Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
21 sehingga penegakan hukum yang menyangkut tindak pidana korporasi dapat
dilakukan dengan baik. c. Bagi akademisi sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Di Luar KUHP” belum
pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang
berkaitan dengan korporasi telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni: 1. Mahmud Mulyadi, tesis pada tahun 2001 dengan judul proses pembuktian dan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang.
2. Edy Yunara, tesis pada tahun 2004 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.
3. Zairida, tesis pada tahun 2005 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup studi kasus
PT. Cisadane Sawit Raya Rantau Prapat Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan
penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
22 merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada
referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mangacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori
Kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, artinya kejahatan pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan pada masyarakat
industri, demikian juga dengan pelaku kejahatan, semula yang dipandang sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah orang
natural person, akan tetapi dalam perkembanganya korporasi juridical person juga dipandang mampu melakukan kejahatan maka selanjutnya dapat juga dipidana.
Awalnya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pidana. Hal ini dikarenakan korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia
sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan, kemudian pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi, namun karena adanya dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabakan korporasi dalam kasus pidana.
12
12
http:www.sinarharapan.co.idberita061205nas12.html ,dikses pada 29 Januari 2009.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
23 Teori organ merupakan salah satu teori yang menerima korporasi sebagai
subjek hukum. Teori ini dipelepori oleh Otto von Gierke yang menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelamaan yang benar hidup dalam
pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ dari badan tersebut,
misalnya anggota-anggota atau pengurus yang mengucapkan kehendak dengan perantaraan mulut atau dengan perantaran tangan jika ditulis di atas kertas, maka
apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Badan hukum bukanlah suatu yang abstrak tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu
kekayaan hak yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Berfungsinya badan hukum
dipersamakan dengan fungsinya manusia, jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia, karena itu dapat disimpulkan bahwa badan hukum sebagai wujud kesatuan.
Tidak bertindak sendiri melainkan melalui organnya, tidak sebagai wakil, tetapi bertindak sendiri dengan organnya.
13
Mardjono Reksodiputro mengemukakan ada dua teori yang dapat digunakan sebagai konstruksi yuridis pada perbuatan pidana yang secara khusus dilakukan oleh
korporasi, yakni teori pelaku fungsional dan teori identifikasi. Teori pelaku fungsional mengatakan bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi pembuat korporasi
13
Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 32. Teori organ juga akan memberi manfaat dalam mengetahui seberapa jauh sifat dan luasnya organisasi dapat berpengaruh dalam pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi, begitu pula penyebaran tanggungjawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi yang kondusif bagi perbuatan yang menyimpang melanggar hukum yang dilakukan oleh korporasi. Lihat juga
Ali Ridho, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,Yayasan,Wakaf, Bandung: Alumni, 1986, hal. 10.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
24 tidak perlu melakukan perbuatan itu secara fisik, tetapi bisa saja perbuatan itu
dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatan itu masih dalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangan korporasi.
14
Konstruksi yuridis perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi selanjutnya dapat ditempuh dengan teori identifikasi. Teori ini menyatakan bahwa
korporasi dapat melakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-orang yang berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri.
Perbuatan yang dilakukan oleh anggota tertentu di dalam korporasi selama perbuatan itu berkaitan dengan korporasi maka dianggap sebagai perbuatan dari korporasi itu
sendiri, maka jika anggota itu melakukan perbuatan pidana, sesungguhnya perbuatan pidana itu merupakan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, sehingga
korporasi dapat juga diminta pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Syaratnya orang itu melakukan perbuatan dalam ruang lingkup jabatannya.
Jika orang itu melakukan perbuatan pidana dalam kapasitasnya sebagai pribadi, dengan sendirinya perbuatan itu bukan perbuatan korporasi.
Akan tetapi karena korporasi tidak bisa melakukan perbuatan itu sendiri, maka perbuatan itu dialihkan kepada pegawai
korporasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tegas tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, jika pegawai tersebut melakukan perbuatan
yang dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
15
14
Mardjono Reksidiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal. 107-108.
