Pelaksanaan Ziarah Kubur: Ritus Islam

Pelaksanaan Ziarah Kubur: Ritus Islam

Perilaku keagamaan di makam-makam juga menarik perhatian para pengamat. Di Mesir, pengunjung makam tidak terlalu peduli pada perantara sewaktu berziarah. Bisa saja seorang sufi dari suatu tarekat memohon perantaraan syekhnya; mungkin juga peziarah yang sedikit hati-hati akan membaca buku-buku kecil pedoman upacara untuk mengetahui doa-doa afdal untuk dibaca di makam, dan upacara-upacara apa yang boleh dilaksa- nakan di makam wali yang dikunjungi. Selain itu, ada juga pemandu- pemandu perempuan pengikut wali, para h jj t, berpakaian putih atau hijau, yang menuntun peziarah perempuan. Dan kadang-kadang, namun lebih jarang ada pula penjaga makam keturunan syekh tarekat yang memiliki martabat tinggi di mata para peziarah.

Namun pada umumnya, para peziarah yang mengunjungi makam karena kebiasaan lama bertawaf di sekeliling makam dalam arah berlawanan dengan jarum jam; mereka menyentuh dan memegang pagar terali, menggosok-gosokkan selendang atau tasbih pada pagar, dan

21 Hanya tulisan-tulisan seperti ini yang dikumpulkan sebagai buku. Cukup disebut di sini Sya‘ran (1493-1565), pengarang Thabaq t Kubra, yang merupakan penulis

riwayat hidup wali yang paling banyak dibaca sampai saat ini. Jean-Claude Garcin telah memperlihatkan dengan baik dalam berbagai artikelnya, bahwa sejarawan dapat belajar banyak dengan meneliti catatan-catatan Sya‘ran . Dapat dilengkapi juga dengan membaca tulisan yang berfaedah oleh M. Winter (1982).

22 Sejak saat itulah orang Nasrani kehilangan mayoritas di antara penduduk Mesir. Lihat Gaston Wiet (1927, hlm. 1055). Gaston Wiet menekankan bahwa Arabisasi

dan Islamisasi orang-orang Koptik Mesir berlangsung dengan sangat cepat. Dalam artikelnya “Kibt”, Encyclopédie de l'Islam, edisi ke-2, jil. V, hlm. 92-97, A.S. Atiya, yang pendapatnya lebih hati-hati, mengatakan bahwa hilangnya bahasa Koptik terjadi lebih belakangan dan dia tidak memberi pendapat tentang kapan proporsi antara orang Islam dan orang Nasrani Koptik berbalik ke mayoritas Islam. Maka kami tetap memakai kronologi yang diajukan oleh G. Wiet.

Mesir 113

selendang atau tasbih itu kemudian menjadi benda sakral; mereka meng- angkat tangan di depan pintu pagar, membaca paling sedikit Surat al-

F tihah, atau beberapa surat lain yang dapat membawa berkah seperti surat Yasin; mereka menyisipkan sedikit uang di kotak nazar (shund ūq al- nudhur ) atau menyampaikan salam dan permohonan kepada sang wali. Para peziarah menunjukkan sikap yang amat beragam: ada yang berbicara dengan lantang atau justru berdiam diri, ada yang duduk di dekat batu nisan sementara yang lain melewatinya begitu saja, ada yang berdoa dengan menghadap ke arah kiblat, ada yang mengangkat tangan dan ada yang tidak.

Kunjungan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa pun, namun ada hari yang lebih disukai: Nafisa diziarahi pada hari Minggu, sedangkan

Syafii pada hari Jumat 23 . Semua wali mempunyai hari ziarah khusus; sebagian di antara mereka, tetapi bukan semuanya, memiliki hari ulang

tahunnya (maulud atau muled dalam dialek setempat). Perayaan maulid seorang wali Mesir adalah sekaligus hari besar, pesta wali pelindung dan

pasar malam 25 . Perayaan itu pada umumnya terjadi sekali setahun , dengan tanggal yang tidak tetap, berdasarkan penanggalan Islam, atau dengan

tanggal yang tetap, berdasarkan penanggalan Koptik 26 . Dengan rumitnya

23 Demikianlah para wali seolah-olah mempunyai hari khusus untuk menerima tamu. F. de Jong (1976) telah menekankan fenomena tersebut.

24 Tidak banyak penelitian tentang maulid: kita masih dapat mengacu pada seri artikel berbobot dan andal oleh E. Sidawi (1921). Buku J.W. McPherson (1941)

adalah satu-satunya studi umum tentang topik ini. Terdapat juga foto-foto yang bagus dalam buku N. Biegman (1990).

25 Di daerah Delta Sungai Nil, maulid wali-wali penting sering dirayakan dua kali setahun: dibedakan antara Maulid Besar dan Rajabiyah (maulid kecil), yang

dirayakan di luar bulan Rajab meskipun namanya berasal dari situ. Hal itu tampak antara lain pada maulid Ahmad al-Badaw , Ibr h m al-Dis ūq dan Sidi Syibl. Kekhasan wilayah Mesir Hilir itu tampaknya dipengaruhi oleh maulid Badaw di Tanta, yang sampai akhir abad ke-19 diselenggarakan tiga kali setahun. Tetapi Husain di Kairo juga memiliki rajabiyah.

26 Maulid-maulid wali Islam yang mengikuti sistem penanggalan syamsiah Koptik pada umumnya adalah maulid wali Ahmadi, yakni anggota dari tarekat Ahmadiyah

yang didirikan oleh Badaw , atau setidaknya maulid-maulid yang tanggalnya ditentukan berdekatan atau berjauhan dengan tanggal maulid Tanta. Maulid tersebut banyak dijumpai di kawasan Delta Nil, seperti maulid Sidi ‘Awwad di Qalyub yang dirayakan pada awal bulan September, maulid Sidi Syibl di Syuhad ’ yang dirayakan dua minggu sebelum maulid Badaw , maulid Ibrahim ‘Ammar di Santa yang dirayakan satu atau dua minggu sebelumnya, maulid Badaw sendiri yang dirayakan pada bulan Oktober, maulid besar Dis ūq yang dirayakan satu minggu setelah maulid Badaw , dan maulid ‘Askari yang dirayakan setelah maulid

Catherine Mayeur-Jaouen

birokrasi wakaf dan diperlukannya izin pemerintah untuk menyeleng- garakan maulid, jumlah perayaan yang memang amat banyak cenderung berkurang.

Maulid wali tertentu dapat dikunj ungi oleh satu atau dua juta orang, seperti halnya di Tanta, atau juga maulid Husain dan Zainab di Kairo. Ada maulid wali lainnya yang hanya dikunjungi oleh beberapa ratus orang. Ada yang berlangsung selama lima belas hari, sedangkan yang lain satu malam saja; dalam kasus terakhir perayaan itu lebih sering disebut “malam” (lailah) daripada maulid. Acara-acaranya acap kali sama saja, tetapi proporsinya berbeda-beda: para peziarah mendirikan tenda dan selama beberapa hari menyajikan makanan dan minuman kepada pengunjung lainnya. Dengan demikian pada maulid-maulid besar terbentuklah jalur- jalur tenda, yang disusun berdasarkan keanggotaan tarekat atau asal desa. Pada malam hari dimulailah upacara-upacara besar sufi dengan pembacaan zikir yang berlangsung sampai pagi, dan bahkan lebih lama lagi. Sering kali acara keagamaan disertai pesta dengan berbagai hiburan seperti menembak, ayunan, dan pertunjukan teater; dan ini juga merupakan kesempatan untuk berbelanja: kacang-kacangan, manisan, mainan anak-anak. Kesempatan itu juga digunakan untuk mengkhitankan mereka. Maulid adalah waktu yang paling “mulia” sepanjang tahun, di mana berkah sang wali akan menyebar dengan baik.

Apabila peziarah ingin mengajukan permohonan kepada wali, atau mengucapkan terima kasih kepadanya dalam bentuk tanda kaul, yang biasa dilakukan adalah menyerahkan pemberian yang bisa berbentuk uang, roti, bunga, juga sedekah kepada fakir miskin. Namun sering kali, pada waktu maulid wali besar, pemberian itu berupa hewan kurban: domba atau sapi untuk yang kaya, kue atau biskuit untuk yang miskin. Dahulu lilin juga diserahkan sebagai pemberian, tetapi hal itu berubah setelah adanya aliran

listrik 27 . Berbagai ritus yang dilaksanakan di makam-makam atau pada waktu

maulid, dianggap oleh berbagai peneliti Barat—yang didahului oleh Ibn Taymiyah serta ditiru kaum reformis Islam—sebagai warisan dari zaman pra-Islam, dan hal ini tidak hanya terbatas di Mesir. Sudah jelas bahwa pertukaran hadiah dengan hadiah balasan, merupakan tradisi yang sudah

Dis ūq . Banyak maulid kecil yang murni bersifat lokal terkait juga dengan sistem penanggalan matahari itu, yang ditentukan baik oleh irama musim maupun oleh keinginan untuk mengikuti irama banjir Sungai Nil serta pekerjaan-pekerjaan pertanian.

27 Tentang istilah “nazar”, lihat penjelasan rinci oleh F. de Jong (1978, hlm. 86, cat. 281).

Mesir 115

sangat kuno; sudah jelas juga bahwa kunjungan ke kuburan tidak pernah hilang di Mesir, dan ciri-ciri yang dimiliki oleh wali-wali seperti Badawi dan Dis ūq memberikan mereka suatu dimensi mitis. Namun penelitian mengenai asal muasal ritus-ritus tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak mencari tahu mengapa orang-orang tetap meneruskan ritus-ritus itu, dan apa artinya untuk mereka.

Jangan juga kita dengan mudah mengutamakan ritus tertentu dan mengabaikan yang lain: misalnya banyak peneliti membahas arak-arakan

sampan yang menandai berakhirnya ziarah di Luxor 28 , padahal ternyata arak-arakan tersebut adalah suatu kreasi baru yang timbul sebagai akibat

kehadiran ahli-ahli dari Eropa, dan bukan suatu tradisi yang sesungguhnya. Karena berkaitan dengan Luxor, ada anggapan bahwa sampan-sampan itu merupakan peninggalan tradisi zaman Firaun (sampan Theba), namun ternyata ada pula sampan miniatur yang digantung sebagai tanda kaul di

B b Zuwailah, di pintu selatan tembok zaman dinasti F thimiyah di Kairo, atau yang dibawa pada waktu maulid Rifa’i di Kairo, di mana tidak terdapat warisan Theba sama sekali! Sampan-sampan itu sesungguhnya tak lebih dari tanda penghormatan bagi para juru mudi sampan dan musafir yang biasa berlayar di Sungai Nil dan cabang-cabangnya, yang takut akan bahaya yang mengancam dari sungai itu namun sekaligus juga menghargai keindahannya.

Begitu banyak tradisi khas Islam ditemukan dalam ziarah kubur, maka meremehkan hal itu merupakan suatu sikap yang kurang objektif. Ketika orang-orang membaca Surat al-F tihah di makam, mereka sesungguhnya menghormati al-Qur’an; ketika mereka bertawaf di seke-

liling batu nisan, mereka sesungguhnya meniru tawaf di Mekkah 29 .