Dari Keramat ke Makam: Proses Islamisasi Ritus Ziarah Kuno
Dari Keramat ke Makam: Proses Islamisasi Ritus Ziarah Kuno
Kami telah berkali-kali menyebut ciri-ciri khas fenomena ziarah di Jawa (dan lebih umum di Indonesia) serta ketahanan dari berbagai kultus dan kepercayaan dari lapis historis sebelum kedatangan agama Islam. Ziarah sesungguhnya mencakupi suatu jangkauan praktik yang sangat luas, bermula dari pengagungan terhadap tokoh-tokoh agama hingga ke panggilan kekuatan-kekuatan gaib. Dalam hal terakhir ini, fenomena itu berbaur dengan praktik-praktik Jawa lainnya yang sama sekali tidak berkaitan dengan Islam, misalnya mengunjungi tempat keramat yang bersifat “pra-Islam”. Tempat-tempat seperti itu masih banyak di Jawa. Ada yang dinyatakan sebagai makam Islam, agar sesuai dengan agama para pengunjung; ada yang sengaja ditambahi sebuah makam, supaya ziarah di tempat itu, atau pengeramatan si penguasa gaib setempat, dapat dikemu- kakan dan malah dianggap sebagai penghormatan kepada arwah seorang wali Islam; ada pula keramat yang memajangkan unsur-unsur Islam dan “pra-Islam” secara berdampingan.
Dilihat dari sudut islamisasi ritus-ritus yang dilaksanakan di tempat- tempat keramat, situs-situs di atas berkesinambungan: situs-situs itu adalah contoh dari suatu proses yang berlangsung sejak zaman islamisasi awal dan yang tetap berlangsung hingga kini. Beberapa contoh akan membuat hal ini lebih jelas.
358 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
Di desa Rengel, sekitar 30 kilometer di selatan kota Tuban, terdapat sebuah mata air bernama Ngerong, yang merangkap permandian dan tempat peristirahatan. Airnya memancur dari dalam gua batu karang yang berbentuk cerucut. Dalam goa itu terdapat sebuah kolam alam berisi penyu putih dan ikan; air mengalir ke luar melalui sebuah kali buatan yang dipakai penduduk setempat untuk mandi. Tempat ini, yang hingga kini masih dianggap keramat, berada di bawah tanggung jawab seorang juru kunci; ikan dan penyu tidak boleh diganggu, dan bekas sesajen dapat dilihat di mulut gua. Satu kisah perjalanan dari tahun 1822 menceritakan bahwa pada waktu itu gua itu berada di bawah perlindungan tiga ekor ular, katanya, “Pendeta-pendeta bertugas menjaga ular-ular itu serta penyu- penyu banyak yang tinggal dalam kolam-kolam yang ada di mulut gua; satu kawanan kera di sekelilingnya berada juga di bawah perlindungan mereka”. Tempat itu merupakan tempat keramat tanpa nuansa Islam apa pun.
Di desa Karangkendal, Cirebon, terdapat makam Syekh Magelung; sekitar 150 meter dari makam itu ada satu tumpukan batu bata yang ditunjukkan sebagai sebuah makam berkat suatu permainan kata: yang disebut “pusara” (makam) tak lebih daripada suatu tempat alam yang keramat, yaitu suatu “puser” (pusar, pusat). Di Gunung Payung, di daerah selatan Cirebon, terdapat satu situs kuno berbentuk teras bertingkat di mana kini terdapat satu kolam dan satu situs purbakala “mikrolitik”. Situs ini diberi tanda islamisasi fiktif yang amat sederhana, yaitu namanya diganti (kolam itu sekarang dipanggil Balong Wali Songo) dan situs mikrolitik diubah: batu-batu lempeng disusun secara memanjang antara dua batu tegak pendek, agar memberikan kesan suatu makam dengan dua batu nisan. Muslihat yang sama dipergunakan di Taman Karangkamulyan, antara Ciamis dan Banjar, di mana terdapat suatu peninggalan langka dari kerajaan Galuh: satu lapik arca Hindu yang dikeramatkan sebagai singgasana raja-raja zaman dulu ditempatkan di hulu suatu kumpulan batu yang disusun sedemikian rupa hingga kelihatan seperti makam, sedangkan situsnya dibubuhi macam-macam benda yang biasa ditemukan dekat makam keramat. Ketiga contoh di atas memperlihatkan usaha asimilasi tempat-tempat sakral alamiah atau historis sebagai keramat Islam.
