Semarang, 7 Oktober 2015
289 52 DCD harus menunggu komponen IR dan OR berada dalam mesin agar proses assembly dapat
dilakukan. Bottleneck
ketiga terjadi pada operasi kerja ausensitive free running check. Operasi kerja ini membutuhkan waktu siklus yang lebih lama dibandingkan operasi kerja noise fibration test sehingga
terjadi bottleneck pada operasi kerja ini. Hal ini terjadi karena bearing yang diinspeksi pada operasi kerja ini melewati dua proses inspeksi. Pertama pada sisi atas dan kedua pada sisi bawah. Sehingga waktu yang
dibutuhkan cukup lama.
Bottleneck keempat terjadi pada operasi kerja final inspection. Bottleneck terjadi pada operasi kerja
ini karena operasi kerja ini dilakukan oleh operator sehingga terdapat banyak kelonggaran. Operasi kerja ini juga membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi karena harus mendeteksi cacat fisik dari bearing.
Selain itu, operator juga memiliki kebiasaan menunggu sampai bearing yang terkumpul pada meja kerja inspeksi sudah cukup banyak lalu mulai melakukan proses inspeksi.
Berdasarkan metode drum-buffer-rope, operasi-operasi kerja yang mengalami bottleneck dianggap sebagai drum yang menyebabkan terhambatnya proses produksi. Selanjutnya, buffer yang berupa time
buffer akan diletakkan di depan operasi-operasi kerja yang mengalami bottleneck. Pada channel 11, time
buffer terutama diletakkan di depan operasi kerja pairing ball firing. Hal ini karena pada operasi kerja
tersebut terjadi perakitan antara IR dan OR yang awalnya diproduksi di mesin yang berbeda, sehingga mesin harus menunggu kedua komponen tersebut berada pada mesin operasi kerja pairing ball firing
pada waktu yang sama. Namun, karena berbedanya waktu siklus operasi-operasi sebelum operasi tersebut mengakibatkan kedua komponen tidak sampai ke operasi kerja tersebut pada saat yang bersamaan. Oleh
karena itu, time buffer diletakkan di depan operasi kerja ini agar menyangga proses produksi operasi kerja tersebut.
Selanjutnya adalah menentukan rope pada aliran produksi Channel 11. Rope berguna untuk mengatur agar operasi-operasi kerja yang diikat dengan rope dapat bekerja dengan seimbang. Rope dapat
diletakkan dari operasi kerja pairing ball firing sampai ke operasi kerja IR raceway grinding dan sampai ke operasi kerja OR raceway grinding. Dengan adanya kedua rope yang menuju operasi kerja
pairing ball firing, maka proses produksi di antara operasi-operasi kerja yang terikat dapat
diseimbangkan dengan cara mengatur kapasitas aktual yang dihasilkan oleh tiap operasi kerja.
4.3. Analisis Penyebab Bottleneck
Penyebab utama terjadinya bottleneck adalah terjadinya breakdown di beberapa mesin dan berbedanya waktu siklus yang dibutuhkan oleh tiap stasiun kerja. Mesin yang mengalami breakdown
akan segera ditangani oleh operator yang bertugas untuk mengawasi mesin tersebut. Berdasarkan wawancara dengan beberapa operator pada channel 11, dijelaskan bahwa dalam chanel tersebut terdapat
empat operator dengan satu foreman. Keempat operator tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengawasi mesin-mesin yang sudah dibagi. Di lapangan, beberapa mesin dapat mengalami breakdown
pada saat yang bersamaan dan mesin-mesin tersebut dapat berada pada tanggung-jawab seorang operator. Sehingga, operator tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaiki mesin-mesin yang
mengalami breakdown. Hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya bottleneck pada mesin-mesin yang rusak tersebut.
Penyebab bottleneck yang lain adalah terjadinya idle time. Idle time terjadi ketika mesin sebelum operasi kerja tersebut mengalami breakdown sehingga tidak terdapat produk setengah jadi yang masuk ke
operasi kerja tersebut. Selain itu, perbedaan waktu siklus tiap stasiun kerja menyebabkan terjadinya penumpukan WIP di beberapa stasiun kerja yang memiliki waktu siklus lebih lama dibandingkan waktu
siklus stasiun kerja sebelumnya.
