139
fisiologi organisme. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan
penurunan kelarutan gas dalam air dan menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Selain itu, peningkatan suhu juga
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme
perairan, dan akhirnya mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut Kennish 1990. Kondisi suhu di perairan sungai dan pesisir yang terdapat di
Tanjungpinang di sajikan pada Gambar 34.
Gambar 34. Nilai rata-rata suhu di perairan sungai dan pesisir Tanjungpinang
1 = Sungai Ular ; 2 = Sungai Ladi ; 3 = Sungai Carang ; 4 = Sungi Tanjung Unggat ; 5 = Sungai Jang ; 6 = Sungai Dompak.
Bars = Standar deviasi kalkulasi dari 18 data perairan sungai ; 18 data perairan pesisir
Gambar 34 memperlihatkan hasil pengukuran suhu di perairan pesisir dan sungai di wilayah Tanjungpinang memiliki nilai kisaran suhu yang tidak terlalu
signifikan. Kisaran suhu di perairan pesisir yaitu antara 29,0 - 31,0
o
C, demikian pula di perairan sungai yang terdapat di Tanjungpinang berada pada kisaran suhu
yang tidak jauh berbeda 29,8 – 31,4
o
C. Suhu air dipengaruhi oleh musim, letak lintang latitude, ketinggian tempat
dari permukaan laut altitude, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh pada proses fisika,
29,4 29,7
30,0 30,3
30,6 30,9
31,2 31,5
1 2
3 4
5 6
7
Stasiun pengamatan S
u h
u p
e ra
ir a
n o
C
Sungai Pesisir
140
kimia dan biologi. Suhu air mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam penguraian bahan-bahan organik, dimana semakin tinggi suhu maka aktivitas
mikroorganisme semakin meningkat yang menyebabkan pengambilan atau pemanfaatan oksigen terlarut dalam air semakin meningkat.
5.3.2 Derajat Keasaman pH
Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. pH suatu perairan dapat
digunakan sebagai indikasi suatu pencemaran khususnya pencemaran bahan organik. Pemecahan bahan organik oleh mikroorganisme akan menghasilkan
karbon dioksida. Peningkatan karbon dioksida akan mengakibatkan penurunan nilai pH jika sistem buffer karbonat di perairan rendah. Perairan yang mempunyai
pH rendah akan dapat meningkatkan toksisitas beberapa persenyawaan gas-gas tertentu dalam air terutama adalah gas amonia. Perubahan nilai pH suatu perairan
dipengaruhi oleh keberadaan sistem buffer karbonat. Makin tinggi kandungan ion karbonat CO
2 -
dan ion bikarbonat HCO
3
maka sistem buffer semakin kuat untuk mempertahankan nilai pH di perairan.
Perubahan pH, berakibat pada toksisitas dari bahan-bahan yang bersifat racun yang berdampak pada proses biokimia perairan dan perubahan komunitas
biologi perairan. Dalam perairan nilai pH relatif stabil, karena adanya penyangga cukup kuat dari hasil keseimbangan karbon dioksida, asam karbonat, karbonat dan
bikarbonat yang disebut buffer Black, 1986 ; Shephered and Bromage, 1998. Nilai pH air laut umumnya berada dalam kisaran pH netral yaitu berkisar antara
6,77 sampai 8,15. Air laut memiliki sistem buffer karbonat dan bikarbonat yang tinggi sehingga dapat menyangga terjadinya perubahan pH akibat adanya
perubahan kandungan karbondioksida. Kadi dan Atmaja 1988 pH yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum biota laut pada kisaran 7,3-8,2.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH di wilayah perairan pesisir Tanjungpinang menunjukkan nilai pH berkisar antara 7,32 – 7,36, sementara pH
di perairan sungai berkisar antara 7,10 - 7,19. Diketahui bahwa pH tertinggi untuk perairan pesisir ditemukan pada stasiun 2 yaitu kawasan perairan pesisir Sungai
141
Ular, sementara nilai pH terendah ditemukan di stasiun 10 yakni kawasan perairan pesisir Sungai Jang. Sedangkan nilai pH tertinggi untuk perairan sungai terdapat
pada stasiun 4 perairan Sungai Tanjung Unggat dan terendah ditemukan pada stasiun 3 di perairan Sungai Carang Gambar 35.
Gambar 35. Nilai rata-rata pH di perairan sungai dan pesisir Tanjungpinang
1 = Sungai Ular ; 2 = Sungai Ladi ; 3 = Sungai Carang ; 4 = Sungi Tanjung Unggat ; 5 = Sungai Jang ; 6 = Sungai Dompak.
Bars = Standar deviasi kalkulasi dari 18 data perairan sungai ; 18 data perairan pesisir
Parameter derajat keasaman pH berpengaruh terhadap pembentukan reaksi senyawa amonia di perairan dan terhadap kehidupan organisme, sehingga
pH dapat digunakan untuk menyatakan baik atau buruknya suatu perairan. Menurut nilai baku mutu KEPMEN-LH No. 51 tahun 2004, pH normal yang
sesuai untuk kehidupan biota laut berkisar antara 7 – 8,5 sementara pada pengukuran di lokasi penelitian berkisar antara 7,32 – 7,36 pada perairan pesisir
dan 7,10 - 8,19 pada perairan sungai. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pesisir dan sungai di Tanjungpinang masih tergolong bagus karena masih
berada pada kisaran normal untuk perairan laut dan estuari. Bengen et.al 1994 menyatakan pH pada perairan laut selalu dalam keadaan keseimbangan, karena
ekosistem laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan
7,00 7,05
7,10 7,15
7,20 7,25
7,30 7,35
7,40 7,45
1 2
3 4
5 6
Stasiun pengamatan p
H p
e ra
ir a
n
Sungai Pesisir
142
kisaran nilai pH. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Abel 1989 air laut memiliki pH yang relatif stabil karena air laut memiliki buffer yang kuat.
