeries for poor patients, with the cost of the surgeries essentially borne by paying patients who “subsidized” the free surgeries (Kasturi Rangan & Thulasiraj, 2007).

1.5. Innovation Policy Framework

Prior to 1991, innovation policy support in India was largely focused on funding R&D in the government-owned and operated R&D system, and on supporting academic research in government-funded institutions. There was some financial support available for technology development and commercialization in public sector enterprises, but no such support offered to private enterprises. The only significant public fiscal support for private sector innovation was through accelerated deductions of R&D expenditure from income for the purpose of computation of taxable income for income tax purposes. However, the government did support one kind of low-cost innovation explicitly – by excluding product patents on drugs from the intellectual property rights regime, the government encouraged the creation of an indigenous drug industry with advanced capabilities in developing low-cost drug development processes (Krishnan, 2010).

2. INNOVATION IN INDIA: THE LAST TWO DECADES

2.1. Role of Economic Reforms

The environment for innovation in India changed with the economic reforms process that started in the early 1990s. The complex licensing system and controls were dismantled, so the creative energy of entrepreneurs was now freed up. Restrictions on the import of technology were also eased. Foreign investment was welcomed, and the local business environment became more competitive. Initially, the release in pent-up demand thanks to the removal of controls meant that most players in the economy could grow without too much effort. But, in recent years, as some categories of products and services became more saturated, the need to meet either the replacement demand of customers who already own products, or meet the needs of un-served or under-served markets (the so-called “bottom of the pyramid”) has propelled firms to take innovation more seriously.

2.2. Innovation in Industry: Large Industrial Groups

In a study of Indian market leaders across five industries (Krishnan & Jha, 2011), we found that innovation has played an important role in their attaining a leadership position. While these firms tap external sources for knowledge and ideas, this learning is integrated with internal innovation. Market exploration, particularly the development of products, services and business models that allow the companies to meet the affordability criteria of the mass market, has played an important role in the innovation strategy of these companies. Strong core capabilities built by these companies over time provide a powerful platform for innovation.


(18)

Innovation in large Indian firms has been driven by the aspiration of their leaders. The Chairman of the Tata Group, Ratan Tata, has encouraged the members of his conglomerate to demonstrate their innovation capabilities. He was personally involved in the development of the Tata Nano, and it was his decision and insistence that led to the Rs. 100,000 price target for the Nano. The Nano has acted as a role model and inspiration for serious innovation efforts in other Tata group companies. Similarly, Anand Mahindra, earlier Vice Chairman and now Chairman of Mahindra & Mahindra, a leading producer of tractors and utility vehicles has encouraged his company to develop new products including the Scorpio (a Sports Utility Vehicle) and Xylo (a Multi Utility Vehicle) which have won awards as well as been successful in the market. Overall, we have seen a higher level of technology-oriented innovation in groups led by technically-qualified entrepreneurs, or in groups where the group leaders have been willing to get themselves immersed in the innovation process (Krishnan, 2010).

2.3. Multinational Corporations and their R&D Centres

Another push for innovation has come from multinational corporations (MNCs). About 850 MNCs have set up research and development centres in India (Basant & Mani, 2012). These centres were initially set up to tap into the relatively low-cost technical talent available in India, and functioned as extensions to the parent company’s global R&D network with a focus on working on products and services for the global market (Dhanaraj, Jha, and Krishnan, 2012). As a result, much of the innovation done by the Indian R&D centres was “invisible,” with the final product not traceable to Indian R&D (Kumar and Puranam, 2011).

MNCs are now shifting a part of their attention to developing products for the local market in India, and other emerging economies. This phenomenon is driven by the need to meet the aspirations of their Indian employees (Krishnan, 2006) and the new opportunities opening up in emerging markets that are seen as the future growth engines of the global economy. Since, these markets are more price-sensitive than their traditional markets (the triad of North America, Europe and Japan), the emphasis is on low-cost products. With the slow growth and financial woes of the western world, there is also a belief that some of these new “ low-cost” products may find a market back in their home markets as well, constituting a phenomenon that is being called “reverse innovation” (Govindarajan and Trimble, 2012). Under cost pressures globally, and facing recessionary conditions in their home countries, MNCs are also concerned about lowering the cost of the innovation process itself. They seek to reduce their R&D costs, and make their R&D more effective, i.e., enhance the conversion efficiency of ideas and funding into new products and services (Radjou, Prabhu and Ahuja, 2012).

MNCs with a strong presence in the Indian market are also being forced to consider low-cost or frugal innovation because of competitive pressure and demand from their customers. Bosch, an automobile component manufacturer has been in India for decades. When Tata Motors initiated their Nano project, they approached all the major vendors of components to develop low-cost components that could help them meet their ambitious cost targets. One of the vendors they approached was Bosch. They asked Bosch to design a Common Rail Direct Injection system for the Nano at a very challenging price point. When the R&D team at Bosch headquarters in Germany expressed skepticism about achieving the required performance and quality at the price point specified by Tata Motors, the then head of Bosch in India put together a team of relatively inexperienced engineers in India to develop the system. They were successful, and this is one of the important ingredients in lowering the cost of the Tata Nano. It appears that the lack of experience of the Indian team of Bosch helped rather than hindered their ability to meet Tata Motors’ challenging target; they were able to design the system ground up without the pre-conceived notions embedded in the standard Bosch development process (Hieronimus, 2007).

While Bosch’s efforts at frugal innovation for the Nano have been successful, the commercial outcomes of MNC efforts in low-cost innovation in the end-product market in India are not as clear. For example, in the healthcare sector where leading MNCs have


(19)

developed low-cost devices specifically for the Indian market, sales volumes have been below expectations, apparently due to their failure to create appropriate low-cost distribution and service networks, and inherent distrust of low-cost devices among the medical fraternity (Duray and Avinash, 2012).

2.4. Grassroots Innovations

A third driver of innovation has been the grassroots innovation movement. An effort to identify and document local innovations (particularly by farmers) and traditional knowledge in use in rural settings was launched in Gujarat in the late 1980s by Professor Anil Gupta at the Indian Institute of Management Ahmedabad. This subsequently evolved into a national “Honey Bee” network that has its own publications, website, etc. Impressed by the wealth of knowledge available with these grassroots innovators, systematic efforts to support them and make their knowledge widely available were started through the creation of non-profit organizations called Sristi and GIAN (Grassroot Innovations Augmentation Network) (Krishnan, 2005).

In 2000, the Government of India set up the National Innovation Foundation (NIF) under the umbrella of the Ministry of Science & Technology. The NIF’s mission is to encourage and support innovation in the country by identifying, categorizing, and documenting grassroot innovations; to give awards to outstanding innovators; and to provide support for the scaling-up and diffusion of promising innovations (Krishnan, 2005). Recently, the NIF has announced awards for inventors who can solve socially-relevant grand challenges. In a related initiative, the government has supported the creation of a Traditional Knowledge Digital Library (TKDL) that acts as a repository for traditional knowledge and prevents the appropriation of Indian traditional knowledge by inventors in other countries by documenting and sharing information on “prior art”(Krishnan, 2011).

Most of the grassroot innovators lack formal education. Much of their innovation is aimed at solving problems they have themselves faced on their farms, or in daily life. Since they work under tight resource constraints, their solutions are usually based on locally-available materials and clever improvisation. The innovations are frugal thanks to the context in which they were created.

2.5. Environmental Sustainability Concerns

Another driver of frugality is environmental sustainability. Products that can be manufactured more efficiently (use less inputs per unit of output) or that themselves perform more efficiently (e.g. use less energy) have a smaller environmental footprint and are thus more environment-friendly. Most MNCs are under pressure from their stakeholders to embrace a higher level of sustainability, and this prompts them to look at frugality more seriously. However, consumer demand in India has not yet evolved to the level that sustainability concerns drive consumer purchase decision. At this stage of economic development, environmental sustainability does not seem to be a demand-side driver of frugal innovation in India.

2.6. Innovation Policy and Resulting Changes in the Innovation System

Subsequent to the commencement of the economic reforms process, while the government financial support for the government R&D system continued, some significant new initiatives were taken to support industry-related R&D. These included low-cost loans for technology commercialization through the Technology Development Board, the Technopreneur Promotion Programme (TePP) that provides small financial grants to help individual inventors build prototypes, schemes to support scaling-up of locally-developed technologies (such as HGT and PATSER), and sector-specific programmes such as the New Drug Development Programme of the Department of Science & Technology and the Small Business Innovation Research Initiative of the Department of Biotechnology (Krishnan, 2010). However, in the context of this paper it should be noted that none of these were directed at low-cost or frugal innovation per se.


(20)

On the pharmaceutical front, the picture is mixed. While on the one hand, the government has provided excise duty concessions for drugs discovered in India and covered by patents, on the other hand through the re-introduction of product patents on drugs in the 2005 Patents Act, it has potentially made new drugs more expensive and prevented Indian pharmaceutical companies from re-engineering patented molecules. However, through compulsory licensing, it retains the right to make patented molecules available to the public at lower prices as it did recently in the case of a Bayer cancer drug.

In 2010, the Government signaled its intent to support innovation that is beneficial on the social front by declaring 2000-2010 as the “Decade of Innovation,” and setting up a high level National Innovation Council (NIC). The NIC has a focus on supporting and diffusing innovation that can solve the myriad social problems of the country. Given the government’s financial constraints, this essentially means through low-cost innovation. The NIC plans to set up a USD 1 billion venture fund and innovation clusters around universities in different regions. The first such “Cluster Innovation Centre” was set up at Presidency University in Kolkata. The NIC also brought together national innovation czars from around the world to Delhi in December 2011 to brainstorm on how the country can support social innovation better.

3. LESSONS FROM THE INDIAN EXPERIENCE IN FRUGAL INNOVATION AND SOME QUESTIONS

A list of impactful frugal innovations from India is given in Table 1. Table 1. Major Frugal Innovations Emerging from India

Innovation Type of Innovation Comment

1 Aakash Low-cost Tablet computer Based on effort by government of India to procure low-cost computer to enhance access to education; actually developed outside India 2 Aravind Eyecare Low-cost cataract surgery Based on innovation in

process of cataract surgery and change in business model

3 Bharti Low-cost mobile services Based on change in business model

4 GE MAC 400 Portable ECG Machine Part of a family of medical devices built with basic functionality for emerging markets

5 Hole in the Wall Demonstrates that children can learn to use computers on their own with little support.

Social innovation

6 Husk Power Systems Energy from waste Primarily a business model innovation of how to use waste to supply energy to rural communities

7 Jaipur Foot Low-cost, customized

prosthetic Made with basic technology and materials; appropriate for Indian social and cultural conditions

8 Jaipur Knee Low-cost artificial knee Collaborative effort of Jaipur foot team with US-based


(21)

