50
yang terkumpul di masa lalu. Dapat disimpulkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada tingkat bunga riil, maka suatu nilai utang tidak akan
menimbulkan masalah sustainabilitas.
3.4. Penelitian Terdahulu
Utang pemerintah mulai menjadi bahan diskusi dan penelitian yang intensif setelah banyak negara-negara miskin pengutang berat Highly Indebted
Poor Countries , ”HIPC” mengalami kesulitan dalam membayar cicilan utang
pokoknya. Di satu sisi, investasi dan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut tidak memberikan pendapatan yang cukup untuk membayar utang, di sisi
yang lain, tanpa sumber pendanaan baru, negara-negara tersebut tidak dapat melaksanakan pembangunannya.
Pada umumnya penelitian yang dilakukan terdahulu banyak membahas kaitan antara utang pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Keberadaan utang memang menjadi dilema bagi banyak negara pengutang karena akan menimbulkan beban yang berat dalam pembayarannya kembali. Namun
karena masih terbatasnya sumber pendanaan dalam negerinya, guna tetap mempertahankan kelangsungan pembangunannya, utang masih tetap dibutuhkan.
Peneliti yang lain juga menemukan bukti bahwa utang dapat memacu pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan dan mampu menjaga
kesinambungan fiskalnya sehingga tidak menjadi masalah. Hansen 2001 melakukan penelitian cross-country regression dampak
pinjaman dan utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di negara-negara berkembang dengan menggunakan data tahun 1970-1993.
Diperoleh bukti yang kuat adanya hubungan positif antara utang dengan tingkat pertumbuhan GDP dan investasi. Namun analisa empiris juga menunjukkan
adanya hubungan negatif. Khususnya terdapat hubungan negatif antara efektifitas makro ekonomi dari utang dengan tingkat stok utang. Akan tetapi, respon negatif
ini berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu implikasi kebijakan terhadap utang harus dilakukan dengan hati-hati.
Pattillo et.al 2002 menyelidiki pengaruh non-linier utang luar negeri terhadap pertumbuhan dengan menggunakan data dari 93 negara-negara
51
berkembang antara tahun 1969-1998. Hasilnya umumnya sangat terkait antar beberapa metodologi ekonometrik yang digunakan, spesifikasi regresi dan
indikator utang yang berbeda-beda. Untuk negara-negara dengan jumlah stok utang yang sedang, penambahan rasio utang sebesar dua kali akan menyebabkan
turunnya pertumbuhan per kapita sebesar setengah sampai satu persen per tahun. Perbedaan pertumbuhan per kapita per tahun antar negara-negara dengan rasio
utang terhadap ekspor dibawah 100 persen dan diatas 300 persen berkisar sekitar 2 persen per tahun. Untuk negara-negara yang menikmati pengurangan utang
melalui skema HIPC Innitiative, pertumbuhan per kapitanya mencapai 1 persen, kecuali negara-negara tersebut mengalami distorsi dalam pengelolaan
makroekonomi dan struktur ekonominya. Hasil yang lain juga menunjukkan bahwa dampak utang menjadi negatif sekitar 160-170 persen ekspor atau sekitar
35-40 persen GDP. Jumlah utang yang besar cenderung akan menurunkan pertumbuhan, terutama karena akan menurunkan efisiensi dalam berinvestasi
daripada jumlah investasinya. Clements 2003 menganalisis pengaruh pengurangan dan penjadwalan
utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah. Diperoleh kesimpulan bahwa pengurangan dan
penjadwalan yang signifikan atas total stok utang luar negeri di negara-negara miskin pengutang berat Highly Indebted Poor Countries, HIPC akan langsung
menaikkan pendapatan per kapita negara-negara tersebut sekitar 1 persen per tahun. Pengurangan dalam pembayaran cicilan pokok dan bunga utang juga dapat
menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung melalui dampak pada kenaikan dalam penanaman modal investasi publik. Jika sekitar setengah
dari stok utang dan pembayaran cicilan utang negara-negara tersebut dikurangi melalui skema penjadwalan utang dengan mempertahankan defisitnya, maka
pertumbuhan ekonomi negara-negara HIPC tersebut akan dapat tumbuh sekitar 0.5 persen per tahun.
Dennis 2004 melakukan penelitian atas dampak penurunan plegde CGI untuk Indonesia terhadap strategi pencarian sumber pendanaan pembangunan ke
depan, mengingat tingkat bunga pinjaman CGI jauh lebih rendah dari pinjaman komersial. Diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan suatu kehati-hatian dan
52
kewaspadaan yang lebih tinggi serta pengawasan yang ketat atas pengelolaan utang. Pinjaman komersial umumnya lebih mudah didapat dengan syarat-syarat
yang lebih ringan, namun umumnya mempunyai tingkat suku bunga yang tinggi dan grace period serta jangka waktu pengembalian yang lebih pendek.
