Dinamika Utang Luar Negeri Pemerintah

23 Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan jumlah stok utang pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai tukar mata uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia maupun terjadinya perubahan kurs antar mata uang utama di dunia. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan utang sebesar USD 13.5 miliar sedangkan pada tahun 1999 juga terjadi kenaikan lagi sebesar USD 8.4 miliar. Namun demikian, pada tahun 2000 stok utang kembali mengalami sedikit penurunan dan berlanjut ke tahun-tahun berikutnya sedikit demi sedikit.

2.2.3. Dinamika Utang Luar Negeri Pemerintah

Utang luar negeri pemerintah sebelum krisis sebetulnya bergerak cukup pelan. Di masa itu, fluktuasi dalam jumlah utang lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan kurs yang terjadi di antara mata uang internasional, terutama Yen dengan Dolar AS. Lonjakan yang cukup besar baru terjadi pada saat krisis, terutama dengan diterimanya pinjaman dari IMF, Bank Dunia, ADB serta pinjaman multilateral dan bilateral lainnya untuk membantu pemerintah dalam mengatasi krisis. Sebagian besar pinjaman itu berbentuk ”Balance of Payments Support ”, yaitu pinjaman yang dimaksudkan untuk memperkuat cadangan devisa. Ini berarti bahwa pinjaman baru tersebut tidak digunakan untuk pembangunan ataupun pengeluaran lainnya, tetapi untuk menambah kembali cadangan devisa yang merosot tajam. Sebagaimana diketahui, aliran modal ke luar negeri yang sangat besar terjadi selama krisis tersebut, baik karena penarikan dana investor asing, pelunasan pinjaman luar negeri tanpa ada pemberian pinjaman baru roll- over, maupun yang murni merupakan pelarian modal untuk mencari tempat penyimpanan atau investasi yang lebih aman. Yang penting dilihat adalah gerakan ”cashflow” yang terkait dengan utang tersebut. Penting untuk diamati, berapa jumlah bunga yang harus dibayar berkaitan dengan pinjaman tersebut, dan berapa jumlah cicilan kalau tidak dilakukan rescheduling yang harus dibayar. Di sinilah barangkali perlu dilihat secara lebih serius kaitan utang ini dengan kemampuan pemerintah untuk mengatasinya. Suatu hal yang selama ini merupakan ”blessing” adalah bahwa 24 sebagian terbesar dari pinjaman luar negeri pemerintah tersebut bersifat konsesional, yaitu jangka waktunya panjang, suku bunganya tetap dan relatif rendah. Bahkan untuk pinjaman pemerintah yang berasal dari sektor swasta-pun, yang berdasarkan laporan Bank Indonesia Maret 2005, yang berjumlah sekitar 2 miliar Dolar AS, relatif memiliki bunga yang cukup rendah. Pinjaman swasta ini antara lain berbentuk pinjaman sindikasi yang semula untuk pinjaman siaga dengan bunga LIBOR ditambah spread kurang dari 1 persen. Demikian juga Obligasi Pemerintah Yankee Bond pada saat dikeluarkan tahun 1995 berbunga Treasury Rate ditambah spread 1 persen. Karena itu, secara keseluruhan pinjaman luar negeri pemerintah pada posisi saat itu memiliki bunga yang relatif rendah. Jika kurs Rupiah terhadap mata uang Dolar AS cukup stabil, suku bunga tersebut sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan bunga utang dalam negeri pemerintah, yaitu yang sebagian berbunga tetap di atas 10 persen. Sebagian lagi dikaitkan dengan bunga SBI Sertifikat Bank Indonesia dan selebihnya diindekskan dengan inflasi. Beban bunga ini memang akan menjadi lebih berat jika mata uang Rupiah melemah. Dengan gambaran ”cash outflow” utang semacam itu, pada akhirnya perlu dilihat jumlah pinjaman yang akan diterima pemerintah dari luar negeri. Jika cicilan pinjaman akan di-reschedule lagi, sedangkan pinjaman baru tetap diterima, otomatis jumlah pinjaman akan meningkat cepat. Tekad untuk mengurangi utang tersebut baru akan menjadi kenyataan jika jumlah pinjaman baru yang ditarik lebih kecil daripada cicilan utang yang dibayar dengan catatan tidak ada perubahan kurs Dolar AS dengan mata uang lainnya. Karena itu, strategi inilah yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh, yaitu pinjaman baru yang bagaimana yang memang dapat memberikan dampak bagi peningkatan kemampuan Indonesia untuk membayar utang tersebut di masa mendatang.

2.2.4. Permasalahan Utang Pemerintah