Semangat Keikhlasan, Proklamasi Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan,Dasar Negara, Konstitusi, dan Perundang-undangan 3- 13 “.... Saudara-saudara...hal ‘kemakmuran’ dan ‘keadilan sosial’ ini cita-cita kita bukan cita-cita yang kecil. Manakala revolusi Perancis, misalnya, adalah revolusi untuk membuka pintu buat kapitalisme dan imperialisme, maka revolusi kita adalah justru untuk menjauhi kapitalisme dan imperialisme. Tetapi seperti sudah puluhan, ratusan kali saya katakan: Revolusi bukan sekedar kejadian sehari bukan sekedar satu evenement; revolusi adalah suatu proses, suatu proses destruktif dan konstruktif yang gegap-gempitanya kadang-kadang memakan waktu puluhan tahun. Proses destruktif kita boleh dikatakan sudah selesai, proses konstruktif kita, sekarang baru mulai. Dan ketahuilah, proses konstruktif ini memekan banyak waktu dan banyak pekerjaan. Ya, banyak pekerjaan Banyak pemerasan tenaga dan pembantingan tulang Banyak keringat Adakah di dalam sejarah tercatat suatu bangsa menjadi bangsa yang besar dan makmur zonder banyak mencucurkan keringat? Tempo hari saya membaca tulisannya seorang bangsa asing yang mengatakan bahwa “mempelajari sejarah adalah tiada guna.” “History is bunk”, demikian katanya. Tetapi saya berkata: justru dari menelaah sejarah itulah kita dapat menemukan beberapa hukum pasti yang menguasai kehidupan bangsa-bangsa. Salah satu daripada hukum-hukum itu ialah tidak ada kebesaran dan kemakmuran yang jatuh begitu saja dari langit. Hanya bangsa yang mau bekerjalah menjadi bangsa yang makmur. Hukum ini berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama atau ideologi. Ideologi yang mengatakan bahwa bisa datang kemakmuran zonder tanpa, pen kerja adalah ideologi yang bohong.................................................................. Semangat 17 Agustus 1945 adalah semangat keikhlasan. Semangat pengorbanan. Semangat persatuan, semangat Pancasila. Semangat pembangunan, - membangun negara dan masyarakat dari Proklamasi Kemerdekaan,Dasar Negara, Konstitusi, dan Perundang-undangan 3- 14 ketiadaan. Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu kita sungguh tidak mempunyai apa-apa melainkan rancangan Undang-undang Dasar, lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih, secarik kertas proklamasi. Tetapi pada waktu itu hidup dalam kalbu kita, - hidup betul-betul suci murni dalam kalbu kita semangat Pancasila Karena itulah kita pada waktu itu ikhlas. Karena itulah kita pada waktu itu bersatu dan tidak dengki mendengki seperti sekarang. Karena itulah kita pada waktu itu sedia berkorban.” Moch. Said, 1961: 1568-1570. Untaian naskah pidato Bung Karno tersebut di atas serasa masih baru kita dengarkan. Apa yang disampaikan dalam pidato tersebut ternyata masih relevan, masih sesuai, masih cocok dengan kondisi bangsa kita di hari-hari ini. Bangsa kita hari-hari ini dan ke depan masih membutuhkan semangat keikhlasan, pengorbanan, pembangunan, dan semangat Pancasila. Kondisi persoalan bangsa di tahun-tahun belakangan ini begitu banyak, terasa sesak berdesak- desak ingin dipecahkan. Tetapi persoalan kemarin belum dapat diatasi, ternyata telah muncul berpuluh-puluh persoalan baru yang lebih rumit dan susah dipecahkan. Sebuah contoh kasus adalah persoalan kemiskinan yang tak habis-habisnya mendera masyarakat kita. Segala usaha telah dilakukan tetapi belum membuahkan hasil, bahkan akhir- akhir ini muncul persoalan penyakit busung lapar di berbagai daerah. Akan bangsa ini berputus asa dan tenggelam dalam permasalahan? Tentu tidak, sebab sebenarnya tiada masalah yang tak dapat dipecahkan. Permasalahannya, untuk memecahkan masalah itu dibutuhkan semangat keikhlasan, pengorbanan, pembangunan, dan semangat Pancasila yang akhir-akhir ini mulai meluntur.

6. Jiwa Merdeka Nasional

Jiwa merdeka nasional berarti tidak mau dihinggapi oleh penjajahan sedikit pun juga. Caranya adalah dengan memiliki rasa percaya diri dan kemampuan berdiri sendiri di atas kekuatan sendiri. Proklamasi Kemerdekaan,Dasar Negara, Konstitusi, dan Perundang-undangan 3- 15 Jiwa yang merdeka tidak tergantung dari sesuatu di luar dirinya, tentunya kecuali tidak terhindarkan. Misalnya, kita membeli baju karena tidak bisa membuat sendiri, tetapi toh kita membeli dengan uang sendiri dari hasil jerih payah sendiri. Hal itu jelas bukan ketergantungan yang dimaksud. Sikap tergantung adalah tidak mampu berbuat sesuatu kecuali atas bantuan dan kemauan orang lain. Jadi dengan demikian, jiwa merdeka nasional adalah jiwa kemandirian di dalam kehidupan nasional, tidak tergantung semata-mata dari bantuan dan kehendak pihak asing. Sebab, ketergantungan terhadap bangsa atau negara lain itu secara langsung atau tidak langsung merupakan bentuk penjajahan terhadap bangsa kita. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang punya kebebasan untuk berekspresi, untuk menyatakan apa yang ada dalam pikiran dan kemauan kita. Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Jiwa yang merdeka itulah salah satu hakikat dari makna proklamasi kemerdekaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno pada pidato peringatan hari proklamasi tanggal 17 Agustus 1951 sebagai berikut ini. Kembali saya bertanya: apa sebab masih ada perbedaan begitu besar antara harapan dan kenyataan, antara idealitas dan realitas.... Ah, saudara-saudara, mau tidak mau saya ingat kembali kepada waktu kita masih baru di dalam revolusi baca perjuangan, pen.. Ah, pada waktu itu tidak ada sesuatu hal yang kita rasakan terlalu tinggi. Apa yang tidak kita laksanakan waktu itu? .... Suatu benteng raksasa kolonial yang tersusun maha kuat tida ratus lima puluh tahun lamanya, kita gugurkan dalam tempo beberapa hari. Suatu tentara besar yang sudah dilucuti Jepang pada tanggal 18 Agustus, kita bangunkan kembali dalam tempo beberapa minggu. Tantangan-tantangan mahabesar yang datangnya kadang-kadang... hendak menerkam kita,