Makam Bah al-D n Naqsyband, Ritus Ziarah

Makam Bah al-D n Naqsyband, Ritus Ziarah

Daerah Bukhara adalah tanah suci pengikut Naqsybandiyah. Pendiri tarekat ini lahir dan wafat di situ, dan di situ pula terletak makam-makam dari guru-guru dan murid-muridnya yang paling terkemuka. Semuanya ada dalam jarak 40 km dari kota Bukhara, kecuali makam Syekh ‘Ubaid Allah Ahrar yang berada di Samarkand. Oleh karena kedekatan itu, orang-orang yang dahulu, ataupun kini, berziarah ke makam Bah ’ al-D n tak ayal juga mengunjungi makam-makam tokoh tasawuf Asia Tengah lainnya: Em r

Kul l, ‘Abd al-Kh liq Ghijduv n , ‘Ubayd All h Ahrar, dan lain-lain 45 . Makam ibu Bah ’ al-D n, yang terletak kira-kira 100 meter dari makam

putranya, juga menarik banyak peziarah, terutama perempuan yang mengharapkan keturunan.

Di mata orang-orang Islam Asia Tengah, berziarah tiga kali ke makam Bah ’ al-D n dianggap bernilai sama dengan naik haji ke Mekkah. Pasti itulah salah satu sebab tempat itu sedemikian terkenal. Dari abad ke abad praktik itu melahirkan organisasi tersendiri, dengan tata cara tersendiri pula. Pertama-tama, kunjungan ke makam memang mentradisi di kalangan penduduk kota Bukhara, tetapi, walaupun kompleks makam wali dapat dikunjungi sepanjang tahun, perayaan Bah ’ al-D n dijadikan satu dengan acara tahun baru, yaitu perayaan datangnya musim semi, yang jatuh pada bulan Maret dan dikenal di seluruh kawasan Turki-Persia dengan nama Navruz. Dulu, seluruh daerah Bukhara juga menyelenggarakan perayaan datangnya musim semi itu, selama keempat minggu dari bulan Maret. Perayaan itu dijuluki “pesta bunga mawar merah” (praznik krasnoi rozi dalam bahasa Russia dan ‘id-i gul-i surkh dalam bahasa Tajik) dan bertempat di seputar makam Bah ’ al-D n. Kata orang Bukhara, pesta itu

44 Lih. Turkistan, 16 September 1993; Uzbekistan ädäbiyati vä sän’äti, 17 September 1993; Khälk Sözi, 18 September 1993; Zaman – Uzbekistan, 1-15

Oktober 1993.

45 Lih. misalnya laporan perjalanan sekelompok kaum Naqsyband Turki ke Asia Tengah pada tahun 1991 oleh R. Koçak (1991). Mengenai wali-wali ini, lihat H.

Algar (1990a, hlm. 8-16) dan O.A. Sukhareva (1966, hlm. 305-308).

Thierry Zarcone

memang jatuh pada “musim mekarnya bunga-bunga mawar” 46 . Namun acara perayaan itu sama sekali tidak mengurangi dampak dari perayaan

besar lainnya, yaitu perayaan ‘Abd al-Khaliq Ghijduv ni, salah seorang guru utama Bah ’ al-D n, yang diselenggarakan di kota Ghijduvan, tidak jauh dari kota Bukhara. Kesaksian yang diberikan oleh pengarang Tajik Sadr al-Din Ayni, yang mengikuti perayaan itu pada akhir abad ke-19,

cukup menarik 47 . Kebanyakan pengamat mencatat bahwa acara ziarah di sekitar Bah ’

al-D n Naqsyband sejak dulu diawali di kota Bukhara. Para peziarah berkumpul di salah satu pintu gerbang kota yang pada kesempatan itu disebut “pintu kuburan” (darv za maz r) atau “pintu musim semi baru” (nau bahar) 48 . Jalan yang menghubungkan ibu kota keemiran dengan

makam sang wali, konon diberi landasan batunya atas perintah Emir Nashr All h Kh n, yang menyaksikan betapa rusak keadaannya. Sebelum dia mengambil kekuasaan di Bukhara, Emir berkaul di atas makam wali bahwa dia akan berziarah ke makam itu setiap minggu bulan Maret, dan hingga

akhir hayatnya 49 , apabila dia berhasil mengusir musuhnya dari kota itu.