Radianti 2004 meneliti tentang keberlanjutan fiskal dan dampak ketergantungan utang terhadap APBN. Utang publik bukan hanya tanggung
jawab pemerintah saja karena utang tersebut akan menjadi beban seluruh rakyat melalui kenaikan pajak. Sebagian pendapatan pajak yang diterima pemerintah
akan ditransfer kepada kreditur di luar negeri untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sehingga yang diterima oleh masyarakat dalam bentuk pelayanan
menjadi berkurang. Kebijakan pengurangan subsidi juga hanya akan menyelesaikan masalah kekurangan sumber pendanaan dalam jangka pendek dan
jalan keluar sementara untuk mengatasi masalah likuiditas, namun bukan merupakan langkah yang berlanjut dalam rangka mengurangi beban berat akibat
utang. Kebijakan fiskal seperti pengurangan pengeluaran, kenaikan pajak dan restrukturisasi BUMN juga merupakan kebijakan untuk keluar dari krisis moneter,
namun hanya akan bersifat jangka pendek. Di samping itu, pemberantasan korupsi untuk menekan kebocoran dan inefisiensi harus menjadi prioritas
kebijakan pemerintah. Perlu disadari bahwa kebijakan pemerintah guna menjaga kesinambungan fiskal dengan menurunkan stok utang akan mempunyai dampak
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan pendapatan per kapita. Sugema dan Chowdhury 2005 mempelajari dampak bantuan luar negeri
terhadap perilaku fiskal di Indonesia. Diperoleh empat kesimpulan sebagai berikut: 1 aliran masuk Bantuan Luar Negeri BLN umumnya terjadi karena
kebutuhan untuk menutup kesenjangan fiskal fiscal-gap, 2 bantuan proyek project loan dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan pembangunan, namun
berakibat meningkatkan pengeluaran. Oleh karena itu pinjaman proyek dapat diibaratkan seperti perangsang karena akan menyebabkan tambahan dana yang
memungkinkan kenaikan pengeluaran di luar kebutuhan untuk pembangunan, 3 pinjaman program program loan cenderung memacu kenaikan pengeluaran
rutin dan bukan untuk kebutuhan pembangunan karena tujuan dan sifatnya yang diperuntukan guna mendukung kekurangan pendanaan, dan 4 aliran masuknya
53 BLN cenderung menyebabkan pemerintah ”malas” memobilisasi sumber-sumber
penerimaan dalam negeri melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sistem perpajakan.
Bafadal 2005 menganalisis dampak defisit dan utang pemerintah terhadap stabilitas makroekonomi. Data yang digunakan adalah data time series
tiga bulanan tahun 1980-2003 dengan model ekonometrika time series Vector Error Correction Model VECM. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa utang
dalam negeri Indonesia mulai berperan sebagai komponen pembiayaan anggaran sejak krisis tahun 1998. Kondisi fiskal adalah sustainable untuk jangka panjang
baik untuk rasio defisit terhadap PDB maupun rasio total utang terhadap PDB. Peningkatan defisit saja akan meningkatkan ekspor bersih dan menurunkan
pengangguran, sementara peningkatan cicilan utang saja akan menurunkan ekspor bersih disertai dengan peningkatan pengangguran. Namun, secara
bersamaan peningkatan defisit dan cicilan utang akan menyebabkan inflasi dan menurunkan PDB baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu,
hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai tukar tidak memberikan dampak yang kuat terhadap stabilisasi ekspor bersih, sementara inflasi memberikan andil
yang besar dalam menjelaskan kinerja makroekonomi. Oleh karena itu, menjaga stabilitas inflasi merupakan prasyarat dalam menjaga stabilitas makroekonomi
secara keseluruhan. Strategi pembangunan sebaiknya diarahkan pada upaya peningkatan output dengan kebijakan fiskal yang mengurangi defisit anggaran.
IV. KERANGKA PEMIKIRAN
4.1. Tahapan Utang Luar Negeri Pemerintah
Mekanisme yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam pengadaan utang luar negeri pemerintah diawali dengan adanya kebijakan
prioritas penggunaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri PHLN. Berdasarkan kebijakan tersebut instansi terkait mengajukan usulan kegiatan yang akan dibiayai
dari utang luar negeri. Hasil evaluasi kelayakan atas usulan dengan mengacu pada kebijakan penggunaan PHLN dituangkan dalam Daftar Rencana Pinjaman dan
Hibah Luar Negeri Jangka Menengah DRPHLN-JM selama 5 tahun. Selanjutnya calon kreditur menyusun lending program-nya, dengan mengacu kepada
DRPHLN-JM pemerintah yang sudah disertai dengan indikasi pembiayaannya. Informasi pendanaan dari kreditur dan kemampuan fiskal pemerintah daerah
khusus untuk proyek yang akan di-on lending-kan, serta evaluasi atas kelayakan dan kesiapan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun yang
bersangkutan dituangkan dalam Dokumen Rencana Prioritas Pinjaman dan Hibah Luar Negeri DRPPHLN tahunan.
Berdasarkan penilaian manajemen risiko atas keberlanjutan fiskal dan penilaian terms and conditions yang ditawarkan kreditur, dilakukan negosiasi
antara pemerintah dengan kreditur atas proyek yang akan dilaksanakan pada tahun yang bersangkutan. Hasil kesepakatan yang tertuang dalam Naskah Perjanjian
Pinjaman Luar Negeri NPPLN atau Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri NPPLN menjadi dasar bagi pelaksanaan suatu proyek dengan sumber pendanaan
dari utang loan atau hibah grant dari luar negeri. Tahapan terjadinya utang luar negeri pemerintah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
4.2. Aliran Utang Luar Negeri Pemerintah
Setelah NPPLN ditandatangani dan dinyatakan efektif, instansi pengusul dapat mulai melaksanakan kegiatannya. Beberapa sektor utama yang akan diteliti
meliputi sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi serta sektor perhubungan dan transportasi.