Keberadaan ammonia di laut secara tidak langsung dapat dipengaruhi oleh perubahan nilai pH Effendi 2003. Fluktuasi pH dalam sistem air berhubungan
dengan aktivitas fitoplankton serta tanaman air lainnya dalam menggunakan CO
2
selama proses fotosintesis. Secara alami pH dipengaruhi oleh konsentrasi CO
2
dan senyawa bersifat asam, dimana pH biasanya meningkat pada siang hari seiring
dengan menurunnya konsentrasi CO
2.
5.3.3 Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi
oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi Effendi 2003. Salinitas air laut bebas bersifat ultra-
haline yaitu memiliki kisaran salinitas antara 30 - 36 ‰ Brotowidjoyo et al
1995. Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai
perubahan salinitas kecil Hutabarat dan Evans 1995. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas di wilayah perairan sungai dan
pesisir Tanjungpinang menunjukkan kadar salinitas yang bervariasi. Salinitas di
perairan pesisir Tanjungpinnag berkisar antara 29,67 – 30,33‰, sementara kadar
salinitas yang terdapat di perairan muara sungai estuari memiliki nilai yang
relatif lebih rendah yaitu berkisar antara 17,67 – 20,67 ‰. Sementara kadar salinitas untuk pertumbuhan optimal biota laut adalah berkisar antara 30-33 ‰
Effendi, 2003. Penjelasan lebih rinci tentang kadar salinitas yang terdapat di perairan pesisir dan sungai Tanjungpinang di sajikan pada Gambar 36.
143
Gambar 36. Nilai rata-rata salinitas di perairan sungai dan pesisir Tanjungpinang
1 = Sungai Ular ; 2 = Sungai Ladi ; 3 = Sungai Carang ; 4 = Sungi Tanjung Unggat ; 5 = Sungai Jang ; 6 = Sungai Dompak.
Bars = Standar deviasi kalkulasi dari 18 data perairan sungai ; 18 data perairan pesisir
Secara spasial, gradien salinitas dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal, sedangkan secara temporal bergantung pada musim dan siklus pasang
surut air laut Higgins Thiel 1988; Giere 1993.
Menurut Wetzel 1975, salinitas akan meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Diduga salinitas yang
rendah disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, sedangkan salinitas yang tinggi disebabkan terjadinya proses penguapan yang tinggi dan sedikit pasokan air tawar
ke dalam perairan tersebut. Sebaran sanilitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola
sirkulasi, penguapan, curah hujan, aliran air sungai, lamanya pasang surut yang akan membawa masuk air laut ke daerah muara dan pasokan air tawar yang
berasal dari sungai Efendi 2003. Perairan muara pada umumnya dipengaruhi oleh pasang surut dimana pada saat pasang akan meningkatkan salinitas karena
masukan air laut kedalam muara, sedangkan pada saat surut karena pengaruh air tawar lebih besar maka nilai salinitas menjadi lebih rendah.
Parameter salinitas memiliki pengaruh langsung terhadap reaksi pembentukan amonia di dalam perairan. Salinitas dapat mempengaruhi kelarutan
oksigen perairan, kadar nitrogen dan fosfat serta proses osmoregulasi organisme
5 10
15 20
25 30
35
1 2
3 4
5 6
Stasiun pengamatan S
a li
n it
a s
Sungai Pesisir
144
perairan. Nilai salinitas di lokasi untuk perairan pesisir berkisar antara 29 sampai
31 ‰, nilai ini tidak memperlihatkan variasi yang besar karena kadar tersebut
merupakan kadar alami pada perairan laut. Hal ini berhubungan dengan sifat dari suatu pesisir yang dinamis karena dipengaruhi oleh adanya pasang surut. Bila
dibandingkan dengan nilai baku mutu maka kadar salinitasnya masih berada pada kisaran yang alami. Nybakken 1992 menyatakan bahwa daerah pesisir litoral
merupakan perairan yang dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu tinggi. Organisme yang hidup diperairan pesisir cenderung mempunyai
toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰.
5.3.4 Oksigen Terlarut Dissolved Oxygen
Tingkat kelarutan oksigen yang ada di dalam lingkungan perairan merupakan faktor yang sangat penting dalam kualitas air. Oksigen terlarut dalam
air bersumber dari difusi oksigen atmosfir dan hasil fotosintesis tumbuhan dalam air. Sedangkan pengurangan oksigen terlarut disebabkan karena digunakan untuk
respirasi hewan dan tumbuhan, digunakan untuk perombakan bahan-bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme, digunakan untuk reaksi kimia
anorganik, serta hilang atau terlepaskan ke atmosfir. Oksigen yang terlarut dalam air laut terdiri dari 2 bentuk senyawa, yaitu yang terikat dengan unsur lain NO
3
-, NO
2
-, PO
4 3+
, H
2
O, CO
2
, CO
3 2-
, dll dan sebagai molekul bebas O
2
. Molekul oksigen O
2
yang terdapat dalam air laut terlarut secara fisika, sehingga kelarutannya sangat dipengaruhi oleh suhu air.
Konsentrasi oksigen terlarut merupakan prameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor
pembatas bagi lingkungan perairan dan dapat dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik Effendi 2003. Kandungan DO di perairan sangat
mempengaruhi proses nitrifikasi pembentukan nitrat, sehinga apabila DO tinggi maka nitrat yang dihasilkan juga akan tinggi Effendi 2003. Kondisi oksigen
terlarut di perairan estuari dan pesisir Tanjungpinang disajikan pada Gambar 37.