A. Vambery, yang mengikuti sekelompok peziarah pada akhir abad ke-19, memberikan suatu pemerian rinci tentang urutan acara ziarah. “Di Bukhara”, katanya, “biasa diadakan perjalanan ziarah secara mingguan, dan tiga ratus keledai sewaan tersedia untuk membantu lalu lintas yang tak henti-hentinya antara tempat suci itu dan kota Bukhara. Mereka biasanya ditempatkan di depan derv ze mez r dan kita bisa menyewa mereka

dengan sedikit uang” 50 . Setelah itu tibalah saat ziarah pada makam Bah al-

D n, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan acara serupa di makam- makam wali lainnya di Asia Tengah. Mari kita kutip A. Vambery sekali lagi, “Kuburan itu terletak dalam suatu taman kecil, yang bersebelahan dengan sebuah masjid. Untuk mencapainya kita menyeberangi suatu halaman yang penuh pengemis-pengemis buta atau pincang, yang rengek- rengekannya lebih tajam daripada gangguan sejenis yang dialami di Roma atau Napoli. Di hulu makam terdapat sanghi mourad atau “batu nafsu”

yang terkenal itu 52 , yang dibuat lincin oleh gosokan dahi peziarah . Di atas

46 Lih. V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 152); O.A. Sukhareva (1966, hlm. 38) dan (1960, hlm. 35).

47 S. Aïni (1956, hlm. 102-116). Mengenai ‘Abd al-Kh liq Ghijduv n dan ziarah ke makamnya, lihat H. Algar (1990a, hlm. 79).

48 Menurut W. Barthold (1927; dikutip oleh Y. Husain [1929, hlm 140]), dan S. Aïni (1956, hlm. 204).

49 Lih. V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 151); Näsäfiy (1993, hlm. 41). 50 A. Vambery (1987, hlm. 175-176). 51 Sebenarnya “Sang-i murad”.

Makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara (Uzbekistan) 459

monumen nisan terdapat tanduk-tanduk kambing jantan 53 , sebuah bendera dan sebatang sapu yang konon pernah dipakai menyapu tempat suci di

Mekkah. Beberapa kali dicoba dibangun kubah, tetapi, seperti kebanyakan wali Turkestan, Baha ed-Din lebih menyukai tempat terbuka, dan kubah yang dibangun tidak pernah bertahan lebih dari tiga hari. Itulah cerita syekh-syekh, anggota keturunan wali yang bergilir menjaga kompleks makam. Mereka juga menceritakan kepada peziarah, dengan nada yang tenang, bahwa leluhur mereka sangat menggemari angka tujuh (...). Akibatnya, pemberian dan sumbangan lain yang dihaturkan di atas makamnya harus berjumlah tujuh atau merupakan perkalian dari angka itu, sesuatu kekhasan istimewa yang tentu turut memperbesar nilai sum-

bangan” 54 . Pada abad ke-19, ‘Abd al-Rauf Fitrat, seorang reformis tersohor dari

Bukhara juga menulis suatu pemerian tentang ziarah di makam Bah ’ al-

D n yang penuh detil dan perenungan 55 . “Setelah berjalan sepanjang masjid”, katanya, “kita masuk melalui pintu gerbang ke tempat ziarah

