Mutasi Praktik Agama dan Strategi Baru Pelayan Makam di bawah Rezim Kemalis dan Soviet
Mutasi Praktik Agama dan Strategi Baru Pelayan Makam di bawah Rezim Kemalis dan Soviet
Pada abad ke-20 telah terjadi pergantian halauan yang dramatis dalam praktik ziarah ke makam wali di wilayah budaya Turkik. Munculnya rezim- rezim ateis ataupun sekuler disertai larangan total ziarah ke makam wali atau pengurangan drastis dari praktik itu. Bahkan acap kali ziarah wali terpaksa dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Namun dalam kenya- taan, baik Turki Kemalis maupun rezim-rezim komunis di Asia Tengah Soviet (1924) dan di Sinkiang (1948)—daerah ini sekarang di bawah kontrol Republik Rakyat Tiongkok—gagal melenyapkan praktik religius yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun itu. Sebaliknya, di Turki sejak 1950 dan di Asia Tengah—setelah Perestroika pada tahun 1989, dan lebih lagi setelah kemerdekaan republik-republik Islam ex-Soviet itu pada tahun 1991—praktik ziarah ke makam wali telah bangkit kembali dengan kekuatan baru.
Tradisi ziarah dalam budaya Turkik, yang diserang mati-matian oleh Republik Turki dan Uni Soviet, sesungguhnya pernah dikritik dengan tajam oleh berbagai ulama. Mazhab Hanbali dan Ibn Taymiyah (1263- 1328) mempunyai juga pengikut-pengikut di tengah bangsa-bangsa Turkik. Walau pun secara umum para penentang tradisi ziarah mengakui bahwa berdoa di makam nabi atau wali adalah tindakan yang terpuji, tetapi jika wali yang bersangkutan dijadikan perantara, itu tidak boleh sama sekali.
197 Lih. Hasluck (1929, jil. I, hlm. 260-262, 267-268).
H. Tanyu (1967, hlm. 54-55).
Thierry Zarcone
Hanya Allah sendirilah yang boleh dijadikan tempat mengajukan permohonan. Selain itu ziarah ke makam wali adalah, seperti ditulis Henri Laoust, “perjalanan melawan kepatuhan”, karena Nabi Muhammad telah menetapkan bahwa tiada ziarah yang diperkenankan selain ziarah ke kota-
kota suci (masjid-masjid) Mekkah, Medina, dan Yerusalem 199 . Kinalizade Ali Efendi (wafat 1603) seorang cendekiawan Turki Usmani yang sangat
berpengaruh dalam sejarah budaya Turki Usmani, mempertahankan pen- dapat yang sama, tetapi pendukung praktik ziarah ke makam wali juga
tidak kurang kuat kedudukannya 200 . Pada abad ke-19, perdebatan tentang masalah itu cukup seru, dan hal itu berlangsung sampai tahun 1925, ketika
rezim Atatürk mengeluarkan keputusan untuk menutup semua makam dan melarang ziarahnya. Yang melanggar larangan itu dikenakan hukuman yang keras. Keputusan itu disertai larangan terhadap tarekat-tarekat sufi. Patut dicatat bahwa keputusan-keputusan itu bukan diambil untuk memur- nikan Islam di Turki tetapi sebaliknya dalam rangka sekularisasi masya-
rakat 201 . Kekuasaan yang dihimpun oleh tarekat-tarekat, serta perlawanan beberapa tarekat tertentu terhadap kebijakan Atatürk, ditambah dengan
kaitan nyata antara tarekat dan kewalian, itulah yang merupakan dasar yang sesungguhnya dari larangan di atas 202 . Oleh karena nilai sejarahnya, tidak
kurang dari 127 makam berpindah tangan dari Dinas Administrasi Wakaf ke Kementerian Pendidikan Nasional, yang menyerahkan pengelolaannya kepada dinas Permuseuman Nasional. Pada tahun 1940, direksi museum Topkapi-lah yang mendapatkan hak pengelolaannya. Barulah pada tahun 1950, menyusul kemenangan partai Demokrat, 19 makam dibuka kembali untuk pengunjung, dan bahkan dinyatakan terbuka pada ziarah, dengan syarat-syarat tertentu. Diperingatkan pada waktu itu bahwa makam-makam itu akan disegel kembali bila menjadi pusat dari kegiatan keagamaan yang kolot. Di antara makam-makam yang dibuka kembali itu, yang kebanyakan adalah makam-makam penguasa (Oman Gazi di Bursa, Fatih Mehmed dan Kanuni Sultan di Istanbul dan lain-lain), hanya dua yang terkait dengan tokoh-tokoh besar Islam sufi (Haji Bairam di Ankara dan Akshemsuddin di
Bolu) 203 . Sejak tahun 1950 sampai masa kini, kebiasaan ziarah terus berkembang kembali dengan pesat, didukung oleh tarekat-tarekat sufi besar
