Para Pelayan Ziarah
Para Pelayan Ziarah
Makam-makam keramat, seperti pula keramat-keramat lainnya, berada di bawah tanggung jawab seorang atau beberapa orang penjaga. Penjaga tersebut dipanggil kuncèn dalam bahasa Jawa dan juru kunci dalam bahasa Indonesia, yakni “pemegang kunci” meskipun banyak situs tidak terkunci, sehingga mungkin saja istilah kuncèn mengacu pada gelar kuno yang kini terlupa asalnya. Sang juru kunci bertanggung jawab atas kuburan—dia memeliharanya dan menjaga keamanannya—serta atas para pengunjung: mereka tidak boleh memasuki keramat tanpa seizinnya, dan pada umumnya tanpa diantar oleh juru kunci atau salah seorang pembantunya. Sang juru kunci selalu mendahului tamu-tamunya; dialah yang membuka pintu-pintu, mengatur sesajen dan mengucapkan doa-doa; dialah juga yang mengatur
348 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
penyelenggaraan selamatan dan mengurus penginapan para peziarah serta mengawasi perilaku mereka apabila menginap selama beberapa hari.
Para juru kunci diangkat; pengangkatan itu dilaksanakan oleh instansi yang berbeda menurut jenis situs yang bersangkutan. Pada umumnya yang berwenang dalam hal itu adalah pamong desa. Di situs- situs yang besar, apalagi yang memiliki nilai bersejarah, pengelolaan keramat dapat juga diatur oleh pemerintah daerah atau bahkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, apabila suatu keluarga masih mem- pertahankan hak miliknya atas suatu situs, maka situs ini dapat dikelola juga oleh suatu yayasan (demikianlah misalnya keramat Sunan Muria dan Sunan Kalijaga, serta makam-makam kerajaan Sumedang). Makam-makam kerajaan dari Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon hingga kini tetap dikelola oleh masing-masing kraton yang bersangkutan, yang mengangkat sejumlah penjaga dengan berbagai pangkat tertentu.
Bagaimanapun juga, adat dan kebiasaan lokal selalu diperhitungkan, terutama hubungan keluarga antara juru kunci dan wali. Acap pula juru kunci mengaku keturunan langsung dari sang wali. Hal itu tidak berarti bahwa penjagaan atas sebuah kuburan oleh keturunan wali merupakan hak keturunan itu, melainkan dipandang sesuai dari segi spiritual: keturunan wali dinilai paling patut menempati posisi itu karena dianggap lebih “kuat” secara spiritual. Dan kekuatan itu mutlak perlu karena juru kunci senan- tiasa berurusan dengan dunia gaib, sebuah tugas yang berbahaya.
Kendati bukan keturunan wali, para juru kunci pada umumnya mewariskan fungsinya dari ayah ke anak, sehingga praktisnya jabatan itu bersifat turun-temurun. Tidak jarang seorang juru kunci mampu menyebut nama para pendahulunya, generasi demi generasi (kadang-kadang sampai sembilan tingkat). Namun di samping prinsip kepatutan ini dapat saja terjadi persaingan untuk mengkontrol penghasilan sebuah keramat. Kehadiran sejumlah juru kunci di satu situs sering terkesan adanya pembagian untung antara mereka. Bahkan ada keramat yang tugas juru kuncinya pernah dilelang.
Kebanyakan juru kunci adalah laki-laki, walaupun tidak ada aturan tentang hal itu. Pada tahun 1990 Yayasan Pangeran Sumedang mengelola tidak kurang dari dua belas kuburan, dan jumlah penjaga yang diangkat terdiri dari delapan orang laki-laki dan empat orang perempuan. Di Jawa pada umumnya perempuan hanya ditemukan sebagai juru kunci pada situs- situs yang kurang penting. Seorang juru kunci boleh saja diangkat pada umur yang sangat muda dan memegang jabatan itu selama puluhan tahun, bahkan sepanjang hidupnya.
Seperti dikatakan di atas, penyeleksian juru kunci terutama diadakan berdasarkan garis keturunannya. Sedikit sekali perhatian diberikan pada
Indonesia 349
pendidikan religiusnya. Pada umumnya seorang juru kunci tidak lebih terdidik daripada penduduk desa lainnya. Dia mampu membacakan beberapa doa dalam bahasa Arab dan tahu menjalankan ritus-ritus ziarah, yang sebenarnya sangat sederhana. Namun demikian dia betul-betul memi- liki satu wibawa spiritual karena dialah yang mengantarkan para peziarah ke pusat keramat. Sering juga juru kunci itu adalah satu-satunya pewaris dari tradisi lisan mengenai sang wali. Dia tak henti-hentinya mengisahkan legenda sang wali kepada para peziarah yang asyik mendengarkannya. Melalui legenda itulah kerap terjelaskan ciri-ciri khas makamnya, arti nama-nama tempat ataupun asal ritus-ritus tertentu. Namun kini di banyak situs para juru kunci tidak tahu riwayat hidup, kepribadian atau bahkan nama wali yang mereka layani.
Pada umumnya para juru kunci tidak mengenakan seragam khusus: mereka berpakaian seperti lazimnya tokoh-tokoh agama di masjid dan di pesantren, yaitu dengan sarung, baju, peci, dan sandal. Namun ternyata beberapa situs mempertahankan kebiasaan berpakaian yang terkait dengan kekeramatan situs itu. Misalnya di Karangkendal, Cirebon, di situs makam Syekh Magelung Sakti, hanya juru kuncilah yang boleh masuk cungkup tempat makam terletak. Cungkup itu dimasukinya tiga kali seminggu untuk dibersihkannya (pada hari Senen, Selasa, dan Jumat pagi), dan ketika itu dia berpakaian jubah dan serban putih. Di Pasir, dekat Jatiwangi, baik juru kunci maupun para peziarah hanya diperkenankan masuk di ruang inti apabila berbuka dada dan mengenakan kain atau sarong, bahkan dahulu kain itu berwarna putih.