(darv za-i ziy ratg h ); tempatnya luas; di situlah terdapat makam (turbat) Naqsyband, dan terlihat beberapa laki-laki, secara individual atau berdua- duaan, sedang bertawaf (tav f) di sekelilingnya. Saya pun berjalan keliling makam, walaupun bukan untuk bertawaf, tetapi untuk mengamati gerak- gerik dari orang yang melakukannya. Selama mengelilingi kuburan (qabr) itu, saya melihat di kanan kirinya dua atau tiga tanduk kambing jantan, sedangkan di dua atau tiga tempat lainnya tergantung ‘ekor-ekor’” yang

panjang terbuat dari bulu leher kuda (turra) 56 . Para petani peziarah didekati

52 Sebuah prospektus pariwisata yang disusun oleh Uzbektourism (1993) melaporkan tradisi lisan yang melanjutkan bahan historis dari batu ini: “Dalam

salah satu perjalanan hajinya, sewaktu pulang, Bah ’ al-D n dengan kawan- kawannya bermalam di sebuah stepa dan dia melihat Nabi Ibrahim di atas awan putih. Nabi Ibrahim menggenggam sebutir batu suci hitam dan berkata bahwa itu diturunkan kepadanya dari langit. Sekembalinya di rumah, Bah ’ al-D n menemukan batu itu di dekat makam ibunya, lalu ditempatkannya, sesuai dengan permintaan Nabi Ibrahim, di tempat masuk rumahnya…”. V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 149, cat. 2) menyebutkan bahwa batu hitam yang dipasang pada sebuah dinding itu menyesuaikan diri dengan lengan, wajah dan janggut peziarah.

53 Lambang kekuatan; V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 149). 54 A. Vambery (1987, hlm. 175-176). 55 Fitrat (1988). 56 Penyunting Tajik dari karya Fitrat ini memberikan sebuah sinonim dari istilah ini

(yang jarang dipakai), yaitu tugh-i maz r. Kata majemuk ini antara lain menunjukkan sebuah bahan serupa yang digunakan sebagai panji-panji dan yang pernah dipergunakan di kalangan suku-suku Turki pengembara pada awal masa

Thierry Zarcone

oleh khwaja-khwaja, dipegang krah bajunya dan diperingatkan ‘agar tidak

57 lupa berziarah pada tanduk-tanduk p r’ 58 (pirining shakhini ziyarat kil ); mereka kemudian menciumi tanduk-tanduk itu, dan itulah kesempatan yang

dinantikan khwaja-khwaja untuk memeras kantong mereka. Para petani miskin itu dapat dilihat asyik menciumi tanduk-tanduk sambil meng- gumamkan doa-doa dan setelah itu mengusapkan tangan mereka pada mata. Pada saat itu muncul lagi khwaja lain yang memegang “ekor” kuda tadi sambil mendesak, “jangan lupa ziarah ini (ziy rat kun) dan gosoklah wajah anda dengan ini” (....) Saya melihat bahwa acara tawaf hampir selesai. Setelah itu orang-orang menaruh kepalanya pada kayu bendera makam, menciuminya, mengosok-gosokkan wajah mereka ke situ, dan sambil merengek-rengek, tetap begitu dengan muka tertempel pada batang kayu itu selama lima menit, seakan-akan mereka mengeluhkan semua sakit dan kesulitan hidup mereka kepada benda itu. Mereka juga menyampaikan kepadanya harapan-harapan yang sudah bertumpuk-tumpuh selama

beberapa tahun” 59 . Kini, pada tahun 1993, praktik ziarah tampil sedikit berbeda. Yang

kita saksikan adalah kebangkitan kembali, sedikit demi sedikit, dari praktik ziarah itu. Hal itu dilakukan dengan dukungan resmi setelah putus lebih dari 50 tahun. Pada pintu masuk masjid Muzaffar Khan kini terdapat pendakwah populer (syekh, darwis, atau pengelana biasa) yang seperti di masa lalu, berdoa untuk peziarah, memohonkan bantuan wali dan mengumpulkan sedekah yang dimaksudkan untuk perawatan makam. Muncul juga beberapa toko yang menjajakan benda-benda agama dan buku-buku di kawasan makam. Tiga papan besar, tertulis dalam dua bahasa (Uzbek dan Tajik dengan aksara cyrilik, dan Uzbek dengan aksara Arab) dipajang pada tembok teras pertama dari masjid Hakim Qusybegi; papan- papan itu menjelaskan siapa sesungguhnya Bah ’ al-D n dan bagaimana

Kekaisaran Usmani. Panji-panji itu sebenarnya menggambarkan tempat kediaman arwah. Lih. J. Castagné (1951, hlm. 47-48); J.-P. Roux (1963, hlm. 118-120). Terdapat foto-foto kuno dari makam wali-wali Naqsyband , dekat Bukhara, yang tidak jauh berbeda dari makam Bah ’ al-D n (terutama makam ‘Ubayd All h Ahrar di Samarkand). Foto-foto itu memberikan gambaran mengenai cara berbagai barang suci (bebatuan, tiang-tiang, panji-panji, dsb.) terletak di sekitar makam wali; lih. V. Naumkin (1992, hlm. 132-133, 136, 143-144, 150, 153-154, 158, 161, 163).

57 P r (syekh) yang dimaksud, ialah Bah ’ al-D n. 58 Kalimat berbahasa Turki Timur yang dimasukkan dalam teks Parsi ini

merupakan tanda bahwa makam itu dikunjungi baik oleh orang-orang berbahasa Parsi maupun orang-orang berbahasa Turki dari Asia Tengah.

59 A. Fitrat (1988, hlm. 18-19).

Makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara (Uzbekistan) 461

acara sembahyang mestinya dilakukan. Bagian terakhir dari tulisan itu, yang disebut ziyarät ädäbi (peraturan ziarah) penuh dengan ajaran 60 .

Tulisan itu menganjurkan kepada peziarah supaya memulai acaranya dengan penghormatan kepada wali di masjid dengan melakukan sembah- yang dua rakaat; kemudian menuju makam (qabr) dan membungkukkan badan ke arah kiblat. Pada waktu itu dia harus mengucapkan, “O Mukminin yang berada di tempat peristirahatan ini, mudah-mudahan Allah mengaruniakan kalian keselamatan dan pengampunan. Kami pun akan menyusul kalian ke alam maut. Kami juga memohon pengampunan Allah baik untuk kalian maupun untuk diri kami sendiri”. Peziarah kemudian disuruh membaca al-Qur’an (tilavet). Tujuan peziarah, tambah tulisan papan itu, adalah mengikuti jalan orang-orang mati yang pantas dijadikan panutan itu, sesuai dengan ajaran Hadis Nabi, mengingat leluhur dan berdoa demi keselamatan mereka, “Nabi saw. bersabda, ‘Berziarah ke sebuah makam akan mengingatkan akan datangnya akhirat’”. Tulisan bahkan menambahkan, “Melalui al-Qur’an, Allah mengajarkan kepada kita perlunya memohon keselamatan bagi ulama-ulama yang besar, wali-wali, syekh-syekh (masy yikh) negeri kita dan para leluhur ( ta-b b ) yang telah tiada”. Peziarah kemudian diminta mengucapkan kalimat berikut, “O Maha Pencipta, ampunilah dosa-dosa kami. Ampunilah juga dosa-dosa dari orang-orang mukmin yang sudah mati dan janganlah Engkau bangkitkan dalam kalbu kami permusuhan terhadap orang-orang yang tidak beriman. Allah, Kau Maha Pengasih dan Maha Pengampun”. Kemudian tulisan dilanjutkan dengan larangan untuk melakukan praktik-praktik yang dianggap bidah, sekalipun sudah berlangsung sejak hampir seribu tahun, “Selama ziarah, dilarang menciumi nisan makam, menggosok-gosokkan mata pada pohon-pohon atau pintu-pintu, memohon bantuan dari almarhum, karena perbuatan-perbuatan itu adalah dosa besar (gunah) dalam Islam. Dalam al-Qur’an, Allah bersabda kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa seperti berikut, ‘Oh Maha Pencipta, kami mengalamatkan doa kepada Engkau, tetapi kami tidak memohon bantuan apa pun dari Engkau. Oleh karena itu, janganlah kita memohon kepada Allah agar dia memenuhi kebutuhan dan keinginan kita; lebih baik menjaga kemurnian keimanan kita kepada Allah’”. Dianggap dosa besar pula menyalakan lilin di kuburan-kuburan. Bukanlah lilin, tetapi doa-doa dan terutama doa al- Fatihah yang akan sampai kepada orang-orang suci. Mudah-mudahan Allah menuntun kita semua ke jalan kebenaran, mudah-mudahan Dia mengajari kita dan mendorong kita untuk mengikuti jalan Nabi (saw.)”.