15
Dwidja Priyatno, Op-cit, hal. 90, lihat juga Sutan Remi Sjahdeni, hal 100.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
25 Mengacu pada teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa korporasi juga bisa
melakukan perbutan pidana dan dapat dimintanya pertanggungjawaban pidana, dengan melihat apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau anggota
dari korporasi masih dalam kewenangan korporasi atau semata-mata dilakukan atas kehendak pribadi, jika perbuatan pidana merupakan perbuatan yang sesungguhnya
masih dalam ruang lingkup dan kewenangan dari korporasi maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan korporasi sehingga ia bisa dipertanggungjawabkan atas
perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota pegawai atau pengurus korporasi. Berkenaan dengan perbuatan pidana, Moeljatno sebagai salah seorang
penganut ajaran dualistis mendefenisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan tersebut disertai dengan ancaman sanksi
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana dijatuhkan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
16
Asas dari aliran dualistis ini adalah tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder schuld. Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat
dengan adanya asas mens rea yakni subjektif guilt yang melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si
Moeljatno memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana sehingga disebut dengan ajaran dualistis.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kelima, 1993, hal. 54.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
26 pembuat.
17
Dianutnya aliran dualistis dalam hukum pidana memudahkan dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur yang termasuk dalam unsur perbuatan dan
unsur-unsur yang termasuk dalam unsur kesalahan. Sehingga hal ini mempunyai pengaruh dalam memutuskan suatu perkara pidana.
Kesalahan dalam arti luas dapat dipersamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya pembuat atas perbuatannya. RUU KUHP Tahun 2006 pada Pasal 36 telah merumuskan mengenai pertanggungjawaban pidana yakni diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
18
No. Guna memahami komponen
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Tabel 1: Syarat-syarat pemidanaan Tindak Pidana
syarat objektif Pertanggungjawaban pidana kesalahan
syarat subjektif 1.
Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang
Kemampuan bertanggungjawab 2.
Sifat melawan hukum Kesengajaan atau kealpaan
3. Tidak ada alasan pembenar
Tidak ada alasan pemaaf
Sumber: Setiyono, Kejahatan Korporasi.Malang: Bayumedia, 2003 Hal. 103.
17
Tindakan Pidana strafbaar feit dan Pertanggungjawaban Pidana. http:toya2007.wordpress.com
. Diakses pada 20 Januari 2009. Sudarto, menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Intinya meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-udang dan tidak dibenarkan namun harus dilengkapi dengan unsur kesalahan untuk penjatuhan pidana Sudarto,
Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hal. 85. Lihat juga Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 75. Ia
mengatakan bahwa dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu ada kesalahan atau tidak, apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya
kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, maka ia tentu tidak dipidana. Lihat juga Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal 225. Menurut
pengertian positif, perbuatan pidana adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa.
Uraian perbuatan itulah yang disebut uraian delik.
18
Dwidja priyatno, Op-cit, hal. 38. Pandangan dualistis pertama kali dianut oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1933 dan pendapat Moeljatno tersebut sama dengan pendapat penganut aliran dualistis liannya yaitu Vos dan E. Mezger.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
27 Dikatakan bersalah melakukan tindak pidana berarti ia dapat dicela atas
perbuatannya.
19
Moeljatno menyatakan kesalahan dalam arti luas meliputi:
20
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat korporasi argumennya adalah keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam
pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu kemampuan bertanggungjawab orang-orang
yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
21
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, hal ini disebut dengan bentuk-bentuk kesalahan,
yang terdiri dari:
22
a. Kesengajaan Defenisi sengaja berdasarkan MvT adalah merupakan kehendak yang disadari,
ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Kata opzettelijk dengan sengaja yang tersebar di dalam beberapa pasal KUHP adalah sama dengan
willens en wetens, yaitu menghendaki dan mengetahui.
23
19
Dwidja Priyatno, Op-cit, hal, 61.
20
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 130. Kesalaan dalam arti luas sama dengan kesalahan dalam arti normatif yakni dalam menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan hubungan batin
antara pembuat dengan perbuatannya kesalahan dalam arti sempit, namun harus ada penilaian unsur normatif yakni kesalahan dalam arti luas.
21
Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia, Malang: Bayu Media, 2003, hal. 106.
22
Andi Hamzah, Op-cit, hal. 103. l
23
Zainal Abidin Farid, Op-cit, hal. 273. Bandingkan dengan Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesi, Jakarta: Paradnya Paramita, 1996, hal. 45. Menyatakan bahwa rumusan kesengajaan merupakan
melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk bertindak atau berbuat, dengan kata lain kesengajaan ditujukan terhadap perbuatan. .
Menurut Crimineel Wetboek Nederland Tahun 1809 Pasal 11 opzet sengaja itu adalah maksud
untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
28
diperintahkan oleh Undang-Undang. Bisanya dalam hukum pidana “dengan
sengaja” beserta berbagai variasinya dibedakan sebagai berikut:
24
b. Kealpaan 1. Kesengajaan sebagai maksud dolus directus atau opzet als oogmerk.
