Ziarah ke Makam Sidi Boumediène

Ziarah ke Makam Sidi Boumediène

Pada umumnya peziarah datang berkunjung pada malam Jumat, pada hari Jumat, dan pada hari raya keagamaan. Sampai tahun 1950-an, pada setiap hari raya anggota tarekat beriringan mendaki sampai ke makam. Kini kunjungan lebih bersifat individual, kecuali menjelang Maulid (Mawled) saat para perempuan, yang telah berzikir sepanjang malam dalam zawiyah sambil menunggu subuh saat kelahiran Nabi Muhammad, datang dalam kelompok-kelompok kecil.

Gerbang makam berbingkai tembikar berglasir dan di bagian atasnya dihiasi semacam atap yang disangga oleh dua buah tiang. Sebuah tangga dengan beberapa anak tangga turun menuju ke sebuah halaman kecil di mana di satu sisi terdapat sebuah sumur yang mengandung air yang konon berkhasiat, dan di sisi lainnya ruang makam wali. Pengunjung diperkenan- kan masuk setelah melepaskan sepatu. Ruang makam agak gelap, hanya diterangi cahaya yang dipantulkan oleh kaca warna-warni dari jendela- jendela kecil, karena lampu kristal yang tergantung di langit-langit tidak dinyalakan. Kain-kain bersulamkan benang emas, bendera-bendera sutera serta berbagai lukisan menghiasi dinding. Dua peti jenazah yang tertutup dengan kain sutra dipasang tegak lurus pada tembok di belakang makam, yaitu peti jenazah Sidi Boumediène dan seorang wali dari Tunisia bernama Sidi Abdessalam al-Tounsi.

Para pengunjung mengambil tempat di sekeliling kedua hiasan peti jenazah itu. Hanya sedikit pengunjung laki-laki yang hadir bersamaan dengan pengunjung perempuan (yang jumlahnya paling banyak) dan para laki-laki ini duduk membelakangi para perempuan agar terhindar dari pandangan mereka. Sambil duduk, berbaring atau bersandar pada hiasan peti jenazah, para pengunjung berdoa, bermeditasi, menangis, menyalakan

lilin, membakar dupa. Ada yang tidur dengan harapan wali akan hadir dalam mimpinya. Sidi Boumediène adalah wali yang dapat diminta pertolongannya untuk segala hal, dan dia konon menjawab semua permintaan. Untuk berkomunikasi dengannya tidak diperlukan ritus khusus. Yang dituntut hanyalah keheningan, supaya dialog masing-masing pengunjung dengan wali tidak terganggu. Sebagaimana biasanya pada ziarah, permohonan pada wali menyangkut baik masalah spiritual maupun masalah duniawi. Pada waktu kejuaraan sepak bola Piala Dunia tahun 1982, ada seorang perempuan tua yang datang berkunjung dan memohon kepada Sidi Boumediène agar memenangkan regu sepak bola nasional. Namun dibandingkan dengan ziarah-ziarah lainnya, kunjungan untuk menyatakan kesetiaan terhadap wali pelindung kota lebih dominan dalam ziarah ini. Kunjungan dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Kadang-kadang pengun-jung perempuan saling menyapa dan bicara sekadarnya. Sebelum mening-galkan makam, mereka umumnya tidak hanya meletakkan uang receh, tetapi juga kain sebagai tanda melepas nadar, lilin dan dupa di dekat peti jenazah. Mereka tidak pernah lupa meminum air dari sumur yang dianggap mengan-dung berkah sang wali, yang diambilkan moqaddem untuk mereka. Sebagai imbalan untuk jasa tersebut, moqaddem diberi sejumlah uang atau makanan, baik untuk diri sendiri maupun untuk diberikan kepada fakir miskin, sesuai permintaan pengunjung. Adakalanya dipotong hewan korban dan dagingnya dibagi- bagikan.

Pada bulan Oktober 1990, di tengah suasana politik baru akibat pengambil-alihan pemerintahan kota oleh FIS (Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam) perayaan Maulid menjadi ajang konflik antara kaum militan neo-fundamentalis di satu pihak dan sang juru kunci makam Sidi Boumediène di lain pihak. Juru kunci diperlakukan secara semena- mena dan bahkan dipukuli hingga harus dirawat di rumah sakit, sementara makam ditutup bagi pengunjung. Di kota dan daerah sekitarnya, para pengikut Sidi Boumediène dan para penganut ziarah kubur pada umumnya melihat peristiwa tersebut sebagai alasan untuk mencegah para perempuan ber-kumpul di makam sehari menjelang Maulid dan untuk kemudian menggiring mereka ke masjid-masjid. Peristiwa ini amat memprihatinkan kebanyakan penduduk Tlemcen yang merasa tiba-tiba kehilangan salah satu tradisi mereka yang paling kuno dan paling bermakna. Peristiwa itu dilihat sebagai awal dari konflik antara kaum reformis dan pengikut aliran sufi, seperti yang terjadi pada tahun 30-an. Hal itu terutama dianggap sebagai usaha kaum neo-fundamentalis untuk mengubah identitas Tlemcen. Peristiwa itu akhirnya menimbulkan banyak diskusi sekitar konsep haram

Makam Sidi Boumediène di Tlemcen (Aljazair) 179

Kiri, pintu masuk makam Sidi Boumediène di Tlemcen, 1982.

Kanan, masjid Sidi Boumediène di Tlemcen, 1985.

Sossie Andézian

dan halal dalam praktik-praktik keagamaan seperti ziarah, zikir, doa untuk orang mati, penggunaan sajadah bergambar dan sebagainya. Banyak perempuan berkumpul di zawiyah daerah itu sehari sebelum Maulid dan mendiskusikan hal-hal itu panjang-lebar. Di mata pengikut tradisi lokal, praktik-praktik itu dianggap halal selama tidak mempertanyakan ajaran Islam tentang Tauhid. Zikir dianggap halal karena mengagungkan keesaan Allah dan Rasulnya di bumi. Kenyataan bahwa praktik itu sudah lama berlangsung dan dibenarkan oleh ulama-ulama tua dan terhormat juga merupakan dalil kehalalannya. Jikalau larangan berziarah ke makam Sidi Boumediène diartikan sebagai upaya untuk menjadikan tradisi setempat suatu tindakan sesat, maka larangan itu juga mencerminkan keinginan kaum neo-fundamentalis untuk menindas bentuk-bentuk ungkapan dari cinta kepada Allah dan segala keramaian di sekitar perayaan agama. Dilihat dari sudut pandang seorang gadis yang dilarang mengunjungi “satu-satunya laki-laki yang pantas dipercaya dan dihormati di negeri ini” (yaitu Sidi Boumediène), larangan itu nampak sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. “Sekarang mereka bahkan melarang kita mengunjungi para wali! Lalu apa yang akan mereka sisakan untuk kita di negeri ini?”, teriak gadis itu di depan pintu makam yang tertutup. Memang, segera setelah makam dinyatakan dibuka kembali, perempuan-perempuan datang ke sana pada hari Jumat berikutnya untuk berziarah. Tetapi ketika para perempuan itu berada di depan masjid menunggu kedatangan juru kunci, keluarlah dua laki-laki dari masjid untuk menegur mereka, “Apa yang kalian lakukan? Kalian datang mengunjungi seorang yang sudah mati sejak berabad-abad yang lalu? Jangan lakukan praktik-praktik bodoh itu dan pulanglah ke rumah!”. Dengan hati gusar, perempuan-perempuan itu terpaksa membatal- kan ziarahnya karena ditekan oleh para laki-laki yang selain mereka anggap nista juga mereka anggap sebagai “muslimin palsu” itu. Mereka mening- galkan tempat tersebut sambil menyenandungkan salah satu nyanyian pujian yang menyanjung kebesaran Sidi Boumediène. Nyanyian itu baru- baru ini diangkat lagi baru dan direkam dalam kaset oleh seorang penyanyi muda, Nouri Koufi.

Apa pun nasib yang akan menimpa ziarah-ziarah di Aljazair di tahun-tahun mendatang, agaknya penting diggarisbawahi bahwa praktik itu sesungguhnya merupakan suatu pertaruhan sosial yang harus diperhitung- kan dalam perdebatan seputar definisi identitas bangsa Aljazair. Hal ini menjadi sangat penting ketika peristiwa-peristiwa yang secara simbolis amat men-dasar seperti halnya kelahiran Nabi Muhammad bagi kaum muslimin diperingati, pada saat bangsa Aljazair mengalami gejolak sosial yang dahsyat seperti sekarang ini.