60 Pengamatan pribadi penulis pada bulan Maret 1993.

Thierry Zarcone

Dengan ini jelaslah bahwa Direktorat Spiritual Uzbekistan menen- tang secara terang-terangan praktik-praktik ziarah ke makam wali yang bersifat “bidah” atau “syirik”, yang juga dikritik di masa lalu oleh penentang yang kurang keras dari praktik ini, seperti ‘Abd al-Ra ūf Fitrat. Demikian pula, permohonan syafaat, yang telah bergeser dalam praktik populernya—ketika wali diminta memohon bantuan kepada Allah atas nama peziarah dan demi kepentingan material atau spiritualnya—telah dipulihkan dalam interpretasi yang lebih sesuai dengan tuntutan al-Qur’an; peziarah kini harus mendoakan sang wali atau berdoa langsung kepada Allah, dan doa itu tidak boleh disertai kepentingan sendiri. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa evolusi yang telah berlangsung sejak zaman Soviet mengarah ke kadar ortodoksi Islam yang lebih tinggi. Kontrol yang kini dilakukan oleh Direktorat Spiritual bertujuan menjaga agar ziarah ke makam Bah ’ al-D n berlangsung dalam suatu kerangka yang tak diragukan ortodoksinya, sekurang-kurangnya dalam batasan tertentu. Pelarangan total atas praktik ziarah, seperti biasa dituntut oleh kaum ultra-tradisionalis (Wahhabi) tidak mungkin dilakukan, melihat nilai simbolis dari makam pelindung kota Bukhara ini bagi Islam Asia Tengah dan terutama melihat betapa sang wali diagung-agungkan oleh masyarakat kawasan itu. Apalagi, Bah ’ al-D n—berikut beberapa tokoh-tokoh historis lainnya—menempati posisi yang penting dalam kiat Republik Uzbekistan untuk mengem- bangkan identitas politik dan kulturalnya. Hal ini juga menjelaskan mengapa tokoh itu justru diangkat lagi demi tujuan politik tertentu sejak tahun 1993. Dengan demikian, setelah dikutuk dan dilarang oleh kaum cendekiawan Soviet atas dalih ortodoksi, dan setelah diizinkan kembali sejak tahun 1989 menyusul robohnya sistem Marxis dan bangkitnya kembali Islam di Asia Tengah, peran dan praktik ziarah ke makam Bah ’ al-D n belum sepenuhnya pulih identitas lamanya. Namun ada parameter lain yang masih sulit diperikan, tetapi pasti akan mempengaruhi sejarah makam, kalau belum mulai mempengaruhinya, yaitu dampak dari pendakwah beraliran sufi atau gerakan sejenis, yang merupakan pewaris dari “Islam lain” yang digemari oleh Alexandre Bennigsen, dan yang sedikit demi sedikit muncul kembali di sekitar tempat-tempat suci. Praktik- praktik lama tidak menghilang begitu saja, terutama di kalangan rakyat jelata, dan, meskipun ada larangan-larangan yang tertulis pada papan resmi, masih saja ada orang-orang Islam yang menciumi batu nisan makam atau pintu gerbangnya, serta yang melakukan tawaf keliling....