Wicara Pasca Laringektomi Penguat Transistor Perancangan Mekanik Karakteristik Responden

209 Gambar 2. Anatomi Laring

2.3. Pita Suara

Pita suara atau yang dalam bahasa inggrisnya disebut vocal cord adalah dua buah pita otot elastis yang terletak di dalam larynx kotak suara, tepat diatas trachea saluran udara. Pita suara menghasilkan suara jika udara yang tertahan di paru-paru dilepaskan dan melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Untuk menghasilkan suara, pita suara harus bergetar ratusan bahkan ribuan kali per detiknya, tergantung nada atau frekuensi yang kita ucapkan. Jika kita tidak sedang berbicara, pita suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernafas. Gambar 3. Anatomi Pita Suara

2.4. Wicara Pasca Laringektomi

Pada penderita pasca laringektomi total, pasien tidak mampu lagi berkomunikasi seperti sedia kala, namun melalui rehabilitasi medis pasien pasca laringektomi dapat berbicara kembali walaupun tanpa pita suara. Secara umum wicara pasca laringektomi total ada 3 macam, yaitu: Voice prosthesis TracheEsophageal puncture - TEP, Esophageal speech dan dengan elektrolaring. 210 Gambar 4. Wicara Pasca Laringektomi 2.5. Solenoid Solenoid merupakan kumparan yang mengelilingi inti besi yang dapat menghasilkan medan magnet ketika kumparan tersebut dilewati arus listrik. Dalam dunia teknik, solenoid terdapat dalam berbagai macam transducer yang dapat mengkonversi energi. Penggunaan solenoid umumnya pada solenoid valve, yang berupa divais terintegrasi antara solenoid elektro mekanik dengan valve pneumatic atau hidrolik. Gambar 5. Solenoid

2.6. Penguat Transistor

Secara umum penguat amplifier dapat dikelompokkan menjadi 3 tiga, yaitu penguat tegangan, penguat arus dan penguat transresistansi. Pada dasarnya kerja sebuah penguat adalah mengambil masukan input, mengolahnya dan menghasilkan keluaran output yang besarnya sebanding dengan masukan.

2.7. Mikrokontroller AVR

AVR adalah kependekan dari Alv and Vegard Risc processor. Merupakan penemu penemu teknologi RISC pada mikrokontroler buatan ATMEL. Atmel yang berarsitekturkan RISC reduced instruction set computer memiliki kebutuhan daya yang rendah. Mikrokontroler ini merupakan teknologi terbaru dari Atmel. Karena sebelumnya Atmel memproduksi mikrokontroler 8 bit berarsitektur CISC complex instruction set computer seperti AT89S52. Untuk pemrograman mikrokontroler ATmega 8L digunakan bahasa C dengan compiler Code Vision. Komponen ini dikemas dalam bentuk TQFP Thin Quad Flat Pack 32 pin. Spesifikasi teknik dari mikrokontroler ATmega 8L adalah sebagai berikut: o 8-bit Central Processing Unit, o 32 x 8 General Purpose Working Register, o 16 MIPS million instruction per second per 16 MHz, untuk satu instruksi memerlukan satu clock, o 8KBytes of In-system reprogammable flash program memory yang dapat diisi hingga 1000kali, o 512 bytes EEPROM yang dapat diisi hingga 100.000 kali, o 1 KBytes internal SRAM, 211 Increment Button Decrement Button Start Button Transistor IO 2 INT INT 1 IO 1 TIMER 2 Eeprom o 23 jalur masukan dan data keluaran yang bersifat dua arah. o Clock operasi hingga 8MHz, o Full duplex serial port, o 2 buah pewaktu 8-bit, o 1 buah pewaktu 16-bit, o Real Time Counter dengan osilator yang terpisah, o 8 kanal 10-bit ADC, o Masterslave antar muka SPI serial, o Analog comparator, o Membutuhkan tegangan suplai sebesar 2.7 – 5.5 V Pada Gambar 2.7 diperlihatkan konfigurasi pin-pin dari mikrokontroler ATmega 8L dari Atmel ini: Gambar 6. Konfigurasi Pin ATmega 8L 3. PERANCANGAN ALAT 3.1. Perancangan Hardware Bagian elektrik terdiri dari pembangkit frekuensi dengan memanfaatkan timer 2 pada mikrokontroler, setvalue yang diinginkan disimpan pada EEPROM guna membangkitkan frekuensi yang telah di disetting sebelumnya. Gambar 7 merupakan blok diagram elektronik dari elektrolarynx. Gambar 7. Blok Diagram Elektrolaring 212 Gambar 8. Hardware Tampak dari Atas Gambar 9. Hardware Tampak dari Bawah Pada perancangan hardware menggunakan komponen SMT Surface Mount Technology, penggunaan SMT ini bertujuan untuk mendapatkan dimensi yang sesuai pada prototipe. Minimum sistem terdapat sebuah mikrokontroler dengan tipe AT Mega8L. AT Mega8L berfungsi sebagai pembangkit frekuensi dalam range 72 Hz hingga 250 Hz. Frekuensi yang dibangkitkan memanfaatkan timer yang terdapat pada mikrokontroler.

