Pasokan Coking Coal Pendorong Pasokan Coking Coal

148 Permintaan Coking Coal Indonesia Permintaan atas coking coal di Indonesia masih dibatasi oleh ukuran dari industri baja. Dalam satu dekade terakhir, produksi baja di Indonesia adalah 0,2-0,3 dari total produksi baja secara global. Pada tahun 2009, jumlah baja yang diproduksi mencapai sekitar 4 mt sedangkan jumlah produksi global mencapai 1.219 mt. Permintaan coking coal di Indonesia masih relatif rendah. Penggunaan batubara oleh industri metalurgi Indonesia diperkirakan masih berada dibawah 5 dari jumlah konsumsi batubara domestik. International Energy Agency memperkirakan konsumsi coking coal di Indonesia mencapai sekitar 1,7 mt pada tahun 2008. Permintaan atas coking coal di Indonesia diperkirakan akan tumbuh secara berkesinambungan bersamaan dengan pertumbuhan industri batubara domestik. Produksi baja di Indonesia diperkirakan akan meningkat dengan CAGR lebih dari 4 untuk 2 tahun mendatang. Saat ini terdapat rencana untuk meningkatkan produksi baja domestik dan mengurangi ketergantungan industri hilir baja atas bahan baku impor. PT Krakatau Steel PTKS, produsen baja milik Pemerintah telah mengumumkan pembukaan tender atas persediaan 1,3 mtpa blast furnace yang akan dilaksanakan pada akhir 2012. PTKS saat ini memproduksi 1,6 mtpa slab dan berencana untuk memproduksi 2,4 mtpa slab setelah blast furnance baru tersebut telah beroperasi. Dana yang diperlukan untuk membangun blast furnance dan infrastruktur terkait diperkirakan mencapai USD450 juta. PTKS juga berencana untuk meningkatkan kapasitas hot strip mill dari 2 mtpa menjadi 2,5 mtpa. Peningkatan tersebut dijadwalkan akan selesai pada akhir tahun 2010 yang dilanjutkan dengan rencana peningkatan produksi menjadi 3,5 mtpa pada tahun 2013. PTKS juga dalam tahap diskusi perjanjian joint venture dengan produsen baja dari Korea Selatan, yaitu POSCO, untuk membangun 6 mtpa integrated steel mill di lokasi plant saat ini di Cilegon, Jawa Barat. Pabrik baja tersebut diperkirakan akan memulai produksi pada akhir tahun 2013 atau awal tahun 2014. Pertumbuhan konsumsi coking coal di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh kompetisi permintaan kebutuhan listrik domestik. Dengan estimasi 54 populasi memiliki akses terhadap listrik, konsumsi listrik diperkirakan akan meningkat secara signiikan. Berhadapan dengan potensi harga minyak yang terus meningkat, produksi minyak domestik yang menurun dan krisis energi yang muncul, Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan untuk meningkatkan porsi penggunaan batubara terhadap jumlah konsumsi energi dari 11 menjadi 33 pada tahun 2025. Pemerintah Indonesia juga menargetkan kapasitas marjin cadangan sekurang-kurangnya sebesar 30 pada saat ini diperkirakan sebesar 15. Implikasi dari kebutuhan listrik dalam negeri dapat membatasi jumlah aspal batubara yang dapat dicuci dan diolah lebih lanjut untuk digunakan sebagai coking coal kelas rendah seperti semi-soft coking dan PCI batubara, dan pada gilirannya, berpotensi meningkatkan kebutuhan impor coking coal.

