Kepribadian Para Wali
Kepribadian Para Wali
Dalam kerangka tulisan ini, tidak perlu membicarakan nabi-nabi yang mendahului Nabi Muhammad 92 . Namun harus dicatat peran utama Nabi
Muhammad dalam tata hubungan antara para nabi dan para wali. Telah disebutkan di atas bahwa, menurut ajaran sufi, para wali hanya dapat menjadi pewaris para nabi melalui perantaraan Nabi Muhammad. Dalam hal ini, tingkah laku sehari-hari di kalangan masyarakat sejalan dengan ajaran agama. Di Damaskus misalnya, apabila kaul para perempuan yang diucapkan atas nama Nabi Yahya dikabulkan, mereka mengadakan upacara
90 Semua buku fikh memuat bagian tentang nud ūr; lihat misalnya ‘Al al-d n
‘ bid n (1978, hlm. 202). 91 Maksudnya Jahiliah; lihat Ibn Taymiyah (1980, hlm. 51).
92 Secara sepintas perlu pula dicatat bahwa kaum Bah ’is juga menganggap Palestina sebagai tanah para nabi; mereka telah menguburkan “B b” Sayyid ‘Al
Muhammad di lereng Gunung Carmel yang menjulang di atas Haïfa, di Israel. Tokoh tersebut adalah pendahulu Bah ’Allah, yang menyatakan diri sebagai nabi di Persia pada abad yang lalu, dan dengan ini menentang ajaran Islam yang menyatakan bahwa Muhammad adalah nabi yang terakhir.
Timur Tengah 79
maulid; tetapi maulid tersebut selalu maulid Nabi Muhammad yakni memperingati kelahirannya, serta tanda-tanda ajaib yang menyertainya. Satu-satunya perayaan maulid yang dikenal di Suriah adalah maulid Nabi Muhammad, berbeda dengan Mesir di mana perayaan-perayaan hari lahir para wali bersaing dengan mawlid nabawi. Di Damaskus perayaan ini berlangsung selama dua bulan, yaitu Rabiulawal dan Rabiulakhir, dan memberi peluang kepada banyak kelompok penyanyi lagu-lagu keagamaan untuk mengadakan pertunjukan di seluruh wilayah kota. Selain itu, dialek yang digunakan sampai sekarang masih mengandung banyak ungkapan yang menyebut-nyebut Nabi Muhammad; acuan pada Nabi tersebut ini muncul terus menerus dalam semua kegiatan kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu pertanda dari “pengultusan” Nabi Muhammad. Kendati beliau dimakamkan di Madinah, namun setidaknya terlihat hidup dalam berbagai penampakan yang konon diterima baik oleh para sufi maupun orang-orang awam. Perlu ditekankan di sini bahwa, di mata orang Islam, nur wali-wali memudar dan tenggelam berhadapan dengan nur Nabi Muhammad.
Sosok Khidlir (Hadir) “Yang Hijau” (al-Khadlr al-Akhdlar di Palestina dan di Libanon) merupakan tokoh perantara istimewa lain antara konsep nabi dan konsep wali. Perdebatan selama berabad-abad yang ditimbulkannya pada dasarnya mengemukakan keberadaan tokoh itu dalam kedua status tersebut, yaitu sebagai wali dan sebagai nabi. Kendati ada beberapa ahli fikh yang berpendirian bahwa tokoh itu meninggal sebelum zaman Islam, penampakannya pada para sufi dan ulama di sepanjang zaman merupakan pertanda bagi yang bersangkutan akan vitalitas “tokoh
perintis wali-wali itu” 93 . Di sini pun suara rakyat berpadu dengan pengalaman mistis, sekurangnya jika dilihat dari jumlah desa yang dinamai
menurut tokoh itu di Timur Tengah, dan dari jumlah makam yang memakai namanya 94 .
Di lingkungan orang Palestina dan Libanon, seperti halnya di kalangan Druz dan Alawi, Khidlir disamakan dengan Santo George, seorang martir Nasrani dari abad ke-4 yang dalam legenda digambarkan sebagai penakluk naga (maksudnya iblis). Kaum Alawi berziarah ke biara Santo George (dair M r Jirj s), yang didirikan pada abad ke-6 dan terletak
93 Tentang perdebatan-perdebatan itu, lihat tesis kami, Le soufisme en Egypte et en Syrie , di bawah pengarahan MM. J. Cl. Garcin dan D. Gril, di Aix-en-Provence,
Juli 1993 (terbit 1995), hlm. 413-418.
