METODOLOGI PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN

161

1. PENDAHULUAN

Bencana erupsi Merapi tahun 2010 membawa dampak yang sangat luar biasa dalam bidang kerusakan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat,dan pertanian. Salah satu kawasan yang terkena dampaknya adalah kecamatan Pakem karena terkena siraman abu dan pasir secara langsung. Desa yang berada di lereng Merapi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra tanaman hias adalah Hargobinangun kecamatan Pakem dan sejak tahun 2005 kawasan ini telah ditunjuk menjadi sentra budidaya bunga krisan Provinsi DIY mengingat ketinggian tempat daerah tersebut 500-800 m dpl memenuhi syarat untuk pertumbuhan bunga krisan. Selama ini kegiatan budidaya bunga krisan telah dilakukan oleh lebih dari 100 petani setempat yang tergabung dalam 13 kelompok tani dengan mengelola lahan seluas 10.000 m2 dengan kapasitas produksi 15.000 bunga potong per minggu Bappeda DIY, 2003. Pasca erupsi Merapi pada pada tanggal 5 November 2010 kegiatan budidaya bunga potong krisan di desa Hargobinangun menjadi stagnan. Sebagian besar petani tidak tahu harus berbuat apa karena kondisi pertanaman bunga krisan hancur. Hal itu dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang sangat dekat dengan gunung Merapi, dusun Kaliurang barat yang merupakan lokasi pembibitan hanya berjarak 4 km dari puncak Merapi, sedangkan dusun Wonokerso berjarak 10 km dari puncak Merapi. Akibatnya pasca bencana kondisi pertanaman sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, lahan tertutup debu abu vulkanik dan pasir, kubung bunga roboh, tanaman mati akibat tidak dirawat. Krisan dalam bentuk bunga potong yang dihasilkan petani di Wonokerso sangat menurun kualitasnya, sehingga konsumen banyak beralih pada krisan yang didatangkan dari daerah lain, seperti Jawa barat dan Jawa timur. Di lapangan menunjukkan rendahnya kualitas bunga disebabkan akar tanaman krisan tidak berkembang dengan baik, berwarna coklat dan ukurannya pendek-pendek. Material vulkanik yang menutupi lahan di wilayah Wonokerso dengan ketebalan 5-15 cm berukuran halus, bersifat mampat compact, keras, kedap air, akan tetapi potensi kimia bagus. Untuk mengembalikan kondisi lahan sehingga strukturnya lebih remah adalah dengan penambahan amelioran. Wijayani, et al. 2011 melaporkan bahwa material vulkanik yang diberi amelioran kascing dan pupuk kandang sapi sangat bagus untuk pertumbuhan tanaman dahlia di kawasan Kinahrejo. Pada dasarnya dahlia dan krisan hampir sama, sehingga untuk perbaikan lahan di areal pertanaman krisan dapat dicoba dengan amelioran yang sama. Menurut Levitt 1980 kepekaan pertumbuhan krisan terhadap panjang hari tidak tetap. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong tanaman hari pendek fakultatif. Pada kondisi hari panjang dengan suhu siang sekitar 22 o C dan suhu malam 16 o C, penambahan tinggi tanaman dan pembentukan daun berjalan optimal. Induksi ke fase generatif akan terjadi bila suhu pada siang hari turun kurang dari 18 o C dan suhu malam naik hingga lebih dari 25 o C Masswinkel, Sulyo, 2004. Namun kondisi ini sangat jarang ditemukan pada dataran medium hingga tinggi di Indonesia. Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi urgensi keutamaan melakukan penelitian ini adalah kajian lengkap berbagai aspek tentang teknik budidaya tanaman krisan yang mampu memperbaiki kondisi pertumbuhan, khususnya kondisi perakaran yang disebabkan ketidakmampuan akar berkembang karena struktur tanah yang tidak mendukung. Material volkanik halus menutupi lahan dengan ketebalan 5-15 cm, bersifat mampat compact, keras, kedap air. Selanjutnya juga diperlukan penambahan PGPR agar pertumbuhan tanaman merata di seluruh area pertanaman krisan. Dalam kajian ini, apabila teknik budidaya dengan penambahan amelioran dan pemberian PGPR cukup efektif dalam meningkatkan kualitas bunga krisan maka dapat dipertimbangkan untuk dijadikan acuan bagi area pertanaman krisan yang lain.