Para juru kunci jarang mendapat gaji untuk tugas yang mereka jalankan, namun mereka berhak atas uang lelah, yang sangat berbeda jumlahnya menurut popularitas situs yang bersangkutan. Ada kalanya uang yang dikumpulkan sebagai imbalan itu menjamin penghasilan yang besar. Namun sebagian besar juru kunci harus mencari nafkah dengan kegiatan lainnya: banyak di antaranya adalah petani, ada juga yang pedagang kecil.
Nyatalah para juru kunci bukanlah penjaga biasa: ritus ziarah tidak ada tanpa keikutsertaan mereka. Mereka bukan benar-benar syufa‘ ', yakni perantara spiritual antara peziarah dan wali, apalagi antara peziarah dan Allah, namun mereka adalah pelayan ritus, yang kehadirannya mutlak perlu. Itulah sebabnya mereka tampak sebagai sejenis kelompok pegawai agama (clergy), apalagi bila jumlah mereka besar di sebuah situs. Di antara situs-situs yang telah kami kunjungi, lebih dari dua puluh dikelola oleh lebih dari seorang juru kunci. Jumlah totalnya dapat mencapai seratus lebih di keramat yang terbesar seperti Gunung Jati, Imogiri, dan Gunung Kawi. Di kompleks-kompleks makam itu, mereka tersusun dalam suatu jenjang hierarki dan dibagi dalam regu-regu yang bertugas secara bergilir.
350 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
Dalam kasus yang paling sederhana, jumlah peziarahlah yang menentukan jumlah juru kunci. Makam Sunan Bonang di Tuban dijaga oleh tiga orang juru kunci yang bekerja secara bergilir, masing-masing selama satu minggu berturut-turut; mereka dibantu oleh dua belas petugas keamanan dan kebersihan. Di Gunung Muria, jumlah juru kunci jauh lebih besar. Sang juru kunci dibantu oleh 27 punggawa, ditambah lagi dengan 11 pegawai satpam. Kuburan-kuburan kerajaan di Imogiri dan Kota Gede merupakan kasus tersendiri. Jumlah juru kuncinya sangat besar: antara 76 dan 250 menurut siapa informannya untuk Imogiri, dan 41 untuk Kota Gede. Mereka diangkat oleh kedua kraton Yogyakarta dan Surakarta, walaupun sebagian pengangkatan tersebut bersifat formal semata-mata. Dapat disebut juga situs Sunan Giri (13 orang); Sunan Kalijaga (60), Trusmi (61), Sunan Gunung Jati (123), dan Gunung Kawi (120).
Apabila para pelayan ziarah itu berjumlah besar, mereka selalu disusun dalam jenjang hierarki yang ketat. Di Trusmi, Cirebon, misalnya ke-61 anggota pelayan ziarah terbagi atas: 1 kyai sepuh, 4 kuncèn, 4 kyai, 4 kaum , dan 48 pembantu. Mereka terbagi atas 4 regu dari 15 orang yang bertugas secara bergilir. Semuanya adalah keturunan wali, walaupun dari cabang keturunan yang berbeda-beda. Kyai sepuh diangkat untuk seumur hidup dan dialah yang memimpin semua pelayan ziarah di atas. Para kuncèn bertugas secara bergiliran pada hari Senin, Kamis, dan Jumat; mereka memiliki wewenang yang nyata atas petugas lainnya; mereka bertanggung jawab atas perawatan makam keramat, yang cungkupnya tidak boleh dimasuki oleh siapa pun selain mereka; untuk hal itu, mereka harus ganti pakaian di satu gedung khusus, dan mengenakan kain dan serban putih. Para kyai, yang mengenakan kain Jawa dan baju singlet putih, bertanggung jawab atas perawatan bagian-bagian lain dalam situs itu. Para kaum bertugas di masjid. Akhirnya para pembantu menjalankan tugas- tugas sehari-hari; mereka berpakaian kain Jawa; beberapa di antara mereka memakai sebuah selendang yang dipasang di atas bahu kanan dan di bawah bahu kiri dan diikat di atas dadanya yang terbuka; mereka juga memakai ikat kepala yang diikat secara khas—secara “tradisional” katanya—dan diberi warna yang berbeda-beda untuk masing-masing regu: putih, merah, hijau, dan kuning. Para pelayan ziarah itu diberi makan oleh penduduk desa. Pada setiap saat ada saja orang yang membawa buah atau hidangan masakan, bahkan dalam jumlah yang sedemikian besar sehingga selalu ada sebagian makanan itu yang tersalurkan kembali ke luar. Persembahan makanan itu merupakan sejenis upahan, dan juga bukti bahwa satu pantangan dihormati oleh karena para pelayan ziarah tidak diperkenankan memasak di kawasan keramat.
Indonesia 351
Situs Gunung Kawi, sebagai contoh terakhir, dikelola seperti suatu perusahan swasta oleh keturunan Kyai Imam Santoso, sahabat sang Sunan, dan mempekerjakan 120 orang. Orang-orang itu bersifat karyawan, bukan pelayan ritus: 30 di antaranya dipekerjakan di dapur dan 6 dalang dipekerjakan juga untuk melayani permintaan ritus khas dari situs itu.