Makna Ziarah
Makna Ziarah
Kebiasaan untuk memohon bantuan kepada wali tidak dapat begitu saja dicari penyebabnya pada ketidakmampuan golongan-golongan tertentu masyarakat Magribi (petani, perempuan, buta huruf) untuk mencapai rasionalitas, ataupun pada kecenderungan untuk menyukai kejadian- kejadian luar biasa, yang menandakan suatu pola berpikir yang bertumpu pada kekuatan magis. Kebiasaan itu tidak juga dapat dikatakan sebagai sekedar suatu strategi untuk melepaskan diri dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari di kalangan penduduk yang putus asa dan tertindas itu, yang berupaya menyalurkan hasrat dan keinginan yang tak terpenuhi melalui hubungan dengan makhluk khayalan. Seandainya memang demi- kian halnya untuk kasus-kasus tertentu, ini belum dapat menjelaskan hubungan yang terjalin antara wali dan orang-orang terdidik yang memiliki pekerjaan yang amat canggih seperti ahli komputer, dan tidak selalu berasal dari masyarakat lapisan bawah.
Di kalangan umat ziarah pada umumnya dianggap sebagai sunah (ibadah yang dianjurkan namun tidak wajib) di samping praktik pelengkap salat wajib, walaupun kaum perempuan sering menganggapnya sebagai pengganti salat Jumat, yang dikatakan, “khusus bagi kaum laki-laki, juga perempuan yang sudah berumur” (ini menurut praktik, bukan teori). Maka apa sesungguhnya makna ziarah bagi para pengikutnya?
Berbeda dari salat yang dinilai sebagai kepatuhan pada kewajiban agama, zikir dan trans dianggap sebagai sarana utama untuk mengung- kapkan cinta kepada Allah, yang merupakan tujuan semua praktik agama. Gelora semangat yang menyertai zikir dan trans dianggap sebagai tanda kesalehan yang lebih tinggi nilainya daripada salat biasa yang, menurut kaum reformis harus dilakukan dalam suasana diam dan merupakan bagian pokok dari iman Islami.
Walaupun sering didasarkan pada keinginan untuk berhubungan dengan makhluk gaib, ziarah mensyaratkan hubungan dengan manusia yang masih hidup (yang mewakili wali, sesama pengikut, atau manusia biasa). Seakan-akan hubungan dengan dunia gaib hanya dapat dilakukan dalam kerangka kehidupan bermasyarakat.
Meskipun nampak pertama-tama sebagai tindakan agama murni, ziarah juga merupakan suatu acara pesiar. Orang-orang datang mengun- jungi wali seperti mengunjungi kerabat dan teman-teman, atau berkunjung ketika tidak ada lagi orang lain yang mereka kunjungi. Ziarah cenderung dilakukan bersama anggota keluarga, teman-teman atau para tetangga. Ada pendapat bahwa permohonan-permohonan akan lebih mudah terkabul apabila disampaikan secara kolektif, dan berkah yang akan diperoleh juga lebih besar. Mengantar seseorang melakukan ziarah berarti memberikan
Kawasan Magribi 169
dukungan baik fisik maupun moral kepada orang yang bersangkutan. Sekalipun dilakukan secara peorangan, ziarah tetap merupakan suatu tindakan yang bersifat sosial. Semua pengunjung, meskipun hanya datang sesekali, dengan sendirinya menjadi anggota “komunitas para sahabat wali yang dikunjungi”. Apabila seseorang datang berkunjung seorang diri, maka dengan sendirinya ia termasuk dalam komunitas itu. Hidangan makan yang diserahkan kepada wali harus dibagikan juga kepada pengunjung lainnya. Berkah yang didapatkan oleh masing-masing pengunjung disampaikan kepada semua yang hadir. Hubungan cinta kasih yang mendominasi dinamika ziarah meresap ke dalam hubungan antarsesama pengunjung yang semuanya menjadi “saudara laki-laki dan perempuan melalui perantaraan wali”. “Komunitas sahabat-sahabat wali” menjadi anggota “keluarga sahabat-sahabat wali” dan, melalui proses perluasan, menjadi anggota “keluarga Nabi”. Sudah jelas bahwa keluarga yang dimaksud adalah keluarga simbolis dan akan tetap simbolis, dan bahwa hubungan antarpengunjung yang tidak saling mengenal terbatas pada lingkup ziarah. Namun sifat sementara dari hubungan antarpengunjung itu bukanlah kendala bagi adanya intensitas yang tinggi dalam komunikasi dan kesungguhan dalam ucapan-ucapan. Para pengunjung secara sosial diketahui identitasnya, dipahami keprihatinannya, dan terungkapkan keinginannya. Baik datang seorang diri maupun dalam kelompok, ketika pulang para pengunjung diliputi perasaan bahwa mereka adalah bagian dari suatu komunitas. Maka ziarah merupakan suatu kesempatan untuk mengalami perasaan kebersamaan kolektif dan menghidupkan kembali hubungan keakraban yang sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern. Ziarah kubur mengaitkan individu pada suatu kelompok keturunan spiritual dan menjadikannya anggota dari keluarga besar Nabi Muhammad.