H. Laoust (1977, hlm. 442-443). 200 Lih. H. Tanyu (1967, hlm. 314-315).
201 Teks undang-undang ini diterbitkan oleh M. Kara (1977, hlm. 436-437). 202 Lih. Th. Zarcone (1993a, hlm. 165-175). 203 Lih. M. Kara (1977, hlm. 339-347); daftar makam yang terbuka untuk umum
ditemukan pada hlm. 440. Lihat juga T.Z. Tunaya (1962, hlm. 219-220); H.H. Ceyhan (1990, hlm. 487-488).
Turki dan Asia Tengah 425
yang makin terbuka kegiatannya. Namun, bangkitnya kembali kegiatan itu tidak juga berarti bahwa praktik ziarah ke makam wali telah lenyap begitu saja dari Turki di antara tahun 1925 dan tahun 1950, yaitu selama 25 tahun. Penelitian di lapangan yang dilakukan oleh H. Tanyu pada tahun 1950-an menunjukkan betapa praktik-praktik tersebut masih kuat dan hidup, baik di lingkungan pedesaan, di mana undang-undang sekuler dari Republik hanya meresap sedikit demi sedikit, maupun di daerah urban yang besar seperti di Ankara dan Istanbul. Hasil penelitiannya menunjukkan berbagai peru- bahan, didorong oleh sikap hati-hati, pada praktik-praktik yang dilakukan di makam-makam, disertai oleh penerapan suatu strategi baru oleh pelayan- pelayan makam, karena mereka sesungguhnya tidak punya lagi kedudukan resmi.
Keadaan serupa berlaku di Asia Tengah, seperti akan terlihat di bawah ini. H. Tanyu mencatat antara lain bahwa ziarah ke makam H cï Bayram di Ankara berubah bentuk setelah tahun 1925. Oleh karena tidak bisa lagi melihat jirat makam—karena makam itu disegel—para pengun- jung mengalamatkan permohonan ke wali melalui jendela, dan ada permo- honan yang ditulis di atas lembar-lembar kertas yang ditinggalkan di dekat
pintu makam 204 . Demikian pula, lilin tetap dinyalakan, sesuai dengan tradisi, namun kali ini ditempatkan di pinggir jendela (niyaz penceresi)
yang langsung mengarah ke makam. Karena tidak dapat melarang peziarah mengunjungi makam wali, pemerintah paling sedikit berusaha mencegah dilakukannya praktik-praktik yang tidak sah, seperti menyalakan lilin (mum atmak yasaktir = dilarang menyalakan lilin) atau menggantungkan kain (bez). Itulah sebabnya plakat larangan praktik-praktik ini dipasang dekat makam dan kompleksnya di seluruh wilayah republik Turki. Larangan itu jarang dipatuhi.... Kadang-kadang tokoh agama lokal membantu peziarah secara diam-diam, tetapi tidak jarang pula syekh-syekh sendiri turut serta; walaupun mereka secara teoritis dilucuti dari segala kekuasaannya sejak 1925, dalam kenyataannya mereka tetap bertempat tinggal di dekat makam,
dan, sering kali, terus mengelola tempat keramat yang bersangkutan 205 . Kini tak terhitung banyaknya makam lama yang telah diambil alih kembali
oleh tokoh agama atau tarekat dan pemerintah Turki agaknya tidak peduli lagi. Apa lagi ada tempat baru yang muncul belakangan ini. Undang- undang republik Turki tidak mengizinkan penguburan di luar kuburan. Hal
H. Tanyu (1967, hlm. 68-71). Ziarah Abu Ayy ūb di Istanbul juga mengalami sejumlah mutasi; lih. Idem, hlm. 232-236. 205 Hal itu hanya menyangkut syekh yang memperoleh jabatan mereka secara
warisan dan yang diizinkan oleh pemerintahan Kemalis untuk tinggal di biara sampai mati; selanjutnya, keturunan mereka harus meninggalkan tempat itu.
