Latar Belakang Model Pengelolaan Usahatani Sayuran Daratan Tinggi Berkelanjutan Di Kawasan Agropolitan

1 I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia mulai mengalami krisis moneter yang disebabkan antara lain karena lemahnya fundamental perekonomian nasional. Selama kurun waktu 1997–1998, krisis ekonomi telah mengakibatkan kontraksi perekonomian Indonesia sebesar –19 , terutama menimpa sektor industri dan jasa, sektor perdagangan, sektor manufakturing terutama industri pengolahan, sedangkan sektor pertanian yang mengalami pengaruh negatif multiplier effects justru masih dapat tumbuh walaupun relatif sangat kecil Nasoetion, 1999. Krisis moneter tersebut kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi, kemudian krisis sosial dan politik yang bersifat multi dimensional. Banyak buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja PHK dan adanya kekosongan kekuasaan menyebabkan salah arahnya kebijakan pembangunan yang menyebabkan kemubaziran inefficiencies. Tatanan dan nilai-nilai adat social capital menjadi rusak sehingga menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup karena ketidakmampuan masyarakat mengelola sumberdaya alam dan masyarakat komunal menjadi perambah yang merusak sumberdaya alam. Hutang-hutang luar negeri yang semakin membengkak memberi tekanan pada defisit neraca pembayaran kronis yang menimbulkan ketidak stabilan instability ekonomi makro, maka dicoba mencari jalan keluar terutama dalam rangka memperkuat fundamental ekonomi Indonesia di masa datang yang lebih efisien efficient, adil equitable, dan berkelanjutan sustainableAnwar, 1999. Sektor pertanian yang masih tumbuh di masa krisis ekonomi menunjukkan bahwa sektor pertanian masih tangguh. Relatif tangguhnya sektor pertanian menurut Nasoetion 1999 antara lain disebabkan : - Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam ketersediaan sumberdaya alam yang menjadi penyangga utama kegiatan sektor pertanian - Secara institusional sektor pertanian yang relatif tradisional, terlindungi dari pengaruh eksternal yang merugikan karena terbatasnya kaitan linkage sektor tersebut dengan sektor manufakturing yang berorientasi ke luar negeri - Sektor pertanian terdiri dari sangat banyak rumah tangga petani, perusahaan kecil menengah sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan internal - Sumberdaya alam Indonesia sangat beragam di antara wilayah sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah yang ekstensif. 2 Berdasarkan sifat–sifat ketangguhan pada sektor pertanian tersebut diperkirakan sektor pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang utama dalam masa pemulihan ekonomi, sehingga pemerintah melakukan pembangunan ekonomi berbasis pertanian, selain adanya komitmen politik pemerintah untuk mengembangkan koperasi, perusahaan kecilmenengah sebagai pelaku ekonomi utama dalam pembangunan nasional. Strategi pengembangan agribisnis ditingkatkan menjadi strategi yang mensinergikan pengembangan strategi agribisnis dengan pendekatan wilayah. Pengembangan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan berdasarkan “Agro based sustainable development“ diyakini dapat memperkokoh perekonomian bangsa Indonesia, serta menjamin pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan, pada tahun 2002 pemerintah mencanangkan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan yang basis pengembangannya adalah daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu daerah-daerah pemasok hasil produksi pertanian sentra produksi pertanian Deptan, 2002. Pada saat ini, konsep Agropolitan yang dikembangkan oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1974, telah dilaksanakan di 98 kabupatenkota di Indonesia oleh berbagai departemen sejak tahun 2002. Departemen yang terlibat dalam pembangunan kawasan agropolitan yaitu : - Departemen Pekerjaan Umum, membangun infrastruktur seperti jalan desa, packing house, jaringan bersih, sub terminal agrbisnis dll, yang merupakan jasa penunjang agribisnis - Departemen Pertanian, membangun subsektor usahatani dengan menitik beratkan pada pemberdayaan sumberdaya manusianya - Departemen terkait lainnya seperti Depdagri, Deperindag, Depnakertrans, mengembangkan subsektor terkait lainnya. Pelaksanaan Program Agropolitan yang melibatkan banyak lembagainstansi tentunya membutuhkan keterpaduan dan koordinasi yang baik agar sinergis dan tidak merugikan sektor lainnya. Program Agropolitan yang dilaksanakan di perdesaan diharapkan dapat menyeimbangkan pembangunan dan mengurangi disparitas desa kota, suatu tujuan yang belum tercapai selama ini. Dengan demikian pengembangan Kawasan Agropolitan yang mencakup aspek fisik, sosial dan ekonomi, harus ditangani secara hati-hati, yaitu memperhatikan aspek lingkungan. 3 Hal ini disebabkan karena pembangunan kawasan agropolitan akan berpengaruh terhadap lingkungan sehingga akan memerlukan biaya ekologis dan lingkungan sebagaimana dinyatakan bahwa : “However, rural development entails environmental and ecological costs “ APO, 2003. Kawasan Agropolitan akan menghadapi tekanan penduduk berupa pertambahan penduduk, baik perpindahan penduduk dari luar daerah maupun pertambahan penduduk yang berlangsung dari daerah itu sendiri. Menurut Kikuchi 1994 pertambahan penduduk akan mempengaruhi ketahanan pangan, kecuali pertumbuhan penduduk menurun secara signifikan. Peningkatan jumlah penduduk juga akan menjadi menyebabkan malapetaka yang hebat bagi lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Apabila pertanian dengan intensitas saat ini menyebabkan degradasi lingkungansumberdaya dan ketidakberlanjutan, maka untuk mencapai keberlanjutan memerlukan pertanian yang dua kali lebih intensif. Pengembangan Kawasan Agropolitan juga akan menyebabkan pembangunan perumahan dan industri di daerah hulu DAS semakin pesat sehingga lahan di daerah hulu tidak mampu lagi menyerap air dan dapat menimbulkan bencana banjir di daerah hilir yang semakin memburuk. Dengan demikian optimalisasi pemanfaatan lahan kering masih dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya dalam hal erosi dan terjadinya degradasi lahan. Program Agropolitan yang menekankan pada aspek agribisnis diselenggarakan pada berbagai ekosistem. Sumberdaya lahan yang sangat beragam memungkinkan pertanian dilakukan mulai dari dataran tinggi di daerah hulu sampai dataran rendah di daerah hilir. Pertanian di daerah hulu relatif lebih penting karena sumberdaya lahannya memiliki resiko-resiko pengelolaan yang sangat besar sehingga dapat menjadi sumber malapetaka. Dengan demikian pengelolaan lahan di dataran tinggi di Kawasan Agropolitan memerlukan penanganan yang serius sebab dapat menimbulkan kerusakan didaerah hulu itu sendiri atau bahkan meluas ke daerah tengah dan daerah hilir. Partap dan Sharma menyatakan di Asia Tenggara dataran tinggi sangat penting karena mencakup sebagian besar area dan mayoritas penduduknya hidup dari usaha pertanian APO, 2003. Kemiringan lereng di dataran tinggi sebagian besar 3 dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung yang meliputi 77,4 dari seluruh daratan. Faktor lereng inilah yang merupakan penyebab besarnya potensi bahaya erosi pada usahatani lahan kering. 4 Di Indonesia Bagian Barat, jumlah dan intensitas curah hujan umumnya tinggi. Keadaan ini memberi peluang yang sangat besar untuk terjadinya erosi yang disebabkan oleh air hujan. Kekuatan jatuh air hujan dan kemampuan aliran permukaan run off menggerus permukaan tanah merupakan penghancur utama agregat tanah Dariah et al., 2004. Di Wiroko subwatershed, erosi tanah pada lahan kering telah merupakan masalah utama seperti dikatakan Fletcher 1990 : ” ....soil erosion remains a major problems in the Wiroko subwatershed. Evidence of this is found in the rapid rate at which siltation is occuring in Gajah Mungkur ; and the presence of soils of up to 3 metres or more depth at relatively undisturbed sites, while adjacent cultivated dryland areas have soils that are shallow and highly eroded. Most erosion can be attributed to poor land management, particulary the lack of good permanent ground cover, a generally low standard of terraces on dryland areas and improper disposal of run off water.....”. Areal lahan kritis di Indonesia terus meluas, di Jawa saja terdapat lahan kritis seluas 1,184 juta ha yang mencakup 903.092 ha lahan petani dan 281.238 ha di lahan kehutanan Mangundikoro, 1983. Areal lahan kritis tersebut pada tahun 1993 meningkat yaitu lahan kritis di Jawa Barat telah mencapai 1.842.177 ha, terdiri atas potensial kritis 1.005.854 ha, semi kritis 575. 439 ha, dan kritis 260. 884 ha. Sedangkan pada tahun 19992000 areal lahan kritis di Jawa Barat telah menjadi 2.066.667 ha, yang mencakup 366.985 ha di dalam kawasan hutan dan 1.699.682 ha di luar kawasan hutan BPS, 2003 . Program Agropolitan dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, terutama lahan, karena unsur utama dalam pengembangan Kawasan Agropolitan adalah lahan pertanian. Program Agropolitan diseleng- garakan dengan basis bermacam -macam komoditas pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan atau kombinasinya, yang merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Pertanian lahan kering dataran tinggi di Indonesia adalah budidaya tanaman sayuran yang dilakukan secara intensif sepanjang tahun, karena ditunjang oleh curah hujan yang cukup dengan penyebaran merata. Sistem pertanian ini memerlukan pengelolaan lahan berkelanjutan mengingat bahwa lahan kering di Indonesia mencapai lebih dari 140 juta hektar dan data BPS 2003 menunjukkan bahwa sekitar 54 juta hektar atau 28,67 dari total luas Indonesia, di luar Maluku dan Papua, sudah digunakan untuk pertanian, sehingga lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk menunjang pembangunan pertanian Hidayat dan Mulyani, 2005. 5 Lahan merupakan sumberdaya pertanian yang sangat penting. Menurut Barlowe 1986 lahan merupakan sumberdaya yang paling mendasar karena menyediakan bagi kita ruang untuk hidup, dengan produk - produk utama yang menunjang kebutuhan materi kita dan memberi kesempatan dan kepuasan dalam cara hidup kita seperti dikatakan Henry George sebagai berikut : “ ….land is the habitation of man, the store house upon which he must draw for all his needs, the material to which his labour must be applied for the supply of all his desires….”. Budidaya sayuran dataran tinggi bagi sebagian besar masyarakat perdesa -an sudah menjadi cara hidup dan bagian kehidupan. Petani dalam berusahatani sayuran telah menyesuaikan berbagai teknik bercocok tanam dan sistem pengelolaan sumberdaya lahan telah menyatu dengan tatanan sosial budaya dan adat istiadat masyarakat perdesaan. Seiring dengan meningkatnya pendu- duk, pengelolaan lahan kering di daerah hulu DAS semakin intensif dan cenderung mengabaikan kaidah konservasi tanah dan air. Seperti di Curup, Bengkulu, yang topografinya umumnya berbukit dengan tekstur tanah yang berpasir, gembur dan peka erosi, serta mempunyai curah hujan yang tinggi, tradisi petani justru membuat bedeng tanaman yang berlawanan dengan kontur searah lereng sehingga mempercepat erosi Munaan et al.,1992. Di zone vulkanis tinggi, dengan sistem produksi pertanian tanaman semusim berupa sayuran kentang, kubis, bawang daun dan bawang putih, pengelolaan lahannya dilakukan tanpa penerapan teknik konservasi tanah Saefudin et al., 1988. Kesuburan tanahnya terus merosot, keseimbangan hidrologi terganggu, sumber- sumber air mengering, ketersediaan air untuk irigasi dataran rendah dan “ lower slope ” berkurang, dan terjadinya peningkatan dalam hal frekuensi dan ukuran banjir. Di Daerah Aliran Sungai DAS bagian hulu di daerah tropis telah terjadi penurunan produktivitas tanah Kurnia et al., 2004. Pada lahan yang umumnya berlereng, jenis tanahnya Andisol, Inceptisol atau Entisol dan peka terhadap erosi, diusahakan berbagai jenis tanaman sayuran meskipun pengelolaannya disertai pemupukan. Penyebab menurunnya produktivitas lahan menurut Santoso et al. 2004 adalah tanahnya peka erosi, berlereng, masam dan miskin unsur-unsur hara. Sebagian besar tanah di daerah hutan hujan tropis secara alami memang mempunyai pH rendah dan miskin unsur-unsur hara, sehingga usahatani tanaman pangan pada lahan kering di daerah hujan tropis mengalami masalah penurunan produktivitas lahan Dariah et al., 2004. 6 Dinamika pembangunan terus berkembang dengan cepat dan semakin kompleks karena tantangan dan tuntutan lingkungan strategis, baik dalam negeri, regional maupun global. Menurut Sawit et al. 1988 apabila pembangunan diabaikan di daerah lahan kering, khususnya di dataran tinggi, maka dalam jangka panjang akan terjadi akibat fatal, baik di dataran tinggi sendiri misalnya penurunan produktivitas lahan, maupun di dataran rendah, misalnya penyusutan umur waduksaluran irigasi dan pendangkalan sungai. Dengan demikian isu penting pembangunan pertanian di lahan kering adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan, khususnya pendapatan petani dan mampu mempertahankan keberlanjutan sustainability sistem pertanian dengan tingkat erosi yang lebih kecil dari erosi yang masih dapat dibiarkan. Berdasarkan penjelasan diatas maka implementasi program agropolitan memerlukan penanganan yang serius, terutama pada lahan kering dataran tinggi dengan komoditas utama sayuran mengingat banyaknya aspek yang terkait di dalamnya. Kondisi lingkungan lahan kering di daerah hulu lebih beragam sehingga sistem pertaniannya juga sangat beragam. Kondisi sosial-ekonomi petani juga berbeda-beda, tergantung kondisi wilayah, kesuburan lahan, ancaman bahaya erosi, dan tingkat pendidikannya, menyebabkan tingkat persepsi dan partisipasi dalam keberlanjutan usahataninya juga berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan pembangunan pada agro-ekosistem ini menjadi lebih kompleks. Teknologi yang diperlukan tidak dapat diberlakukan sama di semua tempat, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan dan sosial ekonomi setempat Manwan, 1988. Dalam rangka pengembangan Kawasan Agropolitan dengan orientasi pengembangan ekonomi berbasis tanaman sayuran dataran tinggi, maka perlu dilakukan penelitian tentang model pengelolaan usahatani sayuran yang berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah