Instrumen Hukum Anti Korupsi a. Perundang-undangan Anti Korupsi
91 memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara. Undang-undang ini dinamakan juga undang-undang anti-
korupsi, terdiri atas 10 bab dan 24 pasal. Di bawah ini dikutipkan sebagian isi UU tersebut secara utuh dan apa adanya. Anda dapat
membaca dan mencermati isi dari UU dari pasal-pasal yang ada. Berdasarkan pengamatan itu, Anda bisa menyimpulkan bahwa UU
tersebut dapat dijadikan sebagai instrumen atau alat untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut di atas dilaksanakan melalui 5 instrumen hukum yang terdiri dari 4
Peraturan Pemerintah dan 1 Keputusan Presiden. Kelima instrumen perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut.
a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara. b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa.
c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa. d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
e Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi
Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara
2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah Diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
92 Undang-Undang ini lahir atas dasar beberapa bertimbangan.
Pertama, bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional, sehingga harus diberantas. Kedua, bahwa akibat dari tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan atau
perekonomian negara,
juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan yang menuntut efisiensi tinggi. Ketiga, bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1973
tentang Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdiri atas 7 Bab dan 45 pasal. Bab I memuat satu pasal mengenai Ketentuan Umum. Bab
II memuat 19 pasal mengenai Tindak Pidana Korupsi. Bab III memuat 4 pasal mengenai Tindak Pidana Lain yang Berkaitan
dengan Tindak Pidana Korupsi. Bab IV memuat 16 pasal mengenai Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Bab V memuat 2 pasal mengenai Peran Serta Masyarakat. Bab VI memuat satu pasal mengenai Ketentuan lain-lain. Bab VII memuat
dua pasal mengenai Ketentuan Penutup. Akibat dari semakin meluasnya tindak pidana korupsi yang
terjadi, dipandang perlu perubahan beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 31, maka
keluarlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar pertimbangan lebih lanjut adanya perubahan tersebut, bahwa korupsi tidak saja
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas. Dengan begitu tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara
LUAR BIASA.
93 Perubahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi
juga dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum, dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat, serta perlakukan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Beberapa perubahan ketentuan tersebut antara lain: a Pasal 2 ayat 2 substansi tetap, penjelasan pasal diubah
sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum
dalam penjelasan pasal demi pasal angka 1 undang-undang ini. Berarti
bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi yang diatur pada pasal 2 ayat 1 dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi: •
penanggulangan keadaan bahaya, •
bencana alam nasional, •
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, •
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan •
penanggulangan tindak pidana korupsi. b Ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 12, rumusannya diubah
dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-
unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dengan demikian, misalnya pasal 5, menjadi lebih jelas
dan tegas, bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun danatau pidana dengan
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00 setiap orang yang:
• memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
94 •
memberi sesuatu
kepada pegawai
negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksudkan di atas
dipidana dengan pidana yang sama.