Gambar 9. Causal loop diagram sub model Hotel dan Restoran SM-HTR
Keterangan : SM-DIN PS = Sub Model Nitrogen Anorganik Terlarut DIN di Perairan Pesisir
Gambar 10. Causal loop diagram sub model Industri pangan SM-IND
Keterangan : SM-DIN PS = Sub Model Nitrogen Anorganik Terlarut DIN di Perairan Pesisir
Limbah N restoran
Pendapatan hotel1
Jumlah kunjungan
tamu jumlah tamu
restoran
Jumlah kamar hotel
Jumlah hotel
+
+
+ jumlah
restoran
Limbah N hotel
+ +
Limbah N Hotel dan Restoran
+ -
+ +
+
SM-DIN PS +
Kebutuhan makanan
Jumlah industri Jumlah
produksi
Jumlah Limbah N Industri
SM-DIN PS +
- +
+ -
+
Gambar 11. Causal loop diagram sub model Peternakan dan Pertanian SM-PTP
Keterangan : SM-DIN PS = Sub Model Nitrogen Anorganik Terlarut DIN di Perairan Pesisir
Gambar 12. Causal loop diagram sub model DIN Perairan SM-DIN PS
Keterangan : SM-PDK = Sub Model limbah Penduduk SM-IND = Sub Model limbah Industri Pangan
SM-PTP = Sub Model limbah Peternakan dan Pertanian SM-HTR = Sub Model limbah Hotel dan Restoran
SM-MGR = Sub Model limbah Mangrove
Luas lahan pertanian
Limbah N pertanian
Produksi pertanian
Limbah N Ternak dan pertanian
Limbah N ternak
Populasi hewan ternak
Import hewan ternak
+ +
+ Lahan
pemukiman +
- -
+ +
SM-DIN PS -
+
Fluks DIN SM-HTR
Konsentrasi N di Perairan
+ Beban N di
Perairan kecepatan
arus SM-PDK
SM-IND SM-PTP
+ +
+ +
Kapasitas asimilasi
SM-MGR debit air
Kualitas perairan
BML perairan -
+ +
- -
- +
+ +
+ uptake Plankton dan
mikroorganisme +
-
Gambar 13. Causal loop diagram sub model Mangrove SM-MGR
Keterangan : SM-DIN PS = Sub Model Nitrogen Anorganik Terlarut DIN di Perairan Pesisir
Secara garis besarnya variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem ada 6 variabel yaitu terdiri dari: 1 variabel output yang dikehendaki; ditentukan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan, 2 variabel input terkontrol, variabel yang dapat dikelola untuk menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang
diharapkan, 3 variabel output yang tidak dikehendaki; merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang
diharapkan, 4 variabel input tak terkontrol, 5 variabel input lingkungan; variabel yang berasal dari luar sistem yang mempengaruhi sistem tetapi tidak
dipengaruhi oleh sistem, dan 6 variabel kontrol sistem; merupakan pengendali terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan output yang dikehendaki.
Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem disajikan pada Gambar 14.
Luas mangrove Kebutuhan Lahan
pemukiman Pertumbuhan
mangrove
Penyerapan DIN
Kerapatan mangrove
SM-DIN PS
-
+ +
+ +
+
Penanaman Regenerasi
+ +
+
Gambar 14. Diagram masukan-keluaran input-output diagram sistem pengelolaan beban limbah nitrogen dan ekosistem mangrove
3.5.8.4 Simulasi Model
Simulasi model merupakan peniruan perilaku dari suatu proses atau kecenderungan yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat
analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Manetch dan Park 1977 simulasi adalah suatu aktivitas dimana
pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui penelaahan
Input Lingkungan
UU RI No. 32 Tahun 2009 PP RI No. 99 Tahun. 2009
KepMenLH No. 51 Tahun 2004
Input Tidak Terkontrol 1.
Iklim 2.
Debit Air 3.
Faktor Oseanografi
Input Terkontrol
1. Jumlah Penduduk
2. Luas Mangrove
3. Jumlah Hotel Restoran
Model Pengelolaan Beban Nitrogen dan Ekosistem Mangrove
di Perairan Pesisir Tanjungpinang
Output Diinginkan 1.
Beban limbah N menurun 2.
Luas mangrove bertambah 3.
Persepsi masyarakat meningkat
Output Tidak Diinginkan 1.
Terjadi eutrofikasi perairan pesisir 2.
Bertambahnya limbah dari darat 3.
Penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir
Manajemen Pengelolaan Beban Nitrogen dan Penyerapan Mangrove di
Perairan Pesisir Tanjungpinang
perilaku model yang selaras seperti yang ada pada sistem
adalah: penyusunan konsep, hasil simulasi model.
3.5.8.5 Validasi Model
Uji validasi perlu di sistem. Validasi merupakan
Validasi model akan mengg fakta. Tahapan-tahapan pe
Gambar Tahapan analisa sis
Setelah melakukan selanjutnya dilakukan valida
model sistem yang dibuat dikaji, yang dapat mengha
Validasi dilakukan terhadap melalui studi pustaka dan ke
ras, dimana hubungan sebab akibatnya sama de tem sebenarnya. Tahapan-tahapan dalam simul
sep, pembentukan model, simulasi model, da
u dilakukan untuk memenuhi kaidah keilmuan pa kan penilaian ke-objektifan dari status pekerja
nggambarkan sejauh mana status model dapat m pendekatan sistem secara sederhana dapat di
sistem Eriyatno, 1998 berikut :
n pemodelan terhadap sistem menggunakan lidasi. Validasi merupakan usaha menyimpulka
uat merupakan perwakilan yang sah dari rea nghasilkan kesimpulan meyakinkan Eriyatno
dap struktur model dan keluaran model. Valida n keluaran model dibandingkan dengan data stat
dengan atau ulasi model
dan validasi
n pada model rjaan ilmiah.
pat menirukan dilihat pada
n powersim, pulkan apakah
ealitas yang atno, 1999.
dasi struktur tatistik pada
periode 5 tahun. Untuk memverifikasi keluaran model dengan data statistik dilakukan uji KF Kalman Filter untuk mengetahui besarnya penyimpangan
model. Tingkat kecocokan hasil simulasi dengan nilai aktual adalah 47,5 – 52,3 menggunakan persamaan:
Va Vs
Vs KF
+ =
.............................................................. 24 Keterangan: KF = Saringan Kalman
Va = Varian nilai aktual
Vs = Varian nilai simulasi
3.5.9 Membangun Skenario yang Mungkin Terjadi
Tahap-tahap dalam membangun skenario pengelolaan yang mungkin terjadi sebagai berikut:
a. Skenario yang memiliki peluang lebih besar untuk terjadi di masa datang disusun
b. Skenario merupakan kombinasi, oleh sebab itu sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu
keadaan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang saling bertolak belakang mutual incompotible.
c. Setiap skenario mulai dari nama paling optimis sampai nama paling pesimis diberi nama.
d. Langkah selanjutnya adalah memilih skenario yang paling mungkin terjadi. Selanjutnya rekomendasi dari implikasi hasil skenario ini disusun suatu
strategi pengelolaan. Hasil analisis berbagai faktor, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan tindakan untuk pengelolaan lingkungan perairan pesisir dan
ekosistem mangrove di masa yang akan datang. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi
di masa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai alternatif penyusunan skenario
pengelolaan fluks nitrogen anorganik terlarut dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir yang optimal, seperti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada pengelolaan fluks nitrogen dan ekosistem mangrove
Faktor Keadaan
1A 1B
1C Faktor 1
2A 2B
2C Faktor 2
3A 3B
3C Faktor 3
nA nB
nC Faktor n
Berdasarkan Tabel 11, maka dibangun skenario pengelolaan fluks nitrogen anorganik terlarut dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan
pesisir Kota Tanjungpinang. Selanjutnya disusun tiga skenario yang mungkin terjadi di masa depan seperti terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Skenario pengelolaan fluks nitrogen anorganik dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir Kota Tanjungpinang
No. Skenario
Urutan faktor
1. Konservatif-pesimistik
1A-2A-3A-4A 2.