3.2. Perancangan Mekanik

Pada perancangan mekanik dibagi dalam beberapa bagian, antara lain: membran top head, stand solenoid, stand hardware,dan stand baterai. Rancangan mekanik ditunjukkan pada Gambar 10. Gambar 10. Rancangan mekanik

3.3. Perancangan Software

Perancangan software dilakukan secara bertahap, dengan melakukan berbagai pengujian setiap blok hardware setelah hardware siap dijalankan. Langkah-langkah dalam perancangan software adalah sebagai berikut: 1. uji mikrokontroler dengan menggunakan internal RC oscilator pada 1MHz, 2MHz, 4Mhz dan 8Mhz. 2. uji dan kalibrasi pembangkit frekuensi dengan menggunakan timer 3. uji rangkaian driver solenoid. 4. pembuatan persamaan pembangkit frekuensi 100Hz hingga 300 Hz. Dalam merancang software digunakan compiler Code Vision AVR yang digunakan untuk meng-compile dan meng-generate code hexa yang akan didownload ke mikrokontroler. Bahasa pemrograman yang digunakan oleh CodeVision AVR adalah bahasa pemrograman C. Membran top head Stand solenoid Stand hardware Stand baterai 213 4. PENGUJIAN ALAT DAN PENGAMBILAN DATA 4.1. 1 Pengujian Generator Frekuensi Pengujian yang pertama kali adalah dengan melakukan uji frekuensi yang dibangkitkan oleh mikrokontroler. Hal ini sangat diperlukan karena keakuratan frekuensi yang dibangkitkan akan mempengaruhi frekuensi fundamental yang akan dihasilkan oleh pasien tuna laring. Dalam pengujian ini mikrokontroler akan menghasilkan frekuensi 72 Hz hingga 100 Hz dengan memnfaatkan interupsi timer 2. Kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan pembacaan frekuensi pada osciloscope. Gambar 11. Pengujian Generator Frekuensi a b Gambar 12. Perbandingan Frekuensi pada Mikrokontrolera dan Pada Solenoidb Dari pengujian tersebut didapat data pembacaan ADC sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Pengujian Generator Frekuensi f_set Hz f_out Hz f_out - f_set Error 72 72.68 0.68 0.94 73 73.53 0.53 0.73 74 74.85 0.85 1.15 75 75.53 0.53 0.71 76 76.56 0.56 0.74 77 77.52 0.52 0.68 78 78.12 0.12 0.15 79 79.49 0.49 0.62 80 80.26 0.26 0.33 81 80.91 -0.09 -0.11 82 82.37 0.37 0.45 83 83.06 0.06 0.07 84 84.46 0.46 0.55 85 85.15 0.15 0.18 86 86.06 0.06 0.07 87 87.57 0.57 0.66 88 88.18 0.18 0.20 89 89.77 0.77 0.87 90 90.58 0.58 0.64 214 f_set Hz f_out Hz f_out - f_set Error 91 91.24 0.24 0.26 92 92.25 0.25 0.27 93 92.94 -0.06 -0.06 94 93.81 -0.19 -0.20 95 95.6 0.6 0.63 96 96.35 0.35 0.36 97 97.09 0.09 0.09 98 98.04 0.04 0.04 99 99.6 0.6 0.61 100 100.4 0.4 0.40 Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 13. Grafik Error Generator Frekuensi

4.2. Pengujian Electrolarynx dengan Servox

Pengujian yang selanjutnya adalah pengujian hasil keluaran dari electrolarynx yang telah dirancang dibandingkan dengan servox. Pada pengujian ini menggunakan 2 frekuensi yang dibangkitkan, yaitu 72 Hz dan 90 Hz. Sinyal pengujian direkam dengan menggunakan sound recorder kemudian disimpan dalam format .wav, kemudian diplot ulang melalui ProgramDelphi. Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 14. Sinyal Dasar yang Dihasilkan Prototipe pada Frekuensi 72Hz Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 15. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Dasar yang Dihasilkan Prototype 215 Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 16. Sinyal Dasar yang Dihasilkan Servox pada Frekuensi 72Hz Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 17. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Dasar yang Dihasilkan Servox Gambar 14 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh prototipe pada frekuensi 72 Hz dan Gambar 15 menunjukkan spektrum frekuensi hasil FFT sebesar 138 Hz. Sedangkan Gambar 16 menunjukkan sinyal dasar yang dibangkitkan oleh servox dan Gambar 16 menunjukkan spektrum frekuensi servox hasil FFT sebesar 136 Hz. Pada pengujian didapatkan spektrum frekuensi sinyal dasar prototipe tidak terlalu berbeda dengan spektrum frekuensi dari servox. Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 18. Sinyal Pengucapan V okal ‘A’ yang Dihasilkan Prototipe pada Frekuensi 72Hz Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 19. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Prototipe 216 Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 20. Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Servox pada Frekuensi 72Hz Sumber: Hasil pengujian 2012 Gambar 21. Frekuensi Hasil FFT pada Sinyal Pengucapan Vokal ‘A’ yang Dihasilkan Servox Pada pengujian pengucapan vokal ‘A’ terdapat perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT antara yang dihasilkan prototipe sebesar 100 Hz sesuai Gambar 19, sedangkan yang dihasilkan servox sebesar 93 Hz sesuai Gambar 21. 4.3. 1 Pengujian Low Cost Electrolarynx di RSUD dr. Soetomo dan RS Cipto Mangunkusumo Pengujian selanjutnya dilakukan secara langsung pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. Pengujian low cost electrolarynx pertama kali dilakukan kepada pasien tuna laring di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo. Sedangkan pengujian yang kedua dilakukan di departemen rehabilitasi medis RSCM. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan data implementasi prototipe pada pasien secara langsung. Sumber: Dokumentasi pribadi 2012 Gambar 21. Pengujian Low Cost Electrolarynx pada Pasien Tuna Laring di Poli Audiologi RSUD dr.Soetomo dan di Departemen Rehabilitasi Medis RSCM 217 5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sampai dengan saat ini, kesimpulan yang dapat disampaikan terkait dengan low cost electrolarynx yang dihasilkan bagi pasien tuna laring adalah: 1. Frekuensi vibrasi yang dibangkitkan oleh prototipe electrolarynx serta frekuensi suara yang dihasilkan oleh penderita tuna laring dengan bantuan prototipe ini menyerupai suara yang dihasilkan dengan bantuan electrolarynx servox. 2. Prototipe low cost electrolarynx ini dapat digunakan sebagai salah satu metode berkomunikasi kembali pada pasien pasca laryngectomy atau pasien tuna laring. 3. Hasil pengujian frekuensi yang dibangkitkan didapatkan rata-rata error frekuensi sebesar 0,34Hz atau sebesar 0,41. 4. Pada hasil pengujian secara klinis didapatkan beberapa perbedaan spektrum frekuensi hasil FFT. Hal ini dipengaruhi oleh usia pasien serta adanya interferensi suara esophagus yang dihasilkan oleh pasien tersebut.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian selanjutnya, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Pengambilan sampel suara dapat melibatkan lebih banyak pasien tuna laring sehingga dapat melakukan analisa yang lebih akurat terhadap variasi yang terjadi antara pasien tuna laring yang satu dengan lainnya. 2. Ditentukan sampel suara yang lebih banyak untuk melihat apakah ada perbedaan karakteristik yang signifikan antara bunyi yang satu dengan lainnya. 3. Pengambilan sampel suara hendaknya juga melibatkan sampel suara normal, bukan hanya dari pasien tuna laring. UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah berkat bantuan dari berbagai pihak, kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini telah selesai seluruhnya. Izinkan kami mengucapkan terimakasih sebesar- besarnya kepada: 1. Bapak Wahyu Setyo Pambudi, S.T, M.T dari Universitas Internasional Batam atas koreksi serta perbaikan pada laporan penelitian ini. 2. Para panelis danatau moderator atas kritik, saran serta masukan yang membangun untuk perbaikan laporan penelitian kami kini dan yang akan datang. 3. Dr.dr. Nyilo Purnami., SP. THT-KL RSUD dr. Sutomo Surabaya, Dr. dr Nury Nusdwinuringtyas., Sp.KFR K, M. Epid RSCM Jakarta, Bpk. Joko Waluyo, selaku ketua Perhimpunan Wicara Esophagus PWE cabang Surabaya, terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menguji sistem pada para penderita tuna laring. PUSTAKA Herliyanto,T., Rancang Bangun Low Cost Electro Larynx Berbasis AVR ATMega 8 Untuk Pasien Tuna Laring. Tugas Akhir. ITS Surabaya belum diterbitkan. Hirokazu, S dan Takahashi, H., 2008. Voice generation system using an intra mouth vibrator for the laryngectome. MS Thesis, The University of Tokyo. Japan. Liu, H dan L. N Manwa, 2007. Electrolarynx in voice rehabilitation. Elsevier vol. 34 pp. 327- 332. Nusdwinuringtyas, N., 2007. Panduan Latihan Wicara Esofagus. Departemen Rehabilitasi Medik RS.Cipto M. Jakarta. Tompunu, A.N., 2012. Real Time Adaptive Filter Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Menggunakan Electrolarynx Berbasis Processor TMS320C6713. Tesis MS. ITS Surabaya. 218 Tompunu, A.N., Kusumanto, RD, Sardjono, TA., 2012. Implementasi Algoritma Least Mean Square Untuk Peningkatan Kualitas Suara Penderita Tuna Laring Berbasis Processor TMS320C6713. Proc. SEMANTIK. Semarang. Indonesia Sardjono, TA, Hidayati, R., Purnami, N., Noortjahja, A. GJ Verkerke, Purnomo, MH., 2010. A Preliminary Result of Voice Spectrum Analysis from laryngectomised patients with and without Electro Larynx: A Case Study in Indonesian Laryngectomised Patients. IEEE, hal.1-5. 219 LITBANG DAN INOVASI 220 SENJANG ADOPSI TEKNOLOGI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI ORGANIK DAN PANDAN WANGI DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIANJUR Wasito 1 , Siti Sehat Tan 2 , Kasdi Subagyono 3 1,23 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian BBP2TP Jl. Tentara Pelajar no. 10 Bogor E-mail : 1 wasito63yahoo.co.id ABSTRAK Introduksi teknologi pada Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT padi, salah satu terobosan Badan Litbang Pertanian, mampu meningkatkan hasil padi dan pendapatan.Paket atau komponen teknologi pada PTT padi sebagai inovasi frugal, merupakan inovasi yang hemat dan ramah lingkungan. Untuk mengetahui senjang adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik dan pandan wangi telah dilakukan pengkajian secara crossectional di wilayah pengembanganya, yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur purposive pada September 2011. Kajian data primer melalui pengamatan lapang, diskusi kelompok terfokus, dan wawancara mendalam, dengan pengurus kelompok tani, Gapoktan, petani perintis dan adopter, serta instansi terkait. Analisis Cohran, uji kategori, dan himpunan digunakan untuk mengukur senjang adopsi teknologi PTT. Hasil kajian, terjadi kesenjangan sangat nyata adopsi teknologi PTT padi pada usahatani padi organik dibandingkan padi pandan wangi, namun kurang nyata pada usahatani padi organik. Teknologi non PTT padi nyata diadopsi pada usahatani padi pandan wangi. Inovasi PTT yang frugal merupakan inovasi proses yang mampu memberikan solusi masalah dengan harga terjangkau di tengah keterbatasan sumberdaya, dan akses terhadap institusional. Faktor biofisik, cekaman abiotik, iklim, penghambat adopsi teknologi pada PTT padi. Namun inovasi pada PTT padi yang frugal memberikan dampak menguntungkan bagi lingkungan secara langsung jangka pendek, tidak langsung jangka menengah, panjang. Inovasi PTT padi yang frugal ini terkait dengan inovasi yang mengarah pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, mengedepankan dimensi perlindungan lingkungan. Kata kunci : adopsi PTT padi, padi organik, padi pandan wangi.

1. PENDAHULUAN

Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT adalah salah satu inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah menjadi andalan untuk peningkatan produksi komoditas tanaman pangan utama di Kementerian Pertanian Las et al., 2003. Sejak tahun 2007 pada Program Peningkatan Produksi Beras Nasional P2BN, PTT padi telah diadopsi oleh Ditjentan Ditjentan, 2007. PTT merupakan pendekatan untuk intergrasi pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kelestarian lingkungan, selaras dengan inovasi frugal. PTT menekankan 4 empat prinsip yang saling memengaruhi, yaitu prinsip terintegrasi, sinergis, dinamis, dan partisipatif Las et al., 2003; Badan Litbangtan, 2010. Komponen teknologi dasar yang diterapkan dalam PTT Zaini, et.al., 2009, yaitu VUB, benih bermutuberlabel, bahan organik, populasi tanaman optimum, pemupukan berimbang, dan PHT, sedangkan komponen teknologi pilihan, meliputi pengolahan tanah, bibit muda 21 hari, tanam bibit 1 —3 batang, pengairan intermiten, penyiangan, panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok. Adopsi teknologi PTT yang frugal disesuaikan dengan kondisi sumberdaya lahan, kemauan, kemampuan, sikap, dan tindakan petani. Kajian adopsi teknologi PTT dikaitkan dengan sikap dan tindakan petani belum dilakukan. Pendekatan PTT mengalami perkembangan yang sangat dinamis sejak dari fase awal dikembangkan pada kebun-percobaan, kemudian dilanjutkan dengan replikasi PTT oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP pada lahan petani melalui jaringan penelitian dan pengkajian Litkaji. Kemudian dilanjutkan pada Program Peningkatan Produksi Padi Terpadu P3T di 30 lokasi pada musim tanam 2002-2003 Las et al., 2003, dikembangkan pada lahan dua juta ha tahun 2007. Kemudian, PTT diimplementasikan seiring dengan 221 dicanangkannya Program Peningkatan Produksi Beras Nasional P2BN pada musim tanam sejak 2007 Ditjentan, 2007. Upaya mempercepat adopsi ivovasi PTT diselenggarakan Sekolah Lapang PTT SL- PTT sejak tahun 2008 Ditjentan, 2012. Dalam pola SL-PTT, lahan petani yang digunakan untuk PTT disebut areal SL-PTT. Satu unit areal SL-PTT terdiri atas 24 ha dan 1 ha dalam bentuk laboratorium lapang LL. Petani menerapkan teknologi PTT dengan melihat contoh langsung pada LL yang dibimbing oleh pemandu. Program ini diperlukan untuk memperkecil perbedaan nyata antara produktivitas padi di tingkat petani dengan potensi yang ada. Komponen teknologi utama yang diintroduksikan dalam kegiatan SL-PTT padi adalah penggunaan benih bersertifikat, penggunaan pupuk sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama terpadu, dan lain-lain sesuai dengan kondisi wilayahnya. SL-PTT. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi dalam mempercepat pencapaian swasembada beras berkelanjutan, meningkatkan pendapatan petani, dan kesejahteraan petani Hasil implementasi PTT sebelumnya dalam kerangka SL-PTT masih belum sesuai dengan harapan Panduan Pelaksanaan SL-PTT Ditjentan, 2008. Maka perlu evaluasi adopsi PTT melalui SL-PTT dalam kaitannya dengan P2BN. Senjang adopsi teknologi PTT padi organik dan pandan wangi artikel ini, merupakan hasil pengkajian secara crossectional di wilayah pengembanganya di Kab. Tasikmalaya dan Cianjur dilakukan pada September 2011. 2. METODOLOGI 2.1. Metode pengkajian Format pengkajian bersifat cross-sectional dengan metode survei lapangan. Kajian dilakukan di wilayah pengembangan usahatani padi organik dan padi pandan wangi, yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur purposive pada bulan September 2011. Kajian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diawali dengan mengamati dan melibatkan diri pada komunitas masyarakat petani secara alami natural setting Denzin dan Lincoln, 1994. Tahap selanjutnya menentukan sampel responden secara sengaja purposive, yaitu pada 20 petani perintis, atau pelopor innovator or early adopter dan pengurus kelompok tani, gabungan kelompok tani Gapoktan di setiap wilayah Tasikmalaya, Cinajur. Pengumpulan data melalui diskusi kelompok terfokus focus group discussion, FGD, dan wawancara mendalam indepth interview. Data sekunder dari Gapoktan, penyuluh pertanian lapangan PPL, instansi terkait, hasil dan laporan penelitian sistem usahatani padi organik Kab. Tasikmalaya dan padi pandan wangi Kab. Cianjur.

2.2. Karakteristik Responden

Karakteristik petani yang dianggap penting, meliputi status usaha, status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, usia, pengalaman usahatani padi, dan sumber modal. Umumnya bertani sebagai mata pencaharian utama, sedangkan sampingannya berdagang, beternak, dan kuli bangunan. Secara total usahatani padi organik dan pandan wangi sebagai mata pencaharian utama. Rata-rata status kepemilikan lahan sebagian penggarap dan sebagian pemilik. Luas lahan kepemilikan mayoritas 60 persen yang digarap petani ± 0,21 – 0,40 hektar, ± 0,41 – 0,60 hektar 30 persen, ± di bawah 0,20 hektar 5 persen, dan ± di atas 0,61 hektar 5 persen. Jumlah petani yang menyelesaikan pendidikan setingkat SD ± 80 persen, sisanya pendidikan SLTP 20 persen. Profesi sebagai petani, merupakan usaha turun-temurun. Rata-rata berprofesi sebagai petani ± 22 —32 tahun, lebih paham terhadap usahatani padi. Pemahaman petani semakin bertambah karena dibantu petugas PPL melalui demplot. Petani yang memiliki pengalaman lebih 30 tahun 35,30 persen, ± 25 —30 tahun 29,42 persen, sisanya 22—25 tahun. Umumnya, para petani berusia 27 —50 tahun, banyak generasi muda yang tidak ingin terjun pertanian, karena lebih tertarik menjadi tukang ojek, sopir angkot, atau bekerja di kota. Sebagian besar sumber modal usahatani padi input produksi – tenaga kerja dari modal pribadi. Selain itu, modal awal dari pemilik dan dibayarkan dengan cara bagi hasil dari total produksi, 50 persen untuk petani penggarap : 50 persen untuk pemilik modal awal. 222

2.3. Pengukuran Senjang Adopsi Teknologi pada PTT Padi