Perbandingan Biaya Perbandingan Batubara

157 Kelembaban inherent moisture • Tuhup hard coking coal memiliki tingkat kelembaban sebesar 1,8 adb, atau lebih tinggi dari tingkat kelembaban rata-rata hard coking coal secara global. Hard coking coal yang diproduksi di Australia dan Kanada memiliki tingkat kelembaban yang berada pada kisaran 1,0-1,5 adb. Hard coking coal yang diproduksi di tambang Neryungri di Rusia dilaporkan memiliki tingkat kelembaban sebesar 0,7 adb. Sedangkan di Amerika Serikat, hard coking coal memiliki tingkat kelembaban yang relatif lebih tinggi yaitu antara 1,5-2,0 adb. Caking properties • Caking properties menggambarkan kemampuan suatu batubara untuk melunak, mengembang dan menyatu ketika dipanaskan, dan untuk mengikat hard porous mass seperti kokas pada waktu pendinginan. Ukuran yang sering digunakan untuk mengukur caking properties adalah Crucible Swelling Number CSN. CSN merupakan tingkat free swelling dari satu gram sampel batubara yang telah dihancurkan, yang dipanaskan 800∞C dalam specialised silica crucible. Nilai indeks yang lebih tinggi antara 1 – 9 menunjukkan caking and swelling properties yang superior yang diperlukan bagi pembuatan kokas. • Tuhup hard coking coal memiliki tingkat CSN sebesar 9 yang menunjukkan caking properties yang kuat, sesuai dengan standar ukuran bagi premium hard coknig coal. Tuhup hard coking coal memiliki CSN yang lebih tinggi dibandingkan dengan hard coking coal yang diproduksi di Australia, Kanada dan Amerika Serikat yang memiliki tingkat CSN antara 6,5 – 8. Plasticity Fusibility and Dilatation • Dalam pembuatan kokas, material dari coking coal diharapkan untuk meleleh ketika dipanaskan dengan suhu antara 350 - 550∞C. Dalam proses tersebut, viskositas dari hard coking coal merupakan hal yang sangat penting dalam pembuatan kokas. • Gieseler maximum luidity merupakan ukuran dari plasticityluidity dari batubara dalam proses karbonisasi, dimana batubara berubah bentuk dari solid menjadi luid, dan kemudian menjadi kokas ketika didinginkan. Fluiditas yang tinggi sangat menguntungkan dalam pembuatan kokas. Batubara dengan luiditas maksumum dan kisaran plastis yang besar memiliki keuntungan dalam proses pembuatan kokas, khususnya dalam proses pencampuran. • Coking coal memiliki tingkat luiditas yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan tingkat luiditas sebesar 450 ddpm, Tuhup hard coking coal menunjukkan luiditas maksimum yang sedang. Fluiditas dari hard coking coal yang diproduksi di Hail Creek, Curragh dan Fording River memiliki tingkat luiditas yang relatif lebih rendah.

b. Perbandingan Biaya

Biaya operasional dalam memproduksi Tuhup hard coking coal telah dibandingkan dengan pertambangan hard coking coal lainnya seperti dalam gambar ”kurva biaya”. Kurva biaya merupakan suatu graik yang menggambarkan volume produksi suatu komoditas yang disusun berdasarkan rata-rata biaya per unit produksi dan pengiriman dari pertambangan batubara dalam suatu negara atau wilayah. Graik dibawah menggambarkan biaya CIF cost, insurance and freight tunai dari industri hard coking coal secara global berdasarkan estimasi biaya operasional perusahaan yang meliputi tenaga kerja, penambangan dan processing, royalti, pengapalan dan pelabuhan. Posisi biaya dari Tuhup digambarkan dalam bidang yang berwarna dalam kurva biaya. Kurva biaya merupakan biaya yang bersifat tunai yang telah distandarisasi dan disesuaikan dengan adanya peningkatan biaya dan update terbaru pada tahun 2010. 158 Dalam membuat kurva biaya dan melakukan analisa terhadap industri, para analis menggunakan informasi dari berbagai sumber seperti laporan yang dibuat oleh para produsen, publikasi perdagangan dan hubungan langsung dengan para produsen. Walaupun terkadang ikut berpartisipasi daam proses pembuatan kurva biaya, para produsen pada umumnya tidak akan memvalidasi analisa biaya karena hal tersebut merupakan hal yang sensitif dalam kegiatan komersial para produsen. Oleh karena itu, para analis harus membuat sejumlah asumsi atas data-data yang tidak berhasil diperoleh. Perseroan telah memberikan estimasi biaya yang bersifat tunai dari produksi Tuhup hard coking coal. AME menggunakan berbagai data yang diambil dari berbagai sumber yang kemudian diinterpretasikan dan dianalisa untuk membuat estimasi yang keakurasiannya tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, AME tidak menjamin atas keakuratan dari kurva biaya atau informasi terkait industri coking coal tersebut. Estimasi biaya CIF yang bersifat tunai dari hard coking coal – Jepang USD per ton 150.0 150.0 140.0 140.0 130.0 130.0 120.0 120.0 110.0 110.0 100.0 100.0 90.0 90.0 80.0 80.0 70.0 70.0 60.0 60.0 50.0 50.0 40.0 40.0 30.0 30.0 20.0 20.0 10.0 10.0 0.0 0.0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 PT As mi n Ko al in do T uhu p Cumulative Production Mt US t F OB Estimasi biaya CIF yang bersifat tunai dari hard coking coal – Cina USD per ton 150.0 150.0 140.0 140.0 130.0 130.0 120.0 120.0 110.0 110.0 100.0 100.0 90.0 90.0 80.0 80.0 70.0 70.0 60.0 60.0 50.0 50.0 40.0 40.0 30.0 30.0 20.0 20.0 10.0 10.0 0.0 0.0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 PT As mi n Ko al in do T uhup Cumulative Production Mt US t F OB 159 Selain itu, dengan waktu cukup panjang dalam pembuatan kurva biaya, maka perkembangan terbaru yang terjadi di industri pertambangan tidak dapat dipertimbangkan dalam pembuatan kurva biaya tersebut. Dalam beberapa contoh, kurva biaya tersedia yang paling terkini mungkin menggunakan data atau informasi yang memiliki umur beberapa tahun. Data biaya untuk beberapa produsen tertentu mungkin diambil dari biaya yang timbul sesuai dengan tahun pembukuan masing-masing produsen tersebut sehingga komparabilitas dari biaya menjadi terbatas. Selain itu, pembuatan kurva biaya juga menggunakan berbagai asumsi terkait dengan nilai tukar mata uang dan variabel lainnya, yang menunjukkan keterbatasan dari kurva biaya tersebut sehingga tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Kedua graik diatas merupakan estimasi dari posisi biaya operasional dari proyek Tuhup dalam kurva biaya hard coking coal global tahun 2010, berdasarkan biaya produksi yang diberikan oleh manajemen dan estimasi biaya pengapalan. Apabila dibandingkan dengan pasar batubara thermal, ukuran industri hard coking coal masih relatif lebih kecil dan memiliki jumlah pemasok yang lebih sedikit. Kurva estimasi biaya Jepang merepresentasikan biaya pengantaran ke Matsuyama, Jepang dan kurva estimasi biaya Cina merepresentasikan biaya pengantaran ke Qinhuangdao, Cina. Biaya pengapalan termasuk biaya pelabuhan dan shipping lainnya dan jarak pengapalan diperoleh berdasarkan data-data historis dan estimasi dari beberapa sumber informasi pengapalan lainnya. Dengan tingginya volatilitas dari biaya pengapalan, AME menggunakan asumsi penggunaan capesize vessels. Biaya pengapalan juga dibagi menjadi beberapa kategori sesuai jaraknya dekat, sedang dan jauh untuk mereleksikan perbedaan nilai ekonomis dari jarak pengapalan. Dengan estimasi biaya yang bersifat kas sebesar USD87 per ton, biaya CIF kas Tuhup diperkirakan sebesar USD95 per ton dan USD96 per ton masing-masing untuk pengiriman ke Jepang dan Cina. Tuhup diperkirakan berada pada batas atas dari kuartal dua pada kedua kurva biaya, atau sekitar USD3-4 per ton lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri masing-masing sebesar USD92 per ton dan USD93 per ton. Biaya yang relatif lebih besar disebabkan karena strip ratio yang lebih besar, yaitu sebesar 16x dan biaya angkut yang lebih tinggi dari wilayah penambangan ke pelabuhan. Sebagian besar dari cadangan coking coal di Kalimantan Tengah berada pada daerah pegunungan dan hutan. Ekspor Tuhup coal menggunakan truk dan kapal tongkang untuk mencapai Taboneo transhipment point. Walaupun diuntungkan dengan biaya tenaga kerja dan biaya terkait pelabuhan yang lebih rendah, namun royalti yang tinggi dapat menutup keuntungan tersebut. Sebagian besar dari royalti dihitung berdasarkan persentasi dari harga penjualan. Oleh karena itu, dengan harga coking coal yang tinggi saat ini juga berdampak terhadap pembayaran royalti yang lebih besar. Dalam perhitungan pembayaran royalti, AME melakukan perhitungan rata-rata pembayaran royalty berdasarkan harga rata-rata tertimbang untuk seluruh jenis batubara. Simpliikasi ini dapat mengakibatkan kesalahan perhitungan pembayaran royalti, khususnya perusahaan yang memproduksi thermal coal dan coking coal. Rata-rata royalti yang dibayarkan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan royalti atas coking coal, namun lebih besar dibandingkan royalti atas thermal coal. Pertambangan yang memproduksi batubara dengan biaya pada batas bawah kuartal pertama kurva biaya pada umumnya merupakan pertambangan yang lebih banyak memproduksi lower grade coking thermal coal dan hard coking coal yang sedikit. Kurva biaya dibuat berdasarkan analisa per tambang batubara, bukan berdasarkan produk batubara. Oleh karena itu, rata-rata biaya untuk pertambangan yang memproduksi lower ranked coal dalam skala besar berada pada titik yang lebih rendah pada kurva biaya. Kedua graik merupakan representasi biaya untuk pertambangan yang memproduksi hard coking coal. Graik tersebut mengestimasi bahwa produksi Tuhup hard coking coal dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 2 juta mtpa pada tahun 2010. Pasar hard coking coal diperkirakan mencapai 155mtpa pada tahun 2010. Dengan asumsi Tuhup dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 5,0 mtpa, Tuhup coking coal berpotensi untuk memperoleh pangsa pasar sebesar 3 dari pasar coking coal. 160 Country of origin Country of estimated time to estimated Cost per Destination Destination Days tonne Ust Indonesia Japan 7 - 9 8 - 10 China 8 - 10 9 - 11 Australia Japan 10 - 13 11 - 17 China 12 - 15 13 - 19 Canada East Coast Japan 14 - 16 15 - 18 China 15 - 18 17 - 20 USA West Coast Japan 27 - 33 16 - 20 China 29 - 35 18 - 21 Source: AME; trade data Biaya pengapalan yang relatif rendah pada tahun 2009 dan 2010 telah membuat persaingan di pasar coking coal semakin ketat dan dapat memberikan keuntungan bagi produsen dari Indonesia, Australia dan Afrika Selatan untuk mengambil pangsa pasar dari Amerika Serikat dan Kanada. Dengan kondisi Cina yang akan terus menjadi net importir coking coal, produsen coking coal dari Indonesia merupakan pilihan yang menarik untuk memasok coking coal ke Cina dengan biaya pengapalan yang lebih rendah. 161