4.4. Analisis Mesin Bottleneck di Channel 11
Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa stasiun kerja yang paling sering mengalami breakdown adalah stasiun kerja Cage Press yaitu mesin HIT
– 52 DCD. Kesalahan yang sering terjadi pada mesin ini adalah kesalahan menempatkan bearing yang telah berisi ball ke wadah press. Pada tahap ini, sering kali
peletakan bearing oleh mesin pengait salah, dimana posisi bearing pada wadah menjadi tidak sesuai. Jika pada proses ini telah mengalami kesalahan, maka bearing yang dihasilkan pada stasiun kerja ini akan
menjadi scrap semua. Umumnya, mesin HIT – 52 DCD baru akan membunyikan alarm breakdown
ketika beberapa bearing yang dihasilkan dari mesin tersebut menjadi scrap secara berurutan. Pada gambar 5, terlihat stasiun kerja yang paling sering mengalami idle pada Channel 11 adalah
stasiun kerja Pairing Ball Firing yang menggunakan mesin HMC -52 DCD. Terjadinya idle pada mesin ini dikarenakan waktu siklus yang dibutuhkan pada stasiun kerja ini jauh lebih cepat dibandingkan
waktu siklus yang dibutuhkan stasiun-stasiun kerja sebelumnya. Selain itu, mesin ini merupakan tempat
Semarang, 7 Oktober 2015
290 pertama kali proses assembly dimulai, sehingga mesin harus menunggu komponen IR ring dan OR ring
berada pada mesin tersebut terlebih dahulu agar proses assembly dapat dilakukan. Adanya perbedaan waktu siklus dari setiap mesin menyebabkan bottleneck yang terjadi cukup parah. Misalnya adalah
perbedaan waktu siklus mesin Auidmea RS untuk OR Ring mesin 1 dengan mesin Auidmea RS untuk IR Ring mesin 1. Untuk OR Ring mesin 1 membutuhkan waktu siklus sebesar 5,10 detik, sedangkan
untuk IR Ring mesin 1 membutuhkan waktu siklus sebesar 6,79 detik. Dari kedua waktu siklus tersebut, jelas terlihat bahwa akan terdapat perbedaan waktu kedatangan komponen dari tiap mesin pada mesin
HMC
– 52 DCD.
Jumlah Mesin Mengalami Breakdow 4 4 3 3 3 3 2 5
46 21 10 10 7 6 6 5 Percent
3 3 2 2 2 2 1 4 33 15 7 7 5 4 4 4
Cum 83 86 88 91 93 95 96100
33 49 56 63 68 72 77 80 Nama Mesin
Ot he
r IR
R ac
ew ay
H on
in g
M es
in 1
OR R
ac ew
ay H
on in
g M
es in
2
O R
Ra ce
w ay
G rin
din g
M es
in 2
No ise
a nd
V ib
ra tio
n Le
ve l T
es t
IR R
ac ew
ay B
or e
Gr in
din g
M es
in 1
Ra di
al Cl
ea ra
nc e
Te st
Ou ts
ide D
iam et
er C
he ck
M es
in 1
IR R
ac ew
ay H
on in
g M
es in
2
Ou ts
ide D
iam et
er C
he ck
M es
in 2
IR R
ac ew
ay B
or e
Gr in
din g
M es
in 2
In sid
e Di
am et
er B
or e
Ch ec
k M
es in
2 OR
R ac
ew ay
H on
in g
M es
in 1
In sid
e Di
am et
er B
or e
Ch ec
k M
es in
1 Pa
iri ng
B al
l F iri
ng Ca
ge P
re ss
140 120
100 80
60 40
20 100
80 60
40 20
J u
m la
h M
e s
in M
e n
g a
la m
i B
re a
k d
o w
P e
rc e
n t
Pareto Chart of Nama Mesin
Gambar 4 Diagram Pareto Mesin Breakdown pada Channel 11
Jumlah Mesin Mengalami Idle 46 44 29 28 21 11 10 10 33
88 69 62 56 52 49 49 48 Percent
7 6 4 4 3 2 1 1 5
12 10 9 8 7 7 7 7 Cum
74 80 84 88 91 92 94 95 100 12 22 31 39 46 53 60 67
Nama Mesin O
th er
IR R
ac ew
ay G
rin di
ng M
es in
1
IR R
ac ew
ay B
o r e
G rin
d i ng
M es
in 2
In sid
e D
ia m
et er
B or
e C
he ck
M es
in 2
O R
Ra ce
w ay
H on
in g
M es
in 2
IR R
ac ew
ay B
o r e
G rin
di ng
M es
in 1
Pr es
er va
tio n
Se al
S h i
el d
in g
P re
ss in
g M
iss in
g C
om po
ne nt
C h
ec k
