17
Baru untuk menjalankan pemerintahan adalah dengan mengadakan utang. Langkah ini diawali dengan normalisasi hubungan yang sempat terputus dengan
berbagai lembaga multilateral, terutama dengan International Monetary Fund IMF dan Bank Dunia World Bank. Bantuan dari berbagai negara lembaga
donor baik multilateral maupun bilateral juga sangat membantu kembalinya kehidupan perekonomian Indonesia secara lebih sehat.
Dengan bantuan keuangan dari luar negeri tersebut, maka dalam merencanakan pembangunan, pemerintah Orde Baru melaksanakan pembangunan
terencana menurut tahapan lima tahunan, yang kemudian dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita.
1. Pembangunan Terencana Pelita I 19691970 - 19731974
Perkembangan yang pesat dari program normalisasi, stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian pada awal pemerintahan Orde Baru akhirnya
memungkinkan pemerintah mengambil langkah-langkah yang lebih terencana dan terprogram. Karena itu, sejak tahun 1969, pemerintah mencanangkan dimulainya
Pembangunan Lima Tahun PELITA yang pertama. Pada tahun pertama Pelita I tersebut, penerimaan domestik pemerintah
mencapai jumlah Rp 243.7 miliar, sementara dari bantuan proyek dan program, diperoleh utang sebesar Rp 91 miliar. Pada tahun tersebut pemerintah mulai
berhasil mengalokasikan dana sejumlah Rp 118.2 miliar untuk keperluan anggaran pembangunan.
Anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan mendapat alokasi sebesar Rp 10.1 miliar, sektor kesehatan Rp 4.2 miliar, sektor pertanian Rp 35.1 miliar,
sektor energi Rp 13.3 miliar dan sektor transportasi Rp 37 miliar. Pada akhir Pelita I, kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan
pertumbuhan yang mengesankan. Dengan adanya pinjaman luar negeri sebesar lebih dari USD 600 juta, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1973 mengalami
tingkat yang melampaui 8 persen untuk pertama kalinya. Jumlah utang pemerintah mencapai USD 4.4 miliar. Dana pembangunan yang dialokasikan untuk ke lima
sektor utama tersebut juga menunjukkan peningkatan yang tajam.
18
Pelita II 19741975 – 19781979
Pelita II juga merupakan periode yang menunjukkan berbagai perkembangan yang positif. Dari sisi pemerintah, tahun tersebut juga ditandai
dengan pesatnya kenaikan penerimaan dalam negeri yang mencapai lebih dari Rp 4.3 triliun. Jumlah tersebut berarti hampir lima kali dari apa yang diperoleh pada
lima tahun sebelumnya. Dengan adanya bantuan luar negeri yang berjumlah sekitar Rp 1 triliun, pengeluaran untuk pembangunan dapat mencapai lebih dari
Rp 2.5 triliun. Pada tahun pertama Pelita II, alokasi dana pembangunan untuk sektor
pendidikan mencapai Rp 54.1 miliar, sektor kesehatan Rp 15.9 miliar, sektor pertanian Rp 101 miliar, sektor energi Rp 59.1 miliar, dan sektor transportasi
sebesar Rp 110.7 miliar. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi selama periode Pelita II mencapai lebih dari 7 persen.
Akan tetapi, masa lima tahun tersebut tetap ditandai oleh ”current acount”
yang defisit, yang kemudian tertutup oleh utang luar negeri dan aliran modal asing. Pada akhir Pelita II, jumlah utang luar negeri selama periode tersebut
menambah posisi utang pemerintah menjadi USD 11 miliar.
Pelita III 19791980 – 19831984
Pada tahun pertama Pelita III, di bidang pengeluaran pemerintah, total alokasi angaran pembangunan untuk sektor-sektor utama mengalami peningkatan
yang cukup pesat. Sektor pendidikan mendapat alokasi sebesar Rp 342.3 miliar, sektor kesehatan Rp 90.2 miliar, sektor pertanian Rp 419.3 miliar, sektor energi
Rp 392.9 miliar, dan sektor transportasi Rp 497.5 miliar. Pada tahun terakhir Pelita III, untuk pertama kalinya, pengeluaran
pembangunan menjadi lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran rutin, yaitu mencapai hampir Rp 10 triliun. Alokasi anggaran pembangunan untuk sektor
pendidikan mencapai Rp 1.30 triliun, sektor kesehatan Rp 0.21 triliun, sektor pertanian Rp 1.32 triliun, sektor energi Rp 1.12 triliun, dan sektor transportasi Rp
1.22 triliun. Namun, pada masa tersebut perkonomian mengalami pertumbuhan yang sedikit lambat, yaitu selama lima tahun rata-rata mencapai 6.1 persen. Pada
akhir tahun 1983 jumlah utang Pemerintah meningkat menjadi USD 20 miliar.
19
Pelita IV 19841985 – 19881989
Pada masa ini, perkembangan ekonomi Indonesia kembali menunjukkan fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun tersebut mengalami naik-
turun sehingga pada akhirnya rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut hanya mencapai 5.2 persen.
Pada akhir periode Pelita IV tersebut, pengeluaran pembangunan rupiah murni dan pinjaman luar negeri untuk sektor pendidikan berjumlah Rp 1.07
triliun, sektor kesehatan Rp 0.17 triliun, sektor pertanian Rp 1.30 triliun, sektor energi Rp 1.22 triliun, dan sektor transportasi Rp 1.53 triliun. Jumlah utang
pemerintah kembali meningkat menjadi sekitar USD 39 miliar.
Pelita V 19891990 – 19931994
Pada periode ini, penerimaan dalam negeri pemerintah kembali menunjukkan peningkatan lebih dari dua kalinya sehingga mencapai lebih dari Rp
50 triliun. Jumlah Pengeluaran Pembangunan mencapai separuh dari jumlah tersebut. Sektor pendidikan mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp
3.52 triliun, sektor kesehatan Rp 0.77 triliun, sektor pertanian Rp 3.08 triliun, sektor energi Rp 3.29 triliun, dan sektor transportasi Rp 4.40 triliun.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata pada Pelita V mencapai 8.3 persen, inflasi rata-rata selama lima tahun tersebut juga ditandai oleh suatu tingkat yang masih
berada pada ”single digit”. Jumlah utang luar negeri pemerintah meningkat menjadi USD 52.5 miliar.
Pelita VI 199495 – 19981999
Periode ini adalah periode terakhir dalam pembangunan jangka panjang pemerintahan Orde Baru. Sampai dengan akhir periode ini, pengeluaran
pembangunan untuk lima sektor utama yang menjadi bahasan juga mengalami peningkatan yang tajam dibandingkan dengan periode yang sama pada Pelita
sebelumnya. Anggaran sektor pendidikan pada tahun 19981999 berjumlah Rp 5.29 triliun, sektor kesehatan Rp 1.74 triliun, sektor pertanian Rp 6.09 triliun,
sektor energi Rp 6.08 triliun, dan sektor transportasi Rp 8.46 triliun.
20
Menjelang akhir periode ini, seiring dengan globalisasi yang melanda hampir seluruh negara di dunia, sektor swasta juga berkembang dengan pesat
sehingga pemerintah menjadi lengah dalam melakukan kontrol terhadap perkembangan dunia usaha swasta. Kondisi perkembangan ekonomi Indonesia
saat itu dapat dikatakan ”over heated” akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor.
”Booming” dunia perbankan Indonesia, yang dimulai paruh waktu periode Pelita VI ini sampai sebelum krisis sebetulnya dalam tingkat yang
cukup baik. Namun badai krisis keuangan yang melanda Thailand pada tahun 1997, dan yang dengan cepat merebak ke Indonesia telah menggoncang
perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Fluktuasi nilai tukar yang bergerak sedemikian cepat membuat Bank Indonesia kesulitan menjaga stabilitas moneter,
sehingga akhirnya sampai pada keputusan yaitu mengambangkan mata uang agar cadangan devisa pemerintah tidak habis terkuras. Pertumbuhan ekonomi menjadi
negatif. Utang dalam negeri mulai terbentuk dalam jumlah yang sangat besar melampaui jumlah utang luar negeri pemerintah yang sejak awal Orde Baru
selama lebih dari 25 tahun telah dikelola dengan hati-hati. Rasio stok utang pemerintah terhadap PDB mencapai 101.2 persen, yang terdiri dari utang luar
negeri dengan rasio 46.3 persen dan utang dalam negeri dengan rasio 54.9 persen terhadap PDB.
2. Ringkasan Hasil Pembangunan Terencana