Meskipun praktik ziarah tampaknya memainkan peran perekat sosial dan memperbanyak kesempatan menghidupkan kembali rasa kebersamaan kolektif, hal itu hanya dimungkinkan oleh adanya ruang dan waktu yang secara fungsional masih memungkinkan modus pertukaran kolektif, baik ekonomis sosial maupun simbolis di tengah masyarakat Magribi.
Dengan demikian praktik ziarah termasuk dalam kategori kebiasaan- kebiasaan keluarga dan berada dalam lingkup hubungan kemasyarakatan dan hiburan. Pada pertemuan para perempuan, ziarah mengikuti aturan bermasyarakat. Sepanjang siang dan sore hari perempuan-perempuan itu berdoa, menyanyikan pujian, menyanyi, menari, menangis, tertawa, berbagi cerita-cerita sedih dan gembira, makan dan minum dalam suasana sangat akrab. Pertemuan itu diadakan dalam perlindungan sang wali yang menyambut para perempuan itu dalam zawiyah-nya, suatu tempat yang hangat, tempat untuk melepas ketegangan lahir dan batin, ruang tempat
Sossie Andézian
emosi dibiarkan keluar dengan bebas. Sang wali bukan hanya dianggap sebagai leluhur, kakek, ia adalah juga sahabat, tempat mencurahkan rahasia pribadi, dan bahkan kekasih. Nyanyian para perempuan yang menyanjung wali sulit dibedakan dari lagu cinta yang bersifat profan. Orang tua, yang melarang anak gadisnya ke luar rumah selain pergi bersama keluarga, mengijinkan mereka mengunjungi para wali. Ziarah yang dilakukan dalam rangka tarekat menjadi terlebih penting lagi dilihat dari kenyataan bahwa kesemrawutan tarekat-tarekat pada permulaan abad ke-20 telah mengubah pola hubungan antarsesama pengikut di satu pihak, dan antara pengikut dan syekhnya di lain pihak, oleh karena hubungan-hubungan itu telah dibatasi ruang dan waktunya. Keanggotaan pada suatu kelompok tarekat seperti ini memberikan identitas sosial kepada individu, meskipun identitas itu tidak pernah ditekankan selain dalam jaringan kecil anggota tarekat yang sama. Saya melihat identitas itu sebagai suatu acuan yang hanya berlaku untuk diri sendiri dan untuk kelompok orang yang memiliki pola berpikir yang sama mengenai kehidupan. Keanggotaan pada suatu kelompok tarekat itu disertai oleh suatu kewajiban moral untuk turut serta pada suatu sistem pertukaran yang terjalin di antara anggota pucuk pimpinan di satu pihak dan saudara-saudara sesama anggota di lain pihak. Setiap tarekat memiliki sejumlah nilai di mana prinsip cinta dan persaudaraan menempati kedudukan sentral. Ziarah kolektif yang bentuk unggulnya adalah moussem merupakan kesempatan untuk menjalin kembali ikatan-ikatan yang mulai menjadi renggang oleh kondisi kehidupan modern, sekaligus kesempatan untuk menemukan kembali, kendati hanya untuk sesaat, rasa kebersamaan komunitas antarsesama penerus-penerus pendiri tarekat. Meskipun mereka menggunakan metafora istilah-istilah kekerabatan, yaitu istilah keakraban, untuk menyebut wali laki-laki dan perempuan yang sangat dihormati itu dan dengan siapa mereka menjalin hubungan khusus, para pengikut tetap mengganggap wali sebagai manusia sempurna, yang lebih tinggi derajatnya dan melampaui batasan-batasan dunia material.