Makam Sunan Prawoto adalah contoh dari tahap berikutnya dalam proses islamisasi. Di desa Prawoto, sekitar 25 km di timur kota Demak, dulu terdapat apa yang diperkirakan sebagai pasanggrahan Sultan Demak pada abad ke-16. Gedung itu sudah lama runtuh, namun sejumlah batu fondasinya yang ditemukan pada tahun 1979 dan kebetulan berorientasi utara-selatan dinyatakan sebagai makam salah seorang raja Demak, Sunan Prawoto. Desa itu tiba-tiba mempunyai seorang tokoh keramat: sebuah
Indonesia 359
cungkup didirikan di atas “makam” itu yang menjadi suatu pusat ziarah yang aktif. Desanya pun ikut menjadi terkenal.
Makam Gunung Jati merupakan situs campuran. Makam wali, yang tidak diragukan kesahihan historisnya, berdampingan dengan makam- makam orang yang tidak jelas asal-usulnya, makam-makam kosong, petilasan tokoh-tokoh mitis seperti Semar (yang boleh dijuluki “dewa pelindung” orang Jawa) dan bahkan suatu puser (tempat timbul dunia gaib)—berarti berbagai lapis kepercayaan bercampur satu sama lainnya, tetapi semua ritus bersifat Islam.
Dalam beberapa contoh seperti di atas, agak mudah melihat melalui akal mana keramat-keramat yang bersangkutan diberikan warna Islam, walaupun sifatnya tidak berubah. Namun kenyataan lebih kompleks oleh karena pengislaman suatu situs, kendati sedemikian elementer sehingga kelihatan direka-reka, sesungguhnya dapat merupakan awal dari perubahan praktik-praktik ritual dan dapat disertai peralihan kekuatan gaib dari situs sebagai tempat kepada wali sebagai seorang individu, kendati hanya wali rekaan saja.
Sikap kelompok Islam reformis menentang praktik ziarah tidak terbatas pada segi-segi “syirik”-nya tetapi menyangkut juga konsep ziarah itu sendiri. Sikap ulama Indonesia sebenarnya berbeda-beda dalam cara menilai kesahihan konsep dan praktik ziarah. Bahkan ada pertentangan yang nyata antara Nahdladul Ulama yang mewakili kelompok tradisionalis di satu pihak, dan Muhammadiyah yang merupakan penyambung lidah dari kelompok “modernis” dan rasionalis di lain pihak. Nahdlatul Ulama memperkenankan dan bahkan mendukung praktik-praktik yang memfokus- kan perhatian masyarakat Islam pada tokoh-tokoh besar Islam Jawa, sedangkan Muhammadiyah sebaliknya menentang dengan gigih apa yang dianggapnya sebagai bidah: apabila mengunjungi makam-makam para mukmin dianjurkan agar berdoa demi keselamatan orang mati sambil menyadari nasib mereka masing-masing sebagai makhluk yang menuju ajal, dan mereka dilarang keras memuja orang mati ataupun meng- alamatkan doa kepada mereka.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah didirikan pada permulaan abad ke-20 (masing-masing 1926 dan 1912), namun kedua organisasi ini mewakili dua aliran yang pertentangannya telah berabad-abad menjadi sumber gejolak dalam masyarakat Jawa dan yang masih terasa di semua lapisan sosial. Sudut pandang kaum reformis meluas melalui jalur pendidikan, dan sekali-sekali melalui kekerasan. Di banyak keramat kini terpajang papan bertulisan perintah, “berdoalah kepada Allah”, bahkan ada juru kunci yang turut memperkuat perintah itu: di situs Gunung Muria, dekat Kudus, apabila disambut oleh salah seorang petugas yang banyak
360 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
jumlahnya itu, para peziarah digurui dan diperingatkan bahwa sang sunan tak lebih dari sekadar perantara. Kekerasan tadi bersifat sporadis dan pada umumnya berupa penghancuran keramat. Pada waktu gejolak-gejolak pasca-Gestapu 1 Oktober 1965, di mana militia-militia “Islam garis keras” mengambil andil yang besar di Jawa Tengah, banyak keramat konon dibakar di daerah tersebut.