Sufisme yang DiSyiahkan

Sufisme yang DiSyiahkan

Aliran sufi juga telah memperbesar kecenderungan orang Iran terhadap tradisi kewalian. Dalam doktrin sufi, pemimpin spiritual mempunyai dua fungsi pokok: dia mengabarkan kedatangan Insan Kamil (ens n-e-k mel), yaitu Manusia Sempurna yang akan tampil pada akhir zaman; dan—sedikit seperti Imam kalangan Syiah—dia terus menghadirkan dan mengaktualkan wahyu kenabian. Pemimpin sufi adalah sekaligus penuntun untuk pengikutnya (mereka seperti orang buta dibandingkan dengan “orang yang melihat” ini), pelindung, rekan seperjalanan, orang pintar, penafsir impian

mistis, penganjur untuk mengikuti jalan, dan akhirnya perantara Allah 11 . Peranan penting yang dimainkan ajaran sufi dalam budaya Persia Islam

terlihat pada arsitektur makam yang menjadi tujuan ziarah-ziarah besar. Yang paling terkenal adalah makam Abu Yazid di Bastam dan Sy h Ne‘matoll h Vali Kerm ni di M h n; dapat ditambah juga di sini, walaupun tidak berada dalam batas negara Iran, Gozarg h dekat Herat (di Afghanistan, makam Ansh ri) serta makam Jal luddin R ūm di Kony (Turki) dan banyak makam lainnya yang juga dikenal dalam kitab-kitab Persia, seperti makam H fez dan Sa‘d di pinggiran kota Shiraz yang banyak diziarahi oleh orang-orang Iran. Jejak yang paling berbekas dari ajaran sufi terlihat dalam puisi mistis, mulai dengan Abu Sa‘ d sampai dengan Jav d Nurbakhsy, dan termasuk di dalamnya puisi Ansh ri, ‘Att r, R ūm , H fez, Sa‘d , J mi, dan banyak penyair lainnya. Hampir semua penyair di atas adalah orang Sunni, tetapi orang-orang Iran pada zaman sekarang pada umumnya sama sekali tidak melihat dalam karya-karya penulis itu perbedaan persepsi apa pun dengan ajaran Syiah. Sesungguhnya

10 Lihat N. Hakami (1989); M. Bazin (1973); dan untuk Shiraz, A.H. Betteridge (1985b) (tidak sempat dibaca oleh penulis).

11 R. Gramlich (1976, hlm. 231 dst.).

222 Yann Richard

kedua aliran Sunni dan Syiah telah beberapa kali berbaur satu sama lainnya, dan hanya sementara ulama, yang dengan tegas mengeluarkan fatwa yang mengutuk sufisme—hingga menyuruh pembunuhan pengi- kutnya—yang mengetahui perbedaan antara keduanya.

Di makam H fez di Syiraz, saya pernah bertanya kepada seorang ulama (mullah) yang datang bermeditasi, apakah penyair H fez itu dapat dipandang sebagai Syiah, dan dia menjawab, “Dia menyembunyikan pada diri sendiri bahwa dia seorang Syiah, tetapi di mata kami jelas bahwa dia adalah pengikut Syiah.”

Selain perannya sebagai perantara antara manusia dan Tuhan, para wali sufi juga merupakan panutan dalam hal kesucian—sama halnya dengan para santo Nasrani—yang menunjukkan jalan ke keesaan Tuhan yang tak tercapai dan mutlak itu. Melalui zuhud, khalwat, dan penolakan nafsu-nafsu lahiriah, para wali berhasil menanggalkan apa yang memisahkannya dari Yang Mahaesa dan dia menjadi orang dekat dan kekasih (Parsi vali/ Ar. wal ) Allah. Dengan demikian, dia dapat disebut orang sempurna (k mel) atau “orang sempurna yang menyempurnakan”

(k mel-e mokammel 12 ) selama dia tidak menyimpan kesempurnaan itu untuk dia sendiri, tetapi menyalurkannya kepada murid-muridnya 13 . Ziarah

kepadanya membuka peluang pada pengikutnya untuk “memanfaatkan” hasil khalwatnya dan memetik hikmahnya, tetapi tanpa melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi. Dengan demikian yang dipetik adalah sejenis

keuntungan spiritual 14 . Kewajiban pengikut-pengikut sufi Syiah untuk berserah diri kepada

otoritas moral dan spiritual seorang guru, yang mewarisi otoritasnya dari sang wali pendiri tarekat, memberikan kepada mereka akses pada suatu garis keturunan yang konon ditalikan dengan para Imam, dan lewat Imam- Imam itu, dengan Nabi Muhammad dan semua nabi yang telah mendahu- luinya. Dengan demikian, terbentuklah sebuah hierarki yang sungguh-sung- guh, dengan suatu rantai pertalian yang membentang, di satu pihak antara wali pendiri tarekat dan kutub (qot b) hidup, dan di lain pihak antara kutub hidup itu dan wakilnya, yaitu syekh. Selanjutnya kepatuhan itu memberikan jaminan bahwa para sufi berada di jalan kebenaran. Dengan memperluas tanda kepatuhan hingga mencakup syekh itu, setiap pengikut yang membangun suatu hubungan pribadi dengan wali, misalnya dengan berziarah ke makamnya, juga terjamin berada di jalur kebenaran. Tidaklah

12 K mel (ar. k mil): yang sempurna; mukammil (yang membuat orang lain sempurna).

13 Gramlich (1976, hlm. 188, 195). 14 Idem, hlm. 162 dst.

Iran 223

Peta Iran dengan lokasi tempat-tempat yang disebutkan.

mengherankan kalau, dengan di satu pihak menekankan unsur penye- lamatan dari “kewalian”, sembari mengukuhkan di lain pihak peranan lembaga rohaniwan yang terdiri atas ahli-ahli fikih yang ditetapkan sebagai penafsir sah syariat, terciptalah suatu pertentangan wewenang antara keduanya. Sufisme mengaku memiliki monopoli atas penyelamatan, tetapi

demikianlah pula dengan kaum mojtahed 15 . Di masa lalu, pihak penguasalah yang akhirnya diminta menentukan pilihan antara kedua

sumber otoritas spiritual itu. Persaingan antara kaum sufi dan hierarki Syiah lebih rumit lagi daripada persaingan antara kaum sufi dengan ulama-

15 Mojtahed, bhs. Parsi, berarti ulama Syiah yang telah mencapai tingkat mujtahid, artinya bisa berijtihad. Mereka biasanya mempunyai posisi tinggi di hierarki Syiah.

224 Yann Richard

ulama Sunni, oleh karena pemerintahan tidak diterima begitu saja fungsi penengahnya selaku pemegang otoritas khalifah, tetapi sebaliknya diang- gap oleh ulama-ulama Syiah sebagai pihak yang merampas otoritas dari

sang Imam, dan hanya ditolerir untuk sementara 16 . Terdapat dua sikap berbeda dalam hal ini: di satu pihak ada sufi-sufi

yang menyatakan bahwa rahasia esoteris yang dipegang oleh kaum Imamiyah dan oleh para sufi berasal dari sumber yang sama. Mereka mengutip hadis-hadis Syiah yang dijadikan bahan meditasi sufi. Seyyed Heydar Amoli (Sayyid Haidar mul ), seorang teolog dari abad ke-14, meringkaskan sikap ini sebagai berikut,

Tidak ada pengetahuan yang tidak bersumber pada Imam-Imam yang suci; tidak ada rahasia makrifat yang tidak berawal dari mereka; mereka adalah pemuka para ulama syariat; mereka adalah pembimbing orang-orang yang mengikuti jalan tasawuf (tariqat); mereka adalah kutub bagi peziarah

hakekat (h 17 aqiqat) .

Namun, terutama sejak abad ke-19, penolakan adalah sikap yang lumrah. Menurut seorang teolog Iran zaman ini:

Kepercayaan kaum sufi dapat disingkat menjadi dua asas keyakinan: inkarnasi dan monisme (h olul va etteh d)… Pengikut aliran inkarnasi mengatakan bahwa Tuhan bersatu dengan Insan Kamil, suatu kepercayaan yang dipinjam dari kaum Sabi’in (suatu kelompok gnostis di Mesopotamia) dan dari kaum Nasrani. Dari penggambaran singkat ini dapat disimpulkan bahwa cabang-cabang sufi semuanya keliru, salah dan bidah, serta berbeda sama sekali dengan agama Islam, dan khususnya dengan aliran Syiah dan Dua Belas Imam yang menjanjikan keselamatan itu. Sufisme menyem- bunyikan kaitannya dengan gerakan membiara (monakism) agama Nasrani di balik pengakuan formal beragama Islam. Mereka menganggap ulama- ulama Syiah sebagai tokoh yang dangkal, dan bagi mereka hanyalah guru- guru mistis sufilah yang mampu mewakili sifat hakiki Islam. Mereka mencela kaum ulama dalam tulisan mereka. Mereka menggunakan suatu hadis tentang Nabi Muhammad yang sebenarnya palsu (apocryphe)—yang kemudian diambil alih oleh kaum Sunni—yang menyatakan bahwa kaum muslim terbagi dua: golongan yang mengikuti Hukum Tuhan (syariat) dan golongan yang mengikuti jalan mistik (tarekat). Pemimpin spiritual mereka, seperti Hasan Bashri, Ma'ruf Karkhi, Syaq q Balkhi, B yaz d Basth mi, Mansh ūr al-Hall j, semuanya adalah orang Sunni dan musuh para Imam. Mereka adalah orang tidak berpendidikan dan kurang sehat, yang tidak pernah berhubungan dengan Imam-Imam kami, namun demikian mereka percaya bahwa diri mereka adalah pemegang rahasia-rahasia gaib. Tentang

16 Tentang hal ini, lihat S.A. Arjomand (1984). 17 Dikutip oleh H. Corbin (1971, hlm. 188).

Iran 225

apa yang disebut esktase mistis atau penglihatan gaib mereka, itu adalah akibat hasyis dan ganja, dua bahan yang diharamkan dalam agama Islam, namun beberapa di antara mereka mengaku menghisapnya secara berkala. Mereka juga melakukan tirakat yang berlebih-lebihan dan berpantang sedemikian keras sehingga kehilangan kesegaran hidup.... Sangat meng- herankan bahwa, meskipun kita berkali-kali diberi peringatan baik dalam hadis maupun dalam ajaran ulama-ulama agung—yang memungkinkan agama Islam dapat bertahan selama berabad-abad—masih ada saja orang yang menjadi korban para pembohong itu dan yang ingin mencapai Allah

dengan perantaraan mereka dengan melepaskan semua sikap kritik…. 18

Walaupun dicela secara tajam seperti di atas, aliran sufi masih berakar kuat di kalangan rakyat dan hingga kini tarekat-tarekat—di bawah kekuasaan Republik Islam pun—tetap merupakan tempat berkembang suatu budaya keagamaan yang membuka peluang kepada umat untuk memenuhi kebutuhan spiritual di luar masjid resmi.