d. Pasokan Coking Coal Pendorong Pasokan Coking Coal

Dengan pasokan coking coal global yang diperkirakan akan mengalami kekurangan, para pemasok akan mencoba untuk mempercepat rencana ekspansinya melalui proyek-proyek brownield dan greenield di Australia, Kanada, Amerika Serikat, Indonesia, Rusia, Mongolia dan Mozambique. Harga batubara yang tinggi telah memberikan insentif untuk pengoperasian kembali pertambangan yang menganggur atau yang telah ditutup dalam jangka waktu tiga tahun kedepan, termasuk Cline Mining’s New Elk Colorado, Amerika Serikat,, Western Coal’s Willow Creek British Columbia, Kanada dan Teck Resources’s Quintette British Columbia, Kanada. Selain itu, pada bulan April 2010, BHP Billiton telah mengumumkan rencana pengembangan proyek coking coal Maruwai di Indonesia, sekitar 10 bulan setelah mengumumkan untuk tidak melanjutkan rencananya tersebut. BHP Billiton akan mendirikan suatu anak perusahaan joint venture bersama dengan PT Adaro Energy untuk membangun Maruwai. 149 Walaupun pasokan coking coal masih melimpah, pertumbuhan ekspor coking coal akan dipengaruhi oleh 2 dua faktor utama sebagai berikut: • Ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi kereta untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi, walaupun dalam jangka menengah kedepan terdapat beberapa pembangunan infrastruktur. Kurangnya pasokan menunjukkan pentingnya percepatan pengembangan sarana transportasi kereta dan pelabuhan untuk menanggulangi permasalahan bottleneck transportasi, seperti yang terjadi di kawasan pantai timur Australia. • Ketersediaan dana. Pasca terjadinya krisis keuangan global, daya tarik investasi yang memiliki cost of capital yang tinggi telah berkurang secara signiikan. Terbatasnya dana ekuitas dan hutang memiliki dampak langsung kepada beberapa produsen untuk menunda atau membatalkan sejumlah proyek baru dan lama dalam waktu 24 bulan terakhir. Pasokan Coking Coal Dunia Dalam jangka pendek kedepan diperkirakan akan terdapat sejumlah proyek greenield yang akan dimulai kembali dan pengoperasian kapasitas-kapasitas yang masih idle. Pasca penurunan pasokan coking coal dunia pada tahun 2009, pasokan diperkirakan akan meningkat sekitar 10-11 pada tahun 2010. Meskipun pasokan akan mengalami rebound yang kuat dalam jangka pendek, pertumbuhan pasokan diperkirakan tetap tidak dapat memenuhi permintaan coking coal. Produsen batubara dari Asia dan Oceania diharapkan untuk menyumbang pertumbuhan pasokan pada 2010 secara signiikan, dengan jumlah pasokan mencapai 65 dari total pasokan coking coal dunia. Australia sebagai pemasok coking coal terbesar diperkirakan akan meningkatkan produksi lebih dari 11 pada tahun 2010 untuk dapat memenuhi pertumbuhan permintaan dari Cina. Mongolia diperkirakan menjadi salah satu negara produsen coking coal terkemuka dengan pertumbuhan yang tinggi, pada tahun 2009 mencatat jumlah ekspor coking coal yang mencapai 4,3 MT, yang mana sejumlah 4 mt diekspor ke Cina. Sejumlah 86 dari 7 mt jumlah ekspor batubara Mongolia pada tahun 2009 diserap oleh Cina. Dalam satu dekade kedepan, pasokan untuk perdagangan coking coal dunia diperkirakan akan tumbuh dengan CAGR sebesar 4-5. Berikut adalah diagram ekspor coking coal yang diperdagangkan secara global tahun 2000 – 2012: Fakta pasokan coking coal dunia adalah sebagai berikut: • Dengan pertumbuhan pasokan yang relatif baik, diperkirakan bahwa Australia tetap akan menjadi eksportir coking coal terbesar di dunia, dengan pangsa pasar diatas 55. Hal tersebut disebabkan karena struktur biaya operasi yang lebih menguntungkan apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Kanada, mengingat kedekatan jarak antara Australia dengan produsen-produsen baja di Asia dan kemampuan Australia untuk mengekspor coking coal berkualitas tinggi dengan kuantitas 50 100 150 200 250 300 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Mt Australia Canada USA Russia China Indonesia Mozambique Mongolia Other Source: AME, IEA 150 yang besar. Walaupun Australia memiliki potensi persediaan coking coal yang