Kesengajaan sebagai maksud adalah suatu perbuatan, merupakan tidak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian opzet met zekerheidsbewustzijn. Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah seseorang yang melakukan
suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan
pelanggaran pasti terjadi. 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan dolus eventualis atau voorwaar
delijk opzet. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan adalah kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan
timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana.
MvT memberikan defenisi tentang kealpaan yakni terletak antara sengaja dan kebetulan, sehingga kealpaan lebih ringan jika dibandingkan dengan sengaja.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kealpaan yakni : 1. Tidak berhati-hati
2. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.
24
Sudarto, Op-cit, hal. 103
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
29 Menentukan masalah kesengajaan dan atau kelapaan pada korporasi
dapat dijelaskan bahwa kesengajaan itu terdapat dalam politik perusahaan atau berada dalam keadaan nyata dari suatu perusahaan tertentu. Misalnya dalam
perseorangan tertutup dengan pimpinan kembar yang dilakukan untuk melakukan kekacauan.
25
Yang dapat dilakukan dalam masalah tersebut adalah melihat apakah kesengajaan para pengurus dalam bertindak pada
kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Hal tersebut dapat dideteksi melalui
suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi. Jadi konstruksi pertanggungjawaban kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama
korporasi bisa menimbulkan kesengajaan korporasi tersebut.
26
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Secara sederhana yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah hal-hal yang
menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan menjadi terhapus.
Berdasarkan pengertian ini jika seorang pelaku perbuatan pidana akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut dengan dijatuhi sanksi pidana
tertentu, salah satu syaratnya adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal
25
Muladai Dan Dwidja Priyatna, Pertanggungjawaban Korprasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, hal. 1991, hal. 102.
26
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1990, hal. 6. dalam Setiyono, Op-cit, hal. 110.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
30 atau alasan-alsan yang menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Hal-hal
yang secara normatif merupakan alasan pemaaf adalah sebagai berikut:
27
a. Pasal 48 mengenai kondisi pelaku over Macht yaitu karena suatu keadaan terpaksa ia harus melakukan perbuatan pidana tertentu disebabkan memang
tidak ada pilihan lain. Daya paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni:
28
1. Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.
2. Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan
mengadakan perlawanan.
b. Jika pelaku berada dalam kondisi Noodweer, yaitu karena ada ancaman atau ancaman serangan yang sedemikian rupa telah mengarah pada dirinya orang
lain sehingga ia benar-benar terpaksa harus melakukan perbuatan pidana tertentu dalam rangka membela diri orang lain tersebut Pasal 49 ayat 1
KUHP.
c. Pasal 49 ayat 2 yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari
syarat:
1. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan. 2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa
yang hebat.
27
Sudarto, Op-cit, hal. 139. Ia mengatakan bahwa Alasan pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela menurut hukum dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan,
meskipun perbuatannya merupakan perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Shingga alasan pemaaf ini dapat dikatakan sebagai alasan untuk penghapusan kesalahan.
28
Fuad Usfa Togat, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Pers, 2004, hal. 90.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
31 3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka
harus ada hubungan kausal antara keduanya. d. Jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan tugas atau ketentuan undang-
undang Pasal 50 KUHP. e. Pasal 51 ayat 1 jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan perintah
jabatan yang diberikan oleh pejabat penguasa yang berwenang. f. Pasal 51 ayat 2 yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan
yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Jika ia mengira dengan iktikad baik bahwa perintah itu sah.
2. Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Sehubungan dengan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, khususnya pada alasan pemaaf
sebagai mana yang disebutkan diatas maka alasan-alasan pemaaf seperti daya paksa overmacht tidak bisa berpedoman pada alasan pemaaf pada natuurlijk
persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, akan tetapi harus dicari sesuai dengan sifat kemandirian korporasi yang bersangkutan. Selanjutnya alasan
pemaaf berupa ketidak mampuan bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 KUHP dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat 2 KUHP tidak bisa diambil alih menjadi alasan pemaaf korporasi, karena kedua jenis alasan pemaaf ini mensyaratkan keadaan jiwa tertentu, yang
mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia.
29
29
Setiyono,Op-Cit, hal. 116.
Rise Karmila : Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP, 2009. USU Repository © 2009
32
2. Kerangka Konsepsi