Keaslian Penelitian Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 21 sehingga penegakan hukum yang menyangkut tindak pidana korporasi dapat dilakukan dengan baik. c. Bagi akademisi sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Di Luar KUHP” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan korporasi telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni: 1. Mahmud Mulyadi, tesis pada tahun 2001 dengan judul proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang. 2. Edy Yunara, tesis pada tahun 2004 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi. 3. Zairida, tesis pada tahun 2005 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup studi kasus PT. Cisadane Sawit Raya Rantau Prapat Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 22 merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mangacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, artinya kejahatan pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan pada masyarakat industri, demikian juga dengan pelaku kejahatan, semula yang dipandang sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah orang natural person, akan tetapi dalam perkembanganya korporasi juridical person juga dipandang mampu melakukan kejahatan maka selanjutnya dapat juga dipidana. Awalnya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pidana. Hal ini dikarenakan korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan, kemudian pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi, namun karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabakan korporasi dalam kasus pidana. 12 12 http:www.sinarharapan.co.idberita061205nas12.html ,dikses pada 29 Januari 2009. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 23 Teori organ merupakan salah satu teori yang menerima korporasi sebagai subjek hukum. Teori ini dipelepori oleh Otto von Gierke yang menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelamaan yang benar hidup dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ dari badan tersebut, misalnya anggota-anggota atau pengurus yang mengucapkan kehendak dengan perantaraan mulut atau dengan perantaran tangan jika ditulis di atas kertas, maka apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Badan hukum bukanlah suatu yang abstrak tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan hak yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia, jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia, karena itu dapat disimpulkan bahwa badan hukum sebagai wujud kesatuan. Tidak bertindak sendiri melainkan melalui organnya, tidak sebagai wakil, tetapi bertindak sendiri dengan organnya. 13 Mardjono Reksodiputro mengemukakan ada dua teori yang dapat digunakan sebagai konstruksi yuridis pada perbuatan pidana yang secara khusus dilakukan oleh korporasi, yakni teori pelaku fungsional dan teori identifikasi. Teori pelaku fungsional mengatakan bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi pembuat korporasi 13 Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 32. Teori organ juga akan memberi manfaat dalam mengetahui seberapa jauh sifat dan luasnya organisasi dapat berpengaruh dalam pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, begitu pula penyebaran tanggungjawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi perbuatan yang menyimpang melanggar hukum yang dilakukan oleh korporasi. Lihat juga Ali Ridho, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,Yayasan,Wakaf, Bandung: Alumni, 1986, hal. 10. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 24 tidak perlu melakukan perbuatan itu secara fisik, tetapi bisa saja perbuatan itu dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatan itu masih dalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangan korporasi. 14 Konstruksi yuridis perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi selanjutnya dapat ditempuh dengan teori identifikasi. Teori ini menyatakan bahwa korporasi dapat melakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-orang yang berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh anggota tertentu di dalam korporasi selama perbuatan itu berkaitan dengan korporasi maka dianggap sebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri, maka jika anggota itu melakukan perbuatan pidana, sesungguhnya perbuatan pidana itu merupakan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, sehingga korporasi dapat juga diminta pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Syaratnya orang itu melakukan perbuatan dalam ruang lingkup jabatannya. Jika orang itu melakukan perbuatan pidana dalam kapasitasnya sebagai pribadi, dengan sendirinya perbuatan itu bukan perbuatan korporasi. Akan tetapi karena korporasi tidak bisa melakukan perbuatan itu sendiri, maka perbuatan itu dialihkan kepada pegawai korporasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tegas tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, jika pegawai tersebut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. 15 14 Mardjono Reksidiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal. 107-108. 15 Dwidja Priyatno, Op-cit, hal. 90, lihat juga Sutan Remi Sjahdeni, hal 100. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 25 Mengacu pada teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa korporasi juga bisa melakukan perbutan pidana dan dapat dimintanya pertanggungjawaban pidana, dengan melihat apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau anggota dari korporasi masih dalam kewenangan korporasi atau semata-mata dilakukan atas kehendak pribadi, jika perbuatan pidana merupakan perbuatan yang sesungguhnya masih dalam ruang lingkup dan kewenangan dari korporasi maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan korporasi sehingga ia bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota pegawai atau pengurus korporasi. Berkenaan dengan perbuatan pidana, Moeljatno sebagai salah seorang penganut ajaran dualistis mendefenisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan tersebut disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana dijatuhkan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut. 16 Asas dari aliran dualistis ini adalah tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder schuld. Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat dengan adanya asas mens rea yakni subjektif guilt yang melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si Moeljatno memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana sehingga disebut dengan ajaran dualistis. 16 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kelima, 1993, hal. 54. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 26 pembuat. 17 Dianutnya aliran dualistis dalam hukum pidana memudahkan dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur yang termasuk dalam unsur perbuatan dan unsur-unsur yang termasuk dalam unsur kesalahan. Sehingga hal ini mempunyai pengaruh dalam memutuskan suatu perkara pidana. Kesalahan dalam arti luas dapat dipersamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya pembuat atas perbuatannya. RUU KUHP Tahun 2006 pada Pasal 36 telah merumuskan mengenai pertanggungjawaban pidana yakni diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. 18 No. Guna memahami komponen tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: Tabel 1: Syarat-syarat pemidanaan Tindak Pidana syarat objektif Pertanggungjawaban pidana kesalahan syarat subjektif 1. Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang Kemampuan bertanggungjawab 2. Sifat melawan hukum Kesengajaan atau kealpaan 3. Tidak ada alasan pembenar Tidak ada alasan pemaaf Sumber: Setiyono, Kejahatan Korporasi.Malang: Bayumedia, 2003 Hal. 103. 17 Tindakan Pidana strafbaar feit dan Pertanggungjawaban Pidana. http:toya2007.wordpress.com . Diakses pada 20 Januari 2009. Sudarto, menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Intinya meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-udang dan tidak dibenarkan namun harus dilengkapi dengan unsur kesalahan untuk penjatuhan pidana Sudarto, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hal. 85. Lihat juga Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 75. Ia mengatakan bahwa dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu ada kesalahan atau tidak, apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, maka ia tentu tidak dipidana. Lihat juga Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal 225. Menurut pengertian positif, perbuatan pidana adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan itulah yang disebut uraian delik. 18 Dwidja priyatno, Op-cit, hal. 38. Pandangan dualistis pertama kali dianut oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1933 dan pendapat Moeljatno tersebut sama dengan pendapat penganut aliran dualistis liannya yaitu Vos dan E. Mezger. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 27 Dikatakan bersalah melakukan tindak pidana berarti ia dapat dicela atas perbuatannya. 19 Moeljatno menyatakan kesalahan dalam arti luas meliputi: 20 1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat korporasi argumennya adalah keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. 21 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, hal ini disebut dengan bentuk-bentuk kesalahan, yang terdiri dari: 22 a. Kesengajaan Defenisi sengaja berdasarkan MvT adalah merupakan kehendak yang disadari, ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Kata opzettelijk dengan sengaja yang tersebar di dalam beberapa pasal KUHP adalah sama dengan willens en wetens, yaitu menghendaki dan mengetahui. 23 19 Dwidja Priyatno, Op-cit, hal, 61. 20 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 130. Kesalaan dalam arti luas sama dengan kesalahan dalam arti normatif yakni dalam menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya kesalahan dalam arti sempit, namun harus ada penilaian unsur normatif yakni kesalahan dalam arti luas. 21 Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 106. 