XI. PerATUrAn PerTAMBAngAn BATUBArA DI InDonesIA

Peraturan Bidang Pertambangan Kegiatan penambangan di Indonesia saat ini secara umum diatur oleh UU Pertambangan No. 4, yang menggantikan UU Pertambangan No. 11. Namun, peraturan pelaksanaan untuk UU Pertambangan No. 11, termasuk Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang peraturan pelaksananya, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2001 “Peraturan Pemerintah No. 75”, dan Keputusan Menteri ESDM No. 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing “Keputusan No. 1614”, tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan UU Pertambangan No. 4. UU Pertambangan No. 4 ditetapkan sebagai Undang-Undang di Indonesia pada tanggal 12 Januari 2009 Kemudian, pada bulan Februari 2010, Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana untuk melaksanakan UU Pertambangan No. 4 melalui Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan “Peraturan Pemerintah No. 22”, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara “Peraturan Pemerintah No.23”, dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. UU Pertambangan No. 4, menetapkan bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, oleh karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan secara berkeadilan. Penguasaan batubara harus berada di tangan Pemerintah Pusat danatau Pemerintah Daerah yang bersangkutan. UU Pertambangan No. 4 ini juga menetapkan bahwa perjanjian kerjasama batubara yang dilaksanakan berdasarkan UU Pertambangan No. 11 akan tetap berlaku sampai berakhirnya perjanjian tersebut. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tertentu yang terdapat dalam perjanjian kerjasama batubara tersebut, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Pertambangan No. 4, selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2010 kecuali ketentuan yang berkaitan dengan pendapatan Negara. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Kegiatan penambangan hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh IUP yang dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi atau orang. IUP terdiri atas dua jenis, yang meliputi: i IUP Eksplorasi, dan ii IUP Operasi Produksi. Tahap eksplorasi mencakup tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. Tahap operasi produksi meliputi tahapan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut berkenaan dengan isi, wewenang, batas dan aspek tertentu lainnya dari kuasa pertambangan akan tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dengan UU Pertambangan No. 4. Kemudian, Peraturan Pemerintah No. 22 menentukan bahwa wilayah pertambangan merupakan wilayah yang memiliki potensial mineral danatau batubara, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan “WP”. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22, suatu wilayah diklasiikasikan sebagai WP apabila memiliki indikasi formasi batuan pembawa batubara atau mineral lainnya atau potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat danatau cair. Untuk mengetahui adanya indikasi atau potensi dari batubara atau mineral, Pemerintah atau kuasanya melakukan riset dan survei untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, informasi mana akan digunakan untuk kemudian menetapkan suatu wilayah menjadi WP. Peraturan Pemerintah selanjutnya menentukan bahwa WP dapat terdiri dari: i Wilayah Usaha Pertambangan, dimana data geologis, potensi danatau informasi telah tersedia; ii Wilayah Pertambangan Rakyat, yang merupakan bagian dari WP dimana usaha pertambangan rakyat dilaksanakan; dan iii Wilayah Pertambangan Nasional, yang merupakan bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Di dalam WUP, terdapat Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang ditentukan hanya untuk Pemegang IUP.