Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 245 pelanggaran dilakukan oleh badan usaha; atau f. Pengenaan sanksi disiplin kepegawaian.

85. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi a. Undang-Undang ini telah menggunakan kata korporasi pada perumusannya yang dapat dilihat pada Pasal 1 point 1: Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum dan pada Pasal 1 point 3 dinyatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi pada undang-udang ini dimuat pada Pasal 20 ayat 1 Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap: 193 1. Korporasi, dan atau 2. Pengurusnya. 194 193 Pasal 20 ayat 1 Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. 194 Sutan remi, Op-Cit, hal. 154. Siapa yang dimaksud dengan “pengurus” dalam Pasal 20 ayat 1 Pasal 20: Ayat 1 Yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar sebagai frasa pertama, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagai frasa ke dua. Menurut undang-undang tersebut yang dimaksud dengan”pengurus” buka terbatas kepada mereka yang menjadi organ korporasi yang menjalankan kepengurusannya sebagaimana ditentukan dalam anggran dasar frasa pertama tetapi termasuk juga siapa saja yang dalam kenyataannya atau secara faktual menetukan kebijakan korporasi frasa kedua. Pengurus dalam arti pertama adlah pegngurus dalam arti formal yuridis, sedangkan pengurus dalam frasa kedua adalah mereka yang sekalipun secara formal yuridis untuk memiliki kewenagan untuk melakukan kepengurusan, tetapi secara faktual menjlankan kepengurusan. Menjalankan kepengurusan oleh mereka yang dimaksud dalam frasa kedua tersebut biasanya dilakukan dengan mengendalikanm pengurus yang dimaksud dalam frasa pertama. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 246 Pasal 20 ayat 2 Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain sebagai ajaran identifikasi, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama sebagai ajaran agregasi. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi hanyalah apabila perbuatan itu dialkukan oleh orang-orang “yang memiliki hubungan kerja” atau “yang memiliki hubungan lain” dan perbuatan itu harus dilakukan “dalam lingkungan korporasi tersebut”. Akan tetapi sayangnya undang-undang tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ”orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” maupun yang dimaksud dengan ”bertindak dalam lingkungan korporasi”. Pasal 1 tentang ketentuan umum juga tidak ada merumuskan mengenai hal itu, dengan kata lain harus diberikan penafsiran hukum terhadap pengertian dari frasa tersebut. 195 1. Berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya. Penafsiranyang diberikan oleh Sutan RemiSjahdeini yang dimaksud dengan “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang- orang yang memiliki hubunga kerja sebgai pengurus atau sebagai pegawai, yaitu: 2. Berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan korporasi. 195 Sutan Remi Sjahdeini, Op-Cit, hal. 152. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 247 3. Berdasarkan surat pengangkatan sebgai pegawai atau 4. Berdasarkan perjanjian kerja sebgai pegawai. Sementara itu yang dimaksud dengan orang-orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang-orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi. Mereka itu antara lain yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi berdasarkan: 1. Pemberian , 2. Berdasarkan perjanjian dengan pemberian pemberian bukan diberikan dengan surat tersendiri, tetapi dicantumkan dalam perjanjian itu sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut,atau 3. Berdasarkan pendelegasian wewenang. Kesimpulannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa hanya apabila orang yang melakukan tindak pidana itu memiliki hubungan kerja atau memiliki hubungan lian selain hubungan kerja dengan korporasi, barulah korporasi itu dapat di bebani dengan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh orang atau orang- orang tersebut. Dengan kata lain, sepanjang orang atau orang-orang itu tidak memiliki hubungan kerja dengan korporasi, maka perbutan orang atau orang- orang itu tidak dapat diatributkan kepada korporasi sebagai perbuatan korporasi. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 248 b. Rumusan mengenai perbuatan pidana pada undang-undang ini dijelaskan pada bab II tentang tindak pidana korupsi dan bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Pada pasal dalam bab tersebut di awali dengan frasa ”barang siapa” jika frasa ini kita hubungkan dengan Pasal 1 point 3 yang menyatakan bahwa: Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi, maka didapatlah suatu ketentuan bahwa pasal-pasal tersebut merumuskan kapan tindak pidana dilakukan oleh badan hukum. Pasal-pasal pada bab tersebut meliputi : 1. Pasal 2 ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Pasal 2 ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 3. Pasal 2 ayat 2: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dilakukan dalam keadaan tertentu. 4. Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 5. Pasal 5: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana . 6. Pasal 6: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 7. Pasal 7: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 8. Pasal 8: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 249 9. Pasal 9: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 10. Pasal 10: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 11. Pasal 11: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 12. Pasal 12: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 13. Pasal 13: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kean atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. 14. Pasal 14: Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang- undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. 15. Pasal 15: Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. 16. Pasal 16: Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi. 17. Pasal 21: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. 18. Pasal 22: Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. 196 196 Pasal 28: Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda 9818 istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Pasal 29: 1 Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. 2 Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3 Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dalam waktu selambat-lambatnya 3 tiga hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. 4 Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi. 5 Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. Pasal 35: 1 Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa. 2 Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa. 3 Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah. Pasal 36: Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 250 c. Rumusan sanksi pidana berupa ancaman pidana secara kumulatif dan ancaman pidananya lebih berat dari pada undang-undang sebelumnya yakni undang- undang No. 3 Tahun 1997. Ancaman pidananya juga dirumuskan dengan menatapkan minimum dan maksimum penjara dan denda, jika dilakukan dalam keadaan tertentu maka dapat dikenakan pidana mati, untuk korporasi berupa Pidana denda yang diperberat 13 sepertiga, pada Pasl20 ayat 7.

86. Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi