Budaya Politik Indonesia Uraian Materi BUDAYA POLITIK
Konstitusi, Demokrasi, dan Budaya
massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak-hak dan memikul tanggung jawab politik, sedangkan dipihak lain elit
politiknya merupakan partisipan yang aktip. c. Masih kuatnya ikatan primordial, yang dapat dikenali dari kuatnya sentiment
kedaerahan, kesukuan, keagamaan dan sebagainya. d. Masih kuatnya partenalisme dan patrimonial, yang nampak dari sikap
bapakisme dan asal bapak senang. e. Adanya dilemma antara introduksi modernisasi dengan nilai-nilai tradisional,
dimana modernisasi dipersepsi sebagai westernisasi. Kantaprawira, 1983:40-43
Ciri-ciri budaya tersebut agaknya cukup menggambarkan keadaan yang nyata dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Sedangkan menyangkut keanekaragaman sub budaya politik di Indonesia, walaupun
budaya politik kedaerahan banyak memberi warna didalamnya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa buidaya politik Indonesia secar dominant dipengaruhi
oleh budaya politik Jawa. Dengan demikian suku non- Jawa cenderung mengadaptasikan diri dengan nilai-nilai kejawaan atau menjadikan nilai-nilai
budaya Jawa sebagai basis persepsi politik mereka Muhaimin, dalam: Alfian dan Sjamsuddin, 1991:54. Bahwa budaya politik Jawa secara dominant
mewarnai budaya politik Indonesia, antara lain nampak dari idiom- idiom yang sering digunakan dalam wacana perpolitikan Indonesia, baik dikalangan
elit politik Jawa sendiri maupun elit politik dari suku- suku lain. Bahkan dengan sedikit kelakar sering dikatakan bahwa elit politik dari luar jawa pun banyak
diantaranya justru lebih “njawani” dibandingkan dengan orang-orang Jawa. Sampai batas-batas tertentu kenyataan semacam itu kiranya bisa dipahami,
mengingat bahwa orang Jawa meliputi sebagian besar dari keseluruhan penduduk Indonesia. Namun demikian issue jawanisasi agaknya juga perlu
mendapatkan perhatian dalam rangka mengembangkan budaya politik Indonesia agar tidak menimbulkan kecemburuan.
Konstitusi, Demokrasi, dan Budaya
Budaya Jawa yang sangat berpengaruh terhadap budaya politik Indonesia secara garis besar dapat disimak dalam uraian berikut. Tentunya
bahasan tentang budaya Jawa pada bagian ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan kebudayaan Jawa secara lengkap dengan segala unsur-unsur
kebudayaan didalamnya. Disamping karena terlalu kompleksnya ruang lingkup kebudayaan, juga tidak semua unsur kebudayaan itu cukup penting untuk
dikaitkan dengan masalah budaya politik. Disini hanya akan dikupas sebagian pola perilaku masyarakat Jawa yabg kiranya cukup mewarnai tampilan sistem
politik Indonesia. Yahya Muhaimin dalam tulisannya ”Persoalan Budaya Politik Indonesia”
menunjukkan adanya sikap budaya Jawa yaitu sebagai berikut: Pertama: Cenderung tidak berada dalam situasi konflik, tetapi mudah
tersinggung. Kedua: Menjunjung tinggi ketenangan sikap.
Ketiga: Kuatnya rasa kebersamaan sharing, termasuk dalam hal tanggung jawab Muhaimin, dalam: Alfian dan Sjamsudin, 1991:54
Sikap-sikap tersebut nampaknya cukup mewarnai bukan saja kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, akan tetapi juga wacana serta budaya politik
Indonesia. Kecenderungan untuk tidak berada dalam situasi konflik
membawakan prinsip harmoni dalam wacana politik kita, dimana situasim politik yang dianggap ideal adalah situasim politik yang menggam, barkan
terdapatnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Berkenaan dengan ketidaksukaan berada dalam situasi konflik itu, masyarakta Jawa cenderung
menilai tinggi perilaku yang “sa-madya”, yang kurang lebih maknanya adalah “yang sedang- sedang saja”. Mengapa demikian, karena perilaku yang
ekstrim dianggap
akan membawakan benturan-benturan, pertentangan-
Konstitusi, Demokrasi, dan Budaya
pertentangan atau konflik dengan pihak lain yang memiliki kepentingan yang berbeda. Sebaliknya perilaku yang bersifat “sa-madya” dianggap lebih luwes
dalam menanggapi setiap perbedaan, lebih lentur, sehingga bisa menghindari pertentangan-pertentangan yang frontal. Dalam kehidupan politik
pun agaknya sikap-sikap yang ekstrim dalam kehidupan politik kurang mendapatkan tempat dihati masyarakat.