Innovation Type of Innovation Comment

research laboratories 9 Kerala Palliative Care Community-based palliative

care for seriously ill patients Social innovation

10 Nano World’s lowest cost car Rigorous optimization of design and engineering of car

11 Narayana Hrudayalaya

– Heart Surgery Low-cost open heart surgery Process and business model innovation 12 Open Source Drug

Discovery Collaborative platform for drug discovery to treat tropical diseases

Alternate model to

intellectual property-based framework of large drug firms

13 Reverse-engineered

Vaccines Low-cost vaccines Based on strong technological capabilities of Indian firms

14 Selco Solar energy devices Innovation is primarily in the business model of how solar energy devices are made available to consumers with limited purchasing power 15 Swach Low-cost, high technology

water filter Collaborative effort by group of companies from within the Tata group

16 Vortex ATM Low-cost rural automated

teller machines Rugged product designed for use in challenging conditions

Source: of Innovations: Bound & Thornton, 2012, Figure 1, p. 15

Some broad trends are visible from the innovations listed in this table:

 Many of the innovations are based on process or business model innovations.

 Though some of them use high technology, technological advancement is not the main driver of the impactful frugal innovations that have emerged from India so far.

 Government or formal innovation system inputs have not played a significant direct role in a majority of these innovations.

The Indian experience with frugal innovation offers some learning on the frugal innovation process and what it takes to enhance it, but raises several questions as well:

3.1. What is Frugal Innovation?

There have been some efforts by scholars to identify the defining elements of frugal innovation, based on the Indian experience, but there is a lack of unanimity as to what it constitutes.

Kumar and Puranam (2011) identified six elements that constitute frugal engineering, a term that is very close in meaning to frugal innovation. These are robustness, portability, de-featuring, leapfrog technology, megascale production and service ecosystems.

Radjou, Prabhu and Ahuja (2012) see what they call Jugaad innovation (which is conceptually similar to frugal innovation) as low-cost, flexible and inclusive compared to the expensive, rigid and elitist R&D-based innovation model of most western companies. In their process perspective, companies can develop frugal innovation capabilities by seeking opportunity in adversity, doing more with less, thinking and acting flexibly, keeping it simple, including the margin, and following their heart.

Given that the labour cost advantages of a country like India are fast eroding, for frugal innovation to be sustainable, it has to be more than reducing the cost of the innovation process through labour-cost arbitrage.


(22)

Again, taking a process perspective, Simanis and Hart (2009) advocate, on the basis of the failure of many bottom-of-the-pyramid initiatives, moving from a structural innovation paradigm to an embedded innovation paradigm where companies build partnerships with relevant communities to co-create for the community.

Though frugal does not necessarily mean low -tech, and some of the relatively successful frugal innovations do involve using contemporary (if not cutting edge) technology [e.g. the Tata Swach water filter that uses nanotechnology to improve its filtration effectiveness], combining high tech with frugality remains a serious challenge for innovators, particularly in an environment where high technology skills, and infrastructure are in short supply.

3.2. Is there anything to suggest that India is especially supportive of frugal innovation?

Many years of deprivation made Indians improvise within limited resources and constraints to solve their problems. This infused a frugal mindset within Indian enterprises, non-profits, and entrepreneurs. However, it is not clear whether this is an embedded and enduring cultural trait or whether this frugality will be eroded as the country becomes more prosperous. Already, there are signs that consumerism is expanding in India as reflected at one end by the penetration of consumer appliances across the economy, and at the other in the rapidly increasing sales of luxury car makers such as Mercedes, BMW, and Audi.

More research is needed to establish whether frugal innovation is due to the environment or the innovator. In the developed world, some of the most successful low-cost (frugal in their context) innovations came about due to innovators like Henry Ford (the automobile), Herb Kelleher (air travel), Sam Walton (discount retail) and Ingvar Kamprad (easy-to-assemble, inexpensive furniture).

Within India, the innovators who have been most successful in scaling up their frugal innovations are not grassroot innovators, but members of India’s educated professional class – people like Dr. Devi Shetty of Narayana Hrudayalaya, Harish Hande of Selco, and the legendary Dr V of Aravind Eyecare. By Indian standards, at least, none of these individuals faced extreme deprivation, so where did the frugal mindset come from?

3.3. How do you create a formal innovation system/institutional structure to support

frugal innovation?

From a political perspective, Indian innovation policy has gone through distinct phases. In the 1950s and 1960s, under Nehru’s leadership, it was broadly aspirational without seeking anything distinct in return. It was enough if India was seen as one of the countries participating in the adventure of science and technology. By the late 1960s, as India faced fiscal constraints, there was a more distinct expectation of tangible results and outcomes in return for the government’s investments. More recently, as we entered the new millennium, tangible outcomes were sought through demonstrable contributions to solving knotty social problems.

Building an innovation system focused on social innovation is not an easy task. The experience of the NIF in commercializing its innovations is instructive in this context. The NIF and its network organizations have taken several steps towards commercialization. Grassroot innovators who have the interest and potential to take their inventions forward have been nominated for government support under the Technopreneur Promotion Programme (TePP). The NIF has worked with the innovators to obtain patent protection wherever possible as a precursor to licensing the inventions to others. To enhance the effectiveness of the inventions, remove any rough edges, and supplement the technology where needed, formal scientific institutions such as the CSIR laboratories have been sought out as partners. Engineering students have been encouraged to work with and on these grassroot inventions with a similar objective. Laboratories have been set up within the NIF’s broader network to facilitate testing and standardization. And, corporate partners have been sought to take the products of grassroot innovators to the market. Big Bazaar, a prominent Indian retail chain, is working with the NIF, and some products are already being sold in Big


(23)

Bazaar stores in Ahmedabad. While all these efforts have yielded some results, they have fallen short of what was expected, and few innovations have been successfully commercialized. It has been particularly difficult to get the formal and informal systems to work together on a sustained basis because they often don’t speak the same language, and their priorities are different.

