risiko likuiditas rIsIKo UsAHA

48 Kegiatan operasi pertambangan Perseroan juga terkena dampak selama musim kemarau, ketika ketinggian air Sungai Barito yang digunakan untuk mengangkut batubara dengan tongkang menurun. Pada musim kemarau tahun 2009, Perseroan secara khusus terkena dampak dari pola iklim El Niño, yang mengakibatkan menurunnya ketinggian air di Sungai Barito yang menghambat Perseroan untuk mengangkut batubara dengan tongkang ke Taboneo. Perubahan cuaca musiman ini dapat menimbulkan kerugian materiil terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, hasil kegiatan operasi dan prospek Perseroan.

6. risiko terkait sumber pendapatan tunggal dan kegiatan operasional yang terkonsentrasi

Semua arus kas dan keuntungan operasional Perseroan berasal dari kegiatan operasi dan penggunaan aset Perseroan yang dipusatkan di satu pertambangan. Semua arus kas dan keuntungan operasional Perseroan berasal dari penjualan coking coal yang dihasilkan dari satu-satunya pertambangan operasional dan penggunaan aset Perseroan di blok Kohong. Setiap hambatan operasional yang signiikan dalam penambangan, pemrosesan, angkutan atau pengiriman dari produk Perseroan, atau kerusakan atas bangunan Perseroan, mesin-mesin, peralatan, kekurangan suku cadang, bahan pembantu atau aset dan properti lainnya di satu-satunya tambang operasional Perseroan, baik itu sebagai akibat dari kebakaran, banjir, gempa bumi, perselisihan buruh, kerusakan mesin, vandalisme, perselisihan hak tanah, perubahan dalam undang-undang Indonesia dan kebijakan Pemerintah atau sebab-sebab lainnya, dapat menimbulkan kerugian materiil terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, hasil kegiatan operasi dan prospek Perseroan.

7. risiko likuiditas

Dengan biaya yang signiikan yang dikeluarkan Perseroan sehubungan dengan pengembangan dan ekspansi yang sedang berjalan, Perseroan mengalami tekanan likuiditas di masa lalu yang telah mengakibatkan penundaan pembayaran hutang dagang terhadap para pemasok, pajak dan royalti kepada Pemerintah. Perseroan membutuhkan jumlah dana yang cukup besar untuk mengembangkan tambang batubara sampai pada tahap produksi secara komersial di tahun 2009 dan untuk mendanai ekspansi berikutnya. Sebagai konsekuensi dari pengembangan dan ekspansi tersebut, posisi likuiditas Perseroan mendapat tekanan dari waktu ke waktu di masa lalu, yang telah berhasil ditanggulangi dengan, contohnya, menunda pembayaran pajak kepada pemerintah serta menunda pembayaran kewajiban terhadap pemasok Perseroan. Atas tindakan tersebut, Perseroan mungkin akan dikenakan denda dari Pemerintah dan juga para pemasok. Walaupun sampai saat ini Perseroan tidak dikenakan denda atas tindakan tersebut, Perseroan telah mencantumkan potensi denda tersebut di dalam Laporan Laba Rugi Perseroan dalam akun “Beban lain-lain” dengan jumlah Rp.29,5 miliar USD 3,2 juta untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2009 dan Rp 27,0 miliar USD 3,0 juta untuk periode 6 enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010. Selain itu, berdasarkan PKP2B, Perseroan diwajibkan untuk membayar secara tunai kepada Pemerintah hasil dari penjualan 13,5 batubara yang diproduksi setiap bulannya. Walaupun Perseroan telah melakukan pembayaran royalti dimuka atas batubara yang diproduksi selama masa percobaan yang berakhir pada tanggal 15 September 2009, sampai saat ini Perseroan belum melakukan pembayaran royalti atas produksi komersial batubara yang telah dilakukan sejak akhir bulan September 2009. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2010, jumlah royalti yang belum dibayarkan kepada Pemerintah adalah sebesar Rp156,4 miliar, dan tidak termasuk jumlah denda atas keterlambatan pembayaran yang diperhitungkan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran royalti pada tingkat suku bunga utama New York ditambah 4. Alasan utama Perseroan memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran royalti karena Perseroan mengalami permasalahan keuangan selama periode awal operasi produksi dan Perseroan memerlukan semua dana yang ada untuk program ekspansi Perseroan. Berdasarkan PKBP2B, Pemerintah pada dasarnya dapat menerbitkan surat peringatan agar royalti segera dibayar, dan apabila Perseroan belum melakukan pembayaran royalti dalam jangka waktu 30 hari sejak penerimaan surat peringatan tersebut, Pemerintah dapat saja mengambil tindakan lebih lanjut yang pada akhirnya permasalahan ini dapat dirujuk ke arbitrase. Apabila nantinya Pemerintah memenangkan proses arbitrase atau proses 49 penyelesaian sengketa lainnya, dan Perseroan diperintahkan untuk melakukan pembayaran royalti yang masih terhutang dan Perseroan masih belum dapat melakukan pembayaran, Pemerintah dapat meminta pengadilan negeri terkait untuk menerbitkan surat perintah pelaksanaan putusan arbitrase agar aset Perseroan disita sampai sejauh mana diperlukan untuk memenuhi kewajiban pembayaran royalti yang masih belum ditunaikan. Sementara Perseroan bermaksud untuk melakukan seluruh pembayaran yang terhutang sehubungan dengan royalti kepada Pemerintah, kelalaian untuk membayar jumlah terhutang tersebut, setiap jumlah di masa yang akan datang sehubungan dengan royalti dan denda terkait sesuai jadwal waktu pembayarannya juga dapat memiliki dampak material yang negatif pada bisnis, kondisi keuangan, hasil operasi dan prospek Perseroan. Berdasarkan proyeksi produksi dan volume penjualan dan fasilitas kredit yang tersedia untuk Perseroan, dan dengan asumsi Perseroan akan mendapatkan dana dari hasil Penawaran Umum, Perseroan berkeyakinan akan memiliki likuiditas yang mencukupi untuk membiayai kegiatan operasional Perseroan, belanja modal dan pembayaran pinjaman untuk 12 bulan kedepan. Namun, dengan rencana bisnis Perseroan yang menargetkan kapasitas produksi sebesar 3.6 mtpa di akhir tahun 2010 dan 5.0 mtpa di akhir tahun 2011, Perseroan tidak dapat menjamin bahwa Perseroan akan terhindar dari masalah likuiditas untuk 12 bulan kedepan. Adanya kesulitan likuiditas di masa mendatang dapat menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak dan royalti kepada Pemerintah dan pada para pemasok. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya denda atas keterlambatan pembayaran dan juga dapat mempengaruhi reputasi maupun hubungan Perseroan dengan para pemasok dan kreditur, sehingga berdampak negatif terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, hasil kegiatan usaha dan prospek usaha Perseroan.

8. risiko fungsi kontrol internal yang tidak berjalan dengan baik