Moderat-optimistik 1B-2B-3B-4B
3. Progresif-optimistik
1C-2C-3C-4C
4 KONDISI UMUM WILAYAH
4.1 Kondisi Geografis
Kawasan Pesisir Kota Tanjungpinang terletak di Pulau Bintan, berada pada posisi 0
50’ sampai dengan 0 59’ Lintang Utara dan 104
23’ sampai 104 34’
Bujur Timur. Kawasan ini memiliki luas sekitar 23.950 Ha, yang terdiri dari daratan, lautan dan beberapa pulau seperti Pulau Dompak, Pulau Penyengat, Pulau
Terkulai, Pulau Los, Pulau Basing, Pulau Sekatap dan Pulau Bayan. Dari total luas tersebut, daratan memiliki luas sekitar 13.154 Ha, dan sisanya 10.796 Ha
merupakan luas wilayah lautan. Batas-batas wilayah Pesisir Kota Tanjungpinang adalah sebagai berikut:
- Utara : Kabupaten Bintan dan Kota Batam
- Selatan : Kabupaten Bintan
- Barat : Kota Batam
- Timur : Kabupaten Bintan
Posisi Kota Tanjungpinang sangat strategis, disamping berdekatan dengan Kota Batam sebagai kota industri dan kawasan perdagangan bebas, dan Negara
Singapura sebagai pusat perdagangan dunia, juga terletak pada posisi silang perdagangan dan pelayaran dunia, antara timur dan barat, antara Samudera Hindia
dan Laut Cina Selatan, menjadi aset berharga yang turut berperan terhadap pertumbuhan perdagangan regional dan nasional.
Wilayah Kota Tanjungpinang mencapai 239,50 km
2
dengan keadaan
geologis sebagian berbukit
-
bukit dan lembah yang landai sampai
ke tepi laut. Luas wilayah Kota
Tanjungpinang mencapai 131,54 km
2
luas daratan dan 107,96 km
2
luas lautan.
Kota Tanjungpinang terdiri dari 4 empat kecamatan dan 18 delapan belas kelurahan, sebagai berikut :
Kecamatan Tanjungpinang Barat, terdiri dari 4 kelurahan, yaitu : Kelurahan Tanjungpinang Barat, Kamboja, Kampung Baru dan Bukit Cermin;
Kecamatan Tanjungpinang Kota, terdiri dari 4 kelurahan, yaitu : Kelurahan Tanjungpinang Kota, Penyengat, Kampung Bugis dan Senggarang;
Kecamatan Tanjungpinang Timur, terdiri dari 5 kelurahan, yaitu : Kelurahan Kampung Bulang, Melayu Kota Piring, Air Raja, Batu IX dan Pinang
Kencana; dan Kecamatan Bukit Bestari, terdiri dari 5 kelurahan yaitu : Kelurahan
Tanjungpinang Timur, Tanjung Unggat, Tanjung Ayun Sakti, Dompak dan Sei Jang. Lebih jelas wilayah administrasi Kota Tanjungpinang dapat dilihat
pada Tabel 13 dan Gambar 15. Tabel 13. Wilayah Administrasi Kota Tanjungpinang
No. Nama Kecamatan dan Kelurahan
Luas Wilayah km
2
1. Kecamatan Tanjungpinang Barat
34,50 Kelurahan Tanjungpinang Barat
11,00 Kelurahan Kemboja
7,00 Kelurahan Kampung Baru
6,50 Kelurahan Bukit Cermin
10,00 2.
Kecamatan Tanjungpinang Kota 52,50
Kelurahan Tanjungpinang Kota 1,50
Desa Penyengat 4,00
Desa Kampung Bugis 24,00
Desa Senggarang 23,00
3. Kecamatan Bukit Bestari
69,00 Kelurahan Tanjungpinang Timur
7,00 Kelurahan Tanjung Unggat
10,50 Kelurahan Tanjungayun Sakti
10,50 Kelurahan Dompak
30,50 Kelurahan Sei jang
10,50 4.