In spite of the stated emphasis on supporting social innovation, India’s formal innovation investments continue to be concentrated on the traditional modes of support like funding academic research and national laboratories. We noted above the challenges in making the formal innovation system and grassroot innovators work together. The ability of government policy to support innovation (as opposed to scientific research) on a sustained and systematic basis has been mixed in most parts of the world. Even in a country like Israel which is often lauded for its proactive innovation support policies, questions are asked about the effectiveness and efficiency of government intervention. Relatively speaking, the support of directed, frugal innovation is unknown terrain, and India’s efforts in this regard will be watched closely. To quote Bound & Thornton (2012), “whether the government’s far-reaching policies can create a more supportive environment for frugal innovation in the first place, and even if it can, whether frugal innovation ultimately offers a way to resolve the tension between excellence and equity in Indian science and innovation, or merely perpetuate it, remains to be seen.”

References

Basant, R., & S. Mani., 2012. “Foreign R&D Centres in India: An Analysis of their Size, Structure and Implications,” Indian Institute of Management Ahmedabad Working Paper No. 2012-01-06, January.

Bound, K., & I. Thornton., 2012.”Our Frugal Future: Lessons from India’s Innovation System,” NESTA Report, July.

Duray, A., and K. Avinash., 2012. “Commercialization of Low Cost Healthcare Products & Technologies,” Contemporary Concerns Study Final Report, Indian Institute of Management Bangalore, August 22.

Govindarajan, V. & C. Trimble., 2012. Reverse Innovation: Create Far From Home, Win Everywhere Harvard Business Review Press.

Hieronimus, A., 2007. “India: Success Factors & Challenges – A Perspective of an European Supplier,” Talk at Indian Institute of Management, Bangalore, September 14.

Dhanaraj, C., Jha, S. K., and R. T. Krishnan., 2012 “Evolution of Global Innovation Network in MNEs,” Paper presented at the Academy of International Business Annual Conference, Washington DC, July 2.

Kasturi Rangan, V., & R.D. Thulasi Raj., 2007. “The Aravind Eye Care System: Making Sight Affordable,” Innovations, Vol. 2, No. 4, Fall, pp. 35-49.

Krishnan, R.T., 2005. “Transforming Grassroots Innovators and Traditional Knowledge into a Formal Innovation System: A Critique of the Indian Experience,” Paper presented at the Globelics 2005 conference, Pretoria, South Africa, November 2.

Krishnan, R.T., 2006. “Subsidiary Initiative in Indian Software Subsidiaries of MNCs,” Vikalpa, Vol. 31, No. 1, January-March, pp. 61-71.

Krishnan, R.T., 2010. From Jugaad to Systematic Innovation: The Challenge for India. Bangalore: The Utpreraka Foundation.

Krishnan, R.T., 2011 “CII Decade of Innovation Event: Innovation with Social Impact,” blog post http://jugaadtoinnovation.blogspot.in/2011/12/cii-decade-of-innovation-event.html December 3.

Krishnan, R.T., & G.N. Prabhu., 1999. “Creating Successful New Products: Challenges for Indian Industry,” Economic & Political Weekly, July 31, pp. M-114 – M-120.

Krishnan, R.T. & S.K. Jha., 2011. “Innovation Strategies in Emerging Markets: What can we learn from Indian Market Leaders,” ASCI Journal of Management, Vol. 41, No. 1, pp. 21-45.


(24)

Kumar, N., & P. Puranam., 2011. India Inside: The Emerging Innovation Challenge to the West Harvard Business Review Press.

Maddison, A., 2007. Contours of the World Economy 1-2030 AD: Essays in Macroeconomic History. Oxford University Press.

Prahalad, C.K., 2009. The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits, 5th edition, Wharton School Publishing.

Radjou, N., Prabhu, J., and S. Ahuja., 2012. Jugaad Innovation: Think Frugal, Be Flexible, Generate Breakthrough Growth Jossey-Bass.

Simanis, E. & S. Hart., 2009. “Innovation from the Inside Out,” MIT Sloan Management Review, Summer, pp. 77-86.


(25)

STRATEGI MEMACU INOVASI FRUGAL DI INDONESIA: KAJIAN PERMINTAAN

EFEKTIF, KEMAMPUAN TEKNOLOGI DAN KEWIRAUSAHAAN INOVATIF

Trina Fizzanty1, Nani Grace Simamora2, Dudi Hidayat3

1,2,3

Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No 10

Telp 021-5225206, Fax 021-5201602

Email: 1 trinafizz@gmail.com, 2 grcsimamora@gmail.com, 3 dudi.hidayat@yahoo.co.id

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memetakan tiga pra-kondisi Indonesia saat ini, yakni permintaan efektif, kemampuan teknologi dan kewirausahaan inovatif, sebagai dasar pemikiran untuk memacu inovasi frugal di Indonesia. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa ada potensi inovasi frugal di Indonesia ditinjau dari permintaan efektif, kemampuan teknologi dan kewirausahaan. Permintaan efektif ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan karakteristik sosial ekonomi sebagian besar rumah tangga di Indonesia yang masih membutuhkan teknologi yang murah (affordable) dan dapat diterima (acceptable). Kemampuan teknologi industri masih terbatas akan tetapi ada sejumlah perusahaan yang potensial memanfaatkan kemampuan teknologi tersebut untuk melayani segmen rumah tangga terbesar di Indonesia. Sebagian besar wirausahawan Indonesia masih banyak mengandalkan penguasaan kapital, sumber daya alam dan tenaga kerja, dan baru sejumlah perusahaan yang sudah memanfaatkan kemampuan inovasinya atau kekayaaan intelektualnya. Berdasarkan gambaran tentang ketiga pra-kondisi tersebut, ada peluang bagi Indonesia untuk memacu inovasi frugal kedepan. Tulisan ini mengajukan beberapa gagasan untuk memacu inovasi frugal di Indonesia.

