39
Pada Tabel 3 terlihat produktivitas beberapa komoditas hortikultura di lahan kering dataran tinggi telah mengalami penurunan. Hal ini diduga sebabkan
karena adanya erosi yang menimbulkan penurunan tingkat kesuburan tanah ditambah tanah umumnya bereaksi masam, masalah gulma dan hama penyakit
sehingga produktivitas lahan kering menjadi rendah.
Tabel 3 Produktivitas Beberapa Jenis Sayuran Dataran Tinggi Tahun 2002
No. Jenis Sayuran
Produktivitas tha 1998
2002
1. Kentang
16,6 14,9
2. Kubis
22,1 20,9
3. Wortel
15,9 15,5
Berdasarkan Tabel 3 tersebut terlihat bahwa produktivitas kentang menurun cukup tajam yaitu 1 ton per ha, kubis sekitar 1 ton per ha dan wortel
menurun sekitar 0,5 ton per ha.
2.6.4 Degradasi Lahan Sayuran
Sebagian besar lahan kering terletak pada daerah dengan topografi bergelombang sampai berbukit, terutama di Indonesia barat. Dari 30 juta ha luas
lahan kering dataran tinggi 25,4 juta ha bertopografi berbukit hingga bergunung. Menurut Kurnia et al. 2000 tingkat kesuburan tanah lahan kering di dataran
tinggi lebih baik daripada di dataran rendah. Berhubung terletak di dataran tinggi yang disertai dengan intensitas dan curah hujan yang tinggi maka kemungkinan
bahaya erosi dan penurunan tingkat kesuburan tanah sangat besar. Hasil evaluasi erosi oleh Suryani et al. 2003 pada lahan kentang dan
wortel di daerah Tondano, Sulawesi Utara menunjukkan jumlah tanah yang
hilang akibat penggunaan lahan kentang mencapai 17,2-828,0 tonhath dengan tingkat bahaya erosi ringan R sampai sangat berat SB. Pada lahan wortel
jumlah tanah yang hilang mencapai 5,2-138,0 tonhath dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan SR sampai sedang S. Penggunaan mulsa plastik dalam
budidaya sayuran juga dianggap menjadi penyebab kerusakan lingkungan karena bila hujan, seluruh air hujan yang jatuh diatas permukaan tanah akan
mengalir sebagai aliran permukaan yang akhirnya masuk kedalam sungai dan dapat menyebabkan banjir.
40
Akibat banjir terjadilah Lahan kritis yang menurut Sitorus 2004 adalah
lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Berdasarkan faktor penghambatnya maka lahan kritis dikelompokkan menjadi kritis secara fisik,
sosial-ekonomi dan kritis secara hidro-orologis. Data dari Departemen Kehutanan 1985 menunjukkan bahwa luas
lahan kritis 43 juta ha, dimana 20 juta ha diantaranya kritis hidro-orologis. Menurut BPS mencapai 6,8 juta ha dimana 72 4,9 juta ha terletak diluar
kawasan hutan. Data Pusat Penelitian tanah memperlihatkan luas areal lahan kritis seluas 10,9 juta ha, diantaranya 66,7 7,1 juta ha termasuk semi kritis,
kritis dan sangat kritis. Walaupun terdapat perbedaan data luas lahan kritis namun terlihat bahwa lahan kritis di Indonesia sangat luas dan meningkat terus
setiap tahun sehingga memerlukan penanganan. Mengingat adanya perbedaan data lahan kritis yang disebabkan oleh
karena perbedaan definisi, kriteria dan penafsiran lahan kritis maka Irawan et al 2003 menawarkan istilah Lahan terdegradasi sebagai pengganti isitilah lahan
kritis yang konteks atau pemahamannya tidak selalu sama oleh berbagai
instansi. Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah mengalami proses
kemunduran kualitas, sehingga produktivitasnya menurun dan pada akhirnya tergolong pada tingkat kekritisan tertentu.
Penentuan tingkat lahan terdegradasi ditelaah dari faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan lahan land degradation baik aspek sumberdaya lahan
maupun cara pengelolaannya, sehingga terdapat dua tahap penetapan lahan terdegradasi yaitu :
1 Menilai kondisi biofisik sumberdaya lahan natural assessment : bahan induk tanah, curah hujan, kemiringan lereng, dan solum tanah
2 Menilai kondisi yang terkait dengan pengaruh dan interaksi manusia anthropological assessment : jenis vegetasi, tingkat penutupan vegetasi,
kondisi penerapan teknik konservasi tanah dan air. Tingkat degradasi lahan berdasarkan sistem skoring yang ditetapkan
adalah : - terdegradasi rendah bila skor
25 - terdegradasi sedang
16 - 25 - terdegradasi berat
16.
41
2.7 Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Usahatani Berkelanjutan