30
2.3.4. Penanganan Utang Negara-Negara Berkembang
Negara-negara berkembang di seluruh dunia memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam permasalahan utang. Namun demikian, secara umum dapat
dikatakan bahwa utang sangat diperlukan oleh semua negara berkembang untuk dapat membiayai pembangunan negaranya sehingga pada akhirnya dapat
mengejar ketertinggalan mereka dari banyak negara yang sudah lebih maju. Sebagaimana dunia usaha yang juga banyak menggantungkan diri pada
pembiayaan yang berasal dari utang, baik dari supplier, bank, pasar modal maupun sumber-sumber pembiayaan lainnya, pemerintah dari berbagai negara di
seluruh dunia juga melakukan hal itu untuk dapat melakukan percepatan upaya pembangunan mereka. Namun demikian, sebagaimana juga dengan dunia usaha,
keberhasilan dari masing-masing negara dalam memanfaatkan pinjaman mereka secara maksimal juga berbeda-beda.
2.3.4.1. Pengalaman Sri Lanka
Pengalaman Sri Lanka dapat diambil sebagai studi kasus mengenai upaya pengelolaan utang di negara tersebut. Negara ini memiliki penduduk hampir 20
juta dan juga memiliki komposisi penduduk yang majemuk, baik dari segi etnis, bahasa maupun agama. Pendapatan per kapita negara tersebut hampir mencapai
USD 900. Tingkat pendidikan penduduk Sri Lanka relatif cukup baik. Pada lapisan atas, baik yang di pemerintahan, bank sentral, maupun di dunia usaha,
jumlah yang menikmati pendidikan tinggi, termasuk strata tiga, cukup banyak. Di samping itu, administrasi dan birokrasi yang dimiliki negara pulau tersebut dapat
dikatakan cukup memadai. Latar belakang pemerintahannya, semula sangat sosialis dengan memberikan fokus kepada pemerataan, terutama dalam hal
pendidikan dan kesehatan, maupun ketersediaan prasarana lainnya. Kendati demikian, dalam tahun-tahun terakhir ini, pemerintahannya mulai lebih bergeser
kepada pengelolaan ekonomi yang mengarah kepada mekanisme pasar, dengan keterbukaan yang jauh lebih besar.
Sejak awal, Sri Lanka banyak memanfaatkan sumber pembiayaan yang berasal dari utang. Bahkan, pada tahun 1923, Sri Lanka sudah membangun
landasan hukum bagi upaya pencarian pinjaman oleh pemerintah dalam bentuk
31 ”Local Treasury Bills Ordinance”, yaitu Ordinance No. 8 tahun 1923. Untuk surat
berharga lainnya, termasuk obligasi pemerintah, landasan hukum yang lain sudah diciptakan pada tahun 1937, yaitu melalui ”Registered Stock and Securities
Ordinance ”. Terakhir, untuk pencarian pinjaman luar negeri, negara tersebut juga
mengeluarkan undang-undang, yaitu Foreign Loans Act No. 29 tahun 1957. Dengan latar belakang semacam itu, pada saat ini masyarakat Sri Lanka
menyikapi pencarian utang untuk sumber pembiayaan pembangunan sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan dengan tingkat rasio utang terhadap PDB yang lebih
besar dari yang dimiliki Indonesia saat ini, tidak tampak suatu sikap di masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya kekhawatiran ataupun keberatan terhadap
keadaan semacam itu. Sikap semacam ini tentunya terbentuk karena perkembangan utang yang mereka miliki pada umumnya bergerak pelan meskipun
secara keseluruhan terus mengalami peningkatan. Yang diperlukan adalah munculnya suatu sikap kewaspadaan sebelum tingkat utang tersebut terlanjur
masuk pada tingkat yang mengarah pada perangkap utang debt trap. Dalam jangka waktu lima tahun, perkembangan utang negara Sri Lanka
tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Perkembangan Utang Pemerintah Sri Lanka Tahun 2000 - 2004
juta Ruppes
2000 2001
2002 2003
2004
Utang Dalam Negeri 676 660
815 965 948 386
1 019 969 1 056 468
Treasury Bills 134 996
170 995 210 995
219 995 243 886
Treasury Bonds 204 124
243 923 371 305
491 223 573 860
Rupee Securities 263 885
292 813 287 701
248 414 164 758
Lainnya 73 652
108 234 78 385
60 337 73 964
Utang Luar Negeri 542 040
636 741 721 956
877 831 1 074 174
Total Utang 1 218 700
1 452 706 1 670 342
1 897 800 2 130 642
Rasio UtangPDB: 97.1
103.2 105.4
105.9 117.4
Utang DNPDB 53.9
58.0 59.8
58.0 58.8
Utang LNPDB 43.2
45.2 45.6
45.9 58.6
Sumber
:
Laporan Tahunan Bank Sentral Sri Lanka, 2005.
Sumber penyebab utama timbulnya utang dari negara tersebut adalah kebijakan fiskal mereka yang menyebabkan timbulnya defisit APBN yang cukup
besar. Dalam tahun 2000, utang negara tersebut mengalami kenaikan yang cukup besar karena defisit APBN yang dialami negara tersebut hampir mencapai 10
32
persen. Dalam hal ini, posisi utang pemerintah Sri Lanka mengalami kenaikan dari 95.1 persen dari PDB pada tahun 1999 menjadi 97.1 persen dari PDB pada
tahun 2000. Namun demikian, perkembangan ini pun menunjukkan suatu fluktuasi yang cukup tajam karena pada tahun 1990 rasio utang pemerintah
terhadap PDB tersebut telah mencapai 96.5 persen dari PDB sebelum akhirnya menurun kembali menjadi hanya 85.8 persen dari PDB pada tahun 1997. Mulai
tahun 2000, rasio ini terlihat mulai naik lagi. Dengan gambaran perkembangan utang seperti pada Tabel 7, tampak
bahwa Sri Lanka mulai tahun 1997 memanfaatkan sumber pembiayaan utang dari dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan utang luar negeri. Perbedaan itu
semakin melebar, di mana sumber pembiayaan utang dalam negeri sudah mencapai rasio terhadap PDB di atas 50 persen.
Perolehan utang pemerintah Sri Lanka dari luar negeri memiliki kemiripan dengan Indonesia, yaitu dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan dari
Bank Dunia, ADB maupun sumber-sumber bilateral lainnya yang diatur melalui pertemuan konsorsium donor setiap tahunnya. Karena mengalami krisis ekonomi
yang parah pada paruh kedua tahun 2000, Sri Lanka akhirnya juga meminta bantuan IMF melalui Stand-by Arrangement. Untuk perolehan utang dalam
negeri, Sri Lanka sudah setapak lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia baru memanfaatkan utang dalam negeri
dalam beberapa tahun terakhir, itu-pun karena keadaan yang memaksa.
2.3.4.2. Pengalaman Argentina: Pencegahan dan Penanggulangan Krisis