Kata Kunci: inovasi frugal, permintaan efektif, kemampuan teknologi, kewirausahaan inovatif, Indonesia

1. PENDAHULUAN

Saat ini dunia memandang Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia setelah negara-negara raksasa seperti Cina dan India. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus tinggi selama satu dekade terakhir telah menjadikan Indonesia berada pada peringkat 20 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan menempati posisi nomor tujuh perekonomian dunia, seperti yang disampaikan dalam Laporan McKinsey akhir-akhir ini (Oberman et al, 2012). Pada tahun 2025 tersebut Indonesia mentargetkan pendapatan per kapita akan tumbuh menjadi US$ 14.250-15.500, dari kondisi sekarang US$ 3000 per kapita per tahun, sehingga Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi (Dokumen MP3EI, 2011).

Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, Indonesia diharapkan akan menjadi negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat banyak (society), didukung oleh kemampuan teknologi dan inovasi

(Dokumen MP3EI, 2011). Kata kunci di sini adalah pembangunan, iptek dan inovasi, serta kesejahteraan dan pemerataan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan haruslah bersifat inklusif (inclusive), bernilai tambah tinggi (high added

value), dan berkesinambungan (sustainable). Aspek pembangunan yang inklusif ini juga

menjadi catatan penting di dalam laporan McKinsey 2012, karena ketimpangan pendapatan antar kelompok rumah tangga masih cukup besar. Dengan demikian, pembangunan iptek ke depan haruslah mampu mendorong munculnya inovasi yang memberdayakan sekaligus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat banyak.

Pencapaian visi ini mendorong munculnya cara pandang baru dalam memposisikan iptek dan inovasi. Dalam perspektif sistem inovasi yang umumnya berasal dari negara maju, inovasi bukan saja didorong oleh kemajuan iptek saja, tetapi juga didorong oleh kebutuhan pelanggan, informasi pengguna, analisis pasar, bukan saja aktivitas litbang di laboratorium. Bagi negara berkembang, muncul perspektif yang agak berbeda, yang memandang penting


(26)

membangun model bisnis baru sebagai sebuah respon terhadap situasi dan kondisi negara berkembang yang serba terbatas (Krishnan, 2010). Perspektif ini muncul dalam konteks pengurangan kemiskinan rakyat, dengan mengedepankan pendekatan pasar daripada sekedar pendekatan sosial. Strategi yang berakar pada filosofi memberdayakan masyarakat

(society empowering) ini dijalankan dengan menghubungkan pelaku bisnis dengan kelompok

rumah tangga di piramida terbawah ini (Prahalad, 2004).

Belajar dari negara India maupun Cina, inovasi yang mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas dengan kondisi serba terbatas tersebut dikenal sebagai inovasi frugal (low cost innovation). Berbeda dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan

(corporate social responsibility), inovasi frugal bukan saja berdimensi sosial tetapi juga

berdimensi bisnis. Pendekatan ini muncul dari filosofi gelas terisi setengah penuh, bukan dari gelas setengah kosong, yang memandang optimis kemampuan kelompok masyarakat di piramida terbawah tersebut. Hal ini yang ditegaskan Prahalad (2004) dalam bukunya ‘The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits’.

Akan tetapi, Prahalad mengingatkan bahwa memasuki area bisnis seperti ini diperlukan perubahan proses dan mental serta praktek-praktek bisnis (good corporate practices) bukan

sebuah filantropi. Saatnya cara pandang demikian juga muncul di kelompok penghasil Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kesempatan dan memberdayakan masyarakat di kelompok piramida terbawah ini termampukan dalam menjawab kebutuhan hidupnya. Disisi lain, pengembangan inovasi frugal tersebut akan memacu kelompok penghasil iptek ini semakin terasah kreativitas dan kewirausahaan inovatifnya. Upaya ini memerlukan kajian mendalam tentang berbagai kondisi awal yang dapat memacu tumbuh dan berkembangnya inovasi frugal.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pra-kondisi di Indonesia yang berpotensi memacu inovasi frugal. Di bagian pertama dikemukakan terlebih dahulu kerangka pikir yang melandasi analisis terhadap situasi dan kondisi ini. Selanjutnya dipetakan pra-kondisi berdasarkan kerangka pikir tersebut, yakni permintaan efektif masyarakat Indonesia, kemampuan teknologi, dan kewirausahaan inovatif. Hasil pemetaan ini menjadi bahan bagi merumuskan gagasan untuk memacu inovasi frugal di Indonesia.

2. KERANGKA KERJA: KONDISI PENDORONG INOVASI

Schumpeter mengingatkan bahwa pengurangan kemiskinan, pertumbuhan dan distribusi di negara berpendapatan rendah mungkin dicapai, jika produsen mempunyai akses terhadap teknologi padat tenaga kerja dan berskala kecil, dan menghasilkan produk dengan biaya rendah serta dapat diakses bagi konsumen berpenghasilan rendah (Kaplinsky, 2011). Berdasarkan hal tersebutlah rasional munculnya inovasi frugal di negara berkembang. Pada umumnya inovasi frugal merupakan inovasi yang berkembang di negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dengan distribusi pendapatan yang belum seimbang, seperti India dan China. Penduduk yang besar ini menjadi dasar bagi inovasi frugal karena berskala besar (scallability) sehingga dapat menekan harga produk.

Terdapat empat karakteristik inovasi frugal (Krishnan, 2010): (1) bertujuan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, bukan hanya sesuatu yang lebih murah; (2) Inovasi frugal juga memberikan pelayanan bukan hanya produk; (3) inovasi frugal menyangkut memodelkan kembali bukan hanya menyederhanakan; (4) biaya rendah bukan berarti teknologi rendah, inovasi frugal dapat memenuhi atau dikombinasikan dengan iptek terdepan.

Inovasi frugal unggul dalam memahami pasar dan kondisi negara berkembang. Berbeda dengan inovasi pada umumnnya, inovasi frugal diciptakan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, mengandalkan sumberdaya yang ada dengan disain dan pengembangan produk yang murah sehingga produk inovatif tersebut dapat terjangkau harganya oleh masyarakat luas.

Untuk mencapai tujuan efisiensi tersebut, inovasi frugal menjadi adalah inovasi yang menghubungkan antara teknologi kreatif dan keahlian wirausahawan dalam mengelola kebutuhan masyarakat umum. Dalam penciptaannya, inovasi frugal memerlukan beberapa keahlian seperti ahli dalam bidang desain teknologi, aplikasi teknologi, manajemen dan


(27)

pemasaran. Produk yang dihasilkan juga memiliki intensitas teknologi tinggi seperti kendaraan bermotor, alat kesehatan, mesin dan lain-lain.

Upaya mendorong munculnya inovasi frugal seperti juga inovasi lainnya dapat dilakukan melalui (Krishnan, 2010): (1) insentif untuk melakukan inovasi; dan (2) perubahan kemampuan inovasi terus-menerus (evolution of innovation capability). Kemampuan inovasi

ini harus didukung oleh perubahan peraturan, kondisi permintaan, kekuatan bersaing, dan inisiatif wirausaha. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan Kaplinsky (2011). Ia menemukan tiga faktor kritikal yang harus dipertimbangkan untuk mendorong inovasi frugal di negara berkembang, yakni: (1) terbatasnya kewirausahaan, yakni kelompok aktor yang melakukan inovasi secara sistematis yang menerapkan ide baru ke sektor produksi, daripada hanya memperoleh teknologi dari aktor lain; (2) kemampuan yang diperlukan untuk mengembangkan ide baru untuk inovasi; (3) ketiadaan permintaan efektif di negara berkembang secara umum, maupun konsumen miskin secara status ekonomi (Gambar 1). Tulisan ini menggunakan pemikiran Kaplinsky tersebut untuk mengkaji pra-kondisi yang dibutuhkan untuk mendorong inovasi frugal.

Sumber: Diadopsi dari Kaplinsky (2011)

Gambar 1. Kondisi Yang Diperlukan Untuk Munculnya Inovasi Frugal

Kebutuhan yang unik dari rumah tangga pada piramida sosial ekonomi terbawah (BOP =

bottom of pyramid) mendorong inovator menghasilkan produk dengan karakteristik berbeda.

Inovasi produk bagi BOP ini lebih sederhana dan lebih murah, yang berbeda dengan produk pada umumnya, kemudian dikenal sebagai inovasi frugal. Inovasi ini muncul dari disruptive

technology yang memerlukan disain produk, penggunaan dan kombinasi teknologi, serta

praktek-praktek yang mendorong pengembangan produk baru. Ray dan Ray (2011) berpendapat bahwa untuk mendorong munculnya teknologi dengan karakteristik demikian, diperlukan kombinasi tiga faktor berikut ini, yaitu: (i) inovasi arsitektural yang mengkombinasikan teknologi-teknologi yang ada saat ini; (ii) modularity yakni menghasilkan

produk yang memungkinan inovatornya berkreasi terus menerus; dan (iii) kemitraan yang kolaboratif dengan pemasok (Gambar 2). Teknologi yang dihasilkan seharusnya memenuhi dua parameter kunci, yakni terjangkau harganya (affordability) dan dapat diterima


(28)

Sumber: Ray dan Ray (2011: figure-1: p. 219)

Gambar 2. Inovasi Produk Bagi Rumah Tangga Pada Piramida Sosial Ekonomi Terbawah Disamping dua parameter frugal tersebut, terdapat 12 prinsip inovasi bagi pasar BOP, yakni (Prahalad, 2004): (1) menciptakan harga dan kinerja baru; (2) inovasi dengan berbagai solusi butuh teknologi yang maju dan berkembang; (3) solusi inovasi haruslah berskala besar dan dapat dipakai antar negara, budaya, dan bahasa; (4) inovasi haruslah mengurangi penggunaan sumber daya; (5) memahami fungsi bukan saja bentuk inovasi yang dihasilkan; (6) inovasi proses untuk meningkatkan kemudahan akses; (7) disain produk atau jasa harus mempertimbangkan tingkat keterampilan, infrastruktur sumberdaya; dan lingkungan di daerah pedalaman; (8) mengedukasi konsumen; (9) inovasi produk punya daya tahan dalam jangka waktu lama; (10) keragaman konsumen perlu dikaji; (11) inovasi didukung metode distribusi dengan tingkat harga rendah; (12) produk harus cukup luas dalam sistem arsitekturnya, karena perubahan karakteristik dan fungsi di pasar BOP yang terkadang cepat.