22 Andi Hamzah, Op-cit, hal. 103. l 23 Zainal Abidin Farid, Op-cit, hal. 273. Bandingkan dengan Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesi, Jakarta: Paradnya Paramita, 1996, hal. 45. Menyatakan bahwa rumusan kesengajaan merupakan melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk bertindak atau berbuat, dengan kata lain kesengajaan ditujukan terhadap perbuatan. . Menurut Crimineel Wetboek Nederland Tahun 1809 Pasal 11 opzet sengaja itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 28 diperintahkan oleh Undang-Undang. Bisanya dalam hukum pidana “dengan sengaja” beserta berbagai variasinya dibedakan sebagai berikut: 24 b. Kealpaan 1. Kesengajaan sebagai maksud dolus directus atau opzet als oogmerk. Kesengajaan sebagai maksud adalah suatu perbuatan, merupakan tidak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian opzet met zekerheidsbewustzijn. Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi. 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan dolus eventualis atau voorwaar delijk opzet. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan adalah kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. MvT memberikan defenisi tentang kealpaan yakni terletak antara sengaja dan kebetulan, sehingga kealpaan lebih ringan jika dibandingkan dengan sengaja. Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kealpaan yakni : 1. Tidak berhati-hati 2. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. 24 Sudarto, Op-cit, hal. 103 Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 29 Menentukan masalah kesengajaan dan atau kelapaan pada korporasi dapat dijelaskan bahwa kesengajaan itu terdapat dalam politik perusahaan atau berada dalam keadaan nyata dari suatu perusahaan tertentu. Misalnya dalam perseorangan tertutup dengan pimpinan kembar yang dilakukan untuk melakukan kekacauan. 25 Yang dapat dilakukan dalam masalah tersebut adalah melihat apakah kesengajaan para pengurus dalam bertindak pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Hal tersebut dapat dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi. Jadi konstruksi pertanggungjawaban kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama korporasi bisa menimbulkan kesengajaan korporasi tersebut. 26 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Secara sederhana yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini jika seorang pelaku perbuatan pidana akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut dengan dijatuhi sanksi pidana tertentu, salah satu syaratnya adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal 25 Muladai Dan Dwidja Priyatna, Pertanggungjawaban Korprasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, hal. 1991, hal. 102. 26 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1990, hal. 6. dalam Setiyono, Op-cit, hal. 110. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 30 atau alasan-alsan yang menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Hal-hal yang secara normatif merupakan alasan pemaaf adalah sebagai berikut: 27 a. Pasal 48 mengenai kondisi pelaku over Macht yaitu karena suatu keadaan terpaksa ia harus melakukan perbuatan pidana tertentu disebabkan memang tidak ada pilihan lain. Daya paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni: 28 1. Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan. 2. Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan. b. Jika pelaku berada dalam kondisi Noodweer, yaitu karena ada ancaman atau ancaman serangan yang sedemikian rupa telah mengarah pada dirinya orang lain sehingga ia benar-benar terpaksa harus melakukan perbuatan pidana tertentu dalam rangka membela diri orang lain tersebut Pasal 49 ayat 1 KUHP. c. Pasal 49 ayat 2 yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari syarat: 1. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan. 2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. 27 Sudarto, Op-cit, hal. 139. Ia mengatakan bahwa Alasan pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela menurut hukum dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Shingga alasan pemaaf ini dapat dikatakan sebagai alasan untuk penghapusan kesalahan. 28 Fuad Usfa Togat, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Pers, 2004, hal. 90. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 31 3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus ada hubungan kausal antara keduanya. d. Jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan tugas atau ketentuan undang- undang Pasal 50 KUHP. e. Pasal 51 ayat 1 jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat penguasa yang berwenang. f. Pasal 51 ayat 2 yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Jika ia mengira dengan iktikad baik bahwa perintah itu sah. 2. Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. Sehubungan dengan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, khususnya pada alasan pemaaf sebagai mana yang disebutkan diatas maka alasan-alasan pemaaf seperti daya paksa overmacht tidak bisa berpedoman pada alasan pemaaf pada natuurlijk persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, akan tetapi harus dicari sesuai dengan sifat kemandirian korporasi yang bersangkutan. Selanjutnya alasan pemaaf berupa ketidak mampuan bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 KUHP dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP tidak bisa diambil alih menjadi alasan pemaaf korporasi, karena kedua jenis alasan pemaaf ini mensyaratkan keadaan jiwa tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia. 29 29 Setiyono,Op-Cit, hal. 116. Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009 32

2. Kerangka Konsepsi