Kecamatan Tanjungpinang Timur 83,50
Kelurahan Kampung Bulang 11,50
Kelurahan Melayu Kota Piring 12,00
Kelurahan Air Raja 12,00
Kelurahan Pinang Kencana 15,00
Kelurahan Batu Sembilan 23,00
Total Luas Wilayah Kota Tanjungpinang 239,50
Dilihat dari segi topografi wilayah Kota Tanjungpinang terdiri dari pulau- pulau besar dan kecil yang pada umumnya merupakan daratan rendah dan
berbukit-bukit kecil dengan ketinggian mencapai 70 meter diatas permukaan laut. Wilayah dengan morfologi yang relatif datar dengan kemiringan tanah 0-5
meliputi daerah pusat kota yaitu Kelurahan Tanjungpinang Kota, Melayu Kota Piring, Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang Timur dan Kelurahan Dompak.
Sedangkan daerah dengan kemiringan lahan 5-40 berada di daerah Bukit Cermin, Kelurahan Kampung Baru, dan Kelurahan Batu Sembilan.
Gambar 15. Peta Wilayah Administrasi Kawasan Pesisir Kota Tanjungpinang
Gambar 16. Peta Penggunaan Lahan Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2009
Ketinggian wilayah pada pulau-pulau yang terdapat di Kota Tanjungpinang berkisar antara 0-50 meter di atas permukaan laut, dengan bentuk
lahan kota berbukit-bukit dengan kemiringan berkisar 0-40. Secara keseluruhan kemiringan lereng di Kota Tanjungpinang relatif datar, umumnya didominasi
kelerengan yang berkisar antara 0 - 2 dengan luas wilayah mencapai 75,30 Km
2
, dan kemiringan lereng 2-15 mempunyai luas sekitar 51,15 Km
2
. Sedangkan kemiriringan lereng 15- 40 memiliki luas wilayah paling sedikit
yaitu 5,09 Km
2
. Kondisi jenis dan tekstur tanah berpengaruh terhadap kondisi eksisiting
wilayah terkait dengan daya dukung lahan terhadap aglomerasi wilayah setempat, dan erat kaitannya dengan kepekaan terhadap erosi, maupun permeabilitas tanah
dalam penyerapan air hujan maupun dalam distribusi air tanah. Berdasarkan material penyusunnya, tanah di Tanjungpinang diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu pasir, lumpur, dan lempung. Secara garis besar jenis tanah yang mendominasi di Kota Tanjungpinang berjenis Podsolik Merah Kuning yaitu tanah
masam dengan tekstur pasir berlempung. Secara umum kondisi tekstur tanah di Kota Tanjungpinang dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
• Tekstur tanah halus. Menyebar hanya sedikit, yaitu di sebagian tanah
dengan kelerengan 0-2 pada daerah pantai memiliki luas 696 Ha atau 5,63 .
• Tekstur tanah sedang. Menyebar pada sebagian tanah di Kota
Tanjungpinang dengan kelerengan 0-2 , sebagian besar tanah dengan kelerengan 2-15 , seluruh tanah dengan kelerengan 15-25 , sebagian
kecil tanah dengan kelerengan 25-40 , memiliki luas 10.012 Ha atau 80,95
• Tekstur tanah kasar. Menyebar di sebagian kecil tanah dengan kelerengan
2 – 15 , sebagian besar tanah dengan kelerengan 25 – 40 dan sebagian tanah dengan kelerengan 40 , mempunyai luas 1.660 Ha atau 13,42 .
Dengan demikian kondisi tekstur tanah yang dominan di Kota Tanjungpinang sebagian besar berupa tekstur tanah sedang yang memiliki luas
10.012 Ha atau 80,95
4.2 Perubahan Tutupan Lahan Wilayah Tanjungpinang
Berdasarkan penafsiran citra landsat liputan tahun 1989 dan 2009, tutupan lahan di wilayah Kota Tanjungpinang yang signifikan mengalami penurunan luas
adalah tutupan lahan berhutan, yaitu hutan alam sekunder -5,1 dan hutan mangrove -2,0, serta kebun karet -11,2. Penurunan luas tutupan hutan
tersebut sebagian besar diikuti kenaikan luas tutupan lahan yang digunakan untuk lahan terbangun 7,1, pertambangan 5,6, kebun campuran 2,0, lahan
kering 1,3 dan perkebunan sawit 0,1. Tutupan lahan lain yang juga mengalami kenaikan luas adalah tanah terbuka 3,9 dan semak belukar 3,0.