Untuk memenuhi berbagai parameter dan prinsip tersebut, Ray dan Ray (2011) mengingatkan bahwa inovasi frugal seharusnya dipimpin oleh perusahaan lokal yang mempunyai sumber daya dan kapasitas tertentu, sehingga tidak semua perusahaan lokal dapat melakukan inovasi semacam ini. Konsep champion tampaknya menjadi pilihan yang

sesuai, yakni dengan mendorong munculnya beberapa perusahaan lokal yang kompeten menghasilkan inovasi frugal tersebut.

3. PERMINTAAN EFEKTIF MASYARAKAT INDONESIA

Keunikan kondisi sosial-ekonomi, lingkungan dan kelembagaan di pasar massal (mass

-market) membentuk permintaan tersendiri. Inovasi frugal lahir dari pemahaman perusahaan

akan permintaan di tingkat piramida sosial ekonomi terbawah ini. Permintaan efektif berbeda dengan permintaan pada umumnya dalam hal paramater daya beli (purchasing power

parity). Permintaan yang diikuti oleh kemampuan beli (daya beli) akan menjadi permintaan

efektif.

Daya beli ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian negara dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dikaji terlebih dahulu konteks perekonomian Indonesia pada tingkat makro, kemudian dikaji karakteristik sosial-ekonomi rumah tangga Indonesia di piramida sosial ekonomi terbawah.

3.1 Perekonomian Indonesia Dalam Konteks Negara Berpertumbuhan Tinggi

Perekonomian Indonesia ditandai oleh tingkat pertumbuhan tinggi yakni pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil riel rata-rata mencapai 6.2% pada tahun 2000-2010. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut menjadikan Indonesia berada di


(1)

313

14.30 – 14.40 Ari Wijayani, Mofit Eko Poerwanto, Siwi Hardiastuti

Alih Teknologi Litbang LPPM UPN Veteran Yogyakarta Pada Petani Bunga Krisan di Kawasan Terdampak Bencana Gunung Merapi: Mendukung Inovasi Frugal Menggunakan Amelioran dan PGPR untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat

14.50 – 15.10 Diskusi Sesi Paralel 3

Tema Pemanfaatan Inovasi Teknologi

Tempat : Ruang Perpustakaan Lantai 1 Gedung Widya Graha Waktu : 13.30 – 15.10

Moderator : Dra. Wati Hermawati, MBA. 13.30 – 13.40 Dwi Retno Lukiwati

Pupuk Organomineral dan Anorganik untuk Meningkatkan Produksi Jagung Manis dan Kualitas Jerami di Tanah Masam 13.40 – 13.50 Ridwan Arief Subekti

Studi Pemanfaatan Energi Air untuk Meningkatkan Rasio Elektrifikasi Daerah Terpencil

13.50 – 14.00 Henny Sudibyo, Ridwan Arief Subekti

Pengembangan Sistem Konversi Energi Angin untuk Meningkatkan Kesejahteraan di Kabupaten Indramayu 14.00 – 14.20 Diskusi

14.20 – 14.30 Lia Yuldinawati

Cost Reduction/Penghematan Biaya Melalui Teknik Baru

Finishing Bangunan dalam Mendukung Pengembangan Budaya Kreatif dalam Mendukung Inovasi Frugal

14.30 – 14.40 Theresia Mutia

Pemanfaatan Membran Gelatin/Polivinil Alkohol Berskala Mikro Hingga Nano sebagai Pembalut Luka Primer

14.40 – 14.50 Alan Novi Tompunu, Irma Salamah, Tri Arief Sardjono Rehabilitasi Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Microcontroller

14.50 – 15.10 Diskusi Sesi Paralel 4

Tema Litbang dan Inovasi

Tempat : Ruang Rapat Pappiptek Lantai 8, Gedung Widya Graha Waktu : 13.30 – 15.20

Moderator : Drs. Budi Triyono, M.Si

13.30 – 13.40 Wasito, Siti Sehat Tan, Kasdi Subagyono

Senjang Adopsi Teknologi Pada Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Organik dan Pandan Wangi di Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur


(2)

314

13.40 – 13.50 Purnama Alamsyah, Dini Oktaviyanti Open Source sebagai Driver Inovasi Frugal 13.50 – 14.00 Intan Savitri Wahyoe, Togar M. Simatupang

Kajian Kasus Eko-Inovasi Pertanian Organik melalui Lensa Teori Strukturasi dan Pendekatan Praktik

14.00 – 14.20 Diskusi

14.30 – 14.40 Wasito, E. Eko Ananto, dan Vyta W. Hanifah

Model Agribisnis Pedesaan Lahan Kering Yang Ramah

Lingkungan: Kasus Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) di Kabupaten Blora

14.40 – 14.50 Fitri Novika Widjaja, Siti Rahayu

Aplikasi Teknologi Berbasis Sistem Informasi Manajemen Untuk Mengefisienkan Kualitas Layanan Logistik di PT DMK Surabaya 14.50 – 15.00 Puji Wahono

Strategi Inovasi Frugal Pada Industri Batik Berbasis Budaya Kreatif dan Berdimensi Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Pada Industri Kreatif Batik di Jawa Timur

15.00 – 15.20 Diskusi

15.30 – 16.00  Kesimpulan

 Pengumuman “Makalah terbaik”

Disampaikan oleh: Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. 16.00 - 16.15 Penutupan

Dr. Ir. Djusman Sajuti


(3)

315 Lampiran 3. Daftar Pemakalah

No Nama Lengkap Institusi Email

1 Alan Novi Tompunu, Irma Salamah, Tri Arief Sardjono

Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya, Jurusan Teknik Elektro, ITS

alan_polsri@yahoo.com, irma_salamah@yahoo.com 2 Dwi Retno Lukiwati Fak. Peternakan UNDIP drlukiwati_07@yahoo.com 3 Henny Sudibyo,

Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik-LIPI hennysudibyo@yahoo.com 4 Lia Yuldinawati Institut Manajemen Telkom liayul@yahoo.com

5 Wasito, Siti Sehat Tan, Kasdi

Subagyono

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

wasito63@yahoo.co.id 6 Wasito, E. Eko

Ananto, dan Vyta W. Hanifah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

wasito63@yahoo.co.id 7 Jatmiko Wahyudi Kantor Litbang Kabupaten

Pati jatmiko_tkuns@yahoo.com

8 Puji Wahono FISIP Universitas Jember pujiwahono@yahoo.com 9 Ridwan Arief Subekti Puslit Telimek - LIPI ridwanarief_rais@yahoo.com 10 Fitri Novika Widjaja,

Siti Rahayu Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Surabaya

sitirahayu151@gmail.com, novika_andin@yahoo.com 11 Wanda Listiani Sekolah Tinggi Seni

Indonesia (STSI) Bandung wandalistiani@yahoo.com 12 Anugerah Yuka

Asmara, Andjar Prasetyo

PAPPIPTEK LIPI

Kantor Litbang dan Statistik Kota Magelang

a.yuka.asmara@gmail.com, tunggu_lah@yahoo.co.id 13 Ari Wijayani, Rina

Srilestari, Tutut Wirawati

Fak. Pertanian UPN Veteran

Yogyakarta ariewijayani@yahoo.com 14 Ari Wijayani, Mofit Eko

Purwanto, Siwi Hardiastuti

Fak. Pertanian UPN Veteran

Yogyakarta ariewijayani@yahoo.com 15 Mahra Arari Heryanto,

Dika Supyandi Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian UNPAD

mahra.arari@unpad.ac.id, dika_supyandi@yahoo.com 16 Kusnandar, Galuh

Syahbana Indraprahasta, Anugerah Yuka Asmara

PAPPIPTEK LIPI Kussrai0779@yahoo.co.id gsyahbana@yahoo.com a.yuka.asmara@gmail.com 17 Wawan Kartiwa

Haroen, Posma Reginald Panggabean

Center For Pulp And Paper,

Ministry of Industry wawankh@yahoo.com 18 Theresia Mutia Center For Pulp And Paper,

Ministry of Industry theresia.mutia@yahoo.com 19 Fuad Abdilah IKIP Veteran Semarang fuadabdilah123@yahoo.com 20 Dudi Hidayat PAPPIPTEK dudi.hidayat@yahoo.co.id


(4)

316

No Nama Lengkap Institusi Email

22 Karlina Sari,

Kusnandar PAPPIPTEK karlina.sari@yahoo.com, kussrai0779@yahoo.co.id 23 Purnama Alamsyah,

Dini Oktaviyanti PAPPIPTEK purnama.alamsyah@gmail.com dini.oktaviyanti@gmail.com 24 Intan Savitri Wahyoe,


(5)

317 Lampiran 4. Susunan Panitia

Panitia Pengarah

Prof. Dr. Lukman Hakim Dr. Ir. Djusman Sajuti

Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc.

Panitia Pelaksana

Penanggung jawab:

Prof. Dr. Ir. Husein Avicenna Akil, M.Sc.

Ketua Panitia:

Dra. Nani Grace Simamora, M.Hum. Tim Panitia:

Prof. Erman Aminullah, M.Sc. Dr. Trina Fizzanty

Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Drs. Budi Triyono, M.Si. Dra. Wati Hermawati, M.B.A.

Opan Supandi, M.TI. Tri Handayani, S.Kom.

Prakoso Bhairawa P., S.IP., M.A. Rini Wijayanti M.Kom.

Indri Juwita Asmara, M.TI. Rizka Rahmaida, S.Si. Endang Mardiningsih, A.Md. Adzan Sofyawan, S.Sos. Vetti Rina Prasetyas, S.H. Zarnita, A.Md.

Ummi Aslamah, A.Md. Erna Mardiana, S.Kom. Warkim, S.Kom.

Purnama Alamsyah, S.E. Setiowiji Handoyo, S.E. Irene Muflikh Nadhiroh, S.Si. Kusnandar, M.T.

Dini Oktaviyanti, M.Si.

Galuh Syahbana Indraprahasta, M.Si. Anugerah Yuka Asmara, S.A.P. Karlina Sari, M.A.

Lutfah Ariana, S.T.P., M.P.P. Elmi Achelia, M.TI.

Jarot Sumardi Abdul Malik Wiyono, S.E. Sobari


(6)

PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Widya Graha LIPI Lt.8, Jakarta 12710 Telepon 021-5201602, 5225206, 5251542 ext. 704

Faximile 021-5201602, Email pappiptek@pappiptek.lipi.go.id Website http://www.pappiptek.lipi.go.id