Islamisasi Nusantara
Islamisasi Nusantara
Sebagai kawasan perantara yang dilintasi semua rute-rute perdagangan maritim besar yang mengaitkan Tiongkok dengan India, dan lebih jauh dengan Laut Tengah, dunia Melayu tersentuh oleh semua ideologi dan agama yang pernah berkembang di jaringan itu. Kedua agama besar dari anak benua India, yaitu agama Hindu dan secara sekunder agama Buddha, yang masuk ke Jawa masing-masing pada abad ke-5 dan ke-8, telah mempengaruhi secara mendalam peradaban kawasan ini, bahkan mem- bentuknya selama rentang waktu kurang lebih seribu tahun.
Rute perdagangan di atas sejak dini dilalui oleh saudagar-saudagar Islam (Kwantung memiliki masjid sejak abad ke-8, namun negara-negara Islam baru timbul di Nusantara pada penghujung abad ke-13). Jumlah negara yang menganut agama itu berlipat ganda selama abad ke-14, ke-15 dan ke-16 di sepanjang jaringan perdagangan besar tersebut di atas. Pola khusus penyebaran Islam ini memberikan warna khas pada negara-negara Islam angkatan pertama yang lazim dikenal dengan nama kesultanan- kesultanan Melayu: kesultanan tersebut adalah negara pelabuhan dengan wilayah agraris yang sangat terbatas, karena kegiatannya sepenuhnya terpusat pada perdagangan internasional. Penduduknya sangat beragam dan mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar; maka wilayah penggunaan bahasa Melayu berkembang sejajar dengan Islam di semua pelabuhan Nusantara. Budaya baru yang berdasarkan Islam dan berciri dagang ini terutama berkembang di daerah-daerah pesisir; lamalah pengaruhnya terhadap penduduk pedalaman sangat terbatas.
Pulau Jawa adalah suatu perkecualian dalam konteks Melayu itu sebagai tempat berkembangnya sejak dini satu budaya yang mempunyai dasar agraris. Di Jawa seperti di daerah-daerah lain di Nusantara, kaum muslim pertama-tama mengambil alih kekuasan di pelabuhan-pelabuhan (kesultanan Demak didirikan pada awal abad ke-16), tetapi kemajuan Islam berbenturan dengan suatu kekuatan politik dan budaya yang tangguh, yaitu kerajaan Majapahit, yang menguasai daerah pedalaman. Perlawanan Majapahit baru dapat dipatahkan setelah dilancarkan beberapa ekspedisi militer, maka barulah Islam masuk sampai ke pedalaman Jawa. Namun beberapa puluh tahun kemudian, kekuasaan direbut kembali oleh masyarakat pedalaman yang agraris. Sesudah itu, walaupun tetap berstatus agama resmi, Islam berada dalam satu lingkungan kultural di mana kepercayaan-kepercayaan lama masih bercokol dengan kuat. Islamisasi daerah pedalaman agraris berlangsung dengan sangat lamban, dan harus berkompromi dengan kepercayaan-kepercayaan yang lebih kuno. Itulah yang lama (apakah masih?) memberikan ciri khasnya pada Islam Jawa.
Indonesia 335
Disebabkan kekurangan dokumentasi, maka menyusun sejarah tradisi ziarah di Jawa bukanlah hal yang mudah. Praktik ziarah kiranya masuk di Jawa bersamaan dengan agama Islam. Makam-makam para pendakwah penyebar ajaran Islam di Jawa, yang kebanyakan dilengkapi dengan hiasan dekoratif yang kaya, bercorak arsitektur bangunan khas abad ke-16, berarti agaknya didirikan segera sesudah wali yang bersangkutan wafat. Kemegahan bangunan-bangunannya rupanya merupakan tanda historis pertama bahwa wali-wali itu dikeramatkan oleh masyarakat. Apapun halnya, tradisi ziarah sudah terbukti adanya pada paruh pertama abad ke-17. Sultan Agung diketahui mendatangi secara pribadi makam Sunan Tembayat, penyebar agama Islam di Jawa Tengah, dan menyuruh makam itu dilengkapi dengan bangunan-bangunan megah. Musafir Prancis Tavernier, ketika singgah di Banten, terkejut melihat betapa banyak kuburan keramat di kota itu. Selain itu lagi, diketahui pula bahwa pada waktu itu juga kaum bangsawan Banten acap menziarahi makam wali leluhurnya, yakni Sunan Gunung Jati. Pada abad ke-17 itulah kiranya
muncul juga aneka tulisan tentang “musawaratan” majelis Wali Songo 2 . Kecenderungan mengeramatkan para wali Islam berkembang dengan
pesat. Di daerah-daerah agraris di pedalaman Pulau Jawa, semakin maju penyebaran agama Islam, semakin pengeramatan tersebut mengambil alih kultus-kultus yang lebih kuno, seperti kultus leluhur atau kultus kekuatan gaib setempat, seperti akan kita lihat di bawah ini. Serat Centhini, karangan sastra Jawa abad ke-18/19 yang mengisahkan pengalaman beberapa santri di sekeliling Pulau Jawa, memperlihatkan dengan jelas bahwa pada waktu itu makam-makam para wali Islam hanyalah salah satu di antara sekian jenis tempat-tempat keramat yang tersebar di tanah Jawa.