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di dusun Wonokerso, Pakem, Sleman Yogyakarta dengan dengan rancangan acak kelompok lengkap RAKL terdiri atas dua faktor, yaitu macam amelioran dan PGPR. Faktor pertama adalah macam bahan amelioran yang terdiri empat 162 aras, yaitu: kascing, kompos pakis, pupuk kandang sapi, dan seresah tanaman bambu. Faktor kedua adalah PGPR yang terdiri tiga aras, yaitu: 50, 100, dan 150. Sebagai kontrol ditanam krisan pada media tanpa amelioran dan tanpa PGPR. Dari kedua faktor tersebut masing-masing diulang tiga kali dan masing-masing petak berisi 50 tanaman dengan lima tanaman sampel, sehingga jumlah tanaman keseluruhan adalah 1800 tanaman plus tanaman kontrol 150. Penelitian didalam rumah naungan beratap plastik UV dan net disekelilingnya, menghadap ke timur dengan bentuk atap kubah setengah lingkaran. Pengolahan lahan dilakukan sedalam 30 cm dan dilakukan pencampuran dengan bahan amelioran sesuai perlakuan, kemudian dibuat bedengan setinggi 10-20 cm. Bibit krisan diambil dari Balithi Cipanas, Jawa barat ditanam pada bedengan yang telah diberi jarring. Jarring tanaman berfungsi untuk membantu agar tanaman tumbuh tegak. Tanaman dirawat selama tiga bulan yang meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama serta penyakit. Penyiraman tanaman dilakukan dua kali sehari dengan jumlah air secukupnya. Pemupukan dilakukan di awal penelitian menggunakan pupuk N 75 gram, P 75 gram dan K 25 gram per tanaman dan pupuk daun seminggu sekali. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida insektisida dan fungisida dua minggu sekali. Penerapan alih teknologi juga dilakukan pada petani setempat dengan FGD dan praktek langsung menggunakan bahan-bahan ameliorant dan PGPR hasil riset LPPM UPN Veteran Yogyakarta.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data pengamatan menunjukkan bahwa PGPR berpengaruh terhadap diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang. PGPR 100 paling baik dalam memperlebar diameter bunga krisan Gambar 1.A., diameter batang tanaman Gambar 2.B. dan luas daun Gambar 5.A.. Diameter bunga pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 4,524, 7,683, dan 5,758 cm, dengan diameter batang berturut-turut 6,33, 7,00, dan 6,50 mm serta luas daun berturut-turut 590,21, 758,78 dan 758,78 mm2. Sedangkan jumlah bunga pita Gambar 1.B. dan tinggi tanaman Gambar 2.A. pada PGPR 100 dan 150 lebih tinggi dibandingkan PGPR 50. Jumlah bunga pita pada PGPR 50, 100, dan 150 berturut-turut 21,50, 41,00, dan 38,58, dengan tinggi tanaman berturut-turut 84,17, 92,50, dan 90,50 cm. Macam bahan ameliorant tidak berpengaruh terhadap parameter diameter bunga Gambar 1.A., jumlah bunga pita Gambar 1.B., tinggi tanaman Gambar 2.A., dan diameter batang Gambar 2.B. serta tidak ada interaksi antara jenis ameliorant dengan PGPR, namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kascing paling baik dalam memperlebar luas daun dibandingkan bahan ameliorant lainnya Gambar 5.B.. Diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman diameter batang dan luas daun pada perlakuan ameliorant berturut-turut berkisar: 5,76-6,18 cm, 30,33-36,67, 87,55-90,44 cm, 6,33-7,00 mm dan 550,60-808,90 mm2. Sedangkan pada kontrol diameter bunga, jumlah bunga pita, tinggi tanaman dan diameter batang berturut-turut hanya sebesar: 4,17 mm, 23,00, 84,67 cm, dan 5,15 mm. Batas kritis panjang hari Critical Daylenght-CDL krisan sekitar 13,5-16 jam tergantung genotip Martini et al., 2007. Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif inisiasi bunga bilamana panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritisnya. Penambahan cahaya dengan lampu tidak efektif apabila jumlahnya kurang, seperti yang terlihat di lapangan. Krisan tumbuh tidak maksimal, banyak kenop bunga yang muncul meskipun tanaman baru berumur 3 minggu dan tinggi tanaman baru 30 cm. Pengaruh panjang hari terhadap fisiologi pembungaan krisan seringkali berinteraksi dengan suhu harian. Akibat suhu tinggi akan berpengaruh terhadap ukuran daun yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pengaruh yang terlihat secara mikroskopis adalah anatomi daun terlihat sel-sel yang ukurannya kecil Salisbury Ross, 1992. 163 a Jaringan anatomi daun pada monocotil tersusun atas sekumpulan sel yang memiliki bentuk hampir sama. Jaringan tersebut tersusun atas jaringan epidermis atas dan bawah, jaringan mesofil daging daun yang tersusun atas jaringan pallisade dan jaringan bunga karang spons. Epidermis menutupi permukaan atas dan bawah daun dilanjutkan ke epidermis batang Salisbury Ross, 1992. Sedangkan lapisan mesofil merupakan daerah paling utama untuk proses fotosintesis. Lapisan palisade merupakan bagian daun yang paling banyak mengandung kloroplas, dan merupakan bagian yang paling banyak mempengaruhi produk fotosintesis. Kerusakan yang terjadi pada mesofil daun terutama pada jaringan palisade oleh suhu tinggi akan memberi dampak paling besar terhadap kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Perubahan histologis yang paling umum dalam kerusakan daun oleh suhu tinggi adalah plasmolisis, granulasi atau disorganisasi penyusun sel, rusaknya sel atau disintegrasi dan pigmentasi jaringan Wijayani, 1999. Marschner 1986 menyebutkan bahwa bahan pencemar dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fisiologis didalam tanaman jauh sebelum terjadinya kerusakan fisik. Para ahli lain mengatakan hal itu sebagai kerusakan tersembunyi. Kerusakan tersembunyi dapat berupa penurunan kemampuan tanaman dalam menyerap air, pertumbuhan sel yang lambat atau pembukaan stomata yang tidak sempurna. Menurut Salisbury and Ross 1992 mekanisme membuka dan menutupnya stomata sangat tergantung perubahan turgor dari sel-sel penutup. Sel penutup yang mengandung amilum berkonsentrasi tinggi akan menutup, terutama pada malam hari. Seiring berjalannya waktu hingga sinar matahari mampu membangkitkan klorofil untuk mengadakan fotosintesis maka kadar CO 2 akan menurun, mengalami reduksi menjadi CH 2 O. Peristiwa ini diikuti kenaikan pH yang akan meningkatkan kerja enzim posporilase guna mengubah amilum menjadi glukosa. Pembentukan glukosa ini akan meningkatkan nilai osmosis sel penutup, sehingga menyebabkan masuknya air dari sel tetangga. Kondisi ini menyebabkan turgor dan stomata akan membuka. Kawasan yang dijadikan sebagai sentra budidaya krisan ini akan dijadikan sebagai “pilot project ” atau sebagai percontohan bagi daerah lain yang ingin membudidayakan bunga krisan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penutupan material vulkanik dengan ketebalan 5-15 cm di permukaan tanah dapat menyebabkan terhambatnya masuknya udara ke dalam tanah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah sebagai ekosistem bagi flora dan fauna yang dapat mendukung dalam penumbuhan tanaman yang diusahakan para petani sebagai sumber penghidupan. Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 1. Diameter Bunga A dan Jumlah Bunga Pita B pada Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 b b b a a A B 164 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 2. Tinggi Tanaman A dan Diameter Batang B Tanaman Krisan pada Berbagai PGPR. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 3. Diameter Bunga A dan Jumlah Bunga Pita B pada Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 b a a b b a a a a a b A B A B a a b a a 165 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 4. Tinggi Tanaman A dan Diameter Batang B Tanaman Krisan pada Berbagai Jenis Ameliorant. Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 Sumber: Hasil pengamatan 2012 Gambar 5. Luas Daun Krisan Pada Berbagai PGPR A Dan Pada Berbagai Jenis Ameliorant B Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5

4. KESIMPULAN