Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
180 Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
dilakukan oleh korporasi namun karena korproasi mendapatkan izin usaha sehingga dalam melakukan aktifitasnya di delegasikan secara
keseluruhan periahal usaha kepada pengurus.
3. Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, Pemegang Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan juga
diwajibkan untuk memberi ganti rugi.
3. Pasal 22 1 Pemegang Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang tidak menaati ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1
dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,- lima juta rupiah.
2 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui kepada korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit yakni didasarkan pada pemberian pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha Pasal 22 ayat 2 dikuatkan lagi dengan ketentuan pasal 22 yakni
kepada pemegang ketenagalistrikan atau kepada pemegang izin usaha ketenagalistrikan BUMN.
49. Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
Undang –Undang No. 7 Tahun 1987 merupakan perubahan atas undang- undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pada Perubahan pasal dalam
undang-undang ini sama sekali tidak ada di bahas penambahan mengenai hal-hal
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
181 yang berhubungan dengan badan hukum, baik mengenai pertanggungjawaban
pidana, rumusan perbuatan yang mnyebabkan dapatnya dimintakan pertanggungjawaban pidana maupun mengenai perumusan sanki pidana,
semuanya masih tetap mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1982.
50. Undang-Undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi
a. Hakekatnya Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara, dan informasi dalam bentuk apa
pun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Telekomunikasi diselenggarakan oleh badan penyelenggara telekomunikasi
dan badan lain yakni Badan penyelenggara badan usaha milik negara dan badan hukum di luar badan penyelenggara berbentuk koperasi, badan usaha
milik daerah, dan badan usaha swasta nasional. Pasal 39 ayat 1 mengatur mengenai prinsip pertangungjawban pidana badan hukum, jika tindak pidana
dilakukan oleh atau atas tanggung jawab suatu badan hukum, penuntutan dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap:
1. Pengurus; atau 2. Penanggung jawab.
Pada undang-undang ini juga dianut asas pembuktian terbalik yang disebutkan pada Pasal 39 ayat 1 tersebut “…kecuali pengurus atau penanggungjawab
tersebut dapat membuktikan bahwa hal tersebut tidak karena kesalahannya”. Tidak ada dijelaskan mengenai siapa yang berkedudukan sebagai
penaggungjawab, serta bagaimana kedudukan antara keduanya dalam
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
182 mempertanggungjawabkan perbuatannya. Diluar semua itu apabila pengurus
atau penanggung jawab tersebut dapat membuktikan bahwa hal tersebut terjadi tidak karena kesalahannya maka penuntutan dan pemidanaan dapat
dielakkan. b. Pasal 39 ayat 1 juga mengatur mengenai kejahatan-kejahatan apa saja yang
dapat menyebabkan dapat dimintanya pertangggungjawaban pidana badan hukum, meliputi Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38:
1. Setiap perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan dengan sengaja untuk mengubah jaringan telekomunikasi danatau memanipulasi
penyelenggaraan telekomunikasi sehingga menimbulkan kerugian pada penyelenggara atau pun pemakai jasa telekomunikasi.
2. Sengaja melanggar ketentuan mengenai penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan gelombang radio dan gelombang
elektromagnetik lainnya. 3. Sengaja atau lalai melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan
penyelenggaraan telekomunikasi. 4. Melanggar ketentuan mengenai pengusahaan, pemilikan, atau pemasangan
pemancar radio. 5. Memasukkan pemancar radio ke dalam wilayah Indonesia,
memperdagangkan, membuat, atau merakit pemancar radio yang akan digunakan di dalam negeri tidak memenuhi persyaratan teknis.
6. Badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2 wajib menjamin kerahasiaan berita yang dikirim
dan diterima dengan menggunakan jasa telekomunikasi.
c. Sistem sanksi yang dianut dalam undang-undang ini secara alternatif selain itu semua alat telekomunikasi dan barang-barang lainnya yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 dapat disita dan dirampas untuk negara.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
183
51. Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten