Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
129 2 Barangsiapa melakukan perbuatan termaksud dalam ayat 1 dengan
sengaja, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau pidana denda setinggi-tingginya enam ribu rupiah.
8. Pasal 64 : Pewajib-militer yang tidak memberitahukan tentang perubahan alamat atau keterangan mengenai dirinya yang diperlukan untuk
penyelenggaraan wajib-militer, dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya empat belas hari atau pidana denda setinggi-tingginya lima ratus
rupiah.
7. Undang-Undang No. 77 Tahun 1958 Penetapan Undang-Undang Tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat No.18 Tahun 1957 tentang Bank Tani dan Nelayan
Undang-Undang ini menyebutkan mengenai Bank Tani dan Nelayan yang dinyatakan sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas Pasal 1, akan
tetapi tidak terdapat ketentuan tentang kewajiban atau keharusan yang harus dipenuhi oleh bank dan mengenai larangan yang jika dilanggar akan dapat
dipidana juga tidak ada diatur, karena itu pada undang-undang ini tidak ada dirumuskan mengenai sanksi pidana serta tidak terdapat prinsip
pertanggungjawaban pidana korporasi.
8. Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan
a.Bentuk pertanggungjawaban korporasi yang dianut pada undang-undang ini
dirumuskan pada Pasal 21 yakni: “Apabila suatu perbuatan yang dapat dihukum menurut atau atas dasar Pasal 19
atau Pasal 20 tersebut di atas, dilakukan oleh atau atas nama suatu perseroan terbatas, suatu perkumpulan atau yayasan atau badan-badan lain yang
merupakan badan hukum, maka penuntutan dan hukuman ditujukan dan dijatuhkan pada pengurusnya”.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
130 Sehingga pelaku tindak pidana pada undang-undang ini meliputi korporasi dan
pengurus dilakukan atau atas nama suatu badan hukum, akan tetapi pertanggungjawbannya tetap diberikan kepada pengurus.
b. Hal yang diancam dengan hukuman dalam pasal ini meliputi : 1. Pasal 2 : Dilarang melakukan penerbagan selainnya dengan pesawat udara
yang mempunyai kebagsaaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian internasional atau persetujuan pemerintah.
2. Pasal 4 : menteri dapat membatasi atau melarang sama sekali penerbagan dengan macam pesawat udara tertentu.
3. Pasal 5 : 1. Pesawat udara yang dipergunakan untuk melakukan penerbagan harus
mempunyai tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran yang akan ditetapkan lebih dengan keputusan Menteri.
2. Apabila ketentuan ayat 1 mengenai pesawat udara militer, maka kewenagan tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh Menteri Pertanahan.
4. Pasal 5 : 1. Menteri dan atau Menteri Pertahanan berkuas untuk melarang
penerbagan di atas suatu bagian dari wilayah Republik Indonesia dengan tidak memperbedakan antara pesawatb udara Indonesia dan
asing.
2. Larangan termaksud dalam ayat 1 harus diumumkan di dalam Lembaran Negara demikian pula penghapusannya.
5. Pasal 6: 1. Dilarang mengadakan suatu pertunjukan atau perlombaan penerbagan
dengan tidak seizin atrau menyelenggarakan pertunjukan atas perlombaan penerbangan itu menyimpang dari syarat-syarat termasuk
dalam izin Menteri tersebut.
2.Pertunjukan dan perlombaan penerbangan di dalam dan diatas lapangan terbang militer memerlukan izin dari Menteri Pertahanan.
6. Pasal 7: Dilarang melakukan penerbagan secara demikian, sehingga dapat mengganggu atau membahayakan ketertiban umum atau keamanan.
7. Pasal 8: 1.Pengangkutan orang danatau barang dengan memungut pembayaran
dengan menggunakan pesawat udara, baik didalam wilayah reoublik Indonesia, maupun antara suatu tempat di dalam wilayah Republik
Indonesia dan lain tempat di luar negeri hanya dapat diselenggarakan dengan konsensi dari Menteri.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
131 2.Konsensi termaksud pada ayat 1 hanyadapat diberikan dengan syarat-
syarat tertentu 8. Pasal 13 :
1. Pesawat udara yang tidak mempunyai surat tanda kelakuan yang sah, dan pesawat udara atau siapapun yang tidak mempunyai surat tanda
kecakapan yang sah tidak boleh melakukan penerbagan. 2.Syarat-syarat kelaikan pesawat udara dan syarat-syarat keckapan
kecakapan awak pesawat udara ditetapkan oleh atau atas nama Menteri.
3.Apabila ketetentuan dalam ayat 1 mengenai pesawat militer dan awak pesawat udara militer maka kewenagan tersebut dalam ayat 1
dilakukan oleh Menteri Pertahanan. 9. Pasal 15:
Dilarang : a. membangun atau mempunyai bangunan di atas atau disekitar lapangan
terbang; b. Ketentuan dari peraturan-peraturan yang ditetapkan atas undang-
undang ini atau ketentuan-ketentuan dari undang-undang lain. 10. Pasal 16:
1. Dilarang : a. Menggunakan suatu bagian wilayah republic Indonesia yang tidak
ditunjuk sebagai lapangan terbang; b. Menggunakan suatu bagain dari wilayah Republik Indonesia, yang
ditunjuk sebagai lapangan terbang bertentangan dengan batas-batas yang telah ditentukan dalam penunjukan.
2. Yang bdimaksud dengan menggunakan untuk keperluan penerbagan ialah:
a. Memperlengkapi suatu bagian dari wilayah Republik Indonesia untuk pendaratan dan pemberangkatan pesawat udara;
b. Pendaratan dan pemberangkatan berulang-ulang di atas dan dari suatu bagian wilayah RepublikIndonesia;
c. Pendaratan di atas dan pemberangkatan dari suatu bagian wilayah Republik Indonesia dengan maksud yang nyata untuk
mengulanginya. 3. Menteri dapat menyimpang dari larangan tersebut dalam ayat 1.
c. Sanksi pidana yang diberikan dapat dilihat pada Pasal 19 : 1. Barang siapa melanggar pasal 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 15 dan 16 tersebut
diatas, dihukum dengan hukuman kurungan, selama-lamanya 6 bulan atau hukuman denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.
2. Hukuman tersebut dalam ayat 1 pasal ini diancamkan juga terhadap pemilik
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
132
9. Undang-Undang No. 4 Tahun 1959 tentang Pos