94 Tentang desa-desa tersebut, lihat Ibn Šadd d (1984, hlm. 7); T. Canaan (1927, hlm. 14-15).
80 Eric Geoffroy
di kaki Crac des Chevaliers (benteng besar ksatria Frank) di Suriah 95 . Kaum muslimin Palestina bersembahyang di Gereja Khidlir di desa yang
bernama sama dengan tokoh ini, yang terletak dekat Bethlehem 96 ; mereka juga mengambil bagian pada upacara Nasrani yang masih diadakan di Lod
untuk menghormati santo itu juga. Lagi pula, banyak di antara mereka yang memiliki ikon (gambar khas Kristen Timur) Santo George, sesuatu yang tidak mungkin terjadi di lingkungan Sunni lainnya. Kedua masyarakat tersebut (Islam dan Nasrani) bersumpah atas namanya, seperti halnya mereka bersumpah atas nama Isa (wa haqq al-Khadlr al-Ahdlar...), dan beranggapan bahwa Santo George dapat menyembuhkan gangguan
penyakit mental dan syaraf 97 . Penghormatan kepada Santo itu oleh penduduk dibenarkan oleh satu tradisi Islam, yang percaya bahwa dia
bertempat tinggal di Al-Quds (Yerusalem) 98 . Maka Khidlir adalah titik temu yang penting antara agama Nasrani dan Islam Palestina.
Tanda kehadiran tokoh itu terdapat juga di daerah-daerah lainnya di
99 Bil d al-Sy m 100 , terutama di Damaskus dan Aleppo . Di Irak dia disepadankan dengan Nabi Ilyas 101 , tetapi kaum Sunni Suriah melihatnya
sebagai lawan bicara Nabi Musa, dan beberapa wali zaman modern konon pernah diperkenankan “berjumpa” dengan dia. Pada akhirnya perlu dicatat hubungan antara “dia yang telah meminum air kehidupan” dengan unsur air: para nelayan dari kawasan pantai Suriah masih memanjatkan doa kepadanya ketika menghadapi badai, namun, berbeda dengan apa yang terjadi di India Utara, mereka tidak sampai menjadikannya sebagai sejenis
95 Mereka malah memandang Santo George (M r Ğirğ s) sebagai salah satu dari banyak perwujudan Allah yang terdapat dalam doktrin esoteris mereka.
96 Orang-orang Nasrani menamakan tokoh ini kadang-kadang H dir, kadang- kadang M r
97 T. Canaan (1927, hlm. 120-122). Ğirğ s (George).
98 Encyclopédie de l'Islam, edisi ke-2, jil. IV, 938, Muhammad al-Suy ūt (1982, hlm. 199-201) menyatakan bahwa George (M r Ğirğ s) melakukan sembahyang
'asr dalam kota ini; dia juga menggambarkan makamnya yang terletak dekat masjid Al-Aqsa.
99 J. Sourdel-Thomine (1952-54, hlm. 76) menyebut makam-makamnya dalam kota ini.
100 Di antara tempat-tempat yang dipersembahkan kepadanya, tak dapat disangkal yang paling diutamakan sampai hari ini adalah Bab al-Nasr: dengan harapan agar
kutil-kutil mereka menghilang, sejumlah orang penduduk Aleppo memasukkan tangan mereka ke dalam rongga yang ada di dekat pintu itu, yang berbentuk lengkungan jari-jari serta ibu jari.
101 L. Massignon (1908a, hlm. 645).
Timur Tengah 81
dewa air, atau pelindung dari semua pekerjaan yang berkenaan dengan air 102 .
Mari kita tinggalkan lingkungan nabi-nabi untuk membicarakan lingkungan para wali Islam. Kini, ketakwaan kaum muslimin praktis tidak lagi ditujukan kepada sahabat Nabi Muhammad yang banyak jumlahnya yang dimakamkan di seluruh Timur Tengah, kecuali dalam hal panglima tentara Islam Kh lid b. al-Wal d yang dimakamkan di Homs. Tidak begitu jelas apakah Bilal, muazin Nabi Muhammad, dimakamkan di Aleppo, di Damaskus, atau di Madinah, dan penduduk Kota Damaskus tampaknya tidaklah marah menyaksikan cara kaum Syiah membalas dendam pada makam khalifah Umayah, Mu‘awiyah, yang juga adalah sahabat Nabi.
Keunggulan Irak adalah bahwa negeri ini pernah menjadi pusat peradaban klasik Islam, dan Kota Bagdad sendiri telah pula menjadi tempat tinggal dari tokoh-tokoh yang paling istimewa dalam bidang spiritual dan religius. Kaum Sunni masih terus menjunjung tinggi pendiri dua mazhab fikih, yakni Imam Ab ū Han fah, (wafat 150 H/767 M) dan Ahmad Ibn Hanbal (wafat 241 H/855 M) yang atas dorongan ulama-ulama periode berikutnya, dan juga keinginan masyarakat, ditambahkan pada kelompok
wali-wali 103 . Ab ū Han fah dianggap sebagai “cendekiawan”, kata seorang Irak, dan kuliah tentang ilmu-ilmu agama diberikan dalam masjid yang
bersebelahan dengan makamnya, sedangkan fakultas syariat (kulliyat al- Syar ’a ) berada tidak jauh dari situ juga; dan banyak pula pengunjung yang berziarah ke makam imam itu sendiri. Tentang Ibn Hanbal, khalifah terpaksa memerintahkan agar makamnya dijaga, karena “penghormatan atas mazarnya dilaksanakan dengan begitu intens oleh peziarah-
peziarah” 104 . Di seberang Sungai Tigris, orang-orang Syiah menghormati imam-
imam lain yang telah disebut di atas, yakni M ūs K zhim dan cucunya Muhammad Taq al-Jaww d. Perlu dicatat bahwa orang-orang Sunni turut mengambil bagian pada praktik penghormatan itu, apalagi orang-orang sufi memandang tokoh pertama sebagai seorang guru spiritual, yang namanya memang tercatat pada awal silsilah-silsilah sufi. Kaum Sunni juga berziarah ke kompleks Najaf dan Karbala, dan orang Damaskus bahkan
102 Lihat M. Gaborieau (1983a, hlm. 301-302). 103 Dapat dicatat di sini bahwa Ibn Batt ūta (1969, hlm. 220) membicarakan imam-
imam itu secara bersamaan dengan sufi-sufi. 104 Lihat S. Ory, artikel “Makbara”, Encyclopédie de l'Islam, edisi ke-2, jil. VI,
121. Makam Ibn Hanbal kemudian hanyut dibawa aliran Sungai Tigris; makam yang kini dikunjungi orang adalah makam putranya ‘Abd All h (lihat G. Le Strange 1900, hlm. 166, 350).
82 Eric Geoffroy
masih berziarah ke makam Sitti Zaynab, putri Ali, sampai saat orang-orang Iran mengambil alih tempat itu. Perlu dicatat juga peran besar kehormatan kaum Syiah umumnya kepada Ab ūl-‘Abb s, saudara lain ibu dari imam al- Husain, yang dimakamkan di sebuah makam terpisah yang berjarak beberapa ratus meter dari makam Husain. Walaupun wali ini tidak disertakan pada arak-arakan ke-12 imam Syiah, dia amat dihormati oleh rakyat kecil karena, selama pertempuran Karbala, dialah yang meng- hilangkan rasa dahaga pengikut-pengikut Husain, konon dengan mengam- bil air langsung dari Sungai Eufrat. Namanya disebut dalam pengucapan kaul dan janji, dan dia juga memiliki banyak julukan yang menunjukkan
kepahlawanannya 105 . Di Bagdad, aliran sufi abad ke-3 dan ke-4 Hijriah yang amat produk-
tif itu mewariskan nama-nama tokoh tersohor yang masih ditulis pada batu, tetapi, pada tahun 1908, L. Massignon menulis dengan benar tentang orang-orang itu bahwa “kunjungan peziarah-peziarah ke makam-makam
mereka semakin jarang” 106 . Memang, berdasarkan sumber-sumber lama, makam Ma‘r ūf al-Karkhi (wafat 200 H/ 815 M), salah seorang dari empat
pelindung Kota Bagdad, amat diminati peziarah 107 : makam itu “dikenal sebagai tiry q (memiliki kekuatan penyembuh mujarab), karena sejumlah
besar penyakit disembuhkan di makam itu” 108 . Namun kini boleh dikatakan hanya para sufi atau orang asing saja yang masih mengunjungi makam wali
itu, seperti yang juga terjadi pada makam syekh-syekh lainnya semisal Junaid dan al-Hall j. Al-Jil ni dan murid-muridnya telah menggeser sebagian besar pendahulunya pada sebagian besar. Di Suriah, orang sufi zaman awal Islam yang masih mendapat perhatian penduduk hanyalah Abu Suleym n al-D r ni (wafat 215 H/830 M), yang makamnya masih diziarahi
di Desa D ray dekat Damaskus 109 , serta Ibr h m Ibn Adham (wafat 162 H/778 M), penguasa Khorasan (Iran) terkenal yang dipilih mengikuti jalan
tasawuf, dan dimakamkan di Géblé di daerah pesisir Suriah. Sedangkan wali perempuan R bi‘a al-S miyah, yang dimakamkan di Damaskus, tidaklah begitu terkenal di kota itu. Tokoh ini sering disangka identik
105 Dia merupakan “bulan Ban H syim”, “ayah orang yang kepalanya panas”, “dia yang telah memberikan minuman kepada orang yang dahaga di Karbala”, dan lain-
lain. 106 Massignon (1908a, hlm. 650).
107 Al Qusyayri (1988, hlm. 427); Al-Sulam (1986, hlm. 85); Ibn al-Jauz (1981, bab 27).
108 M. Lings (1977, hlm. 160). 109 Al-Haraw (1957, hlm. 30); Sourdel-Thomine (1952-54, hlm. 82).
Timur Tengah 83
dengan R bi‘ah al-‘Adawiyah, wali perempuan dari Basra, di Irak, yang jauh lebih terkenal 110 .
Posisi kawasan Bilad al-Syam sebagai penangkal invasi Mongol dan Frank menimbulkan banyak mujahidin (muj hid ūn), yaitu pejuang yang berperang demi membela iman. Jika kita dapat mempercayai kisah mengenai makam Saq Sulaym n, yang tidak jauh dari Kota Homs, sesungguhnya para mujahidin itu muncul lebih dini, yaitu pada waktu penaklukan daerah itu oleh balatentara muslim. Saq Sulaym n konon adalah serdadu yang konon memberikan minuman (saq ) kepada tentara
H lid Ibn al-Wal d. Selama Inggris memegang mandat atas wilayah Palestina sebagai mandataris Society of Nations, penduduk acap mengaku mengalami penampakan, di mana aneka macam wali melawan kaum kafir (kuff r) dengan bantuan karomah. Dapat diduga bahwa pengakuan
penampakan itu masih berlanjut sampai zaman sekarang… 111 . Namun demikian ada wali yang memang pernah berperang jihad.
Syekh Arsl n kemungkinan besar diingat namanya berkat perlindungan yang dia dapatkan dari pangeran Nur al-d n Zank (wafat 569 H/1174 M)
yang amat menghormatinya 112 . Penguasa ini sendiri digolongkan sebagai wali, terutama karena perjuangannya yang gigih melawan kaum Frank. Dia
dianggap sebagai “pelopor Sunna” dan dijuluki juga sebagai syahid (di sini lebih merupakan pahlawan militer daripada martir) oleh orang-orang Damaskus; bahkan di antaranya ada yang menganggapnya sebagai “khalifah yang mendapatkan petunjuk” yang keenam, setelah keempat penerus Nabi Muhammad dan khalifah Umayah ‘Umar b. ‘Abd al-Az z. Konon dia sering memimpikan Nabi Muhammad, dan karena reputasinya sebagai penguasa yang luhur dia sering menjadi tujuan permohonan yang khususnya berkaitan dengan pembebasan tahanan-tahanan politik Suriah. Apabila permohonan itu dikabulkan, orang-orang membakar lilin dekat makamnya, yang terletak dalam madrasah Nuriyah, di mana kerap diadakan pertemuan zikir sufi. Kemuliaan Shalahudin al-Ayyubi, yang termasyhur, tidaklah sebesar itu: makamnya tidak banyak dikunjungi dan
bahkan dia tidak dianggap wali oleh sumber-sumber historis 113 . Hal yang
110 Tentang wali perempuan itu, Idem, hlm. 83. Kekaburan tentang hidupnya tampak pada ketidakjelasan uraian Y ūsuf al-Nabh n (1988, jil. II, hlm. 71).
111 T. Canaan (1927, hlm. 266). 112 Dia minta dikubur dengan sebagian dari gergaji milik Syekh Arsl n; lihat
Geoffroy (1993, hlm. 171). Tentang Nur al-d n, lihat juga Al-Haraw (1957, hlm. 40); al-‘Adaw (1956, hlm. 39-41); J. Sourdel-Thomine (1952-54, hlm. 82).
113 Al-‘Adaw (1956, hlm. 37-39); J. Sourdel-Thomine (1952-54, hlm. 82, cat. 7). Setidaknya pada Abad Pertengahan, penguasa dinasti Ayyubi itu lebih dihormati di
84 Eric Geoffroy
sama juga dapat dikatakan tentang seorang “penyelamat Islam lain” yang juga dimakamkan di Damaskus, yaitu Sultan Mameluk Baibars.
Ziarah kubur di lingkungan Sunni berkembang terutama sejak abad ke-6 H/ke-12 M, ketika muncul aliran-aliran tasawuf, yang jauh kemudian terwujud dalam bentuk tarekat. Ziarah pada makam syekh yang namanya dipakai dalam nama tarekat (meskipun sering juga bukan pendiri sesungguhnya), serta penulisan riwayat mereka dalam jumlah besar merupakan wujud nyata dari penghormatan kepada wali yang bersang- kutan. Hal semacam ini sudah lama dikenal, namun harus dicatat bahwa dengan tidak adanya pendiri yang besar dari aliran tasawuf di Suriah, maka yang masuk adalah aliran-aliran yang berasal dari Irak. Peran besar yang dimainkan oleh ‘Abd al-Q dir al-J l n didukung baik oleh jaringan keturunan wali itu yang sejak dini menetap di Suriah, terutama di Homs, maupun oleh martabat tinggi yang dimiliki oleh Maqadisa Palestina, baik yang beraliran Q diri maupun yang beraliran Hanbali. Di Suriah terdapat suatu varian lokal dari keempat kutub spiritual (al-aqth b al-arba‘ah), namun pengaruh Irak tetap nyata: di samping M. al-Karkhi dan al-J l n harus juga disebut Hay t al-H rr n (wafat 581 H/1185 M) dan muridnya
‘Aq l al-Manbij (tidak diketahui tahun wafatnya) 114 . Versi yang tersebar mengenai keempat kutub itu mencantumkan nama dua syekh dari Irak,
yaitu al-Rif ‘i dan al-Jil n , serta dua syekh dari Mesir, yaitu Ahmad al- Badaw dan Ibr h m al-Dis ūq . Tidak adanya orang Suriah dalam daftar tersebut sebagian menjelaskan mengapa tidak ada maulid wali di Suriah, sedangkan Palestina, dengan mawsim-nya yang berjumlah besar itu, mengikuti contoh daerah Sungai Nil. Dalam bidang tasawuf, pengaruh Mesir terhadap Palestina memang jauh lebih besar daripada pengaruhnya
di daerah-daerah Bidal al-Syam lainnya 115 . Walaupun s d Muhy al-d n amat populer di Damaskus, penduduk
lokal menyadari bahwa kota mereka sekedar menampung makam syekh tersohor itu: oleh karena jangkauan doktrinnya bersifat universal, Ibn ‘Arab bukanlah milik Damaskus. Orang Damaskus lebih cenderung meng- anggap Syekh Arsl n sebagai pelindung kota, walaupun tokoh terakhir ini
Mesir. N. al- (1993, hlm. 376) mencatat, di Gaza, contoh seorang mujahid sahabat Saladin yang makamnya dijadikan tujuan ziarah.
114 Mambi ğ dan Harr n, keduanya terletak di utara kota Aleppo. ‘Aq l adalah yang pertama dari serentetan wali, di antaranya Syekh Arsl n dan ‘Ad b. Mus f r. Orang
Aleppo masih menziarahi makamnya, terutama “dalam keadaan kerasukan” jin-jin; mengenai tokoh ini, lihat Sha’r n (1954, jil. I, hlm. 151). 115
F. De Jong (1983, hlm. 149-151) menyatakan hal yang sama tentang abad ke-19; kaum Ahmadiyah dan Dis ūqiyah tidak banyak pengaruhnya di Suriah, bertolak belakang dengan keadaan di Palestina.
Timur Tengah 85
juga bukan asli Damaskus; dia berasal dari Qal‘at Ja ‘bar di tepi Sungai Eufrat, sedangkan Ibn ‘Arab berasal dari Andalusia; namun riwayat pribadinya amat terkait dengan sejarah Damaskus pada masa Perang Salib. Lagi pula hubungan antara Syekh al-Akbar (Ibn ‘Arab ) dan kota Damaskus mengalami banyak pasang surut: mulai dari kecaman pedas para ahli fikih, sampai puji-pujian tanpa batas oleh orang Usmaniyah; makam- nya mula-mula dibiarkan tak terawat dan bahkan dijadikan tempat sampah, tetapi kemudian dibangun menjadi kompleks makam yang megah oleh Sultan Salim (atau Selim menurut ejaan Turki) sendiri, pada tahun 923
H/1517 M 116 . Patut pula dicatat bahwa pengkritik utama dari Ibn ‘Arab , yakni Ibn Taymiyah (wafat 728 H/1327 M), dimakamkan di “pekuburan
kaum sufi” 117 . Kita tahu bahwa makam itu dikunjungi pada awal zaman Usmaniyah, dan bahkan ada tulisan sanjungan dari zaman itu yang
menyatakan bahwa dia termasuk wali yang konon pernah membuat karomah 118 . Makamnya tetap berada di tengah universitas Baramké, yang
merupakan bekas barak tentara Usmaniyah yang dibangun di atas maqbarat al-sh ūfiyah, tetapi sang Syekh itu tidak lagi dikunjungi peziarah; menurut penuturan seorang syekh Damaskus, “orang-orang sufi
memandang Ibn Taymiyah sebagai seorang kafir 119 , sedangkan kaum reformis salafi (yang telah menerima gagasan-gagasannya) tidak mungkin
akan berziarah ke situ....” Di antara wali-wali yang memang asli Suriah, yang sudah kami sebut di atas adalah ‘Adi bin Mus fir. Riwayat spiritual wali ini agak aneh: walaupun dia pengikut moderat dari aliran Sunni, dan oleh karena itu dipuji oleh Ibn Taymiyah, dia dijunjung tinggi oleh kaum Yaz d dan
bahkan kadang-kadang didewa-dewakan 120 ; tetapi berbicara mengenai hal ini berarti keluar dari lingkup Islam... Sa‘d al-D n al-Gibaw (wafat kiranya
pada akhir abad ke-6 H/ ke-12 M) merupakan seorang guru tasawuf yang sesungguhnya, yang ajarannya didasarkan atas tarekat Rifa’iyah. Ketika masih menjadi perampok, pada suatu hari ia mendadak merasa lemas dan amat bingung dan, seperti tokoh Persia Fudlail Ibn ‘Iy dl (wafat 187 H/803 M) sebelumnya, dia beralih ke jalan tasawuf. Dia menetap di Jiba, sekitar
30 kilometer dari Damaskus, dan Gunung Hermon yang bersebelahan
116 Lihat Geoffroy (1995, hlm. 451-452). 117 Hal ini tidak mengherankan, karena pekuburan itu tidak hanya menampung
kaum sufi; selain itu, juru polemik Suriah itu, sebagai pengikut Q diriyah, tidak seluruhnya menentang gerakan mistik.
118 Al-‘Adaw (1956, hlm. 95); Mar‘ al-Karm (1986). 119 Penyebab kutukan itu dibicarakan dalam Geoffroy (1995, hlm. 438-439, 441-
443). 120 R. Lescot (1938, hlm. 40).
86 Eric Geoffroy
disebut Jabal al-Syekh (Gunung Syekh) karena dia berlindung di situ setelah dikuasai oleh “daya tarik Allah” (jadzb). Sa’d al-d n dan penerus- penerusnya terkenal mampu menyembuhkan kegilaan dan, di zawiyah Jiba, masih dapat dilihat tempat di mana sang Syekh mengadakan acara peribadatannya. Sebuah masjid besar baru-baru ini dibangun di dekat makamnya dan hal itu menunjukkan vitalitas tempat ini dan ramainya para peziarah yang datang dari luar negeri (terutama dari kawasan Balkan di mana aliran tasawuf itu hidup subur).
Pada zaman Usmaniyah, Damaskus menjadi tempat tinggal ‘Abd al- Ghan al-N bulus (wafat 1143 H/1730 M), seorang sarjana sufi dengan tulisannya yang beraneka ragam mempunyai pengaruh yang luas; dia membela dan menjelaskan doktrin “tetangganya” di Sh hiliyah (makamnya juga berdekatan), yaitu Syekh al-Akbar (Ibn ‘Arab ). Selanjutnya, dan ini terjadi di seluruh kawasan Timur Tengah, berbagai sufi yang menghidup- kan kembali salah satu aliran tasawuf dan mendirikan cabang tersendiri juga dihormati sebagai wali; dapat disebut di sini “Mawl n Kh lid” al- Naqsyband di Bagdad dan Damaskus, serta Sy dil ‘Al al-Yasyr ūt di Palestina, yang sudah disebutkan di atas. Selain itu, ada kalanya ulama- ulama tanpa martabat khas dianggap wali oleh penduduk-penduduk lokal, asalkan mereka melawan pendudukan Prancis atau Inggris: di sini kita menemukan kembali tema jihad.
Wali besar dari Kota Damaskus di abad ke-20 adalah Ahmad al- Hr ūn (wafat 1962); dia secara aktif melawan pendudukan Prancis dengan gigih, namun wal yah-nya (sifat kewaliannya) mempunyai dasar yang berbeda. Pertama, hal ini merupakan kasus yang jarang terjadi di dunia tasawuf, yaitu kasus seorang Syekh buta aksara (ummi) yang ilmunya tidak diperoleh melalui pendidikan tetapi dari ilham. Pemahat batu di Gunung Q siy ūn itu memang belajar membaca pada umur yang sudah lanjut, walaupun dia konon mewariskan ribuan halaman—yang didiktekannya— mengenai berbagai bidang ilmu non-agama; selain itu dia konon memberikan penjelasan-penjelasan tentang arti tulisan sufi kepada syekh-
syekh yang paling ahli 121 . Hingga kini popularitasnya di antara penduduk Damaskus tidak menunjukkan tanda-tanda menurun, dan hal itu terutama
disebabkan oleh peran utama yang dipegangnya di semua lapisan masya- rakat, berkat karomah (kar mah) yang memberkatinya: karomah-karomah- nya yang luar biasa itu pada umumnya berupa upaya menyembuhkan, dan para sufi sejamannya menyatakan bahwa dalam hal ini dia merupakan
121 Sehingga beberapa orang menganggap dia sebagai “Pembaharu” (mu ğaddid) abad ini; lihat Mut ‘al-H fiz & Niz r Ab za (1986, jil. II, hlm. 757), dan secara
lebih umum, riwayat hidup syekh ini pada hlm. 753-762.
Timur Tengah 87
pewaris Isa (maq m ‘ s w ), karena dia konon mampu menghidupkan kembali beberapa orang yang sudah mati 122 .
Dapat dicatat bahwa, selain nabi-nabi yang “diciptakan” oleh peng- hormatan umat, yaitu nabi-nabi yang mungkin tidak pernah ada secara historis—seperti telah kita lihat di Palestina—penghormatan itu juga mewujudkan wali-wali khayalan, atau wali-wali yang identitas sesungguh- nya tidak lagi diketahui. Tampaknya termasuk dalam kategori ini “Syekh Uwais Ab ū Th sa” yang dimohon bantuannya oleh penduduk Aleppo bila ingin mengenyahkan jin-jin jahat; apakah syekh ini pernah ada secara historis atau tidak, sedangkan tidak ada satu makam pun atas namanya? Lagi pula t sa adalah nama wadah yang dipakai untuk membuat zat dengan reaksi kimia yang bahan dasarnya adalah timah hitam, yang konon mampu mengenyahkan jin juga.
Para nabi, para sahabat Nabi, para ahli fikih besar, para imam Syiah, kaum sufi yang lama dan yang baru, para mujahidin, para penguasa... itulah rentetan orang-orang yang diziarahi sebagai wali. Di Timur Tengah, sifat kewalian mencakup segala jenis manusia dan mengambil bentuk beraneka ragam yang dimungkinkan dalam tradisi Islam.