melimpah, pertumbuhan ekspor coking coal dibatasi oleh keterbatasan pada pelabuhan dan sarana transportasi kereta api, ketersediaan pendanaan, dan ketidakpastian yang disebabkan oleh berbagai skema yang diciptakan oleh Pemerintah seperti Mineral Resource Rent Tax. • Ketersediaan sarana transportasi kereta dan pelabuhan merupakan faktor utama dalam melakukan pengembangan proyek greenield dan brownield. Sejumlah pengembangan pelabuhan dan sarana transportasi kereta kini tengah dibangun, termasuk ekspansi Port of Newcastle dan Abbot Point Coal Terminal, dan pembangunan rel kereta dari Goonyella ke Abbot Point. Pembangunan pelabuhan dan rel kereta tambahan dapat membantu menghilangkan bottleneck yang ada saat ini di wilayah pantai timur Australia dan memberikan potensi untuk meningkatkan persediaan coking coal Australia. • Mozambique dan Mongolia diperkirakan akan menjadi salah satu produsen coking coal yang baru. Namun demikian, negara-negara tersebut juga dihadapi permasalahan terkait ketersediaan infrastruktur dan risiko politik sovereign risk. Dalam kasus Mongolia, sebagian besar bahkan seluruh pasokannya akan diserap oleh Cina. • Selama delapan bulan pada tahun 2010, Mongolia telah mengekspor sekitar 8,5 mt coking coal ke Cina atau meningkat pesat sekitar 290 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2009. Pertumbuhan yang tinggi tersebut diperkirakan akan tetap berlangsung untuk jangka pendek dan menengah kedepan dengan meningkatnya investasi asing dan domestik di industri batubara Mongolia. Investasi tersebut bertujuan untuk mengembangkan tambang baru dan lama guna memenuhi permintaan yang tinggi dari Cina. Dalam jangka panjang, produksi coking coal dari Mongolia diperkirakan dapat menggantikan pasokan dari negara-negara produsen lainnya seperti Amerika Serikat dan Kanada dengan harga yang semakin kompetitif. Volume impor coking coal bulanan dari Mongolia ke Cina melampaui impor coking coal Australia ke Cina sejak bulan Juni 2010. Namun demikian, kekhawatiran akan intervensi Pemerintah dan keterbatasan kapasitas infrastruktur di Mongolia dapat membatasi pertumbuhan pasokan dalam jangka pendek. • Wilayah Moatize di Mozambique merupakan wilayah penambangan batubara besar dengan cadangan coking coal yang berjumlah besar. Sejumlah dua proyek tercanggih di wilayah tersebut, yaitu proyek Benga Riversdale Mining Limited dan Tata Steel dan Moatize Vale mendominasi dengan sumber daya batubara 4,5 bt miliar mt. Wilayah Moatize sendiri memiliki potensi untuk memproduksi coking coal sekitar 28 mtpa. Mengingat tidak terdapat produsen baja di Mozambique, seluruh produksi coking coal akan diekspor. Diperkirakan Mozambique memiliki keuntungan struktur biaya yang rendah dengan mengasumsikan biaya tenaga kerja dan pengangkutan akan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Australia dan Kanada. • Amerika Serikat diperkirakan akan mengurangi ekspor coking coal-nya seiring munculnya Mozambique dan Mongolia sebagai low cost producer. Namun demikian, dengan kurangnya pasokan coking coal dunia, eksportir dari Amerika Serikat akan tetap memegang peranan yang penting. • Pangsa pasar Kanada diperkirakan akan stagnan mengingat tingginya transaksi dengan negara- negara di Eropa, dimana pertumbuhan produksi baja akan melambat dan tidak setinggi di Asia. Namun, seperti halnya pemasok lainnya, produsen dari Kanada diuntungkan dengan peningkatan permintaan dari Cina dan diperkirakan akan terus berlanjut. Walaupun berhadapan dengan biaya produksi yang tinggi, ekspor dari Kanada dianggap tetap memiliki nilai ekonomis pada saat kondisi pasar sedang bullish atau saat biaya transportasi sedang rendah. • Rusia, selain memiliki peranan penting bagi industri baja di wilayah Eropa dan CIS Commonwealth of Independent States – organisasi negara bekas Soviet, diharapkan akan melanjutkan penetrasinya ke pasar Asia. Pada bulan Februari 2009, produsen–coking coal Rusia dan produsen baja Jepang telah sepakat untuk melakukan kontrak tahunan coking coal untuk pertama kalinya. Selain itu, dengan pengembangan Project Elga Coal, infrastruktur rel yang lebih banyak dan konstruksi Vanino Port akan memungkinkan operasi coking coal Rusia untuk menjangkau Cina dan negara-negara Asia lainnya. Namun Rusia tidak diprediksikan menjadi pemasok batubara yang signiikan dalam waktu dekat mengingat adanya tindakan keras Pemerintah terhadap keamanan penambangan baru-baru ini dan hambatan infrastruktur dengan lokasi tambang di timur Rusia yang terpencil. Pasokan coking coal Indonesia Sejak tahun 2005, Indonesia merupakan negara eksportir thermal coal terdepan dengan pangsa pasar sebesar 29 dari total ekspor thermal coal secara global. Sebaliknya, kuantitas ekspor coking coal Indonesia masih tergolong rendah. Saat ini, sebagian besar coking coal yang diproduksi di Indonesia adalah lower ranked coking coals seperti semi-soft coking dan PCI coals. 151 Untuk periode 2000 sampai dengan 2009, ekspor coking coal dari Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan dengan CAGR lebih dari 2. Pada tahun 2009, ekspor coking coal dari Indonesia mencapai 6 mt atau 3 dari total ekspor batubara Indonesia. Sebagian besar pelanggan ekspor coking coal dari Indonesia adalah Jepang. Namun, sejak tahun 2007, Cina menjadi salah satu tujuan utama ekspor coking coal dengan peningkatan sebesar 330 menjadi 1,8 MT, sementara ekspor ke Jepang menurun sebesar 9. Tujuan ekspor utama lainnya adalah India, Eropa, Korea Selatan dan Brazil. Ekspor batubara Indonesia ke Cina telah meningkat secara signiikan. Jumlah ekspor batubara Indonesia meningkat dari 11,2 mt pada tahun 2008 menjadi sekitar 30,3 mt pada tahun 2009. Sedangkan ekspor coking coal Indonesia juga meningkat dari sekitar 0,8 mt pada tahun 2008 menjadi 1,8 mt pada tahun 2009. Pada tahun 2010, terjadi peningkatan yang besar atas ekspor batubara Indonesia ke Cina. Pada semester I tahun 2010, jumlah batubara yang diekspor ke Cina mencapai sekitar 30,3 mt melebihi volume ekspor pada tahun 2009. Ekspor coking coal ke Cina sampai dengan bulan Juni 2010 adalah sekitar 1,1 mt atau meningkat sebesar 43 apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ekspansi pertambangan batubara di Indonesia didorong oleh ketersediaan cadangan batubara yang besar di wilayah Kalimantan. Wilayah Kalimantan Tengah diestimasi memiliki cadangan coking coal sebesar 1,4 BT miliar mt. Selain itu, sejumlah tambang juga dapat mengangkut batubara melalui jalur sungai sehingga dapat menghindari keterbatasan infrastruktur rel kereta yang dialami di negara eksportir lainnya. Namun demikian, daya angkut kapal juga dibatasi oleh kondisi cuaca dan level sungai yang bervariasi, sehingga pengangkutan melalui sungai memiliki hambatan yang lebih besar pada saat musim kemarau, yaitu antara bulan Mei dan September. Beberapa proyek coking coal yang tengah berada dalam tahapan pembangunan adalah sebagai berikut: • Tuhup: Tambang Tuhup saat ini adalah satu-satunya produsen hard coking coal di Indonesia. Proyek tersebut berlokasi di Kalimantan Tengah dan memiliki 2P proven and probable JORC Joint Ore Reserves Committee cadangan sebesar 69,2 mt dan sumber daya 378,8 mt pada bulan Juni 2010. Tuhup mulai beroperasi sejak tahun 2008 dan saat ini tengah dilakukan peningkatan kapasitas produksi dengan target 3,6 mtpa pada akhir 2011 atau pertengahan 2012. Indikasi kualitas coking coal adalah medium volatile hard coking coal dengan CSN sebesar 9. Batubara yang diproduksi saat ini diekspor ke wilayah Asia Utara, India dan Turki. • Maruwai: Proyek Maruwai merupakan proyek pembangunan coking coal berskala besar di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, dimana diperkirakan terdapat 774 mt metallurgical dan thermal coal yang belum dikembangkan. BHP Billiton telah melakukan perjanjian joint venture dengan anak perusahaan PT Adaro Energy Tbk. “Adaro” untuk mengembangkan proyek tersebut. Sebelumnya, sempat terdapat ketidakpastian atas kelanjutan proyek Maruwai setelah BHP Billiton mengundurkan diri dari proyek percobaan Haju di Kalimantan Tengah. Namun, setelah kerjasama dengan Adaro dilakukan, rencana pembangunan proyek Haju akan dilanjutkan kembali, dengan rencana untuk produksi di tahun 2014. Proyek Maruwai diperkirakan akan melibatkan cadangan di Lampunut yang dideskripsikan high volatile hard coking coal dengan spesiikasi indikasi 0,4S, ~30 VM, FSI 8-9, Ro Max 1,15, high luidity, high CSR. Kombinasi produksi dari Haju dan Lampunut diperkirakan mencapai sekitar 3-5 mtpa coking coal. • Marunda graha Minerals “MgM”: Didukung oleh PT Marunda Graha Minerals dan 23,5nya dimiliki oleh ITOCHU Australia Ltd “ITOCHU”,, tambang MGM merupakan tambang batubara open- pit di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, yang menghasilkan batubara dengan high quality semi-soft dan thermal coals. Pada tahun 2009, kapasitas produksi batubara berada pada level 2 mtpa, dimana sekitar 80-nya ~1,6 mt merupakan produksi semi-soft coking coal. Batubara yang diproduksi pada tambang tersebut akan diekspor ke Jepang, India dan wilayah Asia Utara-Timur. Batubara yang akan diekspor diangkut sejauh 780 km melalui sungai Barito ke PT Indonesia Bulk Terminal. • suprabari Mapanindo Minerals “sMM”: Proyek SMM dimana 23,5nya dimilliki oleh ITOCHU, berencana untuk mengembangkan konsesi seluas 100 km di selatan Proyek MGM. Proyek SMM diperkirakan akan mampu memproduksi 2.0–2.5 mtpa batubara jenis semi-soft coking dan thermal coal. 152 • Mamahak: Kangaroo Resources Limited baru-baru ini mengakuisisi proyek coking coal Mamahak di Kalimantan Timur. Mamahak memiliki sumber daya semi-soft coking coal sebesar 10,2 mt JORC berkualitas tinggi dan infrastruktur yang baik dan mampu mendukung produksi batubara sebesar 1,5 mtpa. Kualitas batubaranya diindikasikan memiliki kalori tinggi, kandungan debu rendah, kelembaban rendah dan kandungan belerang medium ke tinggi dengan kisaran nilai kalori 7.526-7.570 kcalkg air-dried basis dengan nilai kadar air tinggi. Meskipun Indonesia berencana untuk meningkatkan produksi coking coal, pertumbuhan persediaancoking coal dapat terhambat mengingat kebutuhan proyek rel kereta yang besar, tidak tersedianya pendanaan dan ketidakpastian kebijakan Pemerintah. Berikut adalah fakta coking coal di Indonesia: • Sumber daya yang berdekatan dengan pelabuhan dan relatif mudah untuk ditambang tergolong sangat jarang di Indonesia, sehingga biaya terkait infrastruktur perlu menjadi perhatian serius, khususnya bagi pembangunan proyek baru. • Industri batubara di Indonesia dapat terganggu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pertambangan baru pada Januari 2009 terkait pemisahan izin eksplorasi dan penambangan untuk proyek-proyek baru, yang saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah lokal. Oleh karena itu, apabila suatu perusahaan telah menyelesaikan kegiatan eksplorasi, maka perusahaan tersebut harus melakukan negosiasi memperoleh izin penambangan mungkin diberikan untuk jangka waktu yang pendek. Walaupun Pemerintah Pusat memiliki kuasa untuk mengeluarkan izin penambangan jangka panjang, namun masih terdapat ketidakjelasan dalam penerapannya. Adanya kemungkinan untuk kehilangan izin penambangan atas eksplorasi yang telah dilakukan dapat mengendurkan niat perusahaan untuk melakukan investasi, khususnya untuk proyek-proyek besar berjangka panjang. • Pertentangan atas penggunaan lahan sejumlah mining leases, pengenaan pajak yang lebih dari satu kali oleh beberapa tingkat Pemerintahan dan bervariasinya regulasi Pemerintah lokal terkait aktivitas penambangan dapat memberikan dampak negatif terhadap ekspansi pasokan coking coal Indonesia. • Hal lain yang mungkin menjadi permasalahan masa mendatang adalah terkait pajak ekspor atas thermal coal. Sejak penghapusan bea ekspor batubara 5 di tahun 2006, Indonesia tidak berencana untuk mengenakan pajak ekspor atas batubara yang dapat menghambat investasi. Produsen batubara wajib membayar royalti 13,5 kepada Pemerintah, walaupun Indonesia Pengenaan pajak baru atas ekspor batubara akan memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi di industri batubara dan secara tidak langsung terhadap ekspansi coking coal.

6. Harga Batubara