Sedangkan menjujung tinggi ketenangan sikap, disini dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Jawa kekuatan dalam arti yang substansial justru akan
muncul dari sikap-sikap yang tenang, lemah lembut, dan bukan dari sikap-sikap yang kasar, yang menggambarkan amarah. Hal semacam itu tercermin dari
ungkapan seperti, “sura, dira, jayaningrat, lebur dening pangastuti”, yang kurang lebih artinya adalah bahwa sikap dan perilaku yang kasar, kejam,
keangkaramurkaan dan semacamnya, pada akhirnya akan kalah dengan sikap yang lemah lembut. Dalam dunia pewayangan sikap yang lemah lembut
itu digambarkan dalam figure “satria” dengan tubuhnya yang ramping, wajah menunduk, dan gaya bicara yang halus. Karakter semacam itu dikontraskan
dengan figer raksasa atau “buta” yang digambarkan dengan tubuhnya yang besar, wajah yang menyeramkan, serta bicaranya yang kasar.
Namun dalam peperangan yang terjadi diantarakeduanya raksasa itu akhirnya kalah oleh satria. Warna semacam itu dalam kehidupan politik
nampak dari pemikiran dan sikap yang menghendaki untuk sesedikit mungkin digunakan cara-cara kekerasan dalam menangani masalah. Kendatipun
karena desakan kepentingan sesaat hal semacam itu sering nampak sebatas wacana dan tidak benar-benar diwujudkan dalam kenyataan.
Kuatnya rasa kebersamaan sharing menjadikan seseorang kurang memiliki kedirian. Dengan nilai budaya semacam itu, orang lebih suka meleburkan
diri dalam kebersamaan dan kurang berani menunjukkan kedirian sebagai pribadi. Keadaan semacam itu juga nampak dari ketidaksukaannya untuk
“tampil beda”, karena keadaan
yang berbeda dari yang kebanyakan dipersepsi sebagai sebuah keganjilan walaupun sesungguhnya yang hendak dilakukan justru lebih
baik dari orang-orang lain. Kebersamaan itu juga dalam hal tanggung jawab, dimana orang cenderung untuk berbagi tanggung jawab
dengan orang-orang lain, dan kurang berani untuk mengambil tanggung
jawab sendiri atas sesuatu
yang dilakukannya. Kecenderungan untuk berbagi tanggung jawab juga dalam tindakan
yang bersifat negative seperti korupsi, misalnya. Tindakan semacam itu biasanya tidak dilakukan dan inikmati sendiri akan tetapi secara
bersama-sama, karena dalam kebersamaan itu merekabisa berbagi beban dan tanggung jawab barangkali juga berbagi rasa berdosa.
Disamping nilai-nilai budaya tersebut diatas, yang juga sangat nampak adalah menonjolnya “ewuh prekewuh”, sehingga orang
cenderung untuk tidak menyatakan segala sesuatu secara terus terang. Dalam budaya Jawa ungkapan “sanepa” atau perumpamaan
sering digunakan dalam pembicaraan, dengan maksud untuk menghindari pengungkapan sesuatu secara terus terang yang
dikhawatirkan akan menyinggung perasaan pihak lain. Dalam wacana politik hal itu nampak sekali ketika kita
memperhatikan pernyataan yang dilontarkan oleh elit politik, pejabat dan lain-lain. Pernyataan yang mereka lontarkan seringkali tidak cukup
kalau kita hanya menangkap maknanya secara lugas tanpa
mencermati makna yang tersirat. Begitu juga dalam menanggapi kritik. Dalam budaya poltik Indonesia kritik memang bukan sesuatu yang
ditabukan. Akan tetapi kritik hendaknya tidak disampaikan secara terang-terangan, melainkan dikemas dengan ungkapan
yang halus dan tidak terlalu “vulgar” agar tidak menyinggung perasaan.