Thierry Zarcone
ini mestinya menyulitkan tarekat-tarekat. Namun hingga kini, mereka biasa mendirikan makam untuk syekh mereka—yang pada umumnya dijadikan wali segera setelah wafat—dalam wilayah pondok yang pada umumnya terletak di kota. Saya telah melihat sendiri bagaimana anggota-anggota tarekat mengatasi larangan mengubur mayat di luar kuburan resmi. Mereka menempatkan sebuah peti mati kosong dalam pondok, sedangkan jasad syekh yang dijadikan wali itu dikubur, sesuai dengan undang-undang,
dalam kuburan resmi kota 206 . Kini, tidak ada satu makam wali pun, di negeri Atatürk, yang tidak dikelilingi pohon-pohon yang penuh dengan
lilin-lilin dan kain-kain yang bergelantungan 207 . Di Asia Tengah, kebijakan pemerintah Soviet terhadap makam-
makam wali dikaji secara mendetil oleh Alexandre Bennigsen dan Chantal Lemercier-Quelquejay. Karena dianggap sebagai “sarang kekolotan berpikir, sarang fanatisme agama dan sarang kegiatan reaksioner dan propaganda nasionalistis”, kompleks makam dan kuburannya sendiri dijadikan sasaran serangan rezim Soviet setelah tahun 1960. Pada waktu itu, tempat tersebut dianggap sebagai kubu terakhir dari kegiatan agama. Seorang pakar Soviet menulis pada waktu itu, “di sekitar tempat keramat
itu berlangsung pertarungan terakhir antara keimanan dan paham ateis” 208 . Namun, apa pun usaha yang dilakukan—perubahan makam menjadi
museum antiagama, pembongkaran makam, dll.—ziarah ke tempat keramat tidak pernah terhenti, terutama di makam-makam yang paling terkenal, seperti makam Syahimardan di Uzbekistan dan “Singgasana Sulaiman” di Kirghizia. Yang terakhir ini khususnya telah menjadi lambang ketahanan
dan perlawanan Islam terhadap propaganda Marxis 209 . Fatwa demi fatwa dikeluarkan oleh para ulama untuk mengecam ziarah ke makam dan
mengajak umat untuk meninggalkan praktik yang dikatakan bidah itu. Kecaman mereka diungkapkan dalam bentuk dalil agama dan mengacu
pada kecaman lama terhadap praktik itu oleh penentangnya 210 . Kritik Marxis, di lain pihak, memanfaatkan juga tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh
sastra dan mistis Asia Tengah yang pernah menentang praktik ziarah,
206 Lih. Th. Zarcone (1992b, hlm. 116-117) dan (1992d, hlm. 140). 207 Pengamatan pribadi saya antara tahun 1984 dan 1992 (ketika tinggal di Turki). 208 Bennigsen & Lemercier-Quelquejay (1986, hlm. 150-152). Untuk sebuah sudut
pandang yang lebih mutakhir mengenai persoalan ini, lihat M.E. Subtelny (1989) dan I. Özkan (1993, hlm. 740).
209 Bennigsen & Lemercier-Quelquejay (1987, hlm. 5-6).
Idem, hlm. 166-170. Teks Arab dari salah satu fatwa ini, yang diucapkan oleh mufti Uzbekistan yang paling terkenal, Ziy al-D n Kh n ben Ish n B b kh n, diterbitkan dalam Z.K.I. B b kh n (1986, hlm. 236-239).
Turki dan Asia Tengah 427
khususnya untuk mencela kerakusan ish n-ish n 211 . Kaum reformis Tatar dan Turkistan sudah berbuat demikian juga pada akhir abad ke-19 dan pada
awal abad ke-20. Kecaman jad d ‘Abd al-R uf Fitrat terhadap ziarah ke makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara sangat terkenal 212 . Pada zaman
Soviet, serangan terhadap tradisi ziarah ke wali diarahkan juga kepada kelompok ish n-ish n lama yang menetap di sekitar makam dan seperti di masa lalu menawarkan berbagai jasa khusus (penyembuhan penyakit, magi dan lain-lain). Beberapa tahun sebelum Perestroika, sebuah buku pengantar (spravochnik) tentang Islam masih mengingatkan, dalam pasal tentang wali-wali, bahwa salah satu tugas penting dari “ilmu atheism” adalah menelanjangi ketidakilmiahan dari tempat-tempat keramat (ziayaratgah)
yang terkait dengan wali 213 .