33
merupakan yang terendah dalam sejarah perekonomian Argentina. Di sisi lain, fondasi perekonomian Argentina runtuh, diiringi dengan lepasnya kendali atas
nilai tukar, pembekuan deposito perbankan dan penundaan pembayaran utang luar negeri.
Meninjau kembali perkembangan perekonomian Argentina dengan kondisi perekonomian yang mengalami resesi dan hiperinflasi selama bertahun-tahun,
pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan kebijakan ”Convertibility Plan” untuk menanggulangi krisis. Secara mengesankan kebijakan tersebut dapat menurunkan
inflasi dari empat digit menjadi single digit dalam waktu tiga tahun dan meletakkan dasar-dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Dari kejatuhan ekonomi
yang parah sejak tahun 1980, melalui kebijakan pemerintah tersebut, kebangkitan kembali ekonomi telah menunjukkan tanda-tandanya. Walaupun pertumbuhan
ekonomi masih cukup rendah, antara 4 - 5 persen per tahun antara tahun 1993 - 1998, Argentina telah menunjukkan penampilan ekonomi terbaiknya dalam
beberapa dekade terakhir.
2.3.5. Kasus di Indonesia
Dalam kasus Indonesia, perkembangan utang luar negeri menunjukkan seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan PDB riil dengan
peningkatan jumlah utang luar negeri, atau antara peningkatan pendapatan rata- rata per kapita dengan peningkatan jumlah utang luar negeri growth with
indebtedness. Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata per tahun sejak akhir 1970 selalu
positif dan tingkat pendapatan per kapita meningkat terus, tetapi jumlah utang luar negeri Indonesia juga meningkat terus setiap tahun. Idealnya, korelasi tersebut
seharusnya negatif growth with prosperity. Hal ini mencerminkan bahwa walaupun Indonesia sudah lebih maju dibandingkan banyak negara yang sedang
berkembang lainnya, namun ketergantungan ekonominya terhadap utang luar negeri tidak jauh berbeda dengan negara-negara tersebut.
Berdasarkan data IMF untuk tahun 1980-an hingga awal 1990-an, Indonesia termasuk negara pengutang besar dengan laju pertumbuhan utang luar
negerinya rata-rata per tahun yang tinggi, walaupun masih lebih rendah
34
dibandingkan dengan negara-negara pengutang besar lainnya, seperti Meksiko dan Brazil. Untuk periode tahun 1992-1994, laporan tahunan dari Bank Dunia
menunjukkan bahwa sebagai suatu persentase dari jumlah utang luar negeri di dunia, proporsi utang luar negeri Indonesia, yang meliputi utang jangka panjang
dan pendek dari pemerintah dan sektor swasta serta penggunaan kredit dari IMF, jauh lebih besar dibandingkan utang luar negeri dari Malaysia atau Filipina.
Tabel 8. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya Tahun 1994 - 1997
miliar USD
Negara 1994
1995 1996
1997 I. Semua Negara
772.9 873.6
991.4 1 054.9
II. Asia 241.3
306.9 367.0
389.4
1. Korea Selatan 56.6
77.5 99.9
103.4 2. Thailand
43.9 62.8
70.2 69.4
3. Indonesia 35.0
44.5 55.5
58.7 4. Cina
41.3 48.4
55.0 57.9
5. Malaysia 13.5
16.8 22.2
28.8 6. India
15.0 15.5
16.9 18.8
7. Fillpina 6.8
8.3 13.3
14.1
III. Amerika Latin 205.7
212.2 242.4
251.1
1. Brasil 59.4
57.4 67.9
71.1 2. Meksiko
64.6 57.3
60.1 62.1
3. Argentina 35.6
38.4 44.8
44.5 4. Cile
12.4 13.6
15.2 17.6
5. Kolumbia 10.0
10.9 16.8
17.0 6. Venezuela
13.7 11.9
11.1 12.2
IV. Eropa Timur 82.4
90.6 103.0
117.0
1. Rusia 48.0
52.0 57.3
69.1 2. Ceko
4.1 7.9
9.6 11.4
3. Hungaria 8.9
9.1 11.7
10.9 4. Polandia
7.0 6.8
7.6 9.2
Sumber: Bank for International Settlement 1997.
Sementara itu, data dari Bank for International Settlements BIS, seperti dapat dilihat pada Tabel 8, menunjukkan bahwa di antara negara-negara dengan
utang luar negeri terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan ketiga, dengan posisi utang mencapai USD 58.7 miliar pada tahun 1997. Dari angka tersebut,
21.1 persen adalah utang bank, 11.1 persen utang perusahaan swasta dan 67.7 persen utang non-bank.
Jumlah utang luar negeri, khususnya yang berjangka pendek mengalami peningkatan sangat tajam selama periode 1990-an. Tabel 9, menunjukkan bahwa