A us
en si
tiv e
Fr ee
R un
ni ng
C h
ec k
R ad
ia l C
le ar
an ce
T es
t
N o i
se a
nd V
ib ra
tio n
L ev
el T
es t
IR R
ac ew
ay H
on in
g M
es in
2 M
ar k i
ng B
ea rin
g IR
R ac
ew ay
H on
in g
M es
in 1
C ag
e Pr
es s
Pa ir
in g
B al
l F iri
n g
700 600
500 400
300 200
100 100
80 60
40 20
J u
m la
h M
e s
in M
e n
g a
la m
i Id
le
P e
rc e
n t
Pareto Chart of Nama Mesin
Gambar 5 Diagram Pareto Mesin Idle pada Channel 11
5. KESIMPULAN
Penyebab utama terjadinya bottleneck pada lintasan produksi Channel 11 PT SKF Indonesia adalah karena seringnya terjadi breakdown pada beberapa mesin seperti pada mesin cage press. Selain itu,
karena berbedanya waktu siklus setiap mesin mengakibatkan waktu penyelesaian yang berbeda sehingga terdapat beberapa mesin yang mengalami idle menganggur. Penyebab lain yaitu adanya pengaturan
sistem prioritas pada mesin-mesin yang memiliki operasi kerja yang sama, misalnya pada mesin Izumi KN
– 533 yang melakukan operasi kerja IR raceway honing. Komponen-komponen yang akan diproses pada operasi kerja ini akan diprioritaskan masuk ke mesin Izumi KN
– 533 pertama, sehingga akan terjadi bottleneck
pada mesin pertama. Sedangkan mesin kedua akan mengalami idle. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis, diketahui bahwa mesin-mesin yang sering mengalami bottleneck adalah mesin
Auidmea RS kedua yang melakukan operasi kerja OR diameter check; mesin HMC
– 52 DCD yang melakukan operasi kerja pairing ball firing; mesin Ausensitive RS yang melakukan operasi kerja
Ausensitive free running check; operasi kerja final inspection; dan operasi kerja packing. Selain itu, mesin
yang paling sering mengalami breakdown adalah mesin HIT – 52 DCD yang melakukan operasi kerja
cage press dan mesin yang paling sering mengalami idle adalah mesin HMC
– 52 DCD yang melakukan operasi kerja pairing ball firing.
Semarang, 7 Oktober 2015
291
DAFTAR PUSTAKA
Buddas, Henrietta. 2014. A bottleneck analysis in the IFRC supply chain. Journal of Humanitarian Logistics and Supply Chain Management,
42, pp.222 – 244.
Gasperz, Vincent. 2004. Production Planning and Inventory Control. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Groover, M.P. 2001. Automation, Production Systems and Computer-Integrated Manufacturing. 18
th
Ed. Upper Saddle River, NJ: Pretince Hall. Harrington, H. J. 1991 Business Process Improvement, The Breakthrough Strategy for Total Quality,
Productivity, and Competitiveness . New York: McGraw-Hill.
Şimşit, Zeynep Tuğçe, Günay, Noyan Sebla, and Özalp, Vayvay. 2014. Theory of constraintμ a literature review. Procedia: Social and Behavioral Sciences 150 10th International Strategic Management
Conference, pp. 930
– 936. Slipper, Daniel. and Bulfin Jr, Robert L. 1998. Production: Planning, Control, and Integration. New
York: McGraw Hill. Umble, Michael. and Srikanth, Mokshagundam L. 1996. Synchronous Manufacturing: Principles for
World Class Excellence. Connecticut: The Spectrum Publishing Company Inc.
Watrous, C. Carl Pegels Craig. 2005. Application of the theory of constraints to a bottleneck operation in a manufacturing plant. Journal of Manufacturing Technology Management, 163, pp. 302
– 311. Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. 1
st
Ed. Surabaya: Prima Printing.