Kesimpulan: Wali dan Kegelisahan Dunia

Kesimpulan: Wali dan Kegelisahan Dunia

Seperti sering dapat dilihat, peran wali adalah suatu tema umum gerakan pembaharuan Islam yang di dalamnya berhadapan berbagai aliran: di satu pihak suatu aliran agama tradisional, yang diatur dari dekat atau jauh oleh kaum rohaniwan, yang “memanusiakan” konsep ketauhidan dengan mendekatkannya pada kebutuhan-kebutuhan keseharian. Di lain pihak terlihat kehendak reformis yang berusaha merasionalisasikan perilaku keagamaan dengan melenyapkan pendapat yang menganggap bahwa Allah dapat, atas dasar permohonan manusia, mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan-Nya yang bersifat abadi itu. Aliran modern ini terutama berusaha menjawab keberatan-keberatan yang diajukan oleh kaum Wahhabi (yang berkali-kali dijadikan acuan dalam buku Rokni Yazdi) dan memperlihatkan bahwa Islam aliran Syiah sesungguhnya sesuai dengan semangat ketauhidan al-Qur’an.

Situasi di Republik Islam Iran sejak 1979 amat menarik diperhati- kan, oleh karena berbagai perilaku marjinal memungkinkan untuk luput dari tekanan dogmatis dan politisasi agama, sekalipun tanpa menen- tangnya. Golongan sufi akhirnya sangat menderita justru karena mereka memiliki semacam hierarki rohaniwan yang independen terhadap lembaga agama resmi. Selama dikuasai secara religius dan ekonomi oleh rohaniwan resmi, ziarah-ziarah sufi secara paradoksal memperkuat kekuasaan eksklusif pihak agama resmi, sambil menghindarinya.

Salah satu contoh paradoksal dari fenomena kewalian ini adalah ayatollah Khomeini (1902-1989) sendiri. Sosok yang membuat Presiden Carter dan seluruh dunia Barat gemetar ini, orang yang diaibkan oleh kaum cendekiawan karena mengeluarkan fatwanya yang terkenal terhadap Salman Rushdie itu, orang itulah selama hidupnya dianggap sebagai seorang wali yang sesungguhnya oleh banyak orang Iran. Sebelum menjadi guru ilmu fiqih di Qom pada awal tahun 50-an, orang yang bakal menjadi

232 Yann Richard

pemimpin Revolusi Islam itu mengajar tasawuf dan mistik, dan meminati ragam sufi terselubung yang diajarkan di madrasah-madrasah Syiah dengan nama erf n, yaitu makrifat atau gnosis. Kecenderungannya ke asketisme (zuhud) memukau muridnya, calon ulama, yang nantinya menjadi pem- bantu politiknya yang sangat setia. Daya pukau yang sama berlaku juga setelah tahun 1978 di kalangan pengikutnya, yang menganggapnya mampu membuat karomah dan mendatanginya untuk memohon berkah dan nujumnya. Sosok berjenggot tua dari Neauphle-le-Ch teau kini sudah terukir di memori semua orang, dan Michel Foucault sendiri dibuat

terpukau olehnya 27 . Di Iran ada saja orang yang melihat bentuk mukanya di permukaan bulan, yang lain berwudu sebelum menghadap kepadanya. Dan

seorang cendekiawan dari Berkeley mengatakan betapa dia bingung melihat pengaruh orang tua itu terhadap massa yang “penasaran”... bahkan ada seorang filsuf ahli India yang membandingkannya dengan Gandhi dan

Luther 28 . Setelah Revolusi Iran kehilangan pamor pun, sosok Khomeini tetap memikat dan tidak ada seorang politikus pun yang berani melawan

kemauannya. Resepsi yang diadakan di istana kemaharajaan Shah nampak seperti lelucon dibandingkan ziarah di Jam r n, tempat khalwat sang Imam di kaki gunung yang menjulang di atas kota Teheran itu: sebagian besar yang menghadap adalah orang-orang kecil yang berada dalam keadaan suci dari hadas; mereka duduk bersebelahan dengan menteri-menteri dan duta- duta dan menghadapkan anak-anak mereka agar diberkahi. Segi yang memuakkan dari kultus seperti ini hanya dilihat oleh mereka yang terang- terangan memusuhi rezim, dan mereka memandang itu sebagai manipulasi belaka. Tetapi orang lain melihat di dalamnya suatu tamparan pada penguasa dunia. Ketika ditanyai apakah dia Imam yang dinanti-nanti, yaitu juru selamat yang dijanjikan atau Sang Mahdi, Khomeini diam seribu bahasa, yang menambah kebingungan penghadapnya.

Acara pemakaman Sang Imam disertai adegan-adegan histeria kolektif. Ada yang mencoba mendapatkan benda keramat (menjelang pemakaman, jasadnya bahkan terjatuh di tengah kerumunan), sedangkan yang lain mengharapkan “sinar” terakhir karismanya. Sejak wafatnya Khomeini, fungsinya telah bergeser dari tokoh politik berkarisma menjadi penghibur hati kaum papa dan alat legitimitasi penerusnya. Makamnya yang sangat besar dan megah dibangun di dekat kuburan Teheran, tidak jauh dari makam ulama yang hidup sezaman dengan Imam Syiah ke-11 dan ke-12, tepatnya di kota yang dalam Alkitab disebut Rhagès (sekarang Ray), dan dengan cepat menjadi tujuan suatu ziarah populer serta, seperti Lenin

27 Lihat L. Olivier & S. Labbé (1991, hlm. 219-23). 28 D. Shayegan (1978), (1979).

Iran 233

sampai sekarang ini, menjadi tempat singgah wajib untuk setiap kunjungan resmi 29 . Sebagaimana para wali yang makamnya diziarahi orang, Khomeini

mengangkat kebutuhan masyarakat akan bimbingan rohani dan sosial ke tingkat lebih luhur; suatu peran yang semasa hidupnya hanya dapat dia penuhi dalam kekacauan dan kekerasan. Kini dia tidak lagi mengon- cangkan apa-apa, dia sebaliknya menenangkan.

Maka mungkin saja inilah kunci pengertian fenomena kewalian yang sedemikian diminati di kalangan Islam Syiah.

29 Sudah diperikan dalam Y. Richard (1991, hlm. 24 dst.).