KOMPARASI METODE AGREGASI PROSIDING 2nd ACISE 2015

Semarang, 7 Oktober 2015 264 Nilai tiap indikator dikalikan dengan nilai bobot untuk indikator. Kemudian, hasil perkalian antara nilai dengan bobot untuk masing-masing indikator dijumlahkan menghasilkan nilai aspek. Nilai tiap aspek kemudian dijumlahkan dan dibagi jumlah aspek menghasilkan indeks komposit keberlanjutan. Jadi penentuan nilai dilakukan dengan agregasi secara linier dimana nilai tiap aspek akan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah aspek. Formulasi untuk perhitungan indeks keberlanjutan sebagai berikut: Setelah diperoleh nilai indeks keberlanjutan, nilai ini akan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh Direktorat sumberdaya ikan, KKP RI seperti diberikan pada Tabel 2. Tabel 3. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Sebagai contoh adalah hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan untuk WPP 571. Aspek dan indikator pembentuknya dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai aspek pada Tabel 3 adalah hasil penilaian EAFM Ecosystem approach to fisheries Management untuk wilayah pengelolaan perikanan WPP 571. WPP 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah laut Thailand, Malaysia dan India. Sebelah barat berbatasan dengan Kab Pidie Aceh besar, sebelah selatan berbatasan dengan kap siak, Riau, dan disebelah timur berbatasan dengan Kab Bengkalis. Maka, nilai indeks keberlanjutan untuk WPP 571 adalah 189 seperti hasil perhitungan berikut : Hasil penilaian untuk wilayah perairan 517 sebesar 187 ini termasuk dalam kategori sedang sesuai dengan panduan indikator keberhasilan pendekatan ekosisitem dalam pengelolaan perikanan ecosystem approach to fisheries management seperti digambarkan pada Tabel 2. Penilaian keberlanjutan perikanan yang dilakukan dengan indeks komposit metode agregasi linier seperti pada kasus ini memberikan nilai yang kurang sensitif. Sebenarnya hanya aspek ekonomi yang memiliki nilai buruk, kemudian aspek teknis penangkapan dan aspek kelembagaan memiliki nilai sedang. Aspek lainnya telah berada pada kategori penilaian Baik. Jika perhitungan dilakukan dengan metode geometri ataupun metode Multi atribut akan diperoleh nilai yang berbeda dan lebih dapat memberi hasil yang bermanfaat.

6. KESIMPULAN

Dalam memformulasikan indeks komposit terdapat tiga tahap utama yang sangat mempengaruhi indeks yang dihasilkan. Ketiga tahap tersebut adalah tahap normalisasi data, tahap pembobotan dan tahap agregasi. Metode agregasi perlu diperhatikan agar diperoleh hubungan fungsi yang tepat dalam mengkompositkan indikator dan diperoleh indeks yang merepresentasikan kondisi nyata. Beberapa kesimpulan dari perbandingan metode agregasi dalam membentuk indeks komposit adalah sebagai berikut: 1. Agregasi Linier memiliki sifat perhitungan yang lebih sederhana dan mudah digunakan, namun penggunaan agregasi linier hanya terbatas pada kondisi dimana indikator yang dikompositkan memenuhi kondisi prefrensi independence. 2. Agregasi geometris memiliki sifat sensifitas terhadap bobot dari indikator yang dikompositkan, penggunaan agregasi geometris sesuai digunakan apabila indikator yang dikompositkan memenuhi kondisi prefrensi independence. Semarang, 7 Oktober 2015 265 3. Agregasi dengan pendekatan multi attribute dapat menggabungkan informasi yang bersifat kualitatif ataupun kuantitatif. Terpenuhi atau tidaknya kondisi preferensi independence pada pendekatan ini mempengaruhi bentuk fungsi additive atau multicative.Indeks yang dihasilkan dengan pendekatan ini bersifat tidak konsisten terhadap adanya indikator baru. Tabel 2. Penggunaan indeks komposit pada penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan 1. CPUE 14.29 2 28.6 2. Ukuran ikan 14.29 3 42.9 3. Proporsi ikan 14.29 1 14.3 4. Komposisi Spesies 14.29 2 28.6 5. Spesies ETPspesies dilindungi 14.29 3 42.9 6. Range Collapse 14.29 2 28.6 7. Biomassa 14.29 2 28.6 1. M etode penangkapan yang bersifat destruktif atau illegal. 16.67 1 16.7 2. M odifikasi alat penangkapan dan alat bantu penangkapan. 16.67 2 33.3 3. Fishing effort dan fishing capacity. 16.67 1 16.7 4. Selektivitas penangkapan. 16.67 2 33.3 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal. 16.67 2 33.3 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 16.67 3 50.0 1. Kualitas perairan 12.5 2 25.0 2. Status lamun 12.5 2 25.0 3. Status mangrove 12.5 2 25.0 4. Status terumbu karang 12.5 1 12.5 5. Habitat khusus 25 3 75.0 6. Status dan produktivitas perikanan. 12.5 2 25.0 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. 12.5 2 25.0 Pendapatan rumah Tangga 25 1 25.0 Nilai tukar nelayan 25 1 25.0 Saving Rate 25 1 25.0 Kepemilikan aset 25 2 50.0 1. Partisipasi pemangku kepentingan. 33.3 2 66.6 2. Konflik perikanan 33.3 2 66.6 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan SDI 33.3 3 99.9 1. Kepatuhan terhadap prinsip pengelolaan perikanan 11.11 2 22.2 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan. 22.22 2 44.4 3. M ekanisme pengambilan keputusan. 11.11 2 22.2 4. Rencana pengelolaan perikanan. 11.11 2 22.2 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan 11.11 1 11.1 6. Kapasitas pemangku kekuasaan. 11.11 2 22.2 7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan. 11.11 1 11.1 Indikator penilaian tiap aspek Bobot Indikator S kor Indikator Nilai 1 Sumberdaya ikan 2 Teknis penangkapan ikan No Aspek penilaian sustainability Total Nilai 1124 Indeks komposit 187 Nilai aspek Nilai aspek Nilai aspek Nilai aspek Nilai aspek 214 5 Sosial 6 Kelembagaan 3 Habitat 183 213 125 233 156 4 Ekonomi