Rekapitulasi luas dan kondisi perubahan tutupan lahan di wilayah Kota Tanjungpinang pada tahun 1989-2009 disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Rekapitulasi luas dan perubahan tutupan lahan Kota Tanjungpinang tahun 1989-2009
Tutupan Lahan 1989
2009 1989-2009
ha ha
ha
Hutan Sekunder Hutan Mangrove
Semak Belukar Kebun Karet
Perkebunan Sawit Kebun Campuran
Lahan Kering Tanah Terbuka
Pertambangan Lahan Terbangun
Bandara Badan Air
Tidak Ada Data 1.047,7
1.599,9 3.411,2
2.125,0
0,0 996,4
1.121,9 1.094,5
72,9 488,7
44,5 161,6
659,1 8,2
12,5 26,6
16,6 0,0
7,8 8,7
8,5 0,6
3,8 0,3
1,3 5,1
398,6 1.337,4
3.802,1 692,6
10,8 1.258,0
1.284,9 1.595,4
792,7 1.394,8
46,3 135,2
74,3 3,1
10,4 29,7
5,4 0,1
9,8 10,0
12,4 6,2
10,9 0,4
1,1 0,6
-649,1 -262,5
391,0 1.432,4
10,8 261,6
163,1 500,9
719,8 906,1
1,8 -26,4
-584,8 -5,1
-2,0 3,0
-11,2 0,1
2,0 1,3
3,9 5,6
7,1 0,0
-0,2 -4,6
Penafsiran Citra Landsat 5TM pathrow 125059 tahun 1989 dan 2009 - Perhitungan hanya di wilayah Kota Tanjungpinang daratan tidak termasuk pulau
Rekapitulasi luas dan perubahan tutupan lahan Kota Tanjungpinang tahun 1989-2009 memperlihatkan terjadi penurunan luas tutupan hutan sebesar 7,1
selama kurun waktu 20 tahun. Tutupan hutan yang masih tersisa hanya 13,5 dari luas wilayah kota, yaitu berupa hutan alam sekunder dan hutan mangrove yang
letaknya tersebar di sepanjang sungai dan pantai. Faktor yang paling berpengaruh terhadap laju penurunan luas tutupan hutan di wilayah Kota Tanjungpinang adalah
tingginya aktifitas manusia, terutama pembukaan lahan yang digunakan untuk pembangunan lahan terbangun dan pertambangan.
4.3 Iklim dan Cuaca
Secara umum, Kota Tanjungpinang memiliki iklim tropis basah dengan temperatur 18 º C - 30 º C, kelembaban udara 85 dan tekanan udara 1.010,2 mbs
– 1.013,7 mbs. Kondisi iklim di wilayah pesisir kota Tanjungpinang sama halnya dengan daerah lain yang terletak di lintang khatulistiwa yang beriklim tropis dan
memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di kota Tanjungpinang berlangsung pada bulan September – Juni, sedangkan musim
kemarau berlangsung pada bulan Juli – Agustus dengan curah hujan rata-rata 271,5 mmbulan.
Perubahan angin di wilayah ini dapat dilihat dari musim angin. Musim angin utara berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Februari.
Angin musim timur berlangsung bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Musim angin selatan berlangsung dari bulan September sampai November. Pergantian
musim yang terjadi setiap waktu ini menyebabkan arah angin tidak menentu atau disebut musim pancaroba. Pada saat bulan angin bertiupnya angin utara dan angin
barat, hujan sering terjadi yang diiringi dengan tiupan angin kencang dan cuaca tidak menentu, sedangkan pada musim angin timur dan angin selatan, angin
bertiup sepoi-sepoi dan agak kencang. Suhu udara maksimum di Kawasan Pesisir Kota Tanjungpinang terjadi
pada bulan Mei yaitu sebesar 33,6
O
C, sedangkan suhu minimum pada bulan November yaitu 21,0
O
C dengan suhu rata-rata sebesar 26,8
O
C. Tekanan Udara di kawasan ini adalah sebesar 1010,4 Mbs maksimum terjadi pada bulan
September dan minimum 1005,0 Mbs pada bulan Oktober. Sementara Kelembaban Udara berkisar antara 81 sampai 89 dan Kecepatan Angin
mencapai 6 sd 8 knot. Secara lebih rinci suhu udara di Kota Tanjungpinang disajikan pada Tabel 15.