Ziarah ke Makam Wali

Ziarah ke Makam Wali

Dengan demikian, tradisi ziarah hanyalah salah satu segi dari kehidupan Islam setempat. Para “wali” hanyalah salah satu sarana perantara guna mencapai Allah di antara sarana yang lain, yaitu malaikat, jin, pemanjatan doa, kurban, dukun, dan jimat. Berbeda dengan keadaan yang tampaknya pernah berlaku umum di Magribi, para wali sama sekali—atau sedikit sekali—terkait dengan “jin”, apalagi melihat bahwa “jin” tersebut sering kali tak lebih daripada dewa-dewa setempat yang “diislamkan” melalui proses penyamaan dengan makhluk api itu (jin) yang disebut dalam al- Qur’an. Di Senegal dan di Niger, di mana ritus-ritus lama belum berhasil dilenyapkan baik oleh kecaman kaum reformis maupun oleh saingan

Afrika Barat 191

religius lainnya, tradisi kewalian hidup berdampingan dengan berbagai ritus-ritus kesurupan yang mengatur hubungan antara wali dan manusia. Tradisi kewalian juga hidup berdampingan dengan praktik-praktik sufi-sufi murni, serta dengan ritus salat berjamaah dan ibadah setempat yang dimonopoli para imam, guru pengajian, sultan, atau emir pewaris dinasti negara-negara Islam lama; dan juga berdampingan dengan ritus-ritus tersendiri dari berbagai imam reformis dan sekte pinggiran. Tradisi kewalian pada umumnya terkait dengan sistem tarekat, dan bahkan acap disamakan dengannya dalam persepsi orang.

Seperti telah kita lihat di atas, sistem tarekat memadukan suatu struktur dasar sufi dengan suatu organisasi sosio-religius yang disusun di sekitar suatu hierarki rohaniwan. Landasan mistis sufi mengatur hubungan orang-orang yang merasa terpanggil oleh Allah untuk melampaui praktik agama biasa agar dapat memfokuskan diri pada pemusatan pikiran kepada Allah, bahkan pada penyatuan dengan-Nya. Dalam usaha itu mereka dibimbing, dan memang wajib dibimbing oleh seorang guru yang merupakan salah satu mata rantai dalam silsilah rohani yang meng- hubungkan si salik (s lik, orang yang maju di jalan Allah) dengan Tuhan. Kerangka sosio-religius sebaliknya tidak berlandasan tuntutan seagung itu. Orang-orang biasa mengharapkan entah keuntungan sosial, berkah ilahi, kehangatan hidup bermasyarakat atau hubungan perlindungan dari seorang “wali”, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Kendati setiap tarekat pada intinya adalah lingkungan timbulnya sufi-sufi, mistikus yang sesungguhnya amatlah langka dan berfungsi sebagai “jantung” tarekat itu. Orang biasa terlahir dalam satu tarekat dan bila menjalankan ritus-ritus permohonan yang tak terpisahkan darinya, ia mengharapkan (terutama dari kader dan pendiri tarekat) berbagai keuntungan yang bersumber pada hubungan khas mereka dengan Allah. Keuntungan yang didapatkan itu pada galibnya merupakan dampak dari suatu berkah yang efisien yang terpancar dari orang yang dikeramatkan itu karena hubungannya yang dekat dengan Tuhan, garis keturunan, atau kedekatan dengan keluarga, tubuh, atau makamnya. Bukti, tanda kewalian dan pengungkapan sifat sang wali itu, di sini sebagaimana di tempat lain, adalah karomah (keajaiban) yang diyakini dilakukan olehnya berupa perbuatan luar biasa yang menunjukkan bahwa ia terpilih dan mempunyai berkah. Setiap kelompok rohaniwan tarekat mempunyai daftar lengkap dari karomah-karomah itu, yang menjamin bahwa sang wali sudah berada di luar batasan-batasan dunia awam. Karomah-karomah itu juga merupakan landasan yang dipakai pengikut wali untuk memohon anugerah-anugerah konkret darinya.

Dalam rangka ini, sang wali, sebagai landasan dunia tarekat, pertama-tama merupakan orang yang telah mengabdikan diri kepada jalan

Guy Nicolas

tasawuf dan yang kian lama kian menyatu dengan Tuhan, yang pada gilirannya memberkahinya, baik secara langsung dalam bentuk anugerah maupun secara tidak langsung, dengan suatu barokah yang dapat dia salurkan kepada manusia lainnya. Seorang “kekasih Allah” ini, berkat sakralisasinya yang mirip sakralisasi kurban, adalah dengan sendirinya seorang perantara antara umat biasa dan Tuhan yang “jauh”. “Wali hidup”, yang di Senegal disebut “wali tersembunyi”, sangat dihormati. Orang mendekatinya dengan rasa hormat bercampur takut. Dia dimintai bantuan untuk mengatasi masalah kesehatan, kesialan nasib, keturunan, atau untuk melawan pengaruh sihir. Akan tetapi, kendati orang ini adalah penghubung dengan dunia sakral, bukanlah dia yang menjadi tujuan ritus ziarah yang dialamatkan kepadanya. Dia menganggap diri tidak lebih daripada salah satu dari sekian banyak mata rantai, satu komponen, dan bukanlah salah satu ujung dari suatu hubungan antara dua unsur, seperti halnya dengan jin. Meskipun sifat “kewaliannya” dapat berasal dari hubungan kekrabatan dengan salah satu “kekasih Allah”, pada galibnya dia hanyalah wakil dari- Nya.

Tradisi kewalian dalam artian harafiahnya pada dasarnya menyang- kut orang yang sudah mati. Tempat tujuan ziarahnya adalah makam seorang “wali” yang telah wafat, dan hidup dengan cara lain di sorga, setelah dia mencapai hal yang diidamkannya yaitu menyatu dengan Allah. Akan tetapi, meskipun dia tidak dapat diharapkan menjadi perantara langsung (kecuali dalam kasus yang istimewa), jenazahnya—seperti juga daging kurban persembahan, benda-benda yang telah mengelilinginya, tempat tinggalnya, keturunannya—semuanya berbagi berkahnya. Karena “merembetnya” barakah sang wali itu, maka keturunannya, sebagaimana juga keturunan Nabi Muhammad, menjadi perantara antara peziarah dan sang wali, sebagaimana juga makamnya menjadi ziarah. Itulah juga sebab- nya jajaran kader tarekat atau cabang tarekatnya, memainkan fungsi yang mirip fungsi kependetaan, sambil menjadi sumber keuntungan sosial dan material. Tugas-tugas perawatan makam wali, masjid yang mendam- pinginya, pusat ziarah, dan pelayan-pelayan ritus, semua menuntut adanya suatu organisasi keagamaan. Organisasi ini bertangung jawab juga untuk mengatur pembaiatan yang menyangkut suatu elite kecil maupun suatu jaringan zawiyah yang tersebar luas. Zawiyah tersebut merupakan sejenis mukim sementara, yang bergabung di sekitar beberapa marabout terbaiat, yang berfungsi sebagai pelayan ritus sehari-hari sembari merangkap sebagai pendidik, pembimbing spiritual untuk calon-calon sufi, dukun pengobat, wakil masyarakat, dan pemungut dana. Semuanya itu dipusatkan di sekitar makam pokok pendiri dan makam-makam “wali sekunder”.

Afrika Barat 193

Jadi, tradisi kewalian adalah titik temu beberapa jalur komunikasi dengan yang suci, yaitu pertama, jalur pembaiatan dari silsilah rohani yang dimulai oleh wali pendiri—yang mendapatkannya dari Sang Khaliq, dari Nabi Muhammad atau dari wali lainnya—berdasarkan hubungan guru pembaiat dengan murid; kedua, jalur keagamaan yang terdiri dari jajaran kader-kader tarekat, yang sepenuhnya mengabdikan diri pada tugasnya dan mencari nafkah darinya melalui pemberian-pemberian umat yang diberikan sebagai imbalan atas perlindungan wali; dan ketiga, ikatan sosial patron- klien yang mengaitkan, sering sejak masa kanak-kanak, pengikut biasa yang terlahir dalam tarekat dengan sistem itu seluruhnya, dengan makam dan dengan sang wali sendiri. Sedikit sekali kasus ziarah yang tidak masuk dalam kerangka ini, meskipun dapat disebut di sini kasus yang telah kami temukan di Niger, di kawasan lembah Maradi, di mana peziarah menghormati 40 wali yang konon adalah anggota suatu kafilah syarif yang

terbunuh